Disusun Oleh
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas segala rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga Penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Pengakuan Hak Ulayat” yang baik dan tepat pada waktunya.Kami selaku
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Sadiani S.H., M.H.
Selaku dosen pengampu pada mata kuliah Hukum Adat yang telah memberikan
bimbingan kepada kami, sehingga makalah ini bisa terselesaikan.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 3
A. Kesimpulan.................................................................................. 10
B. Saran............................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat, sehingga
mengakuiadanya hak ulayat masyarakat hukum adat di berbagai wilayah di Indonesia
yangtelah lebih dulu ada dan mendiami tanah-tanah di Indonesia, bahkan sebelum
Indonesia merdeka. Walaupun tidak dijelaskan secara detail mengenai pengertianhak
ulayat, namun Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
memberikanpengakuan terhadap adanya hak ulayat dalam hukum pertanahan
nasional. Hakulayat merupakan hak penguasaan tertinggi dalam masyarakat hukum
adat tertentuatas tanah yang merupakan kepunyaan bersama para warganya.
Meskipun demikian,ketentuan dalam UUPA juga memberikan batasan terkait dengan
eksistensi dari hak ulayat masyarakat hukum adat. Adapun batasan tersebut adalah
sepanjang menurutkenyataannya masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara, serta tidakboleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.1
G. Kartasapoetra menyatakan bahwa hak ulayat adalah hak tertinggi atas tanah
yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan pada hukum untuk menjamin ketertiban
pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Masyarakat memiliki hak untuk menguasai tanah
dimana pelaksanaannya diatur oleh kepala suku atau kepala desa. Sedangkan Imam
Sudiyat mengatakan bahwa hak ulayat adalah hak yang melekat sebagai kompetensi
khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan
mengatur tanah seisinya dengan daya laku ke dalam maupun ke luar.
Hak ulayat berkaitan erat dengan masyarakat hukum adat karena hak
ulayatmerupakan wewenang dan kewajiban yang ada pada suatu masyarakat hukum
adat.Masyarakat hukum adat berbeda dengan masyarakat hukum. Masyarakat hukum
adattimbul secara spontan pada suatu wilayah tertentu yang berdirinya tidak
ditetapkan atau diperintahkan oleh pihak penguasa yang lebih tinggi serta
mempergunakan sumber kekayaan untuk kepentingan sesama masyarakat hukum
1
A.Setiabudi, Hukum Tanah : Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi
Keberhasilan Pendayagunaan Tanah (Jakarta: PT. Bina Aksara , 2016), 88.
1
adat. Hal ini berbeda dengan masyarakat hukum yaitu suatu masyarakat yang
menetapkan, terikat,dan tunduk pada tata hukumnya sendiri.Berdasarkan latar
belakang di atas kami akan membahas Pengakuan Hak Ulayat secara mendalam.
B. Rumusan Masalah
Pada makalah ini terdapat beberapa poin yang menjadi rumusan masalah, yaitu
sebagai berikut:
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari paparan materi yang akan dibahas pada makalah ini,
yaitu sebagai berikut:
2
BAB II
PEMBAHASAN
2
Reli Jevon Laike, “Problematika Pengakuan Hukum Terhadap Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat”, Jurnal Seri Ilmu-ilmu Sosial dan Kependidikan, Vol. 3, No. 1 (April 2019), 26.
3
tanah ini disebut hak petuanan atau hak ulayat, dan dalam literatur oleh Van
Volenhoven Hak ulayat pada hakekatnya merupakan kepunyaan bersama para
warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Ada bagian tanah ulayat yang
digunakan bersama dan ada pula yang dikuasai warganya secara perorangan dan
digunakan untuk pembunuhan kebutuhannya. Hak ulayat merupakan seperangkat
wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan
tanah yang ada dalam lingkungan wilayah. masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Dalam pengertian "tanah dalam lingkungan wilayahnya", itu
mencakup luas kewenangan masyarakat hukum adat berkenaan dengan tanah,
termasuk segala isinya, yakni perairan, tumbuh-tumbuhan, dan binatang dalam
wilayahnya yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencahariannya. 3
Secara konseptual, hak ulayat merupakan hak tertinggi dalam sistem hukum
adat. Di bawah hak ulayat hak kepalai tetua adat yang merupakan turunan hak
ulayat dan semata-mata beraspek hukum publik. Selanjutnya, barulah hak-hak
individual yang secara langsung maupun tidak lmgsung juga bersumber dari hak
ulayat dan beraspek hukum keperdataan. Namun demikian, meskipun termasuk
3
Bambang Daru Nugroho, Hukum Adat (Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Alam
Kehutanan dan Perlindungan Terhadap Masyarakat Hukum Adat (Bandung: PT. Reflika Aditia,
2015), 233.
