Anda di halaman 1dari 17

Revisi Makalah Kelompok IV

AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH (SALAF DAN KHALAF)


DISUSUN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU TUGAS
MATA KULIAH : TEOLOGI ISLAM
DOSEN PENGAMPU : Dr. H. KHAIRIL ANWAR, M.Ag

DISUSUN OLEH :

WAHDI NUR RAHMAN 2112140190


MUHAMMAD ARIEF TAOPAN 2112140194
TIYA SILVIYA 2112140191

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
1443H/2022M
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Taufik dan
Hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya
yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat
lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Palangkaraya, 10 April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................................1
BAB II.............................................................................................................................................2
A. Pengertian Ahlussunnah Waljama’ah........................................................................2
B. Pengertian Salaf.............................................................................................................3
B.1 Ulama-ulama Salaf dan Beberapa Pemikirannya...............................................4
B.2. Perkembangan Salafiyah di Indonesia................................................................6
C. Pengertian Khalaf.........................................................................................................6
C.1 Ulama-ulama Khalaf dan Beberapa Pemikirannya............................................7
D. Perbandingan Salaf Dan Khalaf................................................................................10
BAB III.........................................................................................................................................12
A. Kesimpulan.............................................................................................................12
B. Saran.......................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Aqidah merupakan hal yang paling fundamental dalam keberagamaan umat Islam. Mengingat adanya
hadis yang menyebutkan bahwa Ahlussunnah wa al-Jama’ah lah yang merupakan golongan yang selamat,
maka banyak ulama yang kemudian menuangkan pendapatnya mengenai Ahlussunnah wa al-Jama’ah
tersebut. Bahkan, tidak jarang ada orang yang secara gegabah menghukum orang lain atau golongan lain
sebagai ahli bid’ah atau di luar golongan Najiyah. Padahal pemaknaan Ahlussunnah wa al-Jama’ah ini
tidak boleh dilakukan dengan selera hawa nafsu, melainkan harus berdasarkan kriteria tertentu yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah SAW. atau sesuai dengan apa yang disepakati oleh umat Islam.
Ahlussunnah wal-Jama‟ah (selanjutnya akan disebut Ahlussunnah saja) adalah salah satu aliran aqidah
dalam agama Islam. Namanya populer di akhir masa para sahabat besar. Aliran terbesar umat Islam ini
(90%) telah masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam ke Kepulauan Nusantara ini.
Aliran ini hingga sekarang menjadi aliran mayoritas umat di Indonesia dan bahkan dunia. Persoalannya
kemudian adalah bahwa aliran ini diklaim oleh dua kelompok umat Islam dan masing-masing menafikan
yang lainnya.
Klaim kedua golongan (Nahdhatul Ulama dan Salafi/Ahli Hadits) sebagai Ahlussunnah menimbulkan
pertentangan yang banyak merugikan umat Islam secara umum. Ungkapan yang tidak wajar seperti saling
membid‟ahkan dan bahkan tidak jarang terdengar ucapan “sesat” di antara dua golongan yang semestinya
tidak boleh terjadi akan tetapi saat ini menjadi pemandangan dan pendengaran yang sudah biasa. Oleh
sebab itu persoalan ini harus didudukkan apakah benar hanya satu golongan dari sekian banyak golongan
Islam di Indonesia yang benar sebagai Ahlussunnah yang notabene mendapat jaminan keselamatan dari
Nabi Muhammad SAW. Sementara yang lain memang tidak berhak mengakui dirinya sebagai umat Nabi
SAW yang Ahlussunnah sehingga harus disingkirkan karena seperti sinyalemen yang disampaikan oleh
Nabi SAW sebagai golongan yang akan masuk neraka.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa itu Ahlussunnah Waljama’ah ?
b. Apa itu Ahlussunnah Waljama’ah Salaf dan pemikirannya ?
c. Apa itu Ahlussunnah Waljama’ah Khalaf dan pemikirannya ?
d. Bagaimana Perbandingan Ahlussunnah Waljama’ah Salaf dan Ahlussunnah Waljama’ah Khalaf ?
1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui apa itu Ahlussunnah Waljama’ah.
b. Untuk mengetahui apa itu Ahlussunnah Waljama’ah Salaf dan beberapa pemikirannya.
c. Untuk mengetahui apa itu Ahlussunnah Waljama’ah Khalaf dan beberapa pemikirannya.
d. Mengetahui perbandingan Ahlussunnah Waljama’ah Salaf dan Ahlussunnah Waljama’ah Khalaf.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ahlussunnah Waljama’ah

