Anda di halaman 1dari 15

TANAH ULAYAT DI DAERAH FLORES,

PULAU ADONARA, NUSA TENGGARA TIMUR

Disusun oleh :
Kelas B Kelompok 3

1. Diva Fadhilah Mardhika Putri NIT : 22314009


2. Eka Putri Syelina Daud NIT : 22314010
3. Farrel Arkhan Putra NIT : 22314012
4. Fitriani Marifatul Jannah NIT : 22314014

Dosen Pengampu:
Drs. Abdul Haris Farid, M.Si.

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV PERTANAHAN


SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
YOGYAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat,
karunia, dan hidayah-Nya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini dengan tuntas
dan baik, meskipun masih terdapat banyak kekurangan di dalamnya. Kami berharap bahwa
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dalam rangka menambah wawasan, ilmu
pengetahuan, dan referensi. Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik, saran, dan
usulan yang membangun dari pembaca sekalian, yang akan kami gunakan sebagai masukan bagi
kami guna menyusun makalah yang lebih baik lagi di kemudian hari. Mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa adanya sebuah kritik.

Yogyakarta, 06 Maret 2023


Tim Penyusun Makalah,

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ ii


DAFTAR ISI ............................................................................................................................. iii
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 3
C. Tujuan ......................................................................................................................... 3
BAB II. PEMBAHASAN .............................................................................................................5
A. Sistem Kepemilikan .................................................................................................... 5
B. Contoh Konflik ............................................................................................................... 5
C. Peranan Kepala Adat Menggunakan Hukum Adat .................................................. 9
D. Peran Kepala Adat Menggunakan Hukum Nasional .............................................. 10
BAB III. PENUTUP ................................................................................................................... 11
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 11
B. Saran .............................................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................. 12

iii
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanah adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan sumber kehidupan bagi
makhluk hidup di bumi baik manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan. Sebagai bagian dari
makhluk hidup, manusia dipercaya untuk mengelola, menggunakan, dan mengeksploitasi
bumi salah satunya yaitu tanah, manusia hidup dan tinggal diatas tanah dan memanfaatkan
tanah untuk sumber kehidupan. Manusia mendapatkan kepercayaan tersebut karena memiliki
alasan agar dapat bercocok tanam, menggunakan dan memanfaatkan tanah secara arif dan
bijaksana. Mengingat pentingnya tanah karena dapat menghasilkan sumber daya alam yang
sangat bermanfaat bagi orang banyak, maka harus diatur oleh pemerintah. Tanah merupakan
modal dasar pembangunan, dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, kehidupan mereka
bergantung pada kepentingan negara, dan mereka memiliki hubungan yang abadi dengan
negara dan rakyat.
Tanah ulayat adalah tanah yang dimiliki secara turun temurun oleh masyarakat adat atau
suku bangsa tertentu, di mana tanah tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas
budaya, spiritual, dan sosial mereka. Tanah ulayat menjadi simbol keberlangsungan hidup
dan warisan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan untuk generasi selanjutnya. Konsep
hukum adat sebagai dasar pembentukan hukum agraria di Indonesia bukanlah sesuatu yang
mudah dan tidak terjadi secara kebetulan. Konsep ini dipilih dengan memperhatikan
kepribadian bangsa dan falsafah hidup bangsa Indonesia, sehingga hukum adat dan hak ulayat
diakui sebagai ciri khas hukum agraria Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai dari
hukum adat dan hak ulayat memiliki tempat yang penting dalam perundang-undangan
Indonesia. Hukum adat merupakan kristalisasi nilai-nilai hidup dan kehidupan bangsa
Indonesia, yang menjadi bagian dari kepribadian dan keberlanjutan kehidupan masyarakat
Indonesia.
Tanah exswapraja dan tanah ulayat adalah dua istilah yang berkaitan dengan tanah adat
atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat adat Indonesia secara turun-temurun. Namun,
ada perbedaan penting antara kedua istilah tersebut. Tanah exswapraja adalah tanah yang
sebelumnya dikuasai raja atau penguasa daerah tertentu, tetapi kemudian diambil alih oleh
pemerintah kolonial Belanda pada masa penjajahan. Setelah kemerdekaan, tanah exswapraja

