LAPORAN
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga jurnal
ini berhasil diselesaikan tepat pada waktunya dengan judul Pola Kehidupan Masyarakat
Hukum Adat Dayak Lundayeh Di Wilayah Kalimantan Utara. Penyusunan laporan jurnal ini
merupakan syarat untuk menyelesaikan Penilaian Akhir Semester pada Program Studi S1 Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Borneo Tarakan.
Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan dukungan sehingga jurnal ini dapat terselesaikan. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Marthen B Salinding, S.H.,M.H dan bapak Dr.
Marthin, S.H.,M.H selaku dosen pengampu Mata Kuliah Hukum Adat.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Salah satu suku Dayak yang sejak lama mendiami Kalimantan Utara adalah suku
Dayak lundayeh. Masyarakat hukum adat dalam kriteria meneliti masyarakat hukum adat
suku Dayak Lundayeh di Malinau disesuaikan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945,
pada pasal 18B yang terdapat empat syarat, yaitu ada masyarakat hukum adatnya, dalam
kesehariannya masyarakat hukum adat tunduk pada hukum adatnya, terdapat lembaga
adatnya yang menjalankan hukum adatnya, serta ada wilayahnya. Salah satu wilayah
Malinau daerah Long Loreh yang mayoritasnya Dayak Kenyah dan Dayak Merap, daerah
Malino yang mayoritasnya Dayak Blusu, daerah Krayan yang mayoritasnya Dayak
Kenyah, Dayak Kayan, Dayak Lundayeh, dan daerah Tanjung Lapang yang
mayoritasnya asli Dayak Lundayeh
Kebudayaan daerah di Kalimantan Utara cukup beragam dan khususnya di daerah
pedalaman. Di mana kebiasaan (tradisi) yang dahulu dilakukan oleh nenek moyang
secara turun-temurun diwariskan ke generasi berikutnya. Salah satu kebudayaan tersebut
adalah ritual Nuy Ulung yang menjadi salah satu tradisi yang sering dilakukan oleh
masyarakat Lundayeh di Desa Long Bisai Kecamatan Mentarang Kabupaten Malinau.
1
1.3. Manfaat Penelitian
a) Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu sosiologis, antropologi, serta menjadi bahan atau sumber
literatur bagi penulis dan peneliti lain yang ingin mengkaji tentang kebudayaan
suku Dayak Lundayeh khususnya tentang pengaruh hukum terhadap masyarakat
hukum adat, sukuDayak Lundayeh di wilayah Kalimantan Utara.
b) Manfaat praktis
Untuk memberi manfaat dan pengetahuan baru yang berkaitan dengan
kebudayaan Indonesia khususnya suku Dayak Lundayeh.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Suku Dayak Lundayeh
3
menerima perubahan, yang menyebabkan agama Kristen dapat tersebar dengan sangat
cepat dalam kehidupan masyarakat Lundayeh. Di dalam adat dan tradisi tua seperti
kebudayaan Lundayeh, religi terutama berpusat pada kesadaran komunitas, yang
memperhatikan adanya keterkaitan yang sangat erat, antara unsur manusiawi, alam, dan
unsur supranatural. Hal tersebut merupakan manifestasi dari sistem budaya yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat Lundayeh, yang kemudian melahirkan suatu
sistem kepercayaan (believe system).
Apabila kita berbicara tentang makna religi dalam kerangka kebudayaan Lundayeh
sebelum masuknya pengaruh agama Kristen, menurut Yakub Melay, kepercayaan
Dayak Lundayeh sebelum masuknya agama Kristen pada tahun 1932 adalah
kepercayaan animisme, dinamisme, dan totemisme. Mereka tidak melakukan
pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa (the one God), melainkan pengabdian
kepada suatu panteon yang terdiri dari roh nenek moyang dan kekuatan gaib alam
semesta (an chestral believe).
Masuknya Injil yang dibawa oleh dua orang Amerika Serikat bernama Press Wood
dan M. Walter ke daerah Krayan pada tahun 1932 menyebabkan terjadinya perubahan
sistem religi atau keyakinan suku Dayak Lundayeh dan hingga saat ini mayoritas
beragama Kristen.
