Anda di halaman 1dari 24

1

MAKALAH SOSIOLOGI PERTANIAN

ASPEK KULTURAL DAN STRUKTURAL MASYARAKAT DESA DAN


PERTANIAN KELOMPOK TANI SUMBER REJEKI DI DESA SUMBERARUM
KECAMATAN TEMPURAN KABUPATEN MAGELANG JAWA TENGAH

Disusun Oleh :

Hanida Fitriyani : 2120401043


Rudian Lidya Maulida : 2120401045
Restu Septi Hariyanti : 2120401047
Eka Anidya Rizqiyah : 2120401049
Ahsan Maizun : 2120401051
Nurul Khasanah : 2120401053
Meilina Hayuningrum : 2120401055

PROGRAM STUDI S1 AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS TIDAR

MAGELANG

13 FEBRUARI 2022
2

KATA PENGANTAR

Pertama tama kami mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT. yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu.

Terimakasih juga kepada Ibu Eka Nur Jannah, S.P., M.Sc. selaku dosen pengampu
mata kuliah sosiologi pertanian yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah
ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Suradin selaku ketua kelompok tani
Sumber Rejeki yang sudah bersedia untuk kita wawancarai.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah sosiologi pertanian dengan
judul “Aspek Kultural Dan Struktural Masyarakat Desa Dan Pertanian Kelompok Tani
Sumber Rejeki Di Desa Sumberarum Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang Jawa
Tengah.” Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang aspek
kultural dan strutural masyarakat desa bagi para pembaca dan penulis.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Untuk itu kami mengharapkan segala bentuk
saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini.

Magelang,13 Februari 2022

Penulis
3

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL..........................................................................................................1

KATA PENGANTAR............................................................................................................2

DAFTAR ISI..........................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................4

1.1. Latar Belakang....................................................................................................4


1.2. Rumusan Masalah...............................................................................................5
1.3. Tujuan..................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................6

2.1 Aspek-aspek kultural masyarakat desa.................................................................6


2.2 Aspek-aspek struktural masyarakat desa............................................................12
2.3 Aspek Kultural dan struktural masyarakat Desa Sumberarum..........................18

BAB III PENUTUP............................................................................................................20

3.1. Kesimpulan........................................................................................................20
3.2. Saran..................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................21

LAMPIRAN........................................................................................................................22
4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Desa adalah awal mula dari terbentuknya masyarakat politik dan pemerintah yang ada
pada saat ini jauh sebelum terbentuknya negara Indonesia. Secara umum, desa merupakan
gejala yang memiliki sifat universal dan dapat ditemukan di manapun di dunia ini. Desa
dapat diartikan sebagai suatu komunitas kecil yang memiliki keterkaitan dengan lokalitas
tertentu, sebagai tempat tinggal (secara menetap), dan sebagai pemenuhan kebutuhan
hidup terutama yang bergantung pada bidang pertanian. Akan tetapi di pedesaan juga
tidak selalu terkait dengan pertanian, ada pula yang berkaitan dengan perdagangan,
nelayan, dan sebagainya. Setiap desa dimanapun berada pasti memiliki persamaan
karakteristik tertentu yang sama (Jamaludin, 2015). Menurut Paul H. Landis, desa dapat
didefinisikan berdasarkan pada tujuan analisis. Pertama, untuk tujuan analisis statistik,
desa merupakan lingkungan yang jumlah penduduknya kurang dari 2.500 orang. Kedua,
tujuan analisis sosial-psikologi, desa adalah suatu lingkungan yang memiliki hubungan
akrab diantara penduduknyadan serba-informal diantara warganya. Ketiga, untuk tujuan
analisis ekonomi, desa memiliki definisi sebagai suatu lingkungan dengan penduduk yang
menggantungkan hidupnya pada pertanian. Sebagai subsistem dari suatu negara, desa
juga memiliki komponen yang menunjang keberlangsungan kehidupan masyarakat desa.
Menurut Arni Muhammad (1995), komponen desa terdiri dari sumber daya pertanian dan
lingkkungan hidup, perekonomian wilayah pedesaan, kelembagaan sosial, sumber daya
manusia, dan sarana prasarana fisik.
Masyarakat desa sering diidentikkan dengan masyarakat yang masih mengikuti pola-
pola kehidupan tradisional. Pola perilaku masyarakat pedesaan masih didasarkan pada
adat-istiadat lama, dimana aturan tersebut sudah mantap dan mencakup seluruh
komponen sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam
kehidupan sosialnya. Sehingga kebiasaan lama yang diwariskan oleh nenek moyang
mereka masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat pedesaan.
Menurut Jamaludin (2015), kebudayaan tradisional masyarakat pedesaan adalah hasil
adaptasi mereka terhadap lingkungan alam dan sosial di sekitar mereka dan tidak
menerima pengaruh dari luar. Masyarakat juga dipandang sebagai suatu bagian struktur
sosial yang akan melakukan aktivitas sosial untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan.
Secara umum struktur sosial di pedesaan merupakan struktur sosial yang memiliki sifat
5

sederhana karena mayoritas mata pencaharian penduduknya sama, kegiatan pedesaaan


yang hanya terbatas pada persoalan cara mencukupi kebutuhan dan mempertahankan
hidup, serta masayarakat pedesaan yang enggan mengambil resiko lebih besar untuk
memenuhi kebutuhannya (jamaludin, 2015). Sehingga, untuk mendapatkan
penggambaran yang lengkap mengenai masyarakat pedesan diperlukan penjabaran terkait
aspek kultural dan struktural yang terdapat pada masyarakat pedesaan.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari makalah “Aspek Kultural Dan Struktural Masyarakat
Desa Dan Pertanian Kelompok Tani Sumber Rejeki Di Desa Sumberarum Kecamatan
Tempuran Kabupaten Magelang Jawa Tengah.” adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana aspek-aspek kultural masyarakat desa?
2. Bagaimana aspek-aspek struktural masyarakat desa?
3. Bagaimana aspek kultural dan struktural pada masyarakat desa dan kelompok tani
Sumber Rejeki di Desa Sumberearum Kecamatan Tempuran Kabupaten
Magelang?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sesuai dengan pembahasan
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui aspek-aspek kultural pada masyarakat desa.
2. Untuk mengetahui aspek-aspek struktural pada masyarakat desa.
3. Untuk mengetahui aspek kultural dan struktural pada masyarakat desa dan
kelompok tani Sumber Rejeki di Desa Sumberarum Kecamatan Tempuran
Kabupaten Magelang.
6

