Disusun oleh :
Syakilah 2225170006
Kelas 3A
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas izin, rahmat, dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Makalah yang berjudul “Tatanan Masyarakat dan Kebudayaan Suku
Baduy” ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Studi Kebantenan.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………............. ii
DAFTAR ISI..……...………………………………………………………....... iii
BAB I PENDAHULUAN…..………………………………………………...... 1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………….... 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………........... 2
1.3 Tujuan…………………………………………………………………..... 2
1.4 Manfaat…………..……………………………………………………..... 2
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………..... 3
2.1 Gambaran Umum Masyarakat Suku Baduy ..………................................. 4
2.2 Nilai-nilai dan Sentral Figur Suku Baduy ………………..…………….... 5
2.3 Tatanan Masyarakat dan Kebudayaan Suku Baduy ………...…………… 6
2.4 Perubahan Sosial dan Kebudayaan Masyarakat Suku Baduy……….…… 8
BAB III PENUTUP………..……………………………………………….….. 10
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………..... 10
3.2 Saran………………………………………………………....................... 10
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..... 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
hidup mereka, baik lingkungan alam dan fisiknya maupun lingkungan
sosialnya. Perubahan lingkungannya alam yaitu hutan yang sebenarnya secara
tradisional merupakan tempat mereka hidup dan menjadi sumber penghidupan
mereka secara lambat atau cepat sedang dan telah berubah karena peningkatan
pendayagunaan sumber-sumber hasil hutan dan pemanfaatan lahan-lahan
pertanian oleh pemerintahannya.
Perubahan lingkungan alam atau fisik tersebut menuntut adanya adaptasi
dari masyarakat Suku Baduy terhadap lingkungannya yang baru dan
perubahan tersebut langsung atau tidak langsung menuntut adanya perubahan
kebudayaan masyarakat Suku Baduy tersebut. Sementara perubahan itu
sendiri biasa diakibatkan oleh adanya turut campur pemerintah dalam
mengatur tata kehidupan mereka, yaitu dalam bentuk memukimkan kembali
dalam tempat-tempat pemukiman khusus untuk mereka. Perubahan itu biasa
disebabkan dengan golongan sosial atau suku bangsa lainnya, atau karena
masuknya teknologi modern dan sekolah, agama serta media massa modern
(Sam, 1986:3).
1.3 Tujuan
2
2. Untuk mengetahui tentang tatanan masyarakat dan kebudayaan yang
terdapat di suku Baduy.
3. Untuk mengetahui nilai-nilai dan sentral figur suku Baduy.
4. Mengetahui perubahan sosial dan kebudayaan yang terdapat di masyarakat
suku Baduy.
1.4 Manfaat
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Baduy. Arti sebenarnya kata Baduy datang dari bahasa Arab Badui yang
berasal dari kata Badu atau Badaw yang artinya lautan pasir (Djoewisno,
1986:5).
Mata pencaharian orang Baduy tidak terpisahkan dari padi yang harus
ditanam menurut ketentuan karuhun, yaitu seperti para nenek moyang mereka
menanam padi. Padi ditanam dilahan kering yang berada di luar dan didalam
desa, kecuali di hutan larangan yang berupa hutan tua di wilayah baduy dalam.
Mata pencaharian orang Baduy merupakan salah satu bentuk subsisten yang
tua usianya. Padi tak boleh dijual, ketentuan tersebut berlaku bagi seluruh
orang Baduy
2.2 Nilai-nilai dan Sentral Figur Suku Baduy
Desa Kanekes adalah orang Baduy, tidak tercampur oleh penduduk luar.
Menurut Djatisunda (1992:4-5) secara sadar masyarakat Kanekes mengakui
bahwa secara tegas membuat mereka berbeda dengan masyarakat Sunda
lainnya di luar Kanekes hanya dalam sistem beragama. Mereka menyebut
orang Sunda diluar Kanekes dengan sebutan “Orang Elsam” dan dianggap
sebagai “urang are” atau “dulur are”. Arti dari istilah “urang are” atau “dulur
are” menurut Ayah Kaiti bekas “Seurat” Tangtu Cikeusik, diungkapkan dengan
mengemukakan “Harti urang are ta ja dulur are. Dulur-dulurna mah, ngan
Elsam hanteu sabagi kami didieu “(arti urang are yaitu dulur are. Saudara sih
saudara, tetapi Islam tidak seperti saya disini). Ungkapan tersebut memperjelas
kedudukan etnik masyarakat Kanekes (Baduy) sebagai suku bangsa Sunda.
Masyarakat Baduy di Desa Kanekes adalah masyarakat yang memiliki
tradisi khas yang berbeda dengan masyarakat Jawa Barat pada umumnya.