1
diubah menjadi tanah negara yang dikelola oleh pemerintah Indonesia. Namun, tanah ulayat
adalah tanah adat yang dimiliki oleh masyarakat adat di wilayah tersebut. Masyarakat adat
umumnya menguasai dan menggunakan tanah adat secara tradisional dan merupakan bagian
integral dari identitas dan budaya mereka. Perbedaan antara tanah exswapraja dengan tanah
ulayat terletak pada asal mula pemilikan dan penguasaannya. Tanah exswapraja berasal dari
milik raja atau penguasa daerah, sedangkan tanah ulayat berasal dari milik penduduk asli.
Pengelolaan lahan exswapraja dikelola oleh pemerintah, sedangkan pengelolaan tanah ulayat
dikelola oleh masyarakat adat sendiri. Namun, banyak kasus di mana kepemilikan dan hak
pengelolaan tanah ulayat terancam oleh perampasan tanah ulayat oleh pihak tertentu,
termasuk negara atau perusahaan swasta. Hal ini menimbulkan konflik antara masyarakat
adat dengan pihak yang mencoba mengambil alih tanah adat. Sehubungan dengan
perlindungan hak-hak masyarakat adat atas tanah bersama, baik tanah exswapraja maupun
tanah ulayat harus mendapat perlindungan yang sama. Upaya harus dilakukan untuk
menghormati hak-hak masyarakat adat atas tanah adat mereka dan untuk menghindari
tindakan yang dapat merusak hak-hak mereka.
Suku Adonara merupakan salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah Nusa Tenggara
Timur, memiliki luas wilayah 509 km² dan berbatasan dengan Laut Flores di sebelah utara,
Selat Solor di sebelah selatan, dan Selat Lowotobi di sebelah barat. Memiliki tanah ulayat
yang terletak di sebelah timur Pulau Flores, Indonesia. Karena letaknya yang strategis,
masyarakat di pulau ini dapat mudah bepergian ke pulau tetangga seperti Lembata, Solor, dan
Flores bagian timur menggunakan kapal motor yang beroperasi dari pagi hingga malam.
Pulau Adonara hanya memiliki satu gunung berapi yang disebut Boleng. Penduduk lebih
banyak tinggal di daerah pesisir dan bukit yang mudah dijangkau melalui jalan raya utama.
Meskipun begitu, masih banyak lahan kosong yang belum ditempati oleh penduduk karena
akses ke sumber daya alam dan fasilitas seperti air, listrik, dan jalan masih terbatas.
Keterbatasan akses jalan juga menyebabkan banyak penduduk memilih tinggal di daerah
yang memiliki fasilitas yang memadai. Tanah di Pulau Adonara cukup subur dibandingkan
dengan pulau-pulau tetangganya, sehingga banyak komoditi andalan seperti kelapa, kopi, dan
kemiri ditemukan di sana.
Suku Adonara adalah sebuah pulau subur di ujung timur Pulau Flores. Orang asli Adonara
berasal dari keturunan Sedo Lepan, seorang manusia primitif pertama yang tiba di Pulau

2
Adonara. Sedo Lepan hidup sendirian selama bertahun-tahun sampai suatu ketika datang
seorang laki-laki bernama Kelake Ado Pehan dari pulau Lembata. Kelake Ado Pehan dituduh
sebagai suanggi yang menyebabkan meletusnya Gunung Adowojo dan diusir dari pulau
Lembata. Ia menggunakan perahu kelapa dan terdampar di selatan Pulau Adonara, di mana
ia bertemu dengan Sedo Lepan dan menjadi manusia pertama yang datang dari luar Pulau
Adonara. Di Adonara, juga terdapat sistem pemerintahan berdasarkan suku yang dipimpin
oleh seorang kepala suku. Ada juga kaum bangsawan yang turut berperan dalam sistem
pemerintahan adat, yang disebut Ata Kebelen dalam bahasa Lamaholot. Kepala suku
bertanggung jawab dalam upacara adat dan hal-hal spiritual, sementara Ata Kebelen
memegang kekuasaan pemerintahan seperti kepala dusun, desa, lurah, atau camat. Keduanya
memiliki hubungan yang baik dan tidak saling melangkahi kewenangan masing-masing.
Suku Adonara memiliki dua pengertian yang berbeda. Pertama, berasal dari kata Ado dan
Nara yang artinya Ado punya kampung, suku bangsa, keturunan, dan kaum kerabat. Kedua,
berasal dari kata Adoknara yang berarti mengadu domba antar kampung, suku bangsa, dan
kaum kerabat yang merujuk pada watak khas orang Adonara yang gemar berperang. Adonara
sering dikaitkan dengan Adu Darah, yakni perang tanding yang terjadi di pulau itu. Masalah
tanah menjadi pemicu utama terjadinya pertikaian berdarah di Adonara karena watak
menyelesaikan sengketa tanah dengan cara kekerasan sudah menjadi hal biasa bagi nenek
moyang orang Adonara yang ditempa dengan kehidupan yang keras.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem kepemilikan tanah di Adonara?
2. Apa saja contoh konflik di Adonara?
3. Bagaimana peranan Kepala Adat dalam penyelesaian sengketa tanah yang menggunakan
Hukum Adat di Adonara ?
4. Bagaimana peran Kepala Adat dalam penyelesaian sengketa tanah yang menggunakan
Hukum Nasional di Adonara ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sistem kepemilikan tanah yang ada di Adonara.
2. Untuk memahami serta mengetahui apa saja konflik yang ada di Adonara.

3
3. Untuk mengetahui apa saja peranan Kepala Adat dalam menyelesaikan sengketa tanah
yang menggunakan Hukum Adat.
4. Untuk mengetahui bagaimana peran Kepala Adat dalam menyelesaikan sengketa tanah
yang menggunakan Hukum Nasional.

4
BAB II. PEMBAHASAN

A. Sistem Kepemilikan
Suku Adonara dalam pengunaan lahan yang ditanami keluarga hanya 1,09 ha.
Kepemilikan lahan petani umumnya merupakan tanah suku/marga dan berdasarkan
suku/marganya lahannya hanya digunakan seluas-luasnya hanya untuk pertanian. Setiap
keluarga batih hanya mendapatkan lahan dari orang yang pertama kali membuka hutan
dengan memberi kepala kambing atau babi. Lahan yang diberikan bagi keluarganya hanya
dapat digarap turun-temurun. Sementara untuk penguasaan dan pewarisan lahan tidak
dapat diwariskan. Sengketa yang terjadi di Adonara ini terkait dengan urusan batas tanah
antar suku yang sudah disepakati sejak nenek moyang. Di Adonara sendiri lahan-lahan
yang bersertifikat jumlahnya hanya sedikit. Hal ini dikarenakan belum ada penataan ruang
yang jelas dalam memetakan lahan. Penataan ruang yang berdasarkan fungsi hanya dapat
dilakukan PERDES ataupun Peraturan Adat. Peraturan ini memuat fungsi tata ruang yang
mencakup pemikiman, daerah pertanian, daerah peternakan, dan daerah penyanggga air.

B. Contoh Konflik
Ada dua konflik yakni kasus pertama adalah terjadinya Perang Tanding antar warga
Desa Redontena dan Adobala di Kecamatan Klubagolit, Kabupaten Flores Timur,
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Perang Tanding pecah karena persoalan tanah garapan
yang berada di perbatasan kedua desa tersebut. Wakapolres Flores Timur, Komisaris
Polisi David Yosef menjelaskan, bahwa persoalan tanah garapan di batas wilayah kedua
desa merupakan persoalan lama, yang sudah menjadi sejarah pertarungan dua desa
tersebut. Pada tahun 1952 pernah terjadi Perang Tanding dengan pemicu perebutan tanah
garapan di batas wilayah kedua desa, dan Perang Tanding muncul lagi dengan pemicu
yang sama pada tahun 1982. Laurensius Molan (2012) menjelaskan, bahwa telah terjadi
Perang Tanding antara Suku Lewonara versus Suku Lewobunga di Pulau Adonara,
Kabupaten Flores Timur. Perang Tanding dilakukan, karena kedua suku tersebut
mengklaim kepemilikan tanah ulayat yang selama ini ditempati oleh warga dari Suku
Lewobunga. Perang Tanding dilakukan untuk membuktikan kebenaran klaim masing-
masing, caranya melalui pertumpahan darah pada awal Oktober 2012. Kedua suku

