Anda di halaman 1dari 15

Makalah Kelompok X

PENGAKUAN HAK ULAYAT


(Antara Regulasi Dan Implementasinya)

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas


Mata Kuliah : Hukum Adat
Dosen Pengampu : Dr. Sadiani, S.H., M.H.

Disusun Oleh

Muhammad Khairul Amin


NIM. 2112140165

Wahdi Nur Rahman


NIM. 2112140190

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS SYARIAH JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
KELAS 3/A
2022 M / 1444 H
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas segala rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga Penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Pengakuan Hak Ulayat” yang baik dan tepat pada waktunya.Kami selaku
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Sadiani S.H., M.H.
Selaku dosen pengampu pada mata kuliah Hukum Adat yang telah memberikan
bimbingan kepada kami, sehingga makalah ini bisa terselesaikan.

Melalui makalah ini, Penyusun menjelaskan tentang pengakuan hak ulayat


secara mendalam. Oleh sebab itu, Penyusun berharap makalah ini bisa bermanfaat
bagi penulis umumnya dan pembaca khususnya.kami selaku Penyusun menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dalam menyusun  makalah ini.

Oleh karena itu, Penyusun mengharapkan agar Pembaca bisa memberikan


pendapat berupa  kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah ini,
agar di masa mendatang Penyusun dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.
Atas perhatian dan waktunya, Penyusun sampaikan banyak terimakasih.

Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Palangka Raya, 07 Desember 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1

A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan......................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 3

A. Pengertian Hak Ulayat ............................................................... 3


B. Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat ........................... 3
C. Hak Ulayat Dalam Perkembangannya ...................................... 6
D. Implemetasi Pengakuan Hak Ulayat ......................................... 7

BAB III PENUTUP....................................................................................... 10

A. Kesimpulan.................................................................................. 10
B. Saran............................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konsep hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat, sehingga
mengakuiadanya hak ulayat masyarakat hukum adat di berbagai wilayah di Indonesia
yangtelah lebih dulu ada dan mendiami tanah-tanah di Indonesia, bahkan sebelum
Indonesia merdeka. Walaupun tidak dijelaskan secara detail mengenai pengertianhak
ulayat, namun Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
memberikanpengakuan terhadap adanya hak ulayat dalam hukum pertanahan
nasional. Hakulayat merupakan hak penguasaan tertinggi dalam masyarakat hukum
adat tertentuatas tanah yang merupakan kepunyaan bersama para warganya.
Meskipun demikian,ketentuan dalam UUPA juga memberikan batasan terkait dengan
eksistensi dari hak ulayat masyarakat hukum adat. Adapun batasan tersebut adalah
sepanjang menurutkenyataannya masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara, serta tidakboleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.1
G. Kartasapoetra menyatakan bahwa hak ulayat adalah hak tertinggi atas tanah
yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan pada hukum untuk menjamin ketertiban
pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Masyarakat memiliki hak untuk menguasai tanah
dimana pelaksanaannya diatur oleh kepala suku atau kepala desa. Sedangkan Imam
Sudiyat mengatakan bahwa hak ulayat adalah hak yang melekat sebagai kompetensi
khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan
mengatur tanah seisinya dengan daya laku ke dalam maupun ke luar.
Hak ulayat berkaitan erat dengan masyarakat hukum adat karena hak
ulayatmerupakan wewenang dan kewajiban yang ada pada suatu masyarakat hukum
adat.Masyarakat hukum adat berbeda dengan masyarakat hukum. Masyarakat hukum
adattimbul secara spontan pada suatu wilayah tertentu yang berdirinya tidak
ditetapkan atau diperintahkan oleh pihak penguasa yang lebih tinggi serta
mempergunakan sumber kekayaan untuk kepentingan sesama masyarakat hukum
1
A.Setiabudi, Hukum Tanah : Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi
Keberhasilan Pendayagunaan Tanah (Jakarta: PT. Bina Aksara , 2016), 88.