Tradisi tersebut disebut Pikukuh Baduy. Ikatan Pikukuh ditentukan oleh tempat
orang Baduy berada yaitu yang menjadi ciri organisasi sosialnya dalam satu
kesatuan kelompok kekerabatan. Orang Tangtu bermukim di Kampung Cibeo,
Cikeusik dan Cikartawan, dikenal dengan sebutan Orang Baduy Dalam sebagai
pemegang Pikukuh Baduy. Orang Panamping sebagai pemilik adat Baduy
berasa di bawah pengawasan Baduy Dalam yang mempunyai ikatan pikukuh
lebih longgar, disebut Baduy Luar (Garna, 1988:4).
5
Keberadaan orang Baduy tidak lepas dari tradisi sebagai pikukuhnya.
Untuk menjaga pikukuh tersebut dan pengendalian agar tetap terpelihara maka
dilaksanakan aturan untuk mempertahankan yang disebut Buyut (dalam bahasa
Indonesia : tabu dan dalam bahasa sunda : pamali). Buyut yaitu larangan bagi
masyarakat Baduy. Inti dari pikukuhan Baduy adalah “Lojor teu meunang
dipotong, pondok teu meunang disambung” artinya segala sesuatu yang ada
dalam kehidupan tidak boleh dikurang maupun ditambah, harus tetap utuh.
Buyut dalam kehidupan mereka terbagi menjadi 3, yaitu : (1) Buyut untuk
melindungi kemurnian sukma (manusia) karena manusia adalah roh yang
diturunkan kealam dunia dalam keadaan bersih dan suci. (2) Buyut untuk
melindungi kemurnian mandala yaitu penghormatan kepada desa Kanekes
karena dianggap sebagai tempat diturunkannya Nabi Adam ke dunia dan (3)
Buyut untuk melindungi kemurnian tradisi merupakan perlindungan kebiasaan
yang ditetapkan dan diturunkan atas kandungan nilai kehidupan yang terbukti
perjalanan hidup mereka. Penanaman nilai kehidupan dilakukan dengan
memperkenalkan hal itu kepada anak. Orang tua wajib memberitahu Buyut
pada anak sejak mengenal lingkungan, jika anak melanggar pikukuh maka
orang tuanyalah yang bersalah karena dianggap tidak dapat mendidiknya sesuai
dengan pikukuh.
Menurut Garna dalam Koentjaraningrat (1993:139) dasar religi orang
Baduy ialah penghormatan ruh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu
kuasa, Batara Tunggal. Keyakinan mereka disebut Sunda Wiwitan atau agama
Suna Wiwitan. Konsep dan kegiatan keagamaan ditunjukkan kepada pikukuh
Baduy untuk bekerja menurut alur dalam mensejahterakan kehidupan Baduy
dan dunia ramai. Disamping itu masyarakat juga memiliki pengetahuan
diantaranya adalah pengetahuan tentang jagat seperti diungkapkan dalam
konsep buana dan mitologi Baduy, tidak hanya tentang dunia nyata tetapi
tentang dunia abstrak, kehidupan mendatang.
2.3 Tatanan Masyarakat dan Kebudayaan Suku Baduy
A. Nilai-nilai Suku Baduy
a. Tidak menggunakan barang elektronik dan bahan kimia
6
b. Warna baju Baduy Dalam yaitu hitam dan putih selagi Baduy Luar
yaitu hitam.
c. Di Baduy Dalam ikat kepala biru, Baduy Dalam ikat kepalanya
putih semua.
d. Tidak ada kunjungan dalam tempo waktu lama.
e. Menikah dengan sesame suku Baduy, apabila menikah dengan
orang Baduy luar maka harus keluar dan kompilasi menikah
berhenti syukuran/selametan di rumah dan satu kampong dibagikan
nasi dan juga dinikahkan oleh kepala suku.
f. Membangun rumah secara gotong royong.
g. Memangkas rambut menggunakan pisau dan memerintahkan
memotong di bulak balik (seperti bulan Januari, bulan Mei
dianggap tidak baik).
h. Melahirkan menggunakan dukun beranak, selagi Baduy luar
menggunakan bidan. Apabila kondisi sangat parah di bawa ke
ruamh sakit.
i. Rumah panggung Julangpak, dibuag dengan cara diikat
menggunakan pasak yang merupakan aturan adat dan bagian
bawah tidak boleh diratakan.
7
a. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada
warga tangtu dan berbagai ketentuan lainnya.
b. Jaro dangka Lobi laki-laki jaga, giliran, dan hati tanah titipan leluhur
yang ada didalam dan diluar Kanekes.
c. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang dipilih ditambah dengan 3 orang
jaro tangtu disebut sebagai jaro dua belas. Pimpinan dari jaro duabelas
ini disebut sebagai jaro tanggungan.
d. Jaro pamarentah secara adat Lobi sebagai penghubung santara
masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional,yang dalam
tugasnya dibantu oleh pangiwa, arik kokolot lembur atau ketua
kampung.