2.2. Upaya dalam Melestarikan Ritual Nuy Ulung Kebudayaan Dayak Lundayeh
a. Pelestarian Ritual Nuy Ulung sebagai bentuk Kesadaran Kolektif suku dayak Lundayeh
di desa Long Bisai
Pelestarian yang dilakukan terhadap ritual Nuy Ulung suku dayak Lundayeh
merupakan representasi kolektif suku dayak Lundayeh di desa Long Bisai. Hal yang
bisa ditemukan dalam proses tersebut adalah terdapat simbol material seperti isyarat,
ikon, dan gambar atau suatu kegiatan yang berhubungan dengan upacara adat seperti
ritual.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep Kesadaran Kolektif sebagai
acuan dalam data yang dikembangkan oleh tokoh Sosiologi yaitu Emile Durkheim,
menyatakan bahwa Kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma,
dan kepercayaan bersama, lebih dari masyarakat modern. Kesadaran Kolektif secara
turun temurun sejak nenek moyang suku dayak Lundayeh khususnya di desa Long Bisai
dalam prosesnya telah membentuk suatu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama
4
dalam komunitas tersebut untuk melakukan pelestarian terhadap warisan budaya
leluhur mereka termasuk ritual Nuy Ulung.
Desa Long Bisai adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Mentarang
Kabupaten Malinau yang merupakan hasil pembagian dari Desa Singai Terang dan
dimekarkan menjadi Desa Long Bisai pada tahun 1980. Berbagai upaya telah dilakukan
suku dayak Lundayeh di desa Long Bisai untuk melestarikan budaya Nuy Ulung.
b. Tujuan Pelestarian Ritual Nuy Ulung suku dayak Lundayeh di Desa Long Bisai
Ritual ini telah ada sejak dahulu dan terus diwariskan dari satu generasi ke generasi
selanjutnya. Pada era modern ini, sangatlah tidak dimungkinkan dilaksanakannya ritual
Nuy Ulung tersebut. Hal ini (mengambil kepala seseorang dengan alasan apapun)
jelaslah bertentangan dengan hukum yang berlaku di negara kesatuan republik
Indonesia. Namun suku dayak Lundayeh di desa Long Bisai terus melestarikan ritual
Nuy ulung tersebut hingga saat ini, meski jika kita melihat secara sekilas arti ritual
tersebut bertentangan dengan norma yang ada dalam kehidupan masyarakat saat ini.
Beberapa tafsiran terhadap fenomena tersebut berdasarkan hasil penelitian dapat
penulis jabarkan sebagai berikut:
1) Saat ini budaya Nuy Ulung yang dilaksanakan di desa Long Bisai bukan
merupakan ritual untuk merayakan kemenangan atas perang dengan suku lain,
tetapi lebih kepada ungkapan rasa syukur atas persatuan masyarakat di desa
Long Bisai yang terdiri dari berbagai suku dan agama.
2) Menjaga warisan budaya nenek moyang mereka agar tetap ada dari satu generasi
ke generasi berikutnya sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur merupakan
tujuan utama mereka melestarikan ritual Nuy Ulung tersebut. Selain itu
pelaksanaan ritual ini juga merupakan bentuk ungkapan syukur untuk persatuan
masyarakat yang ada di desa Long Bisai. Hal ini tentu relevan dengan norma
adat masyarakat setempat yang mengharuskan mereka untuk taat dan
menghormati warisan leluhur nenek moyang.
3) Ritual Nuy Ulung ini bersifat upacara sakral (memiliki unsur magic/supranatual)
bagi suku dayak Lundayeh, maka setiap perkamen ritual ini tidak boleh
menyimpang. Hal ini dikarenakan prosesi ritual Nuy Ulung ini memiliki tata
cara upacara yang baku dan jika seseorang salah dalam melaksanakan upacara
sakral ini maka orang tersebut akan mengalami musibah. Karena inilah perlu
adanya pelestarian ritual Nuy Ulung termasuk prosesinya (tata cara upacara
5
adat) agar setiap generasi memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang tata
cara upacara yang benar dari ritual Nuy Ulung tersebut.
4) Sebagai masyarakat adat, suku dayak Lundayeh di desa Long Bisai hidup dalam
budaya adat yang kental. Melestarikan ritual Nuy Ulung ini adalah sebagai
bentuk identitas mereka untuk menunjukkan wilayah tersebut sudah memiliki
tuannya sendiri dan hal ini menjadi pesan bagi suku lainnya untuk menghormati
menghargai kearifan lokal dari budaya suku tersebut serta bersama-sama
menjaga perdamaian (walau berbeda suku dan agama) dan bersatu membangun
daerah tersebut untuk kehidupan.