“Ahlussunnah wal-Jama’ah” terdiri dari tiga kata yang berangkai, masing- masing dari kata “ahl, al-
Sunnah, dan al-jama’ah”. Secara bahasa kata “ahl” berarti “penganut” atau “pengikut”. Seperti
ungkapan “ahl mazhab man yadinu bihi” (ahli atau penganut suatu mazhab adalah orang yang mengikuti
atau menganut mazhab tersebut).
Al-Sunnah secara bahasa berarti jalan yang baik. 1 Kata “alSunnah” juga adalah lawan dari kata “al-
bid’ah”. Sedangkan kata “al-jamaah” adalah lawan dari kata “al-firqah”.2 Oleh sebab itu, kata al-sunnah
mengecualikan kelompok ahli bid’ah dan golongan hawa nafsu. Menurut Nasir bin Abdul Karim al-‘Aql,
al-Sunnah adalah petunjuk yang telah diiberikan oleh Nabi SAW para sahabatnya baik tentang ilmu,
keyakinan (I’tiqad), perkataan, maupun perbuatan.
Arti kata al-jama’ah secara bahasa adalah sekumpulan apa saja dan jumlahnya banyak (‘adadu kulli
sha’in wa kasratuhu). Kata al-jamaah secara kebahasaan mengacu pada arti sesuatu yang memenuhi dua
hal, yaitu sesuatu yang berkumpul dan jumlahnya banyak. Kata al-Jama’ah secara terminologis adalah
generasi sahabat, tabi’in dan generasi generasi sesudahnya yang mengikuti ajaran Nabi SAW.
Kata al-Jama’ah menurut ulama aqidah berarti mereka yang bersatu di atas kebenaran, tidak mau
berpecah belah dalam masalah agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para imam (yang berpegang
kepada) al-haq (kebenaran), tidak mau keluar dari jamaah mereka dan mengikuti apa yang yang telah
menjadi kesepakatan salaf al-ummah. Kata al-jamaah mengecualikan kelompok menyendiri dalam hal
aqidah seperti Syiah, Mu’tazilah, Khawarij, dan kelompok-kelompok lainnya. Menurut Attaimy,
Ahlussunnah adalah mereka adalah golongan sahabat, orang yang mengikuti sahabat, kelompok setelah
itu, termasuk orang-orang hidup dengan mengikuti jalan para imam-imam yang selalu dalam bimbingan
Allah dari semua umat.
Muhammad Idrus Ramli berpendapat, kata al-Jama’ah secara etimologis adalah orang-orang memelihara
kebersamaan dan kolektivitas dalam mencapai suatu tujuan, sebagai kebalikan dari kata al-firqah, yaitu
orang yang berceraiberai dan memisahkan diri dari golongannya. Sedangkan secara terminologis ialah
mayoritas kaum Muslimin (al-sawad al- a’zham) dengan artian bahwa Ahlussunnah wal-Jama’ah adalah
aliran yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin. 3
Sedangkan bagi Ibnu Taimiyah, yang dimaksud dengan Ahlussunnah wal-Jama’ah ada dua; pertama,
termasuk kelompok Ahlussunnah adalah kelompok yang menerima tiga khalifah Nabi (Abu Bakar, Umar,
dan Utsman). Poin ini mengecualikan Rafidhah (Syiah). Dalam ungkapan lain, beliau menyebut
kelompok ahlussunnah waljamaah ini dengan “ahlussunnah waljamaah yang umum”. Kedua, adalah ahli
hadits/salafi dan sunnah saja. Dan tidak termasuk dalam kelompok ini kecuali kalangan menetapkan
adanya sifat Allah dan mereka juga berpadangan bahwa al-Quran bukanlah makhluk (ciptaan), Allah akan
dapat dilihat di akhirat nanti, mengimani konsep qadha dan taqdir, dan lain sebagainya. Kalangan ini, oleh
Ibnu Taymiyah disebut dengan ahlussunnah yang khusus/ahli hadits.

1
Mustafa Al-Shibai, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, T. Tp, Dar al-Warraq, tt., h. 65
2
Muhammad Ibn Khalifah Attaymy, Mu’taqid Ahlussunnah Waljama’ah fi Tauhid Asma wa al-Shifat, ArRiyadh,
Maktabah Adhwa al-Salaf, 1999, h. 35
3
Muhammad Idrus Ramli, Mazhab al-‘Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama’ah? Jawaban Terhadap Aliran
Salafi (Surabaya: Khalista, 2014), cet. Ke- II, h. 176
2
3

Hamad al-Sinan dan Fauzi al-„Anjazi dalam kitab keduanya, Ahlussunnah wa al-jama’ah, Shahadatu
’Ulamai al-ummah wa adillatahum, mengatakan bahawa Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah istilah
yang digunakan untuk menunjukkan atas orang yang berada di jalan para Salafus al-Salih yang senantiasa
berpegang kepada al-Quran dan al-Sunnah dan atsar-atsar yang diriwayatkan dari Nabi SAW dan para
sahabatnya untuk membedakan dari mazhab pelaku bid‟ah dan golongan pengikut hawa nafsu.

B. Pengertian Salaf

Kata salaf secara bahasa bermakna orang yang telah terdahulu dalam ilmu, iman, keutamaan dan
kebaikan. Berkata Ibnul Mandzur : “Salaf juga berarti orang-orang yang mendahului kamu dari nenek
moyang, orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu dan memiliki umur lebih serta
keutamaan yang lebih banyak”. Oleh karena itu, generasi pertama dari Tabi’in dinamakan As-Salafush
Shalih. Adapun secara istilah, maka dia adalah sifat pasti yang khusus untuk para sahabat ketika
dimutlakkan dan yang selain mereka diikut sertakan karena mengikuti mereka. Al-Qalsyaany berkata
dalam Tahrirul Maqaalah min Syarhir Risalah : As-Salaf Ash-Shalih adalah generasi pertama yang
mendalam ilmunya lagi mengikuti petunjuk Rasulullah dan menjaga sunnahnya. Allah SWT telah
memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan meridhoi mereka sebagai imam-imam umat.
Salafiyah adalah sikap atau pendirian para ulama Islam yang mengacu kepada sikap atau pendirian yang
dimiliki para ulama generasi salaf itu. Kata salafiyah sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti
‘terdahulu’, yang maksudnya ialah orang terdahulu yang hidup semasa dengan Nabi Muhammad SAW,
Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in.
Aliran salaf merupakan aliran yang muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal
yang kemudian pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh imam Ahmad Ibn Taimiyah.
Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salaf memberikan reaksi yang keras terhadap pemikiran-pemikiran
ekstrim Mu’tazilah.