5
tersebut terlebih dahulu menetapkan lokasi Perang Tanding, serta hari dan tanggal
pelaksanaan pertarungan. Kedua suku menggunakan senjata masing-masing, yang terdiri
dari parang, tombak, dan panah.
Perselisihan antara warga Desa Redon Tena dengan warga Desa Adobala,
Kecamatan Kelubagolit, Adonara, Kabupaten Flores Timur terjadi pada hari Selasa, 4
Juni 2013, kembali memanas. Warga dua desa tersebut Perang Tanding selama tiga hari
berturut, tanggal 4-6 Juni 2013, tetapi tidak ada korban jiwa. Warga dua desa tersebut
saling klaim tanah sengketa di wilayah perbatasan, yang berupa kebun dan dikelola oleh
warga dari dua desa tersebut. Mereka saling membakar pondok yang dibangun di kebun
serta semak belukar. Pembakaran pondok memicu Perang Tanding (Sifah, 2013). Asisten
I Sekretariat Daerah Flores Timur, Abdul Razak Jakra, menyatakan bahwa pemerintah
bersama Muspida sudah turun ke lapangan untuk meredam situasi. Peristiwa ini terjadi
karena perebutan lahan di perbatasan antar dua desa tersebut. Saling klaim oleh warga
dua desa telah memicu ketegangan warga dua desa tersebut, yang berujung Perang
Tanding. Tetapi pemerintah telah turun langsung ke lokasi perbatasan bersama
masyarakat dua desa itu, namun masih terjadi peperangan. Asisten I Setda Flotim tersebut
menyatakan, Bupati Flores Timur telah menemui dua warga yang Perang Tanding, dan
meminta warga tidak melanjutkan peperangan. Pemerintah akan mencari solusi untuk
menyelesaikan konflik tanah adat ini (Sifah, 2013). Sementara itu, Simon Sabon Ola
(2008) menyatakan, bahwa persepsi budaya dan nilai-nilai tindakan merupakan pedoman
bagi perilaku suatu komunitas. Ia mencontohkan warga Komunitas Lamaholot yang
memandang bahwa duel (tanding) merupakan mekanisme untuk membuktikan
kebenaran. Hal ini memperlihatkan koneksi nilai-nilai budaya dengan kisah tentang duel
ritual (ritual tanding). Nilai-nilai budaya yang dipraktekkan adalah: self awareness
(kesadaran diri) dan justness (keadilan) sebagai dasar kemanusiaan dan keyakinan yang
diperankan oleh para leluhur atau nenek moyang (the ancestors). Sebagaimana diketahui,
self awareness adalah sikap seseorang yang berupaya memperhatikan pikiran, perilaku,
perasaan dan dampaknya terhadap orang lain. Perang Tanding dapat dihambat dengan
mempromosikan trust, yaitu kemauan seseorang untuk bertumpu pada orang lain di mana
ia memiliki keyakinan pada orang tersebut.