1
adat. Hal ini berbeda dengan masyarakat hukum yaitu suatu masyarakat yang
menetapkan, terikat,dan tunduk pada tata hukumnya sendiri.Berdasarkan latar
belakang di atas kami akan membahas Pengakuan Hak Ulayat secara mendalam.

B. Rumusan Masalah
Pada makalah ini terdapat beberapa poin yang menjadi rumusan masalah, yaitu
sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud hak ulayat?


2. Bagaimanakah hak ulayat dalam masyarakat hukum adat?
3. Bagaimanakah hak ulayat dalam perkembangannya?
4. Seperti apa implemetasi pengakuan hak ulayat?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari paparan materi yang akan dibahas pada makalah ini,
yaitu sebagai berikut:

1. Mengetahui dan memahami tentang hak ulayat.


2. Mengetahui tentang hak ulayat dalam masyarakat hukum adat.
3. Mengetahui dan memahami hak ulayat dalam perkembangannya.
4. Mengetahui dan memahami implemetasi pengakuan hak ulayat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak Ulayat


Menurut C. Von Vollenhoven hak ulayat adalah hak yang dimiliki suatu
kelompok masayarakat atau persekutuan-persekutuan hukum adat (suku, desa,
serikat desa-desa) untuk menguasai seluruh tanah seisinya didalam lingkungan
wilayahnya. Orang asing hanya diperkenankan mengambil manfaat dari wilayah
hak ulayat itu dengan izin Kepala Persekutuan Hukum yang bersangkutan serta
pembayaran upeti kepada Persekutuan Hukum tersebut.
Hak ulayat adalah hak yang dimiliki suatu kelompok masyarakat atau
persekutuan-persekutuan hukum adat (suku, desa, serikat desa-desa) untuk
menguasai seluruh tanah seisinya didalam lingkungan wilayahnya. Orang asing
hanya diperkenankan mengambil manfaat dari wilayah hak ulayat itu dengan izin
Kepala Persekutuan Hukum yang bersangkutan. serta pembayaran upeti kepada
Persekutuan Hukum tersebut. Hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat atau
persekutuan-persekutuan hukum masih diakui dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Ppkok Agraria atau dikenal dengan
singkatan resminya yaitu UUPA Pasal 3, sepanjang kenyataannya masih ada dan
pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-
peraturan yang lebih tinggi.2

B. Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat


Masyarakat hukum adat sebagai kesatuan tanah yang didudukinya, terdapat
adanya hubungan yang erat sekali, hubungan tersebut bersumber pada pandangan
yang bersifat religio-magis. Sehingga menyebabkan masyarakat hukum adat
memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah-tanah itu,
memungut hasil dari turnbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu, juga berburu
terhadap binatang-binatang yang hidup disitu. Hak masyarakat hukum adat atas

2
Reli Jevon Laike, “Problematika Pengakuan Hukum Terhadap Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat”, Jurnal Seri Ilmu-ilmu Sosial dan Kependidikan, Vol. 3, No. 1 (April 2019), 26.

3
tanah ini disebut hak petuanan atau hak ulayat, dan dalam literatur oleh Van
Volenhoven Hak ulayat pada hakekatnya merupakan kepunyaan bersama para
warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Ada bagian tanah ulayat yang
digunakan bersama dan ada pula yang dikuasai warganya secara perorangan dan
digunakan untuk pembunuhan kebutuhannya. Hak ulayat merupakan seperangkat
wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan
tanah yang ada dalam lingkungan wilayah. masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Dalam pengertian "tanah dalam lingkungan wilayahnya", itu
mencakup luas kewenangan masyarakat hukum adat berkenaan dengan tanah,
termasuk segala isinya, yakni perairan, tumbuh-tumbuhan, dan binatang dalam
wilayahnya yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencahariannya. 3