Kata salaf secara etimologi dapat diterjemahkan menjadi "terdahulu" atau "leluhur". Sedangkan menurut
terminologi terdapat banyak difinisi yang dikemukakan oleh para pakar mengenai arti salaf, diantaranya
adalah:

1. Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk
merujuk generasi sahabat, tabi’, tabi’ tabi’in para pemuka abad ke-3 H, dan para pengikutnya pada abad
ke-4 yang terdiri dari para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula uluma-ulama shaleh yang hidup
pada tiga abad pertama Islam.4
2. Menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-
ayat mutasabbihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (antropomorphisme).
3. Mahmud Al-Bisybisyi menyatakan bahwa salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in yang dapat
diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang
menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mensucikan dan mengagungkan-Nya.

Konsep aqidah salaf atau disebut dengan kaum tradisional, sesuai dengan metode Alquran yang relevan
dengan semua pihak, serta tidak hanya untuk golongan tertentu, dan para penganut paham salaf tidak mau
membahas hal yang terkandung pada ayat Alquran yang tidak jelas maksudnya.Hasan al-Banna kemudian
menguatkan sikap tentang hal yang disebut ayat dan Hadis tentang sifat Tuhan, hal tersebut merupakan
4
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA,
2001), hal. 109
4

hal yang dipermasalahkan oleh kaum salaf dan kaum khalaf, kemudian Hasan al-Banna menguatkan
pendapat kaum salaf bahwa mengimani ayat atau Hadis yang membahas tentang sifat Tuhan tidak harus
diinterpretasi atau dijelaskan, karena hal tersebut tidak diperlukan untuk mengimani Tuhan.
Ibrahim Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf atau salafiyah sebagai berikut :

1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah(aql).


2. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama (furu’ad-
din), mereka hanya bertolak dari penjelasan Al-Kitab dan As-Sunnah.
3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) dan tidak pula mempunyai
faham anthropomorphisme.
4. Mereka mengimani ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, dan tidak berupaya untuk
menakwilkannya.

Bila Salafiyah muncul pada abad ke-7 H, hal ini bukan berarti tercampuri masalah baru. Sebab pada
hakikatnya mazhab Salafiyah ini merupakan kelanjutan dari perjuangan pemikiran Imam Ahmad bin
Hanbal. Atau dengan redaksi lain, mazhab Hanbalilah yang menanamkan batu pertama bagi pondasi
gerakan Salafiyah ini. Atas dasar inilah Ibnu Taimiyah mengingkari setiap pendapat para filosof Islam
dengan segala metodenya. Pada akhir pengingkarannya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada jalan
lain untuk mengetahui aqidah dan berbagai permasalahannya hukum baik secara global ataupun rinci,
kecuali dengan Al-Qur’an dan Sunnah kemudian mengikutinya.

B.1 Ulama-ulama Salaf dan Beberapa Pemikirannya

a. Pemikiran Teori Ibn Hanbal


1. Tentang ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an , Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual)
daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan dan ayat-ayat
Mustasyabihat. Hal itu terbukti ketika ditanya tentang penafsiran “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah,
Yang bersemayam di atas Arsy.”(Q.s. Thaha : 50.) Dalam hal ini Ibn Hanbal menjawab “Bersemayam
diatas arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada
seorangpun yang sanggup menyifatinya.”
Dan ketika ditanya tentang makna hadist nuzul (Tuhan turun kelangit dunia), ru’yah (orang-orang
beriman melihat Tuhan diakhirat), dan hadist tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab : “Kita
mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.”
Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat
dan hadist mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, Ia sama sekali tidak mena’wilkan pengertian
lahirnya.

2. Tentang Status Al-Qur’an


Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa
kali, adalah tentang status al-Qur’an, apakah diciptakan (mahluk) yang karenanya hadits (baru) ataukah
tidak diciptakan yang karenanya qodim? Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni dinasti Abbasiyah
dibawah kepemimpina khalifah Al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Watsiq, adalah faham mu’tazilah.
Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru
dan diciptakan. Faham adanya qadim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, Sedangkan
menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah.
Ibn Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Itu dapat dilihat dari salah satu
dialog yang terjadi antara Ishaq bin Ibrahim, gubernur Irak dengan Ahmad Ibn Hanbal.Ia hanya
5

mengatakan bahwa al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan
ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan rasul-Nya.

b. Pemikiran Teori Ibn Taimiyah

Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai berikut :

1. Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits.


2. Tidak memberikan ruang gerak kepada akal
3. Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama
4. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)
5. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya. 5

Dalam masalah perbuatan manusia Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal:


1. Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.
2. Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara
sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
3. Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk.

Dalam masalah sosiologi politik Ibnu Taimiyah berupaya untuk membedakan antara manusia dengan
Tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik
metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan
adalah suatu hal yang mustahil.

Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa kalaulah kalamullah itu qadim,
kalamnya pasti qadim pula. Ibn Taimiyah adalah seorang tekstualis. Oleh sebab itu pandangannya
dianggap oleh ulama mazhab Hanbal, Al-kitab Ibn Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim (antropomorpisme)
Allah, yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa
pengakuan Ibn Taimiyah sebagai salaf perlu ditinjau kembali.

Berikut ini adalah pandangan ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah.

1) Percaya Sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau Rasul-Nya menyifati. Sifat-sifat
yang dimaksud adalah:
a) Sifat salbiyah, yaitu qidam, baqa, muhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdanniyah.
b) Sifat ma’nawi, yaitu qudrah, iradah, samea, bashar, hayat, ilmu, dan kalam.
c) Sifat khabariah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Qur’an dan Hadis walaupun akal bertanya tentang
maknanya). Seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah dilangit; Allah diatas Arasy; Allah
turun kelangit dunia; Allah dilihat oleh orang beriman diakhirat kelak; wajah, tangan dan mata Allah
d) Sifat dhafiah, meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama Allah pada alam makhluk, rabb al-
amin, khaliq al-kaum. Dan falik al-habb wa al-nawa.

2) Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal,
al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-hayy, al-qayyum, as-sami, dan al-bashir.

5
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA,
2001), hal. 116
6

3) Menerima sepenuhnya nama-nama Allah tersebut dengan tidak mengubah makna yang tidak
dikehendaki lafadz, tidak menghilangkan pengertian lafazd, tidak mengingkarinya, tidak menggambarkan
bentu-bentuk Tuhan, dan tidak menyerupai sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluknya.

Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutsyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang
menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak
men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya.

B.2. Perkembangan Salafiyah di Indonesia

Perkembangan salafiyah di Indonesia di awali oleh gerakan-gerakan persatuan islam (persis), atau
Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama salaf,
tetapi teologinya sudah di pengaruhi oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu,
para ulama yang menyatakan diri mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran
dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).

Dalam perkembangan berikutnya, sejarah mencatat bahwa salafiyah tumbuh dan berkembang pula
menjadi aliran (mazhab) atau paham golongan, sebagaimana Khawarrij, Mu’tazilah, Maturidiyah, dan
kelompok-kelompok Islam klasik lainnya. Salafiyah bahkan sering dilekatkan dengan ahl-sunnah wa al-
jama’ah, di luar kelompok Syiah.

C. Pengertian Khalaf

Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H. dengan
karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf. Suatu golongan dari ummat Islam
yang mengambil fislafat sebagai patokan amalan agama dan mereka ini meninggalkan jalannya as-salaf
dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits. Awal mula timbulnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
tidak diketahui secara pasti kapan dan dimana munculnya karena sesungguhnya istilah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah mulai dipopulerkan oleh para ulama salaf ketika semakin mewabahnya berbagai bid’ah
dikalangan ummat Islam.
Karakteristik yang paling menonjol dari khalaf adalah penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa
dengan mahluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.
Adapun ungkapan Ahlussunnah (sering disebut Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian yaitu
umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan dari kelompok Syi’ah. Dalam pengertian
ini Mu’tazilah sebagaimana Asy’ariyyah masuk dalam barisan Sunni. Adapun Sunni dalam pengertian
khusus adalah madzhab yang berada dalam barisan Asy’ariyyah dan Maturidiyah, dua aliran yang
menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Dalam hubungan ini Harun Nasution dengan meminjam keterangan
Tasy Kubra Zadah menjelaskan bahwa aliran Ahlusunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Hasan
al-Asy’ari sekitar tahun 300 H. 
Suatu golongan dari ummat Islam yang mengambil fislafat sebagai patokan amalan agama dan mereka ini
meninggalkan jalannya as-salaf dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits. Awal mula timbulnya istilah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak diketahui secara pasti kapan dan dimana munculnya karena
sesungguhnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah mulai depopulerkan oleh para ulama salaf ketika
semakin mewabahnya berbagai bid’ah dikalangan ummat Islam.
7

C.1 Ulama-ulama Khalaf dan Beberapa Pemikirannya

a. Pemikiran Teori Al-Maturidi


a)  Akal dan Wahyu
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal ada tiga macam, yaitu :

1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahiu kebaikan sesuatu itu


2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu.
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.

b)  Perbuatan Manusia


c) Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
d)  Sifat Tuhan
e)  Melihat Tuhan
f)  Kalam Tuhan
g)  Perbuatan Manusia
h) Pengutusan Rasul
i) Pelaku Dosa Besar.

b. Pemikiran Teori Imam Imam Al-Asy’ari

Sebagai orang yang pernah menganut faham Mu’tazilah, Asy’ari tidak dapat memisahkan diri dari
pemakaian akal atau argumentasi rasional. Ia menentang orang-orang yang mengatakan bahwa pemakaian
akal pikiran dalam soal agama dianggap suatu kesalahan. Sebaliknya, ia juga mengingkari orang-orang
yang berlebihan dalam menghargai akal pikiran semata sebagaimana aliran Mu’tazilah.

