Di susun oleh :
Kelompok 2
1. Farhan Naftila M 20216090
14
2. Fauzah Septia 2021609016
3. Muhammad Ricky Saputra 2021609099
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami. Tak lupa sholawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar nabi kita, yaitu Nabi Muhammad SAW
yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang
sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.
Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya
bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, apabila ada terdapatan kesalahan dalam
penggunaan kata atau penulis mohon maaf dan atas perhatianya kami ucapkan terima
kasih.
Penyusun
Kelompok 2
I
DAFTAR ISI
BAB I..............................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
BAB II.............................................................................................................................2
PEMBAHASAN.............................................................................................................2
A. Sejarah Hukum Pertanahan Pada Masa Masyarakat Adat.................................2
B. Sejarah Hukum Pertanahan Pada Masa Kerajaan..............................................3
C. Sejarah Hukum Pertanahan Pada Masa Penjajah..............................................5
BAB III............................................................................................................................9
PENUTUP.......................................................................................................................9
KESIMPULAN......................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11
II
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada zaman dahulu kala masyarakat di bumi bebas dalam menempati tanah mana yang
akan mereka tempati untuk bercocok tanam dan beraktivitas. Selanjutnya seiring
dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, banyak bermunculan kelompok
kelompok masyarakat yang akhirnya menjadi sebuah perkampungan di bawah
kekuasaan kerajaan.
Di seluruh indonesia sendiri sifat masyarakatnya sangat berkaitan erat dengan hukum
tanahnya. Jiwa rakyat dan tanahnya tidak dapat di pisahkan yang artinya bahwa tiap
tiap perubahan dalam jiwa masyarakat mengakibatkan banyak perubahan dan letusan
revolusi dalam masalah hukum tanah.
Hukum tanah adalah hukum yang mengatur tentang hubungan antara manusia dengan
tanah.1 Dengan demikian hukum tanah di indonesia menagtur tentang hubungan antara
manusia, pemerintah yang mewakili negara sebagai badan hukum publik maupun
suwasta termasuk badan keamanan atau badan sosial dan perwakilan negara asing
dalam tanah di wilayah indonesia. Selanjutnya dalam pembahasan ini kami akan
membahas lebih lanjut tentang sejarah pertanahan pada masa hukum adat, kerajaan dan
pada masa penjajah.
B. Rumusan Masalah
b) Sejarah hukum pertanahan pada masa masyarakat hukum adat
c) Sejarah hukum pertanahan pada masa kerajaan
d) Sejarah hukum pertanahan pada masa penjajah
1 Sarah Nield, Hongkong Land Law. Longman Group (Far East), Ltd. Hongkong, 1992, h. 1.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Hak ulayat yang berlaku keluar adalah hak yang berlaku larangan bagi
orang luar untuk menarik keuntungan dari tanah itu, kecuali atas izin atau setelah
membayar uang pajak atau uang pengakuan selain itu orang luar juga di larang
memiliki tanah perseorangan atas tanah pertanian.
Berikut beberapa ciri ciri hak ulayat menurut para ahli hukum adat di
indonesia.
1) Hak ulayat menurut ajaran ahli hukum adat di indonesia yaitu : hak ulayat
bukan hak yang di miliki perseorangan melainkan hak persekutuan desa atau
marga, tanah tanah hak ulyat meliputi tanah tanah yang belum di
budidayakan, termasuk hak untuk berburu binatang liar, memetik hasil hutan,
dan mengambil pohon yang ada di hutan. Peraturan berada di bawah
kekuasaan seorang kepala adat.
2) Menurut Ruwiastuti, hak ulayat maksudnya adalah ap ayang selama ini di
kenal dengan “Beschikkingsrecht” dalam keputusan hukum adat yang di
kemukakan oleh Van Vollen Hoven, yaitu suatu yang meliputi berbagai
kewewenangan seperti mengambil hasil alam dari hutan, berburu binatang
liar, memiliki pohon tertentu dari dalam hutan, serta membuka lahan baru dari
hutan dengan izin kepala persekutuan hukum adat. Dalam hal ini dapat terjadi
hak hak perorangan atas tanah yang sudah di buka dan di usahakan terus
menerus, tapi ketika tanah tersebut di telantarkan maka hak perorangan
tersebut akan lenyap dan tanah nya menjadi milik persekutuan.