4
bidang hukum perdata, pengaturan penguasaan dan penggunaannya ditentukan oleh
Kepala Adat, dan termasuk bidang hukum publik. Kriteria dalam masih ada atau
tidaknya hak ulayat masyarakat hukum adat itu tidak terdapat ketentuannya dalam
UUPA dan penjelasannya4. Maria S.W Sumardjono menjelaskan tentang 3 (tiga)
kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat, yaitu:
Hak ulayat tidak dapat dilepaskan dari masyarakat hukum adat melalui upaya
dan proses pembebasan dan pelepasan hak atas tanah menurut ketentuan hukum
positif yang berlaku rasional. Jika pemerintah atau suatu perusahaan memerlukan
tanah yang terrnasuk ke dalam wilayah hak ulayat untuk suatu kegiatan
pembangunan yang sangat pentinglmendesak, maka harus dilakukan menurut
prosedur dan tata cara yang berlaku dalam liukurn adat setempat. Jika pemanfaatan
tanah tanah tersebut diperlukan untuk jangka waktu yang relatif lama, misalnya
4
Fitrah Akbar Citrawan, “Konsep Kepemilikan Tanah Ulayat Masyarakat Adat
Minangkabau”, Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol. 50 ,No. 3 (Juni 2020), 601.
5
untuk kegiatan pertambangan atau perkebunan, maka jika pemanfaatan tanah itu
telah selesai, tanah tersebut harus kembali kepada masyarakat hukum adat tersebut.5
6
Kepala Marga yang dahulunya menentukan seberapa besar bagian wilayah dan
lokasi wilayah tanah ulayat sekarang hanya terbatas pada pengaturan upacara adat,
sebutan pesirah kepala marga setelah keluarnya keluarnya undang-undang ini
berubah menjadi kepala adat. Menurut Bambamg Nugroho Sejak diberlakunya
Undang-Undang Pemerintahan Desa, hamper dipastikan pemerintah adat satu demi
satu mengalami pergeseran pola dan sistemnya, meskipun secara normatif hukum
Adat tetapi hamper tidak ada lembaga masyarakat adat yang legitimatif untuk
melaksanakannya.
Para pemangku adat menyatakan dalam proses penyerahan tanah ulayat harus
sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Menurut hukum adat penyerahan tanah
ulayat untuk keperluan pembangunan dilakukan dengan duduk bersama dan (izin
membangun) bersama pemangku adat. Berdasarkan Undang Undang Kehutanan
pelaku usaha perkebunan dapat diberi hak dalam hal tanah yang diperlukan untuk
usaha perkebunan merupakan tanah ulayat masyarakat hukum adat. Dengan
ketentuan pelaku usaha perkebunan .terlebih dahulu harus melakukan musyawarah
dengan masyarakat hukum adat pemegang hak untuk memperoleh persetujuan
mengenai penyerahan tanah dan imbalannnya. Jika belum tercapai persetujuan,
maka pejabat yang berwenang dilarang memberikan izin usaha di atas tanah ulayat
masyarakat hukum adat.7
7
Mukmin Zakie, "Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukurn Adat Dalam
Kontitusi", Jurnal Konsitusi, Vol. 11, No. 2 (November 2009), 121.
7
masyarakat hukum adat terutama di daerah8. Hal ini disebabkan berbagai alasan
menurut Nova Yusmira diantaranya :
1. Adanya pembatasan pengakuan hukum berupa persyaratan-persyaratan
contohnya seperti yang terdapat dalam UU Kehutanan, UU Pemerintahan
Daerah dan UU perkebunan.
2. Kebijakan di masing-masing instansi pemerintah belum sinergis sehingga
menciptakan sektoralisasi. Sektoralisasi ini pada akhirnya telah menjadikan
banyak instansi pemerintah mengurusi Masyarakat Hukum Adat menggunakan
pendekatan yang berbeda-beda dan parsial dalam memandang keberadaan dan
hak-hak masyarakat hukum adat, yang berakibat pada kondisi masyarakat
hukum adat yang terbelah-belah mengikuti pola-pola sektoralisasi instansi
pemerintah.
3. Belum adanya kejelasan lembaga yang paling berkompeten mengurusi
keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat serta belum terciptanya model
pengaturan yang komprehensif dalam pengakuan hukum terhadap keberadaan
masyarakat hukum adat, baik substansi maupun kerangka implementasinya.