Diantara pemikiran Asy’ari dapat dikemukakan sebagai berikut:

1)  Sifat Tuhan

Menurut Asy’ari, Tuhan mempunyai sifat. Tuhan tidak mungkin mengetahui dengan zat-Nya, karena
dengan demikian berarti zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Sedangkan
Tuhan bukanlah pengetahuan (‘ilm), melainkan Yang Mahamengetahui (al-‘Alim). Selanjutnya ia
tegaskan, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian
pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar, melihat dan sebagainya. Dengan
demikian jelaslah bahwa pemikiran Asy’ari tentang sifat Tuhan ini beberlainan dengan paham Mu’tazilah
yang pernah ia anut. Bila Tuhan mempunyai sifat, persoalan yang muncul adalah apakah sifat-sifat Tuhan
itu kekal sehingga menimbulkan paham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’)—sebagai yang
dikhawatirkan oleh Mu’tazilah—membawa kepada paham kemusyrikan. Dalam kaitan ini, Asy’ari
mengatasinya dengan mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan.
Karena sifat-sifat itu tidak lain dari Tuhan, adanya sifat-sifat tersebut tidak membawa kepada paham
banyak yang kekal.
8

2)  Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia.

Tentang kekuasaan Tuhan, Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak, kemutlakan
kekuasaannya tidak tunduk dan terikat kepada siapa dan apa pun. Tuhan dapat berkehendak menurut apa
yang dikehendaki-Nya. Dengan paham kekuasaan mutlak di tersebut, Asy’ari menolak paham keadilan
Tuhan yang dibawakan oleh Mu’tazilah. Bila menurut paham keadilan, Tuhan wajib memberikan pahala
(balasan baik) kepada orang yang berbuat baik dan hukuman bagi orang pelaku dosa, maka menurut
Asy’ari tidak demikian halnya. Bagi Asy’ari, Tuhan berkuasa mutlak, dan tak satu pun yang wajib bagi-
Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga kalau Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam surga
bukanlah Ia bersifat tidak adil, dan jika Ia masukkan seluruhnya ke dalam neraka tidak pula Ia bersifat
zalim.

Mengenai perbuatan manusia, menurut Asy’ari bukanlah diwujudkan oleh manusia sebagaimana
pendapat Mu’tazilah, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Dalam hal ini Asy’ari mengemukakan alasan logika
sebagaimana yang dikutip oleh Abdurrahman Badawi: Kita ketahui bahwa kufur itu adalah buruk,
merusak, batil dan bertentangan, sedang perbuatan iman itu adalah bersifat baik, tapi berat dan sulit.
Sebenarnya orang kafir ingin dan berusaha agar perbuatan kafir itu baik dan benar, tetapi hal itu tidak
dapat ia wujudkan. Sebaliknya, orang mukmin menginginkan agar perbuatan iman itu tidak berat dan
sulit, tetapi hal itu tidak dapat pula ia wujudkan. Dari argumen logika ini tampaknya manusia—menurut
Asy’ari—tidak memiliki daya (qudrat atau istitha’ah) yang efektif untuk mewujudkan kehendak ke dalam
bentuk perbuatan. Selanjutnya, ia katakan bahwa yang mewujudkan perbuatan kafir atau perbuatan iman
bukanlah orang kafir atau mukmin itu sendiri yang memang tak sanggup membuat kufr itu bersifat
baik/benar dan membuat perbuatan iman itu menjadi mudah dan tidak sulit. Jadi, pencipta perbuatan kafir
dan iman yang sebenarnya (hakiki) dalam hal ini adalah Tuhan yang memang menghendaki hal yang
demikian.

Dari gambaran di atas dapat diketahui bahwa untuk mewujudkan perbuatan bagi manusia diperlukan
adanya kehendak (al-masyi’ah) dan daya (qudarah atau al-istitha’ah). Dalam hal ini terdapat dua daya,
yakni daya manusia yang digerakkan (tidak efektif) dan daya Tuhan, Penggerak (efektif). Mengingat daya
yang efektif adalah daya Tuhan, maka sebenarnya perbuatan yang terjadi pun adalah perbuatan Tuhan,
sedang manusia dalam hl ini hanya memperoleh perbuatan. Inilah agaknya yang dimaksud dengan “kasb”
menurut pandangan Asy’ari. Atau dengan perkataan lain, kasb adalah ketergantungan daya dan kehendak
manusia kepada perbuatan yang ditentukan dan diciptakan oleh Tuhan sebagai pelaku hakiki. Dengan
demikian manusia tidak mempunyai kebebasan dan kekuatan mewujudkan perbuatannya. Oleh karena itu,
setidaknya dari sudut ketidakmampuan manusia dalam berbuat ini, Asy’ari lebih dekat dengan faham
Jabariah.

3)  Keadilan Tuhan.

Berbeda dengan paham keadilan Tuhan menurut Mu’tazilah yang jelas bertentangan dengan doktrin
kekuasaan mutlak Tuhan dalam pandangan Asy’ari, paham keadilan Tuhan menurut Asy’ari tidak
bertentangan dan atau mengurangi kekuasaan mutlak Tuhan. Sebaliknya, bahkan paham keadilan Tuhan
merupakan manifestasi dari kehendak mutlak Tuhan. Tuhan sebagai pemilik sebenarnya (al-Mulk) dapat
berkuasa sepenuhnya sesuai dengan apa yang Ia kehendaki. Jadi keadilan yang dimaksud di sini adalah
menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya sesuai dengan kehendak pemiliknya. Kalau Tuhan
berbuat sesuatu dalam pandangan manusia itu adalah salah, bukan berarti itu dianggap salah, dan tidak
dapat dikatakan Tuhan tidak adil, karena Tuhan dapat berbuat apa saja yang Ia kehendaki.
9

4) Melihat Tuhan di akhirat.