Masyarakat hukum adat sebagai jelmaan dari seluruh anggotanya yang


mempunyai hak ulayat, bukan orang-perorangan. Hak ulayat ini disertai wewenang
dan kewajiban yang bersifat perdata, yaitu berhubungan dengan hal bersama
kepunyaan atas tanah tersebut dan bersifat publik, yaitu berupa tugas untuk
mengelola, mengatur, dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan
pemeliharaannya. Dalam perpustakaan hukum adat, hak ulayat disebut dengan
nama "beschikkingsrecht Salah satu sifat khas dari hak ulayat pada masyarakat
hukum adat yakni komunalistik religius dimana memungkinkan penguasaan tanah
secara individu, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus
mengandung unsur kebersamaan. Unsur kebersamaan ini merupakan hak bersama
masyarakat hukum adat atas tanah yang dikenal dengan hak ulayat, sekaligus
bersifat religius karena tanah hak ulayat yang diperoleh warga masyarakat diyakini
sebagai karunia Tuhan yang diberikan kepada nenek moyang mereka sampai pada
generasi selanjutnya.

Secara konseptual, hak ulayat merupakan hak tertinggi dalam sistem hukum
adat. Di bawah hak ulayat hak kepalai tetua adat yang merupakan turunan hak
ulayat dan semata-mata beraspek hukum publik. Selanjutnya, barulah hak-hak
individual yang secara langsung maupun tidak lmgsung juga bersumber dari hak
ulayat dan beraspek hukum keperdataan. Namun demikian, meskipun termasuk
3
Bambang Daru Nugroho, Hukum Adat (Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Alam
Kehutanan dan Perlindungan Terhadap Masyarakat Hukum Adat (Bandung: PT. Reflika Aditia,
2015), 233.

4
bidang hukum perdata, pengaturan penguasaan dan penggunaannya ditentukan oleh
Kepala Adat, dan termasuk bidang hukum publik. Kriteria dalam masih ada atau
tidaknya hak ulayat masyarakat hukum adat itu tidak terdapat ketentuannya dalam
UUPA dan penjelasannya4. Maria S.W Sumardjono menjelaskan tentang 3 (tiga)
kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat, yaitu:

1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu yang


merupakan subyek hak ulayat.
2. Adanya tanah wilayah dengan batas-batas tertentu yang merupakan obyek
hak ulayat
3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-
tindakan tertentu.

Tindakan-tindakan tertentu yang dimaksud pada poin 3 diatas Maria S. W.


Sumardjono menjelaskan lebih lanjut yaitu:

1. Mengatur dan meyelenggarakan penggunaan tanah (pemukiman, bercocok


tanam, dan lain-lain), persediaan (pembuatan pemukiman persawahan baru
dan lain-lain) dan pemeliharaan tanah;
2. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah
(memberikan hak tertentu pada subyek tertentu);
3. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah ( jual-beli dan
lain-lain).

Hak ulayat tidak dapat dilepaskan dari masyarakat hukum adat melalui upaya
dan proses pembebasan dan pelepasan hak atas tanah menurut ketentuan hukum
positif yang berlaku rasional. Jika pemerintah atau suatu perusahaan memerlukan
tanah yang terrnasuk ke dalam wilayah hak ulayat untuk suatu kegiatan
pembangunan yang sangat pentinglmendesak, maka harus dilakukan menurut
prosedur dan tata cara yang berlaku dalam liukurn adat setempat. Jika pemanfaatan
tanah tanah tersebut diperlukan untuk jangka waktu yang relatif lama, misalnya

4
Fitrah Akbar Citrawan, “Konsep Kepemilikan Tanah Ulayat Masyarakat Adat
Minangkabau”, Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol. 50 ,No. 3 (Juni 2020), 601.