6
Oleh karena itu, Kantor Pertanahan perlu melakukan bina sosial dalam bingkai
pemberdayaan masyarakat, dengan cara sebagai berikut:
1. Mempengaruhi dan membina kondisi mental para pihak yang berkonflik dengan
didasarkan oleh situasi yang relevan dengan konteks sosial.
2. Mempengaruhi pengambilan keputusan para pihak yang berkonflik, agar lebih memilih
keputusan demi kepentingan bersama.
3. Menanamkan dan membangun sikap saling percaya di antara para pihak yang
berkonflik sebagai pondasi hubungan di antara mereka.
4. Menjadikan kepercayaan sebagai suatu katalis dalam interaksi para pihak yang
berkonflik, agar terwujud harmoni sosial.
5. Membangun kepekaan para pihak yang berkonflik terhadap sikap dan tindakan pihak
lain, sehingga mampu mendeteksi potensi konflik sejak dini.
Adapun contoh konflik lainnya yaitu Konflik tanah antara Desa Lamahala dan
Horowura berlangsung selama 2 tahun. Terjadinya konflik pertama pada tahun 2009
dimana Desa Horowura dan Lamahala sama–sama mempertahankan tanah sengketa
tersebut. Desa Lamahala mempertahankan dengan alasan tanah tersebut merupakan tanah
peninggalan nenek moyang mereka. Dari desa Horowura juga mempunyai alasan yang
dimana tanah tersebut milik mereka karna mereka membuat perkebunan sudah dari sekian
tahun lamanya. Awal terjadinya perseteruan perang karena karena penggunaan lahan
pertanian di perbatasan kedua desa itu yang selama ini dikelola secara bersama-sama
kemudian masing-masing saling mengklaim bahwa ini areal pertanian kami. Padahal,
dalam penuturan sejarahnya kedua desa ini memiliki cerita bahwa mereka adalah
bersaudara. "Lein lau weran rae' yang kurang lebih artinya bahwa tanah yang
disengketakan itu adalah milik bersama. Di tahun 2010-2011 ini tidak adanya
penyelesaian dari kedua desa tersebut tapi pemerintah tetap berupaya mencari jalan keluar
untuk menyelesaikan sengketa itu. Pada tahun 2012 terjadi konflik lagi karena warga
Desa Lamahala mengetahui warga Horowura menggunakan lahan tersebut untuk
berkebun sedangkan tanah tersebut belum ada pembagian yang jelas dari proses hukum
maupun dari proses adat tersebut. Warga Lamahala awalnya tidak mau berperang namun
ada warga dari Horowura dan lainnya merusak tanaman warga Lamahala sehingga terjadi
perang. Pengakuan yang sama juga diakui oleh warga Horowura bahwa kebun mereka

7
yang sudah berisi tanaman ditebang oleh warga Lamahala. Perang ini banyak memakan
korban dari desa Lamahala maupun Desa Horowura.
Lamahala merupakan salah satu desa yang ada di pesisir pantai Kecamatan Adonara
Timur, Kabupayen Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Desa ini merupakan
satu dari 21 desa dan kelurahan yang berada di Kecamatan Adonara Timur. Desa ini pada
tahun ini memiliki penduduk yang berjumlah 845 jiwa yang terdiri dari 467 Laki – laki
dan 378 Perempuan. Keberadaan Kepala Adat merupakan orang yang paling dihormati
oleh masyarakat adat Desa Horowura dan dapat menyelesaikan sengketa adat karena
memahami hukum adatnya. Berdasarkan hal itu diperlukan peran Kepala Adat untuk
menyelesaikan sengketa tanah Adat antara Desa Lamahala dan Desa Horowura. Keadaan
masyarakat Desa Horowura yang bersifat komunal yang sangat mementingkan peranan
seorang pemimpin sebagai Kepala Masyarakat, khususnya Kepala Adat. Kepala Adat
sangat penting untuk mengkoordinir dan memotivasi masyarakat agar tingkah lakunya
sesuai dengan ketentuan hukum. Hal ini tidak lain karna tugas yang dihadapi oleh Kepala
Adat sangat berat, terutama yang berkaitan dengan hukum Adat, baik yang berhubungan
dengan kehidupan maupun kematian. Sehingga dengan pengetahuan adat dan hukum
Adat yang dimilikinya tersebut, Kepala Adat diharapkan dapat melaksanakan tugas
memelihara, menjalankan, dan menyelesaikan permasalahan yang dibebabkannya.
Masyarakat Desa Lamahala dalam persekutuan hidup bersama tidak mungkin dapat
menyelesaikan masalahnya sendiri kecuali adanya campur tangan pihan fungsionaris
Hukum Adat, karena itu untuk menyelesaikan segala permasalahan dalam masyarakat
semua tertumpu kepada Kepala Adat. Hal ini sebagai wadah masyarakat dalam
menyelesaiakan permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh anggota masyarakat
adat. Kenyataan yang dialami oleh masyarakat Desa Lamahala jika mereka terlibat
konflik tanah dan satu-satunya tempat masyarakat Lamahala merasa yakin jika segala
masalah atau koflik tanah yang dapat diselesaikan oleh Kepala Adat, maka semua anggota
masyarakat akan mentaati dan menghormati segala putusan yang telah dibuatnya. Dalam
mencari jalan penyelesaian mengenai konflik tanah yang terjadi, masyarakat Adonara
menghendaki adanya penyelesaian yang rukun dan damai tidak saja terbatas pada pihak
yang berselisih tetapi juga semua pihak yang terkait dalam konflik tanah tersebut.
Pemerintah Desa Lamahala dan Badan Permusyawaratan Desa nantinya akan bekerja