Menurut Asy’ari, Tuhan dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak. Dalil yang ia kemukakan untuk ini,
antara lain adalah QS. Al-Qiyamah ayat 32-33. Pengertian al-nazhr dalam ayat tersebut bukanlah i’tibar
(memikirkan) atau al-intizhar (menunggu) seperti yang terdapat dalam QS. 88: 17 dan 36: 49, melainkan
berarti melihat dengan mata.

Selain dalil berupa ayat al-Quran, Asy’ari juga mengemukakan alasan logika. Menurutnya, sifat-sifat
yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang membawa kepada arti Tuhan itu
diciptakan. Sedangkan sifat “Tuhan dapat dilihat” tidak membawa kepada hal yang demikian, karena apa
yang dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat diciptakan. Sehubungan dengan
pandangannya ini, Asy’ari mengartikan QS. al-An’am ayat 103—la tudrikhu al-abshar wa huwa yudrik
al-abshar—dengan mengatakan bahwa ayat ini menjelaskan keadaan orang kafir sebagai suatu siksaan,
yakni orang kafirlah yang di akhirat nanti tidak dapat malihat Tuhan.

5) Anthropomorphisme (tajassum).

Berlainan dengan Mu’tazilah, Asy’ari berpandangan bahwa Tuhan punya wajah, tangan, mata dan yang
semisal dengannya, karena hal ini sesuai dengan penegasan ayat al-Quran. Misalnya: QS. al-Rahman ayat
37, al-Maidah ayat 67 dan al-Qamar ayat 14. Adapun tentang bagaimana bentuk dan ukuran wajah,
tangan, mata dan yang semisal itu, dalam hal ini Asy’ari hanya mengatakan “bila kaifa atau la yukayyaf
wala yuhad” (tidak ditentukan bagaimana bentuk dan ukurannya). Bagi Asy’ari, masalah ini tanpaknya
dipandang sebagai persoalan yang berada di luar batas kemampuan akal manusia.

6) Al-Quran (Kalamullah).

Menurut pendapat Asy’ari, al-Quran bukan makhluk sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Bila al-Quran
diciptakan, kata Asy’ari, berarti ia butuh kepada kata ‘kun’ (jadilah), karena untuk menciptakan itu
diperlukan adanya kata ‘kun’ sesuai dengan firman Allah: innama qawluna li syai’ idza aradnahu an
naqula lahu kun fayakun. Sedangkan untuk penciptaan kata ‘kun’ tentu perlu pula kata ‘kun’ yang lain,
dan begitu seterusnya sehingga terjadi rentetan kata-kata ‘kun’ yang tidak berkesudahan. Hal yang
demikian ini, menurut pandangan Asy’ari adalah tidak mungkin. Oleh karena itu, Asy’ari berpandangan
bahwa al-Quran itu tidak diciptakan.

7) Pelaku dosa dan konsep iman.

Bagi Asy’ari, orang yang berdosa besar adalah tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi karena
dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Alasannya adalah sekiranya orang berdosa besar bukan
mukmin dan bukan pula kafir (posisi tengah atau menempati antara keduanya), maka di dalam dirinya
tidak didapati kufr atau iman. Dengan demikian, ia bukan ateis dan bukan pula teis (bertuhan), dan hal
demikian ini tidak mungkin. Oleh karena itu, Asy’ari menolak konsep al-manzilah bain al-manzilatain
Mu’tazilah karena tidak mungkin orang yang berbuat dosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir.

Sejalan dengan pemikirannya tadi, Asy’ari tidak memandang amal perbuatan sebagai unsur esensial
(ushul) dari iman. Perbuatan tidaklah berpengaruh langsung terhadap iman, dalam arti tidak dapat
menghilangkan iman seseorang, meski yang dilakukannya itu adalah dosa besar. Hanya saja, akibat dosa
besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Dengan demikian, batasan iman menurut Ay’ari adalah tashdiq
bi Allah maksudnya, unsur esensialnya iman.
10

8)  Pengiriman utusan Allah atau rasul.

Berangkat dari pengakuan kekuasaan mutlak Tuhan, Asy’ari memandang bahwa Tuhan tidak memiliki
kewajiban mengutus rasul kepada umat manusia, meski pengutusannya itu memiliki arti penting bagi
kemaslahatan umat manusia. Semuanya itu dilakukan oleh Tuhan lebih berdasarkan kepada kehendak
mutlak-Nya.

9)  Janji dan ancaman.