5
untuk kegiatan pertambangan atau perkebunan, maka jika pemanfaatan tanah itu
telah selesai, tanah tersebut harus kembali kepada masyarakat hukum adat tersebut.5

C. Hak Ulayat Dalam Perkembangannya


Keberadaan hak ulayat dalam masyarakat hukum adat di Indonesia pada saat
sekarang tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Ada wilayah persekutuan
hukum adat yang hak ulayatnya masih dijalankan dan berpengaruh dalam
kehidupan masyarakatnya tetapi ada juga wilayah daerah yang karena menguatnya
sifat individualistis dan masyarakat dan melemahnya sifat komunalistis menjadikan
hak ulayat itu tidak berlaku sepenuhnya atau memudar bahkan hilang dalam
kehidupan masyarakat6. Penjelasan Pasal 67 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur tentang bahwa masyarakat hukum adat
keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
1. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban.
2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya.
3. Ada wilayah hukum adatnya yang jelas.
4. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan, yang masih ditaati
dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya
untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Seiring dengan perkembangan zaman, maka pergerakan pola hidup dan corak
hidup masyarakat Indonesia dari semula tradisional menuju ke pola atau corak
modern yang mengakibatkan secara berlahan-lahan nilai yang terkandung dalam
hak ulayat menjadi bergeser. Hal tersebut menjadikan masyarakat tidak lagi
mendepankan kebersamaan tetapi cenderung untuk berpikir individualistis,
sehingga banyak hak ulayat masyarakat hukum adat yang awalnya dikuasai dan
dimiliki oleh msyarakat hukum adat untuk dimanfaatkan secara bersama-sama demi
kepentingan persekutuan beralih menjadi kepemilikan pribadi dan didaftarkan atas
nama pribadi.Dengan terjadinya perubahan dari wilayah persekutuan hukum adat
menjadisatu Kecamatan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa peran dari penguasa adat menjadi berkurang karena
berbenturan dengan peran pemerintah setempat. Tugas dan wewenang Pesirah
5
Ibid, 235.
6
Umar Hasan dan Suhermi, “Eksistensi Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat”,
Jurnal Sains Sosio Humaniora, Vol. 4, No. 2 (Desember 2020), 635.

6
Kepala Marga yang dahulunya menentukan seberapa besar bagian wilayah dan
lokasi wilayah tanah ulayat sekarang hanya terbatas pada pengaturan upacara adat,
sebutan pesirah kepala marga setelah keluarnya keluarnya undang-undang ini
berubah menjadi kepala adat. Menurut Bambamg Nugroho Sejak diberlakunya
Undang-Undang Pemerintahan Desa, hamper dipastikan pemerintah adat satu demi
satu mengalami pergeseran pola dan sistemnya, meskipun secara normatif hukum
Adat tetapi hamper tidak ada lembaga masyarakat adat yang legitimatif untuk
melaksanakannya.
Para pemangku adat menyatakan dalam proses penyerahan tanah ulayat harus
sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Menurut hukum adat penyerahan tanah
ulayat untuk keperluan pembangunan dilakukan dengan duduk bersama dan (izin
membangun) bersama pemangku adat. Berdasarkan Undang Undang Kehutanan
pelaku usaha perkebunan dapat diberi hak dalam hal tanah yang diperlukan untuk
usaha perkebunan merupakan tanah ulayat masyarakat hukum adat. Dengan
ketentuan pelaku usaha perkebunan .terlebih dahulu harus melakukan musyawarah
dengan masyarakat hukum adat pemegang hak untuk memperoleh persetujuan
mengenai penyerahan tanah dan imbalannnya. Jika belum tercapai persetujuan,
maka pejabat yang berwenang dilarang memberikan izin usaha di atas tanah ulayat
masyarakat hukum adat.7