8
secara bersama-sama untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam upaya
mengatur serta mengurus kepentingan masyarakatnya yang berdasarkan pada asal usul
dan adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

C. Peranan Kepala Adat Menggunakan Hukum Adat


Adapun peranan kepala adat dalam penyelesaian sengketa tanah Nepang dengan
menggunakan hukum adat dan kebiasaan masyarakat setempat yaitu:
1. Memimpin dan melakukan musyawarah dengan anggota keluarga dan
masyarakatnya.
Musyawarah ini bertujuan mecari pokok permasalahan, hal yang akan menjadikan konflik,
serta langkah yang diambil apabila menjadi konflik yang berkepanjangan. Musyawarah ini
diadakan di Balai adat (Orin Bele). Pada tahan ini Kepala Adat memberi tahu kepada
masyarakatnya agar menahan diri agar tidak pecah konfliknya yang dapat menyebabkan
pertumpahan darah.
2. Melakukan Sumpah Adat
Sumpah adat merupakan sumpah yang didahului dengan ritual adat yang dianggap sacral
dan bila tidak dilakukan akan menimbulkan bencana atau jatuhnya korban jiwa. Bencana
yang timbul ini biasanya tergantung pada perjanjian saaat waktu pengucapan sumpah
biasanya berupa wabah penyakit yang menyerang desa maupun hasil panen yang menurun
setiap tahunnya. Sumpah adat ini biasanya didahului dengan “Baulolong” yaitu
menuangkan tuak ke tanah dengan maksud menghormati roh leluhur dan ini bermaksud
agar para leluhur ikut menyaksikan dan memberikan jalan pada saat proses sumpah adat.
3. Mencetuskan dan Memimpin Perang
Perang merupakan tindakan yang dilakukan akibat pelanggaran sumpah adat. Perang juga
dimaksdudkan untuk untuk mengetahui kebenaran dri suatu konflik atau wujud emosi
masyarakat. Dalam perang adat waktu istirahat sesuai dengan kesepakatan masing-masing
kepala adat yang melakukan perang. Dan pada saat waktu istirahat tidak diperkenankan
umtuk melakukan penyerangan dan juga kedua belah pihak diperbolehkan memasuki
kawasan musuh untuk berbincang-bincang.

9
4. Meminta keputusan Raja Adonara sebagai penguasa atas seluruh tanah di
Adonara
Kepala adat meminta keputusan Raja Adonara yang bernama Raja Arakian Kamba
sebagai penguasa seluruh tanah di Adonara untuk menentukan kepemilikan tanah
Nepang. Masyarakat desa Adonara lebih percaya dan patuh terhadap hukum adat
dibanding hukum nasional. Jadi selama terjadinya sengketa tanah Nepang tidak ada peran
dari Raja Adonara umtuk menyelesaikan sengketa. Sedangkan untuk menyelesaikan
sengketa tanah Nepang Raja Adonara diharuskan mengeluarkan keputusan melalui
lembaga adatnya.

D. Peran Kepala Adat Menggunakan Hukum Nasional


Peran kepala adat dalam penyelesaian sengketa Tanah Nepang dengan menggunakan
Hukum Nasional dipilih karena upaya penyelesaian sengketa tanah Nepang menggunakan
hukum adat tidak berhasil. Hukum adat tentunya tidak berlebihan karena masalah tanah
adalah masalah hidup mati bagi orang di Adonara. Tanah merupakan tempat tempat untuk
mencari penghasilan dan tempat mereka tinggal, selebihnya lagi mayoritas penduduk
disana bekerja sebagai petani.

10
BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan
Suku Adonara memiliki dua pengertian yang berbeda. Pertama, berasal dari kata Ado dan
Nara yang artinya Ado punya kampung, suku bangsa, keturunan, dan kaum kerabat. Kedua,
berasal dari kata Adoknara yang berarti mengadu domba antar kampung, suku bangsa, dan
kaum kerabat yang merujuk pada watak khas orang Adonara yang gemar berperang. Adonara
sering dikaitkan dengan Adu Darah, yakni perang tanding yang terjadi di pulau itu. Sistem
kepemilikan lahan di Adonara hanya berdasarkan suku/marganya, karena penguasaan dan
pewarisan lahan tidak dapat diwariskan. Berbagai penyelesaian sengketa tanah yang
dilakukan oleh Kepala adat di Adonara yaitu dengan melakukan musyawarah dengan anggota
keluarga dan masyarakatnya, melakukan sumpah adat, memimpin perang, dan meminta
keputusan Raja Adonara untuk menentukan kepemilikan tanah. Akan tetapi, penyelesaian
tanah yang menggunakan Hukum Nasional dipilih karena upaya penyelesaian sengketa tanah
Nepang menggunakan hukum adat tidak berhasil.

B. Saran
Saran yang dimiliki ialah agar kedepannya dalam penanganan konflik terkait tanah ulayat
bisa dilakukan berbagai upaya oleh pemerintah. Selain oleh tetua adat yang di tuakan dalam
sebuah suku pemerintah juga harus memberikan sosialisasi kepada masyarakat suku adat
sehingga di harapkan kedepannya penyelesaian konflik dengan cara kekerasan ataupun
perang yang bisa menimbulkan kerugian tidak terjadi lagi. Sosialisasi kepada masyarakat adat
tentu membutuhkan banyak upaya dan pendekatan secara perlahan agar dapat efektif.
Masyarakat adat pun tentu harus lebih berpengetahuan tentang undang-undang yang telah
secara jelas menetapkan tentang tanah ulayat. Jika permasalahan tanah terjadi dalam internal
suku tentu masih bisa di selesaikan secara damai dengan bantuan tetua adat sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang telah ada dan di tetapkan oleh nenek moyang adat masing-masing
secara turun-termurun.

11
DAFTAR PUSTAKA
Kuswardono, Torry, and Ody Messakh. Status Pemenuhan Hak Dasar di Pulau Adonara
dan Solor. PIKUL Society.
Dyatmika, Gede Dewangga Prahasta. Peran Kepala Adat dalam Penyelesaian Sengketa
Tanah Nepang antara Desa Adobala dengan Desa Redontena di Kecamatan Klubagolit,
Adonara (Studi di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur). Diss. Brawijaya
University, 2015.
Patymoa, Desy Ratna Praharsa Atwiki. PERAN KEPALA ADAT DALAM
PENYELESAIAN KONFLIK TANAH ADAT ANTARA DESA LAMAHALAH DAN
DESA HOROHURA DI PULAU ADONARA (Studi Kasus di Flores Timur, Nusa Tenggara
Timur). Diss. University of Muhammadiyah Malang, 2017.
Nugroho, Aristiono, and Suharno Suharno. "Konflik Tanah Adat: Perang Antar Warga,
Distrust, Dan Trust (Studi di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Provinsi NTT)."
(2019): 65-73.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ae45545b7ad4/perbedaan-tanah-adat-
dengan-tanah-ulayat/
https://kumparan.com/@kumparannews/tanah-ex-swapraja-dan-tanah-ulayat-pengertian-
dan-perbedaannya-1559881023137832861
https://www.atrbpn.go.id/pengertian-tanah-ulayat-dan-perlindungan-hukumnya/
https://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/suku-adonara

12

Anda mungkin juga menyukai