Konsep hukum adat atas tanah dapat di rumuskan sebagai konsep yang “
Komunalistik Religius” yang memungkinkan bahwa penguasan atas tanah secara
individu dengan hak hak atas yanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung
unsur kebersamaan.
Sifat komunalistik menunjukan adanya hak bersama para anggota
masyarakat hukum adat atas tanah yang dalam kepustakaan hukum di sebut hak
Ulayat. Tanah tersebut merupakan tanah bersama yang di yakini sebagai karunia
peninggalan nenek moyang kepada kelompok masyarakat hukum adat. Di mana
unsur pendukung utamanya adalah sebagai wadah penghidupan kelompok tersebut
sepanjang masa. Tangapan tersebut membuktikan bahwa di sinilah tampak adanya
3
sifat religius atau unsur keagamaan hubungan anatar hukum dan warga masyarakat
hukum adat bersama tanah ulayat.
1. KERAJAAN KUTAI
Kerajaan Kutai (sekitar 400 M), jauh sebelum masuknya orang-orang
Eropa di Nusantara, sebenarnya pengaturan dalam masalah tanah sudah dikenal
4
dalam sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan terdahulu. Pada masa jayanya
kerajaan Kutai pernah dikenal adanya suatu ketentuan yang mengatur tentang
acara penggunaan, pengolahan, pemeliharaan, jual beli, sistem pemilikan, tanah
terlantar, dan tanah-tanah kehutanan. Adapun ketentuan-ketentuan tersebut
sebagai berikut :
Pada masa kerajaan Kutai dikenal dengan Kitab Undang-Undang
Brajananti atau Brajaniti. Pada masa kerajaan Banjar dikenal dengan Kitab
Undang-Undang Sultan Adam dibuat sekitar tahun 1251.
2. KERAJAAN SRIWIJAYA
Pengaturan sistem pertanahan pada masa kerajaan Sriwijaya (693-1400)
dikenal dengan nama kitab undang-undang Simbur Cahaya yang merupakan
peninggalan kitab undang-undang jaman raja-raja Sriwijaya. Prinsip pemilikan
hak atas tanah, raja dianggap sebagai pemilik, sedangkan rakyat sebagai
pemakai (penggarap) yang harus membayar upeti kepada raja sebagai pemilik.
3. KERAJAAN MAJAPAHIT
Kerajaan Majapahit (1293-1525) merupakan suatu kerajaan yang
menguasai seluruh Nusantara dan memiliki ketentuan yang paling lengkap
tentang pengaturan kehidupan masyarakat. Tanah dalam kehidupan rakyat
majapahit memegang peranan penting karena itu dibuat undang-undang tentang
hak memakai tanah yang disebut Pratigundala. Pratigundala didapati dalam
Negarakertagama pupuh 88/3 baris 4 hal 37. Undang-undang tersebut disusun
dengan latar belakang bahwa kerajaan Majapahit merupakan suatu kerajaan
yang rakyatnya sebagian besar hidup dari hasil-hasil pertanian. Dalam kitab
undang-undang yang disebut agama, terdapat lima pasal di antara 271 pasalnya
yang mengatur masalah tanah. Tanah menurut undang-undang agama dalam
kerajaan Majapahit adalah milik raja. Rakyat hanya mempunyai hak untuk
menggarap dan memungut hasilnya tetapi tidak memiliki tanah tersebut, hak
milik atas tanah tetap ada pada raja.
5
C. Sejarah hukum pertanahan pada masa penjajah
6
b. Verplichte leveranten,yaitu suatu bentuk ketentuan yang diputuskan
oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban menyerahkan seluruh hasil
panen dengan pembayaran yang haraganya juga sudah ditetapkan secara
sepihak
c. Roerendiensten atau yang dikenal dengan kerja Rodi.Kerja Rodi ini di
bebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian dan
menjual tanah-tanah yang luas kepada pengusaha swasata(cultur stelsel)
Pada tanggal 1 Januari 1800 daerah dan hutang-hutang VOC diserahkan
kepada Pemerintah Belanda. Maka sejak itulah Indonesia menjadi daerah
kekuasaan Belanda dengan status sebagai negara jajahan. Pada masa
pemerintahan Daendles, dikeluarkan suatu kebijakan yang langsung
menyangkut penguasaan atas tanah oleh bangsa lain di Indonesia. Politik yang
dijalankan berkaitan dengan pertanahan adalah menjual tanah kepada pemilik
modal besar terutama orang Cina, Arab, dan Belanda sendiri. Tanah-tanah yang
dijual disebut dengan tanah partikelir.