Berlakunya hukum adat perkawinan, tergantung pada pola susunan masyarakat adatnya.
Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia, perkawinan itu bukan saja merupakan
perikatan, adat melainkan juga perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Dapat dikatakan
bahwa menurut hukum adat, suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat
terhadap hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-istri, harta bersama,
kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-
6
hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta
menyangkut upacara-upacara adat dan agama.
Perkawinan dalam arti perikatan adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat
hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan yang mana
akibat hukum ini telah ada sejak sebelum pekawinan terjadi, yaitu misalnya adanya
hubungan pelamaran. Setelah terjadi ikatan perkawinan, maka timbul hak- hak dan
kewajiban-kewajiban orang tua menurut hukum adat, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat
dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan
kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan. Sistem
kekerabatan ini merupakan faktor yang sangat penting bagi ketentuan perkawinan dan
masalah pewarisan hukum adat yang bersifat genealogis (keturunan/kekerabatan), yaitu
sebagai berikut.
1) Patrilineal, yaitu sistem kekerabatan dengan pertalian keturunan menurut garis
laki-laki/bapak. Contoh di Batak, Bali dan Ambon. Patrilinial susunan
masyarakat ditarik menurut garis keturunan bapak/lelaki. Contohnya di Batak,
mudah kita kenali dari nama marganya seperti Situmorang, Sinaga, Nainggolan,
Simatung, Aritonang, Siregar, dan lain sebagainya.
2) Matrilineal, yaitu sistem kekerabatan dengan pertalian keturunan menurut garis
perempuan/ibu. Contoh di Minangkabau, Kerinci dan Semendo di Sumatra
Selatan.
3) Parental/Unilateral, yaitu sistem kekerabatan dengan memperhitungkan/
menghubungkan garis keturunan baik dari pihak ibu maupun bapak. Contoh
Jawa, Sunda, Aceh dan Dayak.
Berdasarkan pengertian perkawinan menurut hukum adat, maka tujuan perkawinan bagi
masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah mempertahankan dan
meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk
kebahagiaan rumah tangga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan
kebudayaan, dan untuk mempertahankan kewarisan.
Perkawinan bagi manusia didunia bukan sekedar persetubuhan antara jenis kelamin
yang berbeda sebagaimana makhluk lainnya. Akan tetapi, perkawinan bertujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, bahkan dalam pandangan masyarakat adat
7
perkawian itu bertujuan untuk membangun dan memelihara hubungan kekerabatan yang
rukun dan damai.
Adapun tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, khususnya penjelasan pasal 1 dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Agar tercapainya keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan tujuan
perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka kebahagiaan itu
harus dirasakan oleh semua anggota keluarga baik itu suami, istri dan anak-anak.
Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat Indonesia pada
umumnya bagi penganut agama, tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat yang
bersangkutan. Bagi masyarakat yang menganut agama yang diakui pemerintah Indonesia
yaitu agama Islam, agama Kristen Protestan, agama Kristen Katolik, agama Budha dan
agama Hindu serta 1 (satu) aliran Kepercayaan Kong Hu Cu. Jika perkawinan telah
dilaksanakan menurut tata tertib hukum agama-agama tersebut, maka perkawinan itu sudah
sah menurut hukum adat.
Adapun sahnya perkawinan harus memenuhi syarat-syarat tentang sah perkawinan
seperti yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berlaku
secara umum dalam arti berlaku bagi semua umat beragama yaitu umat Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha maupun penganut kepercayaan lainnya. Hal
ini disebabkan karena berdasarkan Pasal 2 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
bahwa” Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Dengan demikian maka syarat-syarat sahnya perkawinan yang diatur
dalam Pasal 6 sampai 12 UU No.1 Tahun 1974 prihal Perkawinan tentang persyaratan dari
masing- masing hukum agama dianggap saling melengkapi.
Ketentuan yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya perkawinan dalam Pasal 6
sampai dengan Pasal 12 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terbagi atas 2 (dua)
syarat, yaitu:
a. Syarat materiil, syarat yang ditujukan kepada orang yang hendak mengadakan
perkawinan. Syarat materiil (intern) yang diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11
UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, antara lain:
8
1) Adanya persetujuan kedua calon mempelai
2) Harus ada izin dari orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berumur 21
tahun
3) Umur calon mempelai minimal 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita
4) Mempunyai hubungan darah/keluarga yang tidak boleh menikah
5) Tidak terikat dengan suatu perkawinan dengan orang lain
6) Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau isteri yang sama, yang
hendak dikawini
7) Bagi seorang janda, harus lewat waktu tunggu
b. Syarat-syarat Formil
Adapun yang dimaksud dengan syarat formil (ektern), adalah syarat yang ditujukan
dalam melaksanakan perkawinan. Syarat formil diatur dalam Pasal 12 UU No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Pasal 3 sampai dengan Pasal 11 PP No.9 Tahun 1975
tentang Tata Laksana Perkawinan. Tata cara pelaksanaannya khususnya dalam Pasal 3
sampai dengan Pasal 11, terdiri atas 4 (empat) bagian, yaitu:
1) Pemberitahuan
2) Penelitian
3) Pengumuman
4) Pelaksanaan Perkawinan
Disebabkan bagi masyarakat adat Dayak Lundayeh perkawinan merupakan salah satu
peristiwa penting dalam kehidupan secara pribadi, keluarga maupun masyarakat.
Perkawinan bukan hanya berkenaan dengan peristiwa yang berhubungan dengan pribadi
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, akan tetapi juga menyangkut antar
saudara, orang tua, dan keluarga besar, bahkan masyarakat. Perkawinan pada masyarakat
adat Dayak Lundayeh masih memegang kuat tradisi warisan dari leluhur salah satu ciri
bentuk perkawinan pada masyarakat adat Dayak Lundayeh adalah adanya ”purut” sebagai
berikut ”Purut adalah salah satu ciri yang ada dalam perkawinan adat Dayak Lundayeh,
purut merupakan bentuk pembayaran dari pihak laki-laki yang diberikan kepada pihak
perempuan diberikan dalam bentuk uang maupun barang, dengan adanya purut menjadi
9
ikatan dan restu yang diberikan dari masing-masing keluarga terhadap perkawinan yang
dilaksanakan”.
10
membagi permintaan purut yang telah disepakai oleh kedua keluarga, pada umumnya
pembagian jatah pemberian purut disesuaikan dengan kemampuan dari keluarga
pihak laki-laki, artinya pemberian besaran purut dalam bentuk uang maupun jenis
barang disesuaikan dengan tingkat perekonomian keluarga.
d. Purut menunjukkan status dan derajat keluarga
Pemberian purut berupa uang dan barang akan menunjukkan status dan derajat
keluarga dari pihak yang memberikan purut, semakin tinggi nilai pirut yang
diberikan akan menunjukkan derajat dan status yang semakin tinggi dan sebaliknya.
e. Purut berfungsi sebagai utang-piutang
Masyarakat adat Dayak Lundayeh dari pihak keluarga laki-laki secara langsung
maupun tidak langsung juga menempatkan purut sebagai utang-piutang, bantuan
pemberian purut dari keluarga pihak laki-laki untuk membantu orang tua mempelai
laki-laki adalah pembayaran utang atas bantuan purut yang pernah dilakukan orang
tua pihak laki-laki kepada mereka. Bagi orang tua pihak laki-laki pemberian bantuan
purut oleh keluarga merupakan utang yang harus mereka bayar suatu saat ketika
pihak kelurga melakukan acara perkawinan. Pemberian purut dalam perkawinan adat
Dayak Lundayeh yang dilaksanakan secara gotong-royong, bagi masyarakat adat
Dayak Lundayeh memiliki makna kebersamaan dan kerukunan, namun bagi
sebagian masyarakat Dayak Lundayeh, tradisi tersebut justru menimbulkan beban
bagi mereka karena secara tidak langsung menimbulkan ikatan utang-piutang.
2) Tahapan Perkawinan Adat Dayak Lundayeh
Proses perkawinan adat Dayak Lundayeh mulai dari proses perkenalan sampai
denganpelaksanaan perkawinan memiliki tahapan secara terinci sebagai berikut:
a. Ngukap Tang
Tahap Ngukap Tang merupakan tahap awal atau berpacaran, pada tahap ini
merupakan awal membicarakan hubungan pihak laki-laki dengan pihak perempuan.