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Aspek-aspek Kultural Masyarakat Desa


A. Kebudayaan
Kultur atau yang disebut juga sebagai kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia memiliki makna sebagai suatu hasil dari kegiatan maupun penciptaan
kebatinan baik akal maupun budi manusia yang meliputi kesenian, kepercayaan dan
adat istiadat. Kata kebudayaan sendiri berasal dari Bahasa Sansekerta yakni
"buddhayah" yang merupakan bentuk jamak dari kata "buddhi" yang memiliki
makna budi atau akal. Secara antropologi, kebudayaan merupakan suatu keseluruhan
dari pengetahuan manusia selaku makhluk sosial yang diterapkan dalam memahami
lingkungan beserta pengalamannya sebagai pedoman tingkah laku. Menurut Linton
(1036) dalam Rahardjo (2014) kebudayaan didefinisikan sebagai suatu cara hidup
atau way of life yang dapat diterapkan dalam suatu sistem masyarakat. Lebih lanjut,
way of life yang dimaksud oleh Linton tidak hanya meliputi mengenai bagaimana
cara bertahan hidup secara harfiah dan biologis saja melainkan lebih luas serta
mendalam yakni meliputi way of thinking (cara berpikir), way of feeling (cara berasa,
mengekspresikan rasa), dan way of doing (cara berbuat, berkarya atau menciptakan
sesuatu).

Kebudayaan dapat diartikan secara luas serta mencakup banyak hal meliputi
aspek non materiil seperti pandangan sebagai suatu sistem norma dan nilai maupun
aspek materiil seperti kesenian dan adat istiadat. Kebudayaan mempunyai pengertian
yang mendalam serta mencakup hampir segala hal serta dapat bersifat kompleks
maupun sederhana yang menyesuaikan dengan tingkat perkembangan, perubahan,
dan pembangunan yang terjadi dalam suatu masyarakat. Kebudayaan tidak dapat
dipisahkan dengan masyarakat, sebagaimana tidak ada masyarakat yang tidak
memiliki kebudayaan serta tidak ada kebudayaan yang tidak mempunyai masyarakat
sebagai wadahnya (Megayani, 2014). Menurut Polak (1996) dalam Rahardjo (2014)
aspek kultural pada suatu masyarakat dapat dianalogikan sebagai unsur rohani dalam
suatu makhluk, sedangkan aspek struktural merupakan fisik atau jasmaninya.

Dalam bidang sosiologi, konsep kebudayaan tidak dapat dihilangkan dan


memiliki peranan penting sebagaimana keterikatan masyarakat sebagai objek pokok
7

dari sosiologi. Masyarakat memiliki kaitan yang erat dengan kebudayaan dimana
masyarakat merupakan kumpulan manusia yang hidup bersama dan menghasilkan
kebudayaan. Keterkaitan tersebut dijelaskan oleh Horton dan Hunt (1987) dalam
Rahardjo (2014) dimana masyarakat merupakan suatu organisasi manusia dan
memiliki hubungan antara satu dengan yang lainnya sedangkan kebudayaan adalah
sistem nilai dan norma yang terstruktur dan menjadi pedoman dan pegangan
masyarakat tersebut.

Mengacu pada konsep kebudayaan sebagai way of life atau pandangan atas
suatu cara hidup, pola kebudayaan suatu masyarakat didasarkan sebagai hasil dari
pengaruh lingkungan terhadap masyarakat yang hidupnya bergantung pada
lingkungan tersebut. Dalam pola kebudayaan masyarakat, lingkungan yang
dimaksud merupakan lingkungan hidup yang berupa alam. Apabila suatu masyarakat
memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap lingkungan atau alam maka
pola kehidupan masyarakatnya dapat digolongkan ke dalam pola kehidupan
tradisional. Sedangkan semakin minim tingkat ketergantungannya maka pola
kehidupan masyarakatnya termasuk pola kehidupan modern.

Paul H. Landis (1948) dalam Rahardjo (2014) mengemukakan faktor-faktor


determinan yang menentukan terciptanya kebudayaan tradisional yang meliputi:

1. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap bidang pertanian.


2. Tingkat teknologi yang digunakan.
3. Sistem produksi yang diterapkan.

Dari ketiga faktor determinan tersebut, ciri-ciri pola kehidupan tradisional


dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Beradaptasi dengan alam


Mata pencaharian dan kehidupan yang terdapat di desa berhubungan erat
dengan alam dan lingkungannya. Mata pencaharian yang dilakoni oleh
masyarakat desa umumnya merupakan bidang pertanian (Jamaludin, 2015).
Masyarakat yang memiliki ketergantungan yang tinggi pada pertanian harus
dapat menyesuaikan dengan alam dan lingkungannya. Bidang pertanian sendiri
merupakan bidang yang sangat dipengaruhi oleh keadaan alam seperti kondisi
8

topografi, jenis tanah, kelembaban udara, tingkat curah hujan, serta elemen alam
lainnya. Oleh karena itu dalam menjalani kehidupannya, masyarakat harus
meningkatkan pemahaman serta beradaptasi dengan kondisi lingkungannya.
Sehingga pola kehidupan tradisional memiliki keterikatan dan mengikuti
karakteristik alamnya.
2. Pola adaptasi pasif
Dalam bidang pertanian, pelaku usaha tani akan mengacu pada karakteristik
alam dan lingkungannya. Elemen-elemen alam seperti kondisi topografi, jenis
tanah, kelembaban udara, dan tingkat curah hujan senantiasa memiliki
kestabilan atau keteraturan tertentu meskipun masing-masing memiliki variasi
tersendiri. Dengan tingkat kepastian yang tinggi pada keteraturan tersebut, para
pelaku usaha tani tidak memerlukan hal hal baru. Sehingga pola adaptasi
terhadap alam merupakan pola adaptasi pasif yang memiliki keterkaitan dengan
rendahnya tingkat inovasi pada masyarakat.
3. Kepribadian masyarakat yang organis
Kedekatan dengan alam merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kepribadian suatu masyarakat. Menurut O. E. Baker (1948) dalam Rahardjo
(2014) masyarakat desa cenderung memegang serta berpedoman pada filsafat
hidup yang organis. Filsafat organis didefinisikan sebagai cara pandang
terhadap segala sesuatu sebagai suatu kesatuan. Filsafat ini merefleksikan rasa
kekeluargaan serta kolektivitas. Menurut Jamaludin (2015) rasa kekerabatan
yang kuat akan membentuk pola kehidupan keluarga dan masyarakat yang
saling bergantung kemudian berkembang nilai-nilai gotong royong, kerja sama,
perasaan senasib sepenanggungan, dan saling tolong-menolong.
4. Pola kebiasaan hidup yang lamban
Alam dan lingkungan memiliki ritme kehidupan yang lamban dan
cenderung statis. Seperti tumbuhan dalam masa pertumbuhannya secara alami
akan melewati fase-fase tertentu dengan jangka waktu yang relatif tetap.
Menurut Jamaludin (2015) kehidupan yang terdapat di desa berkaitan dengan
tradisi, nilai, norma adat yang telah berkembang secara turun-temurun dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Sehingga pola kebiasaan hidup yang dimiliki
oleh masyarakat desa terpengaruhi oleh alam dan lingkungannya yang lamban
dan statis.
9

5. Dominasi alam yang menyebabkan kepercayaan pada takhayul


Keberadaan takhayul tidak dapat terlepas dari kehidupan masyarakat desa
yang masih bergantung pada alam. Menurut Rahardjo (2014) takhayul yang
dimaksudkan merupakan gambaran atau proyeksi dari masyarakat yang
menunjukkan ketakutan atau kepatuhan mereka terhadap alam karena mereka
tidak dapat memahami dan menguasai alam secara benar. Sebagian masyarakat
desa meyakini kepercayaan atau nilai-nilai yang memiliki sifat mistis sehingga
sulit untuk menerima hal-hal yang bersifat rasional dan cenderung kurang kritis
(Jamaludin, 2015).
6. Sikap pasif dan adaptif
Masyarakat desa mempunyai sikap pasif serta adaptif yang dapat ditemukan
pada aspek kebudayaan yang bersifat material. Aspek kebudayaan material yang
mencerminkan sikap pasif dan adaptif antara lain arsitektur rumah serta
peralatan pertanian yang sederhana.
7. Kesadaran yang rendah terhadap waktu
Masyarakat desa sangat terikat dengan lingkungan beserta nilai-nilai yang
dianutnya (Jamaludin, 2015).
8. Bersikap praktis
Alam dan lingkungan dapat memberikan pengaruh pada kebiasaan
masyarakat desa. Masyarakat desa cenderung memiliki sifat praktis karena
beracuan pada alam. Selain itu, sikap praktis yang diterapkan mengesampingkan
nilai-nilai estetika. Implementasi sikap praktis tersebut dapat terlihat dalam
aspek kebudayaan yang bersifat non material seperti interaksi sosial serta aspek
kebudayaan yang bersifat material seperti arsitektur rumah.
9. Standar moral yang kaku
Dalam pandangan masyarakat desa moralitas seringkali dianggap sebagai
sesuatu yang final atau absolut. Menurut Jamaludin (2015) masyarakat desa
memiliki keterbukaan dan keterlibatan yang sangat erat dengan permasalahan
rohani atau keagamaan sangat kental. Sehingga seringkali standar moral yang
dipatuhi cenderung bersifat kaku.
B. Peasant Dan Subsisten
Dalam pandangan evolusioner, peasant dianggap sebagai suatu kelompok
masyarakat yang terletak di antara bentuk masyarakat primitif dan bentuk
masyarakat modern. Masyarakat primitif adalah satu fase kehidupan yang paling
10