2.4 Perubahan Sosial dan Kebudayaan Masyarakat Suku Baduy
Masyarakat suku Baduy merupakan sekelompok masyarakat yang kuat
memegang tradisi nenek moyang dimana seluruh sistem sosialnya bersumber
pada sistem religinya, yang menyebabkan masyarakat mengalami perubahan
yang sangat lambat. Perubahan yang terjadi diakibatkan oleh kontak-kontak
hubungan dengan masyarakat lain diluar desa Kanekes. Menurut pendapat
Garna (1987,17) bahwa untuk memahami masyarakat suku Baduy secara utuh
diperlukan ketekunan pengawasan, terutama jika hubungan dengan perubahan
sosial. kehidupan suku Baduy berkemungkinan menciptakan misteri kehidupan
sebagai sumber pemahaman tentang hakekat budaya nenek moyang Indonesia
dan tentang tatanan sistem sosial busaya setempat terhadap penetrasi unsur-
unsur budaya.
Masyarakat suku Baduy sebagai masyarakat tradisional dapat disebut
sebagai masyarakat yang sedang berkembang, karena tidak saja perubahan
yang sedang berlangsung, juga ketaatan terhadap pikukuhnya mengalami
pergeseran. Perubahan itu akan tampak dari pola pikir, cara bertindak,
pemilihan barang organisasi sosial yang belum dikenal dalam kehidupan
mereka. Sejumlah warga Baduy sengaja keluar dari desa untuk melonggarkan
diri dari ikatan pikukuhnya. Mereka lalu bermukim di desa-desa sekitarnya.
Perubahan sosial masyarakat suku Baduy pada hakekatnya merupakan
keinginan paling mendasar setiap manusia untuk berkembang sesuai dengan
8
kebutuhan hidup. Karena itu perubahan suatu masyarakat sebenarnya
tergantung kepada mayarakat itu sendiri, apalagi menyangkut kebutuhan hidup
yang lebih baik dari sebelumnya. Tapi segala perubahan yang telah dilakukan
harus diimbangi pula oleh pola pikir, sikap dan tindakan terhadap kondisi yang
berubah agar dapat menyesuaikan diri dengan kondisi baru. Proses perubahan
dalam kehidupan masyarakat Baduy, diantaranya dapat diamati melalui fungsi
kampong tempat jaro dangka, yaitu dianggap penyaring dalam strategi untuk
menutupi pengaruh luar desa Kanekes. Peranan kampung dangka ini masih
dipertahankan menurut fungsinya sebagai enklaf yang memiliki hakekat
strategi dalam menyaring unsur masukan kehidupan terhadap tatanan budaya
baduy (Garna, 1992).
Hubungan antara suku Baduy di desa Kanekes dengan “Migran Baduy” akan
memberikan ide perubahan, karena mereka selalu berkomunikasi melalui saling
mengunjungi dan membantu dalam tiap pekerjaan, seperti berhuma untuk
mempersiapkan masa tanam dan panen. Hal itu berarti ikatan tali kekerabatan
mereka tetap ada. Perubahan sosial di desa Kanekes dapat dikaji juga dari
pertambahn penduduka yang pesat, yang menyebabkan garapan perkapita
nerkurang, sedang pola berhuma tetap. Perubahan yang dialami masyarakat
suku Baduy tidak lepas dari pengawasan pemuka adat yang selalu berusaha
menentang segala bentuk perubahan yang terjadi dan berusaha mengembalikan
kehidupan masyarakat yang sesuai dengan pikukuh. Dengan demikian pikukuh
merupakan norma budaya yang berfungsi sebagai standar perilaku yang
diharapkan dan sekaligu merupakan aturan yang harus dilakukan masyarakat
suku Baduy sebagai pemilik kebudayaan tersebut. Pada kenyataannya buyut
(larangan) tidak seutuhnya dilaksanakan, karena buyut bagi masyarakat Tangtu
(Baduy Dalam) lebih ketat dibandingkan dengan buyut bagi masyarakat
Panampingan (Baduy Luar). Penyimpangan-penyimpangan dan pelanggran-
pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa anggota keluarga pada masyarakat
Panampingan misalnya keinginan bertingkah laku dan berpakaian seperti
orang kota, memiliki barang-barang yang sebenarnya dilarang menurut adat,
perubahan dalam penggunaan obat-obatan dari luar menunjukkan adanya
9
keraguan dalam memilih cara hidup yang sudah berlaku (berdasarkan adat)
atau melepaskannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
10
3.2 Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
Pratama Adv
Hatmadji, Tri. (2005). Ragam Pusaka Budaya Banten. Serang: Balai Pelestarian
Tim Social Foresty Indonesia. 1985. Studi Kasus Social Foresty berbagai Aspek
Wilodati. Sistem Tatanan Masyarakat dan Kebudayaan Orang Baduy. Jurnal UPI
12