Untuk membuktikan keseriusan hubungan diantaranya, pihak laki-laki memberikan
kain selendang dan tempayan kecil kepada pihak perempuan, dengan diterimanya
barang-barang tersebut menunjukkan pihak keluarga perempuan merestui hubungan
keduanya.
b. Nuduk
Nuduk merupakan tahap pelamaran atau peminangan untuk melanjutkan
keseriusan hubungan antara pihak laki-laki dan perempuan. Untuk mengikat
hubungan diantara keduanya dilakukan kegiatan nuduk. Pada kegiatan nuduk
11
dilakukan pembicaraan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan terhadap
perencanaan perkawinan, termasuk membahas dan menyepakati mengenai purut,
besarnya dana dan barang yang harus disiapkan oleh pihak laki-laki untuk
diberikan kepada pihak perempuan.
d. Nefed Menangang
Nefed Menangang adalah pembuatan miniatur burung yang diikat pada sebatang
kayu, ketika menjelang prosesi perkawinan, yaitu ketika pihak laki- laki akan
memasuki area tempat dilangsungkan perkawinan, pihak laki-laki terlebih dahulu
harus menembak miniatur burung yang telh digantung tersebut dengan senapan
angin, ketika miniatur burung dapat ditembak oleh pihak laki-laki, maka ia dapat
memasuki area pelaksanaan adat perkawinan. Namun, jika pihak laki-laki tidak
dapat menembak miniatur burung, maka batang pohon tempat digantungnya
miniatur burung tersebut akan ditebang dan pihak laki-laki wajib meletakkan
barang sebagai gantinya untuk dapat memasuki area pelaksanaan perkawinan adat.
e. Lubak Arum
f. Viwan
g. Eme Nanga
12
Perkawinan yang dilakukan secara adat Dayak Lundayeh memberikan ikatan
keluarga antara pihak laki-laki dengan pihak keluarga perempuan. Ikatan tersebut
dibuktikan dengan adanya saling bantu dan saling tolong (Eme Nangan) yang
dilakukan keluarga pihak perempuan kepada keluarga pihak laki-laki ketika ada
hajatan yang dilakukan oleh keluarga pihak perempuan. Bantuan yang diberikan
oleh keluarga pihak perempuan berupa barang-barang seperti yang diberikan pihak
laki-laki ketika diberikan kepada pihak perempuan.
h. Sanig
Sanig merupakan bantuan dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga
perempuan ketika ada keluarga perempuan yang melakukan perkawinan.
2.7. Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Lembaga Adat dalam Melestarikan Kebudayaan
Suku Dayak Landuyeh
3) Menciptakan Hubungan yang Demokratis dan Harmonis Antar Kepala Adat atau
14
Pemangku Adat dengan Aparat Pemerintah
Dari hasil wawancara penulis mengambil kesimpulan bahwa lembaga adat selalu
menjaga hubungan baik antar masyarakat Dayak Lundayeh, seperti adanya rapat
musrenbang desa dan pesta adat serta disanalah saling bekerja sama dan saling
mendukung. Sehingga dapat menimbulkan dampak positif apabila dilakukan dengan
niat baik. Tujuan baik dan dilakukan dengan cara yang baik pula. Kerjasama ini sangat
bermanfaat dan digunakan untuk memecahkan berbagai masalah dan mencapai tujuan
yang diinginkan, karena itu lembaga adat dan aparat pemerintah desa menjalin dan
menciptakan hubungan yang harmonis objektif dan demokratis. Selain itu juga dengan
secara langsung memberikan contoh yang baik serta positif untuk masyarakat.
Dampak hubungan yang baik dari pemerintah tentu butuh kerjasama dari
masyarakat melalui lembaga adat, karena itu lembaga adat berperan memberdayakan
dan memberi arahan tentang pelestarian adat istiadat kepada masyarakat untuk tetap
lestarinya adat istiadat yang turun temurun dari nenek moyang. Karena itu dilakukannya
dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat serta memberi informasi, dengan
cara adanya pemberitahuan melalui rapat dan acara-acara adat agar masyarakat dibekali
dengan pemahaman pada pentingnya melestarikan adat istiadat yang turun temurun dari
nenek moyang.