awal dalam perkembangan peradaban manusia dimana kelompok-kelompok


keluarga masih berlatih hidup mengembara sambil berburu dan meramu dalam suatu
wilayah atau kawasan. Dilihat dari segi teknologi, ilmu pengetahuan dan sistem
sosial yang dimiliki oleh masyarakat primitif masih relatif sederhana (Susilawati,
2012). Lebih lanjut, masyarakat peasant merupakan petani yang mengolah tanah dan
tinggal di pedesaan secara berkelompok. Mereka telah meninggalkan cara hidup
primitif, namun belum sepenuhnya memasuki cara hidup yang lebih modern.
Masyarakat peasant kemudian dibagi lagi atas dasar tingkat perkembangan
teknologi, ilmu pengetahuan dan sistem sosialnya, yaitu petani yang masih hidup
dengan cara berburu dan meramu (petani primitif) dengan menggunakan peralatan
pertanian yang sederhana seperti parang dan tugal. Masyarakat peasant yang masih
menggunakan alat sederhana adalah masyarakat Dayak, Mentawai dan orang
Yanomano. Kemudian terdapat petani yang menjalankan sistem pertanian modern
dengan menggunakan peralatan seperti traktor dan huller. Tujuan dari kegiatan
pertanian mereka adalah untuk mendapatkan keuntungan serta memperbesar skala
bidang usahanya. Posisi petani terletak diantara masyarakat primitif dan masyarakat
modern sebagai komunitas masyarakat yang menetap dalam pedesaan serta
berdasarkan segi made of production, mata pencaharian dan teknologinya berada
pada tahap transisi antara petani primitif dan petani farmer.

● Menurut Eric R. Wolf (1956), peasant diartikan sebagai pelaku pertanian yang
mengelola tanah secara efektif sebagai sarana pemenuhan kebutuhannya dan
bukan sebagai bisnis yang bersifat mencari keuntungan.
● Menurut Raymond Firth (1956), peasant mempunyai referensi dengan bidang
keekonomian. Peasant merupakan suatu sistem dengan skala kecil dan
menggunakan teknologi serta peralatan sederhana. Hasil produksi hanya
digunakan untuk kalangan sendiri yang disebut dengan istilah subsisten.
● Menurut Belshaw (1965), masyarakat peasant memiliki orientasi pada
tradisionalitas dan terpisah dari pusat perkotaan tetapi masih tetap mempunyai
keterkaitan dalam kombinasi kegiatan pasar dengan produksi subsisten.
● Menurut Kroeber (1948), masyarakat peasant termasuk ke dalam golongan kelas
dari suatu populasi yang lebih besar termasuk pula di dalamnya pusat-pusat
perkotaan.
11

● Menurut Redfield (1956), masyarakat peasant adalah orang-orang dengan


peradaban tua, merupakan penduduk pedesaan yang menguasai dan mengolah
tanah untuk kehidupan subsisten dengan cara hidup yang tradisional serta
mendapatkan pengaruh dari orang perkotaan yang lebih tinggi peradabannya.
● Menurut Foster (1962), keberadaan masyarakat peasant mempunyai kaitan yang
erat dengan kota-kota besar maupun kecil.

Secara umum masyarakat peasant memiliki ciri-ciri berikut:

1. Petani produsen yang subsisten


Hasil produksi pertanian digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan sendiri
(keluarga) dan bukan untuk mencari keuntungan.
2. Orientasinya yang cenderung pedesaan dan tradisional
Meskipun memiliki orientasi yang cenderung tradisional, masyarakat peasant
tetap memiliki keterkaitan erat (mengacu) ke kebudayaan kota atau pusat
kekuasaan tertentu.
3. Jarang yang sepenuhnya mencukupi kebutuhan diri sendiri (self sufficient).

Subsisten secara umum diartikan sebagai cara hidup yang cenderung minimalis.
Menurut Wharton, pertanian subsisten adalah unit yang dapat berdiri dan mencukupi
diri sendiri dimana hasil produksi sepenuhnya dikonsumsi sendiri dan tidak ada yang
dijual. Selain itu tidak ada pengguna barang maupun pelayanan yang berasal dari
luar.

C. Peasant Dan Pola Kebudayaan Mayarakat Desa Di Indonesia


1. Aspek Kultural Peasant Indonesia
Menurut Koentjaraningrat (1964), sistem pertanian persawahan sebenarnya hanya
terdapat di Jawa (kecuali sebagian Jawa Barat), Bali dan Lombok Barat.
Sedangkan diluar itu hanya merupakan enclave, seperti di tanah Batak, dataran
Agam di Minangkabau, daerah-daerah pantai di Kalimantan Selatan, Makasar dan
Manado (Sulawesi), dan beberapa pantai di pulau Nusa Tenggara. Secara umum
Indonesia mengenal dua macam perkebunan, yakni yang tradisional dikenal
sebagai perkebunan rakyat dan modern, tidak terlepas dari keberadaan
onderneming pada jaman Belanda.
12

2. Aspek-Aspek Kultural Lainnya

W.F. Wertheim (1959) membedakan menjadi tiga daerah persebaran peradaban


yang terdapat di Indonesia yakni:

 Sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah sekian lamanya
memiliki teknik dan sistem pertanian sawah.
 Sepanjang pantai Jawa, Sumatra dan Malaya, Kalimantan (di muara-muara
sungai) yang merupakan daerah-daerah tempat berkembangnya kota-kota
pelabuhan.
 Daerah-daerah pedalaman dari kota-kota pantai Sumatera dan Kalimantan
yang mengenal pertanian ladang.

2.2 Aspek-aspek Struktural Masyarakat Desa


A. Struktur
Struktur menurut KBBI adalah cara sesuatu disusun atau dibangun dengan
pola tertentu. Sedangkan struktur sosial adalah konsep dalam masyarakat terkait
perumusan asas-asas hubungan antar individu yang menjadi pedoman dalam tingkah
laku suatu individu tersebut. Struktur sosial sangat erat dengan kebudayaan karena
dalam masyarakat terjadi saling mendukung antara kebudayaan tersebut, sehingga
dalam masyarakat tentunya mempunyai kebudayaan masing-masing yang berbeda
dengan kebudayaan masyarakat di tempat lainnya.
Dalam struktur sosial terdapat dua macam yaitu struktur masyarakat vertikal
dan struktur masyarakat horizontal. Definisi struktur masyarakat vertikal atau yang
biasanya disebut stratifikasi sosial atau pelapisan sosial merupakan penggambaran
kelompok-kelompok sosial yang tersusun dalam susunan yang bersifat berjenjang.
Dengan demikian, terdapat masyarakat dengan berkedudukan tinggi, berkedudukan
sedang, dan berkedudukan rendah. Dalam struktur masyarakat vertikal ini antara
kelompok berkedudukan tertinggi tidak dapat dipisahkan dengan kelompok yang
berkedudukan rendah, hal ini didasarkan pada perananan setiap kelompok yang
sangat penting bagi satu dengan kelompok lainnya.
Kemudian struktur masyarakat horizontal yang termasuk ke dalam bagian dari
struktur sosial memiliki sebutan lainnya yaitu diferensiasi sosial, dalam hal ini
struktur masyarakat horizontal merupakan penggambaran kelompok-kelompok sosial
13