D. Implementasi Pengakuan Hak Ulayat


Selain dari pengaturan tanah hak ulayat yang ditentukan dalam Pasal 3 dan
Pasal 5 UUPA, melalui Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menentukan, bahwa negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat
dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam UU. Ketentuan Pasal 18 B ayat
(2) UUD 1945 bertolak belakang dengan pendapat Boedi Harsono yang
menyatakan bahwa UUPA sengaja tidak memerintahkan mengatur lebih lanjut
tanah hak ulayat dalam peraturan pelaksanaan UUPA, karena hak itu
keberadaannya akan dihapus. Sepuluh tahun setelah amandemen konstitusi ternyata
masih belum mampu menyelesaikan persoalan sebenarnya yang dihadapi

7
Mukmin Zakie, "Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukurn Adat Dalam
Kontitusi", Jurnal Konsitusi, Vol. 11, No. 2 (November 2009), 121.

7
masyarakat hukum adat terutama di daerah8. Hal ini disebabkan berbagai alasan
menurut Nova Yusmira diantaranya :
1. Adanya pembatasan pengakuan hukum berupa persyaratan-persyaratan
contohnya seperti yang terdapat dalam UU Kehutanan, UU Pemerintahan
Daerah dan UU perkebunan.
2. Kebijakan di masing-masing instansi pemerintah belum sinergis sehingga
menciptakan sektoralisasi. Sektoralisasi ini pada akhirnya telah menjadikan
banyak instansi pemerintah mengurusi Masyarakat Hukum Adat menggunakan
pendekatan yang berbeda-beda dan parsial dalam memandang keberadaan dan
hak-hak masyarakat hukum adat, yang berakibat pada kondisi masyarakat
hukum adat yang terbelah-belah mengikuti pola-pola sektoralisasi instansi
pemerintah.
3. Belum adanya kejelasan lembaga yang paling berkompeten mengurusi
keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat serta belum terciptanya model
pengaturan yang komprehensif dalam pengakuan hukum terhadap keberadaan
masyarakat hukum adat, baik substansi maupun kerangka implementasinya.
Di Propinsi Jambi pernah ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
daerah yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat, baik kebijakan yang
mengakui masyarakat hukum adat tertentu maupun kebijakan yang mengatur
kepentingan masyarakat hukum adat secara umum di tingkat kabupaten. 9
Implementasinya yang terjadi di Indonesia, yaitu:
1. Perda Kab. Bungo No. 3 Tahun 2006 tentang masyarakat hukum Adat Datuk
Sinaro Putih.
2. Surat Keputusan (SK) Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko
No. 225 Tahun 1993 tentang Penetapan Lokasi Hutan Adat Desa Pangkalan
Jambu.
3. SK. Bupati Merangin No. 95 Tahun 2002 tentang pengukuhan Hutan Adat
Rimbo penghulu Depati Gento Rajo Desa Pulau tengah kec. Jangkat.
4. SK. Bupati Bungo No. 1249 tahun 2002 tentang pengukuhan Hutan adat Desa
batu kerbau Kec. Pelepat.

8
Ari Sukanti, “Pengakuan Hak Ulayat”, Jurnal Hukum, Vol.8, No.2 (Maret 2002), 94.
9

8
5. SK. Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit
Tapanggang sebagai hutan adat Desa Guguk kec. Sungai Manau.
6. SK. Bupati Merangin No. 95 Tahun 2002 Tentang Pengukuhan hutan adat
Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo Desa Pulau tengah Kec. Jangkat.
Di samping itu terdapat kebijakan yang mengatur kepentingan masyarakat
hukum adat di Jambi seperti :
1. Perda Kab. Merangin No. 22 tahun 2002 tentang pengurusan hutan dan
retribusi hasil hutan yang dalam beberapa pasalnya mengatur mengenai hutan
adat .
2. Perda Kab. Bungo No. 9 Tahun 2007 tentang Penyebutan kepala Desa menjadi
Rio, Desa menjadi Dusun dan Dusun menjadi kampung yang memberlakukan
sistem pemerintahan lokal berdasarkan budaya setempat.
Menurut Nova Yusmira, banyaknya bentuk kebijakan yang mengakui
keberadaan masyarakat hukum adat di Propinsi Jambi merupakan inisiatif yang
patut dihormati, tetapi yang perlu diperhatiakan adalah penguatan kelembagaan
adat, pemberian bimbingan dan pengawasan serta pemberian bantuan yang
berorientasi proyek yang kadangkala tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh
masyarakat adat.di samping itu yang paling penting adalah bagaimana
mengimplementasikan pengakuan hukum tersebut.10