Di Propinsi Jambi pernah ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
daerah yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat, baik kebijakan yang
mengakui masyarakat hukum adat tertentu maupun kebijakan yang mengatur
kepentingan masyarakat hukum adat secara umum di tingkat kabupaten. 9
Implementasinya yang terjadi di Indonesia, yaitu:
1. Perda Kab. Bungo No. 3 Tahun 2006 tentang masyarakat hukum Adat Datuk
Sinaro Putih.
2. Surat Keputusan (SK) Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko
No. 225 Tahun 1993 tentang Penetapan Lokasi Hutan Adat Desa Pangkalan
Jambu.
3. SK. Bupati Merangin No. 95 Tahun 2002 tentang pengukuhan Hutan Adat
Rimbo penghulu Depati Gento Rajo Desa Pulau tengah kec. Jangkat.
4. SK. Bupati Bungo No. 1249 tahun 2002 tentang pengukuhan Hutan adat Desa
batu kerbau Kec. Pelepat.
8
Ari Sukanti, “Pengakuan Hak Ulayat”, Jurnal Hukum, Vol.8, No.2 (Maret 2002), 94.
9
8
5. SK. Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit
Tapanggang sebagai hutan adat Desa Guguk kec. Sungai Manau.
6. SK. Bupati Merangin No. 95 Tahun 2002 Tentang Pengukuhan hutan adat
Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo Desa Pulau tengah Kec. Jangkat.
Di samping itu terdapat kebijakan yang mengatur kepentingan masyarakat
hukum adat di Jambi seperti :
1. Perda Kab. Merangin No. 22 tahun 2002 tentang pengurusan hutan dan
retribusi hasil hutan yang dalam beberapa pasalnya mengatur mengenai hutan
adat .
2. Perda Kab. Bungo No. 9 Tahun 2007 tentang Penyebutan kepala Desa menjadi
Rio, Desa menjadi Dusun dan Dusun menjadi kampung yang memberlakukan
sistem pemerintahan lokal berdasarkan budaya setempat.
Menurut Nova Yusmira, banyaknya bentuk kebijakan yang mengakui
keberadaan masyarakat hukum adat di Propinsi Jambi merupakan inisiatif yang
patut dihormati, tetapi yang perlu diperhatiakan adalah penguatan kelembagaan
adat, pemberian bimbingan dan pengawasan serta pemberian bantuan yang
berorientasi proyek yang kadangkala tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh
masyarakat adat.di samping itu yang paling penting adalah bagaimana
mengimplementasikan pengakuan hukum tersebut.10
10
Ibid,95
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Menurut C. Von Vollenhoven hak ulayat adalah hak yang dimiliki suatu
kelompok masayarakat atau persekutuan-persekutuan hukumadat (suku, desa,
serikat desa-desa) untuk menguasai seluruh tanah seisinya didalam lingkungan
wilayahnya.
2. Volenhoven Hak ulayat pada hakekatnya merupakan kepunyaan bersama para
warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Ada bagian tanah ulayat
yang digunakan bersama dan ada pula yang dikuasai warganya secara
perorangan dan digunakan untuk pembunuhan kebutuhannya. Hak ulayat
merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum
adzat yang berhubungan dengan tanah yang ada dalam lingkungan wilayah.
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
3. Seiring dengan perkembangan zaman, maka pergerakan pola hidup dan corak
hidup masyarakat Indonesia dari semula tradisional menuju ke pola atau corak
modern yang mengakibatkan secara berlahan-lahan nilai yang terkandung
dalam hak ulayat menjadi bergeser. Hal tersebut menjadikan masyarakat tidak
lagi mendepankan kebersamaan tetapi cenderung untuk berpikir individualistis,
sehingga banyak hak ulayat masyarakat hukum adat yang awalnya dikuasai dan
dimiliki oleh msyarakat hukum adat untuk dimanfaatkan secara bersama-sama
demi kepentingan persekutuan beralih menjadi kepemilikan pribadi dan
didaftarkan atas nama pribadi.
4. Pengaturan tanah hak ulayat yang ditentukan dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA,
melalui Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menentukan, bahwa negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat
dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam UU.Ketentuan Pasal 18 B
ayat (2) UUD 1945.
10
B. Saran
Demikian pembahasan yang disampaikan melalui makalah ini. Diharapkan
makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan belajar bagi para pembacanya untuk
mengetahui poin-poin yang tercantum disini. Makalah ini pula tidak terlepas dari
kesalahan dan kekurangan, yang mana jika ada kedua hal tersebut ada tercantum
disini, diharapkan bagi pembaca dapat menyampaikan kritik dan saran agar menjadi
perbaikan bagi kami para penulis.
11
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Jurnal
12