Peran lembaga adat dalam menciptakan hubungan yang demoratis harmonis dan
objektif dengan aparat pemerintah desa dan selalu berkerjasama untuk satu tujuan yang
sama. Dalam hubungan tersebut lembaga adat mempunyai peran lebih seperti
memberikan himbauan serta contoh yang baik bagi masyarakat maupun aparat
pemerintah desa dengan menjaga dan menciptakan hubungan yang demokratis dan
harmonis dan objektif.
4) Faktor penghambat pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga adat dalam melestarikan
kebudayaan adat dayak lundayeh di Kalimantan Utara
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan kepala adat bahwa faktor
penghambat dalam pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga adat dalam melestarikan
kebudayaan adat Dayak Lundayeh adalah dana, untuk melakukan suatu kegiatan itu
harus memerlukan dana, seperti lembaga adat merencanakan untuk membangunkan
balai adat untuk digunakan masyarakat untuk ketika ada acara yang menyangkut adat
seperti latihan tari-tarian, rapat adat dan pelatihan kerajinan tangan.
Seperti yang dijelaskan diatas bahwa dana merupakan faktor penghambat dan
15
Sumber Daya Manusia merupakan sumber daya yang sangat penting, artinya segala
bentuk pelestarian harus didukung oleh kemampuan Sumber Daya Manusia yang lebih
baik sehingga dalam proses penyelenggaraan dapat berjalan dengan apa yang
diharapkan. Dengan demikian, untuk mengatasi segala hambatan ini harus adanya
kerjasama baik tingkat Desa, Kecamatan terlebih Pemerintah Daerah dalam mensuport
dana pelestarian dan didukung kesolitan masyarakat suatu suara dan satu langkah dalam
mendukung pelestarian adat istiadat Dayak Lundayeh yang ada agar tidak terjadi punah.
16
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan hasil pembahasan kami bahwa Hukum Adat di dalam suku Dayak Lundayeh
yang terletak di Kalimantan Utara masih berlaku dan sangat kental. Dilihat dari cara mereka
dalam melestarikan Ritual Nuy Ulung kebudayaan suku Dayak Lundayeh. Pelestarian yang
dilakukan terhadap Ritual Nuy Ulung suku Dayak Lundayeh merupakan representasi kolektif
suku Dayak Landuyeh di desa Long Bisai.
Selain itu, dari sisi pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat suku Dayak Lundayeh
adalah adanya “purut”. Pengertian purut adalah satu ciri yang ada dalam perkawinan adat suku
Dayak Lundayeh, purut merupakan bentuk pembayaran dari pihak laki-laki yang diberikan
dalam bentuk uang maupun barang. Purut ini menjadi ikatan dan restu yang diberikan dari
masing-masing keluarga terhadap perkawinan yang dilaksanakan.
Pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga adat dalam melestarikan Kebudayaan Suku Dayak
Lundayeh yaitu menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pemerintah,
memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat, dan menciptakan hubungan
yang demokratis dan harmonis antar kepala adat atau pemangku adat dengan aparat pemerintah.
Sedangkan, faktor penghambat pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga adat dalam melestarikan
kebudayaan adat dayak lundayeh di Kalimantan Utara adalah dana dan Sumber Daya Manusia.
17
DAFTAR PUSTAKA
Kedokteran, Fakultas, and Mata Kuliah. “Pelaksanaan Perkawinan Menurut Hukum Adat Suku
Dayak Lundayeh Setelah Berlakunya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Di Kecamatan Krayan Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur,”
2012, 3083.
Maradona. “Upaya Pelestarian Ritual Nuy Ulung Suku Dayak Landuyeh Desa Long Bisai
Kecamatan Mentarang Kabupaten Malinau” 4, no. 3 (2016): 208–20.
Parsi Bilung. “Kedudukan Hukum Perkawinan Adat Dayak Lundayeh Dalam Hukum
Perkawinan Nasional,” 2018, 56–76.
Sugiarti, Dewi, Siti Rahmi, and Suriata Suriata. “Pola Asuh Suku Dayak Lundayeh Di Kota
Tarakan.” Orien: Cakrawala Ilmiah Mahasiswa 1, no. 1 (2021): 41–50.
https://doi.org/10.30998/ocim.v1i1.4571.
Sugiharto, Sugiono. “Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Lembaga Adat Dalam Melestarikan
Kebudayaan Adat Dayak Lundayeh Di Kecamatan Krayan Barat Kabupaten Nunukan
Provinsi Kalimantan Utara” 4, no. 2 (2016): 381–88.
18
19
20
21
22
23