10
Ibid,95

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Menurut C. Von Vollenhoven hak ulayat adalah hak yang dimiliki suatu
kelompok masayarakat atau persekutuan-persekutuan hukumadat (suku, desa,
serikat desa-desa) untuk menguasai seluruh tanah seisinya didalam lingkungan
wilayahnya.
2. Volenhoven Hak ulayat pada hakekatnya merupakan kepunyaan bersama para
warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Ada bagian tanah ulayat
yang digunakan bersama dan ada pula yang dikuasai warganya secara
perorangan dan digunakan untuk pembunuhan kebutuhannya. Hak ulayat
merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum
adzat yang berhubungan dengan tanah yang ada dalam lingkungan wilayah.
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
3. Seiring dengan perkembangan zaman, maka pergerakan pola hidup dan corak
hidup masyarakat Indonesia dari semula tradisional menuju ke pola atau corak
modern yang mengakibatkan secara berlahan-lahan nilai yang terkandung
dalam hak ulayat menjadi bergeser. Hal tersebut menjadikan masyarakat tidak
lagi mendepankan kebersamaan tetapi cenderung untuk berpikir individualistis,
sehingga banyak hak ulayat masyarakat hukum adat yang awalnya dikuasai dan
dimiliki oleh msyarakat hukum adat untuk dimanfaatkan secara bersama-sama
demi kepentingan persekutuan beralih menjadi kepemilikan pribadi dan
didaftarkan atas nama pribadi.
4. Pengaturan tanah hak ulayat yang ditentukan dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA,
melalui Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menentukan, bahwa negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat
dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam UU.Ketentuan Pasal 18 B
ayat (2) UUD 1945.

10
B. Saran
Demikian pembahasan yang disampaikan melalui makalah ini. Diharapkan
makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan belajar bagi para pembacanya untuk
mengetahui poin-poin yang tercantum disini. Makalah ini pula tidak terlepas dari
kesalahan dan kekurangan, yang mana jika ada kedua hal tersebut ada tercantum
disini, diharapkan bagi pembaca dapat menyampaikan kritik dan saran agar menjadi
perbaikan bagi kami para penulis.

11
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Setiabudi, A. Hukum Tanah: Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi


Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Jakarta: PT. Bina Aksara, 2016.
Daru Nugroho, Bambang. Hukum Adat (Hak Menguasai Negara Atas Sumber
Daya Alam Kehutanan dan Perlindungan Terhadap Masyarakat Hukum
Adat, Bandung: PT. Reflika Aditia, 2015.

Jurnal

Jevon Laike, Reli. ”Problematika Pengakuan Hukum Terhadap Hak Ulayat


Masyarakat Hukum Adat”, Jurnal Seri Ilmu-ilmu Sosial dan
Kependidikan, Vol. 3, No. 1. April 2019.
Akbar Citrawan, Fitrah. “Konsep Kepemilikan Tanah Ulayat Masyarakat Adat
Minangkabau”, Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol. 50, No. 3. Juni 2020
Hasan, Umar dan Suhermi, “Eksistensi Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum
Adat”, Jurnal Sains Sosio Humaniora, Vol. 4, No. 2. Desember 2020.
Zakie,Mukmin. "Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Dalam
Kontitusi", Jurnal Konsitusi, Vol. 11, No.2. November 2009.
Ari Sukanti, Pengakuan Hak Ulayat, Jurnal Hukum, Vol .8, No. 2. Maret
2002

12

Anda mungkin juga menyukai