Sebagaimana pendapat tentang pengiriman rasul yang lebih didasarkan kepada kehendak mutlak Tuhan,
pandangan Asy’ari tentang janji dan ancaman juga berlandaskan kepada paham adanya kehendak mutlak
Tuhan itu. Tidak wajib bagi Tuhan untuk memberikan pahala (balasan baik) bagi orang yang berbuat baik
dan tidak wajib pula bagi-Nya memberikan hukuman siksaan terhadap orang yang melakukan perbuatan
jahat. Oleh karena itu, Asy’ari menentang ajaran janji dan ancaman yang dianut oleh kaum Mu’tazilah

D. Perbandingan Salaf Dan Khalaf

Tidak dipungkiri bahwa selain perbedaan zaman, terdapat juga perbedaan metodologi memahami agama
antara salaf  dan khalaf.  Perbedaan tersebut terletak pada hal penerimaan bid’ah dalam berbagai bentuk
dan kadarnya. Ulama salaf secara umum menolak bid’ah dengan tegas apapun bentuk dan kadarnya. Al-
Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari mencontohkan kegiatan ta’lim rutin setiap hari, pembukuan tafsir,
hadits, fiqih, akhlaq, dan pengkajian ilmu kalam. Generasi salaf menolak hal-hal tersebut karena
menilainya sebagai bid’ah  atau muhdatsah  yang tidak ada restunya dari Nabi saw bahkan yang ada
larangannya. Akan tetapi generasi khalaf menerimanya dalam batas-batas tertentu karena tuntutan
kemaslahatan umat.
Hal yang paling mencolok dari perbedaan manhaj salaf dan khalaf ini adalah dalam penerimaan
terhadap ilmu kalam (ilmu yang membicarakan ketuhanan, terutama dalam hal sifat-sifat Tuhan).
Generasi khalaf menerimanya dan mengembangkannya, sehingga konsekuensinya melakukan
ta`wil (mengalihkan makna) dalam memahami sifat-sifat Allah swt agar tidak menyamakan Allah
swt dengan makhluknya. Sementara ulama salaf menolak keras ilmu kalam karena itu sudah
berani membahas hal-hal yang tabu untuk dibahas dan mengategorikannya sebagai bid’ah.
Sebagai contoh dalam memahami firman Allah swt: “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang
bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thaha [20] : 5) ulama salaf mengharamkan pembahasannya dan
menilai bid’ah kepada siapa yang berani membahasnya dan atau mengalihkan maknanya.  
Meski demikian Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa tidak berarti ulama salaf semuanya
menolak ta`wil dan demikian juga ulama khalaf semuanya menerima ta`wil. Yang dimaksud
adalah mayoritasnya, bukan semuanya. Ada saja di antaranya sebagian ulama salaf yang
menempuh jalan ta`wil atau sebagian ulama khalaf yang menolak ta`wil.  
11

Imam an-Nawawi menunjukkan bahwa madzhab salaf dan khalaf posisinya sederajat sebagai
madzhab yang diakui dalam Islam. Meski sudah dikenal sikap keras para ulama salaf dalam
menolak ilmu kalam, maka itu harus dipahami dalam koridor ijtihad mereka yang menilainya
sebagai bid’ah.  Akan tetapi ijtihad para ulama khalaf yang menerima ilmu kalam dan
menggunakannya dalam memahami sifat-sifat Allah swt juga tidak bisa dinafikan sebagai bagian
dari khazanah ijtihad ulama yang harus diakui kedudukannya tanpa memvonisnya sesat. Bagi
ulama khalaf seandainya ilmu kalam ini hendak dikategorikan bid’ah maka ini bid’ah yang
ditolerir dan harus diambil demi kemaslahatan. Terserah namanya apakah  bid’ah
hasanah  ataukah mashlahah mursalah.  Terlebih ketika faktanya mayoritas ulama hadits
pensyarah kitab-kitab hadits bermadzhab khalaf dalam memahami sifat-sifat Allah swt.
Menilainya sebagai sesat sama berarti dengan menyesatkan para ulama yang sudah dijamin oleh
Nabi saw sebagai pewaris para Nabi.

Penerimaan kedua madzhab salaf dan khalaf ini secara otomatis menuntut umat Islam untuk juga
menerima semua perbedaan corak ijtihad dari keduanya, termasuk dalam hal bid’ah dan
turunannya. Bahwa bi’dah haram dan sesat dalam hal ini para ulama sepakat. Demikian juga
dalam hal apakah semua bid’ah itu sama sekali tidak boleh diamalkan, maka para ulama juga
sepakat bahwa tidak bisa demikian, pasti ada beberapa di antaranya yang boleh diamalkan.
Hanya ketidaksepakatan akan terjadi dalam merumuskan rinciannya. Beberapa ulama di
antaranya ada yang kemudian terpaksa membuat definisi baru tentang bid’ah agar bisa dibedakan
mana bid’ah yang haram dan mana yang boleh dan sebetulnya bukan bid’ah. Akan tetapi yang
disebut “bukan bid’ah” oleh kelompok ini pada kenyataannya adalah bid’ah dalam pemahaman
ulama salaf dan khalaf. Beberapa kelompok lainnya ada yang kemudian membedakannya
menjadi bid’ah hasanah  dan bid’ah madzmumah.  Dalam hal rincian bid’ah yang disepakati
bid’ahnya oleh para ulama maka menyalahinya adalah sebuah kesesatan yang nyata. Akan tetapi
dalam hal rincian bid’ah yang tidak disepakati boleh dan tidaknya, maka penghargaan akan
ijtihad ulama harus dikedepankan sebagai adab ilmu yang sudah digariskan oleh Nabi saw.

Demikian halnya dalam mendudukkan syirik sebagai dosa terbesar, para ulama sepakat dalam hal
ini. Akan tetapi dalam menentukan amal-amal yang termasuk syirik, ada yang disepakati, ada
juga yang tidak disepakati. Yang disepakati sebagai syiriknya, maka menyalahinya berarti sebuah
kesesatan yang nyata. Akan tetapi dalam hal amal-amal yang tidak disepakati sebagai syiriknya
maka umat Islam mau tidak mau harus menghargai dua ijtihad yang berbeda tersebut.