Pada tanggal 18 September 1811, pemerintahan Belanda jatuh pada
penguasaan Inggris. Selanjutnya pemerintah Inggris mengangkat Thomas
Stamford Raffles (1811-1816) menjadi Gubernur Jendral. Dalam bidang
pertanahan, Raffles mewujudkan pemikiran tentang pajak yang dikenal sebagai
“Landrent”.
7
3. Dengan diberlakukannya Agrarische Wet, Staatsblad 1870 no 55,
dihapuskan politik tanam paksa oleh pemerintah dalam lapangan
pertanian besar dan digantikan dengan politik liberal, yaitu pemerintah
tidak turut campur di bidang usaha, pihak swasta diberikan kebebasan untuk
mengembangkan usaha dan modalnya di bidang pertanian.
4. Agrarische Besluit yang dimuat dalam Stb. 1870 no 118. pasal 1
Agrarische Besluit memuai suatu pernyataan yang dikenal dengan
Domein verklaring (pernyataan pemilikan) yang pada garis besarnya
berisi asas bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan
sebagai hak eigendomnya adalah milik negara.
Hukum Agraria memiliki sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya
peraturanperaturan dari hukum adat disamping berlakunya hukum agraria yang
didasarkan pada hukum barat. Sifat dualisme hukum barat (hukum agraria
kolonial) meliputi bidang-bidang sebagai berikut :
1. Dasar hukum
2. Hak atas tanah
3. Hak-hak jaminan atas tanah
4. Pendaftaran hak atas tanah
Bagi rakyat Indonesia asli, hukum agraria penjajah itu tidak memiliki
kepastian hukum. Ketidakpastian hukum bagi rakyat disebabkan oleh dua hal
yaitu :
1. dari segi perangkat hukumnya
2. dari segi pendaftaran tanah
Ada tiga dampak yang ditimbukan oleh kebijakan demikian yaitu :
1. tidak adanya kesatuan hukum atau terjadinya dualisme hukum antara
hukum agraria barat dengan hukum adat secara simultan
2. pluralisme hukum adat dibiarkan berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan politik ekonomi penjajah 3. diintroduksikan hak baru
“agrarische eigendom.
Ketika masa penjajahan Belanda digantikan oleh Jepang pada 1942, tidak diadakan
perombakan besar atas peraturan pertanahan. Kadasteral Dient, misalnya, masih tetap
di bawah Departemen Kehakiman, hanya namanya diganti menjadi Jawatan
8
Pendaftaran Tanah dan kantornya bernama Kantor Pendaftaran Tanah. Namun
demikian, pada masa penjajahan Jepang dikeluarkan peraturan yang melarang
pemindahan hak atas benda tetap/ tanah (Osamu Sierei Nomor 2 Tahun 1942).
Penguasaan tanah partikelir juga dihapuskan oleh pemerintahan Dai Nippon.
9
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
10
SRIWIJAYA : Pengaturan sistem pertanahan pada masa kerajaan Sriwijaya dikenal
dengan nama kitab undang-undang Simbur Cahaya yang merupakan peninggalan
kitab undang-undang jaman raja-raja Sriwijaya.
MAJAPAHIT : Kerajaan Majapahit merupakan suatu kerajaan yang menguasai seluruh
Nusantara dan memiliki ketentuan yang paling lengkap tentang pengaturan kehidupan
masyarakat. Tanah dalam kehidupan rakyat majapahit memegang peranan penting
karena itu dibuat undang-undang tentang hak memakai tanah yang disebut
Pratigundala. Pratigundala didapati dalam Negarakertagama pupuh 88/3 baris 4 hal 37.
Undang-undang tersebut disusun dengan latar belakang bahwa kerajaan Majapahit
merupakan suatu kerajaan yang rakyatnya sebagian besar hidup dari hasil-hasil
pertanian. Dalam kitab undangundang yang disebut agama, terdapat lima pasal di
antara 271 pasalnya yang mengatur masalah tanah. Tanah menurut undang-undang
agama dalam kerajaan Majapahit adalah milik raja. Rakyat hanya mempunyai hak
untuk menggarap dan memungut hasilnya tetapi tidak memiliki tanah tersebut, hak
milik atas tanah tetap ada pada raja.
11
DAFTAR PUSTAKA
12