yang bisa dilihat dari aspek variasi atau kekayaan pengelompokan yang terdapat
dalam suatu masyarakat, sehingga struktur masyarakat horizontal tidak melihat dari
sisi tinggi rendahnya suatu penggolongan kelompok dalam masyarakat. Dalam
masyarakat dapat perkembang dan maju jika terdapat banyak variasi dalam
pengelompokannya secara kuantitatif dan kualitatif.

B. Struktur Phisik Desa


Struktur phisik dalam suatu desa berkaitan dengan kondisi geografis yang
dimana dalam satu wilayah terdapat perbedaan dengan wilayah yang lainnya dengan
kondisi geografis yang berbeda. Kondisi geografis suatu desa mencangkup iklim,
curah hujan, ketinggian tanah, jenis tanah, topografi, tingkat kelembaban tanah dan
lainnya. Dengan kondisi geografis yang berbeda maka menciptakan keberagaman atau
variasi dalam bercocok tanam, sistem pertanian, dan pola permukiman. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa suatu desa yang memiliki tanah yang baik atau
cocok dengan suatu jenis tanaman maka permukiman masyarakat akan cenderung
membentuk desa-desa yang besar, berdekatan antar satu dengan yang lain, dan
berpenduduk padat. Dan sebaliknya, suatu wilayah yang mempunyai kesuburan tanah
yang rendah akan cenderung membentuk desa yang kecil, permukiman penduduk
yang jarang dan penduduk yang sedikit, karena tanah adalah tempat di mana tempat
untuk menggntungkan para petani untuk memperoleh penghasilan.
Pola permukiman dapat menggambarkan keterkaitan antara struktur phisik
desa dengan kehidupan masyarakatnya. Pengertian pola permukiman adalah segala
sesuatu yang dapat berfungsi sebagai pedoman dengan menggunakan unsur-unsur dari
permukiman tersebut untuk manjelaskan kondisi suaru permukiman. (Kalsium, 2015).
Pola permukiman terdapat dua bentuk, yaitu:
1. Pola permukiman yang penduduknya satu dengan yang lain berdekatan,
dengan lahan pertanian yang terpisah dan berada di luar lokasi permukiman.
2. Pola permukiman yang penduduknya satu dengan yang lain berpencar dan
masing-masing berada di tengah lahan atau di dalam lahan pertanian mereka.

Berbeda dengan Paul H. Landis yang membedakan empat pola permukiman di


dunia secara umum, yaitu:

1. The farm village type (FVT)


14

Pola permukiman di mana penduduk (petani) bertempat tinggal berdekatan


dan bersama-sama di suatu daerah dengan lahan pertanian berada di luar
lokasi permukiman. Pola ini mempunyai karakteristik yaitu hubungan dengan
tetangga akrab, warga berdekatan dengan berbagai lembaga kemasyarakatan,
dan rasa gotong royong yang tinggi.
2. The nebulous farm type (NFT)
Pola permukiman yang hampir sama dengan pola FVT, akan tetapi pada pola
NFT masih terdapat beberapa penduduk yang bertempat tinggal tersebar di
luar permukiman itu. Pola ini mempunyai karakateristik sama dengan pola
permukiman FVT.
3. The arranged isolated farm type (AIFT)
Pola permukiman di mana penduduk (petani) bertempat tinggal di pinggir
jalan dengan masing-masing berada di lahan pertanian milik mereka yang
terdapat trade center di antara mereka. Terdapat trade center yang berfungsi
sebagai tempat menjual hasil pertanian.
4. The pure isolated farm type (PIFT)
Pola permukiman di mana penduduk bertempat tinggal tersebar, berjauhan
anatar satu dengan yang lain bersama lahan pertanian mereka yang berada
dengan trade center. Pola ini mempunyai karakteristik penduduknya kurang
mempunyai jiwa gotong royong, kemandirian yang tinggi, dan lain-lain.

C. Stratifikasi Sosial
Pengertian stratifikasi menurut KBBI adalah pembedaan masyarakat atau
penduduk ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atas dasar kekuasaan, hak
istimewa, dan prestise. Menurut Maunah (2015), stratifikasi sosial adalah suatu
sistem yang digunakan untuk membedakan individu atau kelompok dalam
masyarakat, yang terdapat kelas-kelas berbeda secara hierarki dan memberikan
kewajiban dan hak yang berbeda pada lapisan-lapisan lainnya. Dengan demikian,
stratifikasi sosial atau yang bisa disebut dengan pelapisan sosial dan struktur sosial
vertikal merupakan penggelompokan sosial yang berjenjang. Dalam masyarakat
sangat ditentukan dengan nilai untuk mengetahui pelapisan tersebut. Secara umum,
nilai-nilai tersebut berkaitan dengan mata pencaharian, kekayaan, pendidikan,
keturunan, dan dalam masyarakat terdapat juga unsur biologis (usia dan jenis
15

kelamin). Pada penduduk desa yang mengganggap bahwa kepemilihan lahan


pertanian akan menjadi tolak ukur seberapa tinggi kedudukannya di masyarakat.
1. Struktur Biososial
Salah satu faktor yang membentuk stratifikasi sosial adalah faktor biologis.
Faktor biologis berkaitan dengan struktur vertikal dan struktur sosial horizontal.
Sehingga laki-laki akan dianggap lebih kuat dari wanita karena laki-laki banyak
berinteraksi dengan pekerjaan yang kemudian menghasilkan penghasil dan bisa
untuk diberikan kepada wanita sebagai pemebuuhan kebutuhan sehari-hari.
Dalam konsep potlach siapa yang memberi itu akan menduduki tempat yang
tinggi dibandingkan dengan yang menerima. Kemudian usia juga mempengaruhi
dalam hal ini, maka warga yang berusia lebih tua akan mempunyai jiwa
pengetahuan sosial yang tinggi karena banyaknya pengalaman yang sudah
mereka hadapi.
2. Desa Satu Kelas dan Dua Kelas
Berhubungan dengan pemilikan lahan pada suatu desa maka dapat terlihat
adanya pelapisan sosial. Menurut Smith dan Zopf (1970) terdapat dua tipe desa
yaitu tipe desa satu kelas dan tipe desa dua kelas. Tipe satu kelas adalah tipe di
mana desa yang memiliki lahan pertanian rata-rata sama antar penduduknya.
Kemudian tipe dua kelas adalah tipe di mana pemilikan lahan pertanian yang luas
lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak mempunyai lahan pertanian.
3. Dimensi-Dimensi Pelapisan Sosial
Stratifikasi sosial adalah bagian dari perkembangan osisal dan perubahan
sosial. Dalam Smith dan Zopf mengemukakan terdapat lima faktor yang
determinan terhadap sistem pelapisan sosial masyarakat desa yang tidak hanya
bertumpu pada kepemilikan lahan pertanian, faktor-faktor yang lainnya sebagai
berikut:
a) Luas pemilikan tanah dan sejauh mana pemilikan itu terkonsentrasi di tangan
sejumlah kecil orang atau sebaliknya terbagi merata pada warga desa.
Dalam faktor pemilikan tanah ini terdapat dua pengaruh terhadap sistem
stratifikasi sosial yaitu dengan pemilikan lahan yang sama rata yang disebut
desa satu kelas. Kemudian terdapat desa dua kelas yaitu di mana pemilikan
lahan luas lebih sedikit daripada yang tidak mempunyai lahan, dan atau
sebagai penggarab sawah atau buruh. Desa dua kelas ini akan sangat bisa
dilihat dengan sangat jelas tingkat kedudukannya.
16

b) Pertautan antara sektor pertanian dan industri.


Pada faktor ini apabila suatu desa memiliki tipe desa kelas dua di mana
pemilikan lahan yang luas akan menduduki kedudukan yang tinggi maka saat
pennduduk desa tersebut memiliki akses untuk bergabung atau berkerja di
suatu industri maka pemilikan lahan tidak akan menjadi tolak ukur lagi.
Karena dalam hal ini dapat mempengaruhi pola statifikasi sosial masyarakat
yang tidak didasarkan lagi pada luas sempitnya tanah, tetapi oleh kedudukan
sosial-ekonomis penduduk yang bekerja di industri atau pekerjaan yang
lainnya. Dengan demikian lapisan sosial akan semakin transparan.
c) Bentuk-bentuk pemilikan atau penguasaan tanah.
Dalam pengaturan mengenai macam-macam pemilikan dan penguasaan
tanah akan mempengaruhi status-status sosial yang kemudian dinilai untuk
menentukan tinggi rendahnya dalam pelapisan sosial. Hak milik atas tanah
iini berkaitan dengan hak yang sah untuk mengolahnya, menjual, dan
memanfatkan lahan tersebut.
d) Frekuensi perpindahan petani dari lahan pertanian satu ke lainnya.
Menurut Smith dan zopf, frekuensi perpindahan lahan pertanian dari satu
tempat ke tempat yang lainnya dapat memepengaruhi statifikasi sosial.
Karena jika seorang petani menggarap atau menyewa suatu lahan dengan
mapan dapat memiliki kedudukan yang hampir sama dengan pemilik lahan,
akan tetapi jika penyewa tersebut berpindah-pindah tempat lahannya maka
kedudukannya dibawah dari pemilik lahan.
e) Komposisi rasial penduduk.
Menurut Ter Haar (1960), pelapisan sosial masyarakat desa dibedakan
sebagai berikut:
1. Golongan pribumi pemilik tanah (sikep, kuli, baku atau gogol)
2. Golongan yang hanya memiliki rumah dan pekarangan saja atau tanah
pertanian saja (indung atau lindung).
3. Golongan yang hanya memiliki rumah saja diatas tanah pekarangan
orang lain, dan mencari nafkah sendiri (numpang)

Menurut Koentjaraningrat (1964) pelapisan sosial masyarakat desa


digambarkan sebagai berikut:

a) Keturunan cikal bakal desa atau pemilik tanah (kentol).


17

b) Pemilik tanah diluar golongan kentol (kuli).


c) Yang tidak memiliki tana.

D. Diferensiasi Sosial
Diferensiasi sosial atau struktur sosial horizontal adalah suatu masyarakat yang
berkaitan dengan banyaknya pengelompokan sosial tanpa terdapat tingkat
kedudukan. Diferensiasi sosial di masyarakat peedesaan akan mengubah masyarakat
homogenitas menjadi masyarakat heterogenitas yang disebabkan oleh beberapa
faktor. Dengan konsep deferensiasi sosial maka terdapat suatu teori yang
menyatakan bahwa suatu desa akan semakin maju atau modern maka semakin tinggi
pula tingkat diferensiasinya. Dalam hal ini maka masyarakat mempunyai berbagai
macam variasi dalam hal pekerjaan.
Menurut Sorokin, Zimmerman, dan Galpin terdapat 14 (variabel) inventarisasi
kesamaan yang akan membentuk solidaritas mekanik, sebagai berikut:
1. Kekerabatan dan hubungan darah.
2. Perkawinan.
3. Kesamaan agama atau kepercayaan.
4. Kesamaan bahasa dan adat istiadat setempat.
5. Pemilikan dan penggunaan tanah bersama.
6. Proksimitas atau kedekatan dalam suatu daerah.
7. Tanggung jawab bersama.
8. Kebersamaan dalam okupasi
9. Kebersamaan dalam kepentingan ekonomi.
10. Sama-sama menjadi bawahan.
11. Kesamaan dalam akses terhadap suatu lembaga.
12. Pertahanan atau keamanan bersama.
13. Saling tolong menolong.
14. Pengalama dan hidup bersama.

E. Jenis Dan Sistem Pertanian


Sistem pertanian menurut Smith dan Zopf adalah gagasan, ketrampilan teknik,
elemen-elemen kebudayaan, praktek, prasangka dan kebiasaan yang terintegritas
dengan secara fungsional dalam suatu masyarakat dan berkaitan dengan hubungan
dengan tanah. Sehingga sistem pertanian adalah sebuah pengaturan usaha tani yang
18

dilakukan atau dipraktekkan sesuai lingkungan fisik, biologis dan sosio ekonomi.
Dalam sistem pertanian terdapat sembilan corak yang dikemukakanoleh D.
Whittlesey, sebagai berikut:
1. Bercocok tanam di ladang (shifting cultivation).
2. Bercocok tanam tanpa irigasi yang menetap (rudimentary sedentary
cultivation).
3. Bercocok tanam yang menetap dan intensif dengan irigasi sederhana
berdasarkan tanaman pokok padi (intensive subsistence tillage, rice dominant).
4. Bercocok tanam yang menetap dan intensif dengan irigasi sederhana tanpa
padi (intensive subsistence tillage, without rice)
5. Bercocok tanam sekitar lautan tengah (mediterranian agriculture)
6. Pertanian buah-buahan (specialized horticulture)
7. Pertanian komersial dengan mekanisasi berdasarkan tanaman gandum
(commercial grain farming)
8. Pertanian komersiil dengan mekanisasi (commercial livestock and crop
farming)
9. Pertanian perkebunan dengan mekanisasi (commercial plantation crop tillage)

Smith dan Zopf, mengemukakan ada enam sistem pertanian, yakni:

1. Cocok tanam di tepian sungai (riverbank plantings).


2. Sistem bakar (fire agriculture).
3. Sistem tajak (hoe culture).
4. Sistem bajak yang bersahaja (rudimentary plow culture).
5. Sistem bajak yang telah maju (advanced plow culture).
6. Pertanian mekanik (mechanized farming).

2.3 Aspek Kultural Dan Struktural Masyarakat Desa Dan Kelompok Tani Sumber
Rejeki di Desa Sumberarum Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang
Untuk mengetahui bagaimana aspek kultural dan struktural masyarakat desa dan
kelompok tani Sumber Rejeki yang terdapat di Desa Sumberarum Kecamatan Tempuran
Kabupaten Magelang, maka dilakukan wawancara dengan ketua kelompok tani di Desa
Sumberarum. Berikut adalah hasil wawancara yang telah dilaksanakan:
19

Narasumber : Bapak Suradin

Alamat : Pakeron Rt 04 Rw 07, Sumberarum, Tempuran, Magelang,

Jawa Tengah

Ketua Kelompok Tani : Sumber Rejeki

Hasil Wawancara :

1. Keterkaitan masyarakat desa dengan kelompok tani “Sumber Rejeki” sangat lah dekat
sehingga dapat dikatakan 70 % masyarakat bergantung dengan kelompok tani ini.
2. Penerapan teknologi yang digunakan kelompok tani “Sumber Rejeki” yaitu semi
modern karena meski sudah menggunakan alat-alat pertanian modern namun juga
tetap menggunakan alat tradisional juga.
3. Pola pemukiman penduduknya yaitu berdekatan satu dengan yang lain dengan lahan
pertanian. Di Dusun Pakeron pola pemukimannya masuk kedalam The Farm Village
Type karena menurut Pak Suradin, Dusun Pakeron termasuk dalam tipe desa ini
karena penduduknya bertempat tinggal berdekatan satu sama lain sementara lahan
pertaniannya di luar pemukiman. Dengan demikian hubungan antar warganya lebih
erat.
4. Struktur sosial yang berkaitan dengan dengan factor biologis seperti jenis kelamin,
dan usia. Menurut bapak Suradin, struktur sosial berdasarkan jenis kelamin di dusun
Pakeron ini sama rata antara laki-laki dengan perempuan. Untuk usianya mayoritas
memang sudah yang berumur sekitar 45 tahun keatas. Namun, juga terdapat anggota
yang masih muda dengan rentang usia 20 tahun ke atas.
5. Menurut Pak Suradin Desa Sumberarum termasuk ke dalam tipe desa kelas dua.
Karena sebagian kecil penduduknya memiliki lahan yang amat luas, selebihnya dalam
jumlah besar merupakan warga yang memiliki lahan kecil namun milik sendiri.
Namun, sebagian besar penduduknya ada yang mengolah lahan pertanian dengan
menyewa (sistem bagi hasil), ada yang bekerja sebagai buruh tani, bekerja sebagai
karyawan pabrik, pedagang dan lain-lainnya.
6. Di Dusun Pakeron stratifikasi sosial tidak lagi dipengaruhi luas sempitnya
kepemilikan lahan namun juga kedudukan sosial ekonomi yang memiliki berbagai
macam pekerjaan seperti pekerja pabrik, dan pedagang.
7. Keadaan topografis Dusun Pakeron yaitu dataran rendah yang lumayan dekat dengan
jalan utama, serta terdapat tanah miring. Komoditas yang ditanam paling banyak
yakni padi karena komoditas tersebut sesuai dengan iklim di desa tersebut.
8. Menurut Pak Suradin masyarakat dusun Pakeron ini cenderung modern, hal ini
dikarenakan sudah banyak teknologi yang masuk di dusun ini. Selain itu akses masuk
ke desa pun jalanannya sudah beraspal dengan hal ini memudahkan kegiatan
pertanian untuk di pasarkan serta memudahkan jalannya pengoperasian kegiatan
petani. Petani di dusun ini khususnya kelompok tani “Sumber Rejeki” sudah
menggunakan peralatan modern untuk mengelola pertanian serta hasilnya, Seperti
tractor dan tleser perontok padi. Untuk pengangkutan pun juga sudah menggunakan
mobil angkut seperti mobil pick up dan truck.
20

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Desa merupakan suatu komunitas kecil yang memiliki keterkaitan dengan
lokalitas tertentu, sebagai tempat tinggal (secara menetap), dan sebagai pemenuhan
kebutuhan hidup terutama yang bergantung pada bidang pertanian. Aspek-aspek kultural
masyarakat desa meliputi kebudayaan, peasent dan subsisten, serta peasant dan pola
kebudayaan mayarakat desa di Indonesia. Sedangkan aspek struktural meliputi struktur
phisik desa, aspek sosial dan diferensiasi sosial.
Aspek kultural dan structural masyarakat desa dan kelompok tani sumber rejeki
di desa sumberarum kecamatan tempuran kabupaten magelang yaitu 70% masyarakat
desa bergantung dengan sektor pertanian, teknologi yang digunkakan semi modern dan
ada alat tradisional. Sedangkan aspek strukturalnya yaitu tipe pola pemukiman masuk
kedalam The Farm Village Type atau berdekatan dengan lahan pertanian. Struktur sosial
masyarakatnya berdasarkan jenis kelamin dan usia tetapi laki-laki dan perempuan
memiliki kedudukan yang sama. Sumberarum termasuk tipe desa kelas dua karena
sebagian kecil penduduknya memiliki lahan yang amat luas. Stratifikasi sosial
dipengaruhi oleh kedudukan sosial ekonomi. Keadaan topografis berada di dataran
rendah serta masyarakat dusun pakeron cenderung sudah modern dengan menerapkan
teknologi yang sudah modern.

3.2. Saran
Berdasarkan aspek kultural dan structural masyarakat Desa Sumberarum dan
pertanian dapat ditingkatkan pada penggunaan teknologi modern dan peran para generasi
muda dalam bidang pertanian dapat ditingkatkan lagi agar pertanian yang ada di Desa
Sumberarum dapat lebih maju lagi serta dapat menjadi sumber matapencaharian yang
mumpuni karena hampir 70% masyarakatnya bergantung pada sektor pertanian.
21

DAFTAR PUSTAKA

Arni, M. 1995. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara

Febryanti, Ade. 2015. Proses Diferensiasi Sosial Di Masyarakat Pedesaan. Bogor:


INSTITUT PERTANIAN BOGOR.

Hakim, lukman. 2011. Sosiologi Pertanian dan Pedesaan. Banda Aceh: UNIVERSITAS
SYIAH KUALA DARUSSALAM.

Jamaludin, Adon Nasrullah. 2015. Sosiologi Perdesaan. Bandung: CV Pustaka Setia.

Kalsium, Emiliya. Model Penelitian Hubungan Pola Permukiman dan Konflik Antar Etnik.
LANGKAU BETANG: JURNAL ARSITEKTUR, 2(1), 77-85.

Megayani, Luh Putu Yulia. 2014. Kebudayaan dan Masyarakat.


https://blog.ub.ac.id/yuliamegayani/2014/06/19/kebudayaan-dan-masyarakat/.
Diakses tanggal 12 Februari 2022.

Maunah, Binti. Stratifikasi Sosial Dan Perjuangan Kelas Dalam Perspektif Soosiologi
Pendidikan, Ta’allum, 03(1), 19-38.

Rahardjo. 2014. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Susilowati, Nora. 2012. Sosiologi Pedesaan. doi:10.31227/osf.io/67an9


22

LAMPIRAN

Gambar 1. Beberapa alat yang digunakan dalam proses panen padi (tleser)

Gambar 2. Pewawancara 1 dengan narasumber

Gambar 3. Pewawancara 2 dengan narasumber


23

Gambar 4. Pewawancara dengan beberapa alat yang digunakan dalam proses panen padi

Gambar 5. Narasumber dengan anggota kelompok 1


24

Pembagian Tugas

1. Hanida Fitriyani (2120401043) : Kata pengantar dan penutup


2. Rudian Lidya Maulida (2120401045) : Daftar isi dan membuat power point
3. Restu Septi Hariyanti (2120401047) : Pewawancara 1
4. Eka Anidya Rizqiyah (2120401049) : Pendahuluan dan menyusun makalah
5. Ahsan Maizun (120401051) : Pewawancara 2
6. Nurul Khasanah (2120401053) : Isi
7. Meilina Hayuningrum (2120401055) : Isi

Anda mungkin juga menyukai