Demikianlah sunnah para ulama dalam menghadapi perbedaan ijtihad antara salaf dan khalaf.
Menolak salah satunya sama dengan menolak kemuliaan para ulama dengan ilmunya.  
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ahlussunnah itu adalah golongan yang menjadikan al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber
ajaran Islam. Secara ril yang sekarang menjadikan al-Sunnah (selain al-Quran) sebagai
sumber hukum adalah tiga golongan di atas yaitu, al-Asy‟ariyyah, al-Maturidiyyah, dan Ahli
Hadits/Salafi. Sejak awal Nabi SAW sudah menjelaskan bahwa Ahlussunnah itu adalah al-
Sawad al-‘A’zham/ kelompok mayoritas.
2. Imam hanbali adalah salah seorang tokoh ulama salaf yang mempunyai ciri khas dalam
pemikirannya yaitu lebih menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan
ta’wil, kemudian beliau menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadist mutasyabihat
kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian ulama salaf lainnya adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf
yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa pada akal. Ibnu Taimiyah tidak
menyetujui penafsiran ayat- ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang
menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan
cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-
tanya tentang-Nya

3. - Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi :


a)      Akal dan Wahyu
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal ada tiga macam, yaitu :

 Akal dengan sendirinya hanya mengetahiu kebaikan sesuatu itu


 Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu.
 Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran
wahyu.
b) Perbuatan Manusia; c) Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan; d) Sifat Tuhan; e)
Melihat Tuhan; f) Kalam Tuhan; g) Perbuatan Manusia; h) Pengutusan Rasul; i)Pelaku Dosa
Besar.

- Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal
bin Abi Bardah bin Abi Musa al-Asy’ari (260-324 H) dianggap sebagai pendiri alirah
Asy’ariyah.
Diantara pemikiran Asy’ari dapat dikemukakan sebagai berikut:

a.) Sifat Tuhan; b.) Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia; c.) Keadilan Tuhan;
d.) Melihat Tuhan di akhirat; e.) Anthropomorphisme (tajassum); f.)Al-Quran
(Kalamullah); g.) Pelaku dosa dan konsep iman; h.) Pengiriman utusan Allah atau rasul; i.)
Janji dan ancaman.

4. Penerimaan kedua madzhab salaf dan khalaf ini secara otomatis menuntut umat Islam
untuk juga menerima semua perbedaan corak ijtihad dari keduanya, termasuk dalam
hal bid’ah dan turunannya. Bahwa bi’dah haram dan sesat dalam hal ini para ulama
sepakat. Demikian juga dalam hal apakah semua bid’ah itu sama sekali tidak boleh
12
13

diamalkan, maka para ulama juga sepakat bahwa tidak bisa demikian, pasti ada
beberapa di antaranya yang boleh diamalkan. Hanya ketidaksepakatan akan terjadi
dalam merumuskan rinciannya. Beberapa ulama di antaranya ada yang kemudian
terpaksa membuat definisi baru tentang bid’ah agar bisa dibedakan mana bid’ah yang
haram dan mana yang boleh dan sebetulnya bukan bid’ah. Akan tetapi yang disebut
“bukan bid’ah” oleh kelompok ini pada kenyataannya adalah bid’ah dalam
pemahaman ulama salaf dan khalaf. Beberapa kelompok lainnya ada yang kemudian
membedakannya menjadi bid’ah hasanah  dan bid’ah madzmumah.  Dalam hal rincian
bid’ah yang disepakati bid’ahnya oleh para ulama maka menyalahinya adalah sebuah
kesesatan yang nyata. Akan tetapi dalam hal rincian bid’ah yang tidak disepakati
boleh dan tidaknya, maka penghargaan akan ijtihad ulama harus dikedepankan
sebagai adab ilmu yang sudah digariskan oleh Nabi SAW.

B. Saran

Semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat terkhusus bagi yang memerlukan sebagai referensi
belajar agar dapat mengetahui tentang “AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH (SALAF DAN KHALAF)”.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk makalah ini agar dapat memperbaiki kesalahan dalam
pembuatannya dan dijadikan sebagai pembelajaran untuk kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
. Mustafa Al-Shibai, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, T. Tp, Dar al-Warraq, tt.
Muhammad Ibn Khalifah Attaymy, Mu’taqid Ahlussunnah Waljama’ah fi Tauhid Asma wa al-
Shifat, ArRiyadh, Maktabah Adhwa al-Salaf, 1999.
Muhammad Idrus Ramli, Mazhab al-‘Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal-Jama’ah? Jawaban
Terhadap Aliran Salafi (Surabaya: Khalista, 2014).
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: CV
PUSTAKA SETIA, 2001).
Fathurrahman Qadri, M. Hanbal Shafiran, Sejarah Pemikiran Islam, Dirasatul Firaq, Solo:
Pustaka Arafah, 2010.
H. A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
Rozak Abdul, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 1986

Link:

http://www.ensikperadaban.com/?AHLI_FIQIH:Ahli_Fiqih_Abad_5_H%2F11_M:Al

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/01/22/ly5t39-inilah-tokohtokoh-gerakan-
salafiyah

http://iappi.fr-bb.com/t86-mengenal-imam-ibnul-qayyim-aljauziyyah

14

Anda mungkin juga menyukai