Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“Bentuk dan Pola Desa”

(ABKA542)

Dosen Pengampu:

AKHMAD MUNAYA RAHMAN, M.Pd.

EVA ALVIAWATI.S.Pd., M.Sc.

Disusun Oleh Kelompok 3:

KHAIRIL ANWAR (1810115210001)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2020

1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan, sehingga
makalah ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan -Nya tentunya kami
tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta yaitu nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan
syafa’atnya di akhirat kelak.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat dan karunia
-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Geografi Perdesaan, dengan judul
makalah “Model Mind Mapping Dalam Pembelajaran Geografi” dengan dosen pengampu
Bapak AKHMAD MUNAYA RAHMAN, M.Pd. dan Ibu EVA ALVIAWATI.S.Pd., M.Sc.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini.

Apabila ada terdapat kesalahan dari penulis mohon dimaafkan yang sebesar-besarya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah memberikan referensinya
dalam membuat makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini bermanfaat. Terima kasih.

Banjarmasin, 16 Maret 2020

KHAIRIL ANWAR

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1. Latar Belakang Masalah..................................................................................................1
1.2.Rumusan Masalah.............................................................................................................1
1.3. Tujuan Penulisan..............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3
2.1 Penggunaan Lahan di Perdesaan.......................................................................................3
2.2. Bentuk-Bentuk Desa........................................................................................................3
2.3 Pola Permukiman Perdesaan............................................................................................5
BAB III PENUTUP..................................................................................................................10
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Desa adalah suatu tempat daerah di mana penduduk berkumpul dan hidup bersama,
menggunakan lingkungan setempat, untuk mempertahankan, melangsungkan dan
mengembangkan kehidupan mereka. Desa adalah pola permukiman yang bersifat dinamis, di
mana para penghuninya senantiasa melakukan adaptasi spasial dan ekologis sederap
kegiatannya berpangupajiwa agraris. Desa dalam arti administratif, menurut Sutardjo
Kartohadikusumo, adalah suatu kesatuan hukum di mana sekelompok masyarakat bertempat
tinggal dan mengadakan pemerintahan sendiri. Untuk lebih memahami bagaimana keadaan
desa lebih mendetil maka perlu kita mengkaji bentu-bentuk dan pola desa serta disekitar kita.
Desa dalam pengertian umum adalah permukiman manusia di luar kota yang
penduduknya berjiwa agraris. Dalam keseharian disebut kampung, sehingga ada istilah
pulang ke kampung atau kampung halaman. Desa adalah bentuk kesatuan administratif yang
disebut kelurahan. Lurahnya kepala desa. Dalam lingkup kota yang dipenuhi pertokoan, pasar
dan deretan kios, juga ada desa, seperti desa Kalicacing di kota Salatiga.
 Desa di luar kota dengan lingkungan fisisbiotisnya, adalah gabungan dukuh. Dukuh
mewujudkan unit geografis yang tersebar seperti pulau di tengah persawahan atau
hutan.Dukuh di Jawa Barat disebut kampung. Gampong di Aceh, huta di Tapanuli, nagari di
Sumatera Barat, marga di Sumatera Selatan, wanus di Sulawesi Utara, dan dusun dati di
Maluku. Desa menurut definisi Bintarto, adalah perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh
unsur2 geografis, sosial, ekonomi, politik dan kultural yang ada di sana dalam hubungannya
dan pengaruh timbal balik dengan daerah-daerah  lain.

1.2.Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas bias memunculkan beberapa pertanyaan yang penting un
tuk dibahas diantaranya :
1.      Bagaimanakah penggunaan laha di desa ?
2.      Faktor apa saja yang mempengaruhi bentuk-bentuk suatu desa ?
3.      Apa dan bagaimana bentuk klasifikasi pola-pola desa?

1.3. Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui definisi dari desa secara umum dan secara harfiah.

1
2.      Memberikan pengetahuan tentang bentuk-bentuk desa yang ada dilingkungan kita.
3.      Mengetahui faktor yang menyebabkan terbentuknya pengelompokan bentuk desa.
4.      Mengemukakan pola-pola desa menurut para ahli
5.      Mengetahui ciri-ciri khusus tentang suatu pola desa.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penggunaan Lahan di Perdesaan


Menurut (Johara, T., 1999) wilayah perdesaan menunjukkan bagian suatu negeri yang
memeperlihatkan penggunaan lahan yang luas sebagai ciri penentu, baik pada waktu sekarang
maupun beberapa waktu yang lampau. Lahan di perdesaan umumnya digunakan untuk
kehidupan sosial dan kegiatan ekonomi. Kehidupan sosial seperti berkeluarga, bersekolah,
beribadat, berekreasi, berolah raga dan sebagainya. Kegiatan itu biasanya dilakukan di dalam
perkampungan.Lahan yang ada juga dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi, misalnya
kegiatan ekonomi bidang pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan, perindustrian dan
perdagangan yang pada umumnya dilakukan di luar kampung. Jadi dapat disimpulkan bahwa
lahan di wilayah perdesaan adalah untuk permukiman dalam rangka kehidupan sosial, dan
untuk pertanian dalam rangka kegiatan ekonomi(Suparmin, 2012).

2.2. Bentuk-Bentuk Desa


Bentuk- bentuk desa secara sederhana dapat dikemukakan sebagai beikut :
a. Bentuk Desa Menyusur Sepanjang Pantai
Didaerah pantai yang landai dapat tumbuh suatu permukiman, yang mata pencarian
penduduknya dibidang perikanan, perkebunan kelapa, dan perdagangan. Jika desa pantai
seperti itu berkembang, maka tempat tinggal meluas dengan cara menyambung yang lama
dengan menyusur pantai, sampai bertemu dengan desa pantai lainnya.
Pengembangan desa pantai sangat penting artinya mengingat profil desa pantai
mencirikan keterbelakangan bahkan kemiskinan yang turun temurun. Agribisnis perikanan
merupakan suatu bentuk keterpaduan pengembangan desa pantai. Agribisnis merupakan
kegiatan yang dimulai dari pengadaan sarana produksi, proses produksi, penenganan pasca
panen dan pengolahan serta pemasaran produksi. Kondisi hidrooceaografi dan sosial ekonomi
Desa Batunampar mendukung untuk pengembangan budidaya laut. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat telah melakukan pengkajian budidaya laut
di desa Batunampar yang meliputi budidya rumput laut, budidaya kerapu dan lobster
Hasil pengkajian menunjukan bahwa potensi sumberdaya budiaya laut sangat baik dan perlu
untuk dikembangkan. Budiaya kerapu dalam karamba diharapkan menjadi fokus utama dalam

3
pengembangan desa Batunampar dengan didukung oleh penyediaan pakan alami berupa ikan
rucah dan pemasaran maupun penyediaan benih yang kontinyu dan berkualitas.
Upaya pengembangan desa pantai bertolak dari pemikiran bahwa mensejahterakan
masyarakat pantai bukanlah tanggung jawab satu instansi saja melainkan tanggung jawab
berbagai instansi dan lembaga dan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu pengembangan
desa pantai berarti pengembangan yang terpadu dari berbagai instansi/lembaga dan
masyarakat itu sendiri secara terpadu dengan tugas dan fungsi yang berbeda-beda tetapi
menuju pada satu tujuan yaitu masyarakat pantai yang sejahtera. Bertolak pada kenyataan
bahwa sebagian besar penduduk desa pantai adalah nelayan kecil maka pengembangan desa
pantai adalah pengembangan masyarakat perikanan dengan didukung sektor lain.
Agribisnis perikanan merupakan suatu bentuk keterpaduan pengembangan desa
pantai. Agribisnis merupakan kegiatan yang dimulai dari pengadaan sarana produksi, proses
produksi, penenganan pasca panen dan pengolahan serta pemasaran produksi. Penerapan
agribisnis secara utuh dan terpadu mengakibatkan produk dapat dipasarkan dengan baik
sehingga nelayan dan pembudidaya ikan mendapatkan imbalan yang sebesar-besarnya.
Dalam pengembangan desa pantai, pemanfaatan sumberdaya harus dirancang secara
optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan yang baik dan bijaksana akan berdampak pada
kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam sebagai faktor utama pendukung produksi
perikanan pesisir. Sebaliknya pengelolaan yang ceroboh dan gegabah akan mengakibatkan
kerusakan sumberdaya alam yang pada akhirnya daya dukungnya pada produksi perikanan
pesisir akan menurun.

b. Bentuk Desa Terpusat


Pola keruangan desa yang terpusat terdapat didaerah pergunungan. Pola pusat
diojumpai pada suatu desa yang permukiman penduduknya berdekatan antara yang satu
dengan yang lain dan membentuk suatu kelompok besar. Faktor yang mempengaruhi pola
memusat antara lain :
1.      Daerah yang memiliki tanah yang subur dan dapat mengikat permukiman penduduk
dalam suatu kelompok.

2.      Daerah dataran rendah yang luas.

3.      Daearah dengan permukaan air tanah yang dalam sehingga pembuatan sumur sulit
karena memakan waktu dan biaya.

4
4.      Daerah yang keamanannya belum terjamin dari berbagai gangguan, baik dari kelompok
lain maupun binatang buas.

Penduduk umumnya terdiri atas mereka yang seketurunan ; pemusatan tempat tinggal
tersebut didorong oleh kegotongroyongan mereka; jika jumlah penduduk kemudian
bertambah lalu pemekaran desa pegunungan itu mengarah kesegala jurusan, tanpa adanya
rencana. Sementara itu pusat-pusat kegiatan penduduk pun dapat bergeser mengikuti
pemekaran.

c. Bentuk Desa Linear Di Daratan Rendah


Pemukiman penduduk didataran rendah umumnya memanjang sejajar dengan
rentangan jalan raya yang menembus desa yang bersangkutan. Jika kemudian secara wajar
artinya tanpa direncanakan desa mekar, tanah pertanian diluar desa sepanjang jalan desa
menjadi pemukiman baru memang ada kalanya juga pemekaran kearah pedalaman sebelah
menyebelah jalan raya. Maka harus dibuatkan jalan baru mengelilingi desa, jadi semacam
ring road dengan maksud agar kawasan pemukiman baru tak terpencil.

d. Bentuk Desa yang Mengelilingi Fasilitas Tertentu


Jenis ini juga terdapat didataran rendah. Yang dimaksudkan denagn fasilitas misalnya
mata air, waduk, lapangan terbang, dan lain-lain. Arah pemekarannya dapat kesegala jurusan,
sedang fasilitas-fasilitas untuk industri kecil dapat disebarkan dimana-mana sesuai dengan
keinginan setempat.
Bentuk-bentuk desa seperti diuraikan diatas bertalian erat dengan usaha pengembangan dan
penggalian sumber dayanya secara optimal. Dengan cara yang bijaksana perkembangan
pemukiman dalam arti pemekarannya juga harus direncanakan secara khusus, sehingga
terjamin wajah pemukiman yang baik dalam arti yang menguntungkan.

2.3 Pola Permukiman Perdesaan


Pola persebaran dan pemusatan penduduk desa dapat dipengaruhi oleh keadaan tanah,
tata air, topografi dan ketersediaan sumberdaya alam yang terdapat di desa yang
bersangkutan(Suparmin, 2012). Pola persebaran permukiman desa dalam hubungannya
dengan bentang alamnya, dapat dibedakan atas:

a. Pola terpusat

5
Bentuk permukiman terpusat merupakan bentuk permukiman yang mengelompok
(aglomerated, compact rural settlement). Pola seperti ini banyak dijumpai didaerah yang
memiliki tanah subur, daerah dengan relief sama, misalnya dataran rendah yang menjadi
sasaran penduduk bertempat tinggal. Banyak pula dijumpai di daerah dengan permukaan air
tanah yang dalam, sehingga ketersediaan sumber air juga merupakan faktor yang berpengaruh
terhadap bentuk pola permukiman ini. Demikian pula di daerah yang keamanan belum
terjamin, penduduk akan lebih senang hidup bergerombol atau mengelompok.

b. Pola tersebar atau terpencar ( fragmented rural settlement type)

Bentuk permukiman tersebar, merupakan bentuk permukiman yang terpencar,


menyebar di daerah pertaniannya (farm stead), merupakan rumah petani yang terpisah tetapi
lengkap dengan fasilitas pertanian seperti gudang mesin pertanian, penggilingan, kandang
ternak,penyimpanan hasil panen dan sebagainya. Bentuk ini jarang ditemui di Indonesia,
umumnya terdapat di negara yang pertaniannya sudah maju.Namun demikian, di daerah-
daerah dengan kondisi geografis tertentu, bentuk ini dapat dijumpai, misalnya daerah banjir
yang memisahkan permukiman satu sama lain,daerah dengan topografi kasar, sehingga rumah
penduduk tersebar, serta daerah yang kondisi air tanah dangkal sehingga memungkinkan
rumah penduduk dapat didirikan secara bebas.

c. Pola memanjang atau linier (line village community type)

Pola memanjang memiliki ciri permukiman berupa deretan memanjang di kiri kanan
jalan atau sungai yang digunakan untuk jalur transportasi, atau mengikuti garis pantai. Bentuk
permukiman seperti ini dapat dijumpai di dataran rendah. Pola atau bentuk ini terbentuk
karena penduduk bermaksud mendekati prasarana transportasi, atau untuk mendekati lokasi
tempat bekerja seperti nelayan di sepanjang pinggiran pantai.

d. Pola mengelilingi pusat fasilitas tertentu.

Bentuk permukiman seperti ini umumnya dapat ditemukan di daerah dataran rendah,
yang di dalamnya terdapat fasilitas-fasilitas umum yang dimanfaatkan penduduk setempat
untuk memenuhi kebutuhan seharihari, misalnya mata air, waduk dan fasilitas lainnya.

Landis mengemukakan empat tipe pola permukiman desa sebagai berikut:

a. Farm village type

6
Merupakan satu desa dimana penduduk bersama dalam satu tempat dengan sawah
ladang berada di sekitarnya. Desa seperti ini banyak terdapat di Asia Tenggara, juga di
Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Di sini tradisi masih dipegang kuat oleh masyarakatnya,
demikian pula dengan ke gotong royongan yang masih cukup kuat. Tetapi hubungan antar
individu dalam proses produksi usaha tani sudah bersifat komersial karena masuknya revolusi
hijau yang merupakan teknologi pertanian modern. Di samping itu desa yang berdekatan
dengan daerah perkotaan akanmengalami gangguan sebagai akibat perluasan kota.Gangguan
yang dimaksud adalah terjadinya alih fungsi lahan produktif untuk permukiman, kantor
pemerintah, swasta dan sebagainya.Semua ini merupakan kondisi obyektif yang tidak
terelakkan, sehingga akan mempengaruhi kegotong royongan, ketaatan pada tradisi yang
sebelumnya masih dipegang kuat oleh masyarakat desa yang bersangkutan.

b. Nebulous farm village type

Merupakan desa dimana sejumlah penduduk berdiam bersama dalam suatu tempat,
sebagian lainnya menyebar di luar tempat tersebut, di antara sawah ladang mereka. Di
Indonesia banyak terdapat di Sulawesi, Maluku, Papua,Kalimantan dan sebagian Pulau Jawa
terutama di daearhdaerah dengan sistem pertanian tidak tetap atau perladangan berpindah.
Tradisi dan gotong royong serta kolektivitas sangat kuat di kalangan anggota masyarakat ini.

c. Arranged isolated farm type

Suatu desa diamana penduduk berdiam di sekitar jalan-jalan yang berhubungan


dengan trade center dan selebihnya adalah sawah ladang mereka, tipe ini banyak ditemui di
negara barat. Tradisi kurang kuat, sifat individu lebih menonjol, lebih berorientasi pada
bidang perdagangan.

d. Pure isolated farm type

Tempat tinggal penduduk tersebar bersama sawah ladang masingmasing, banyak


dijumpai di negara Barat. Tradisi, dinamika pertumbuhan, orientasi perdagangan, sifat
individualistik sama dengan desa sebelumnya (c).

Everett M.Roger dan Rabel J.Burge (1972) mengelompokkan pola


permukiman sebagai berikut:

a. The scattered farmstead community

7
Sebagian penduduk berdiam di pusat pelayanan yang ada, sedang yang lain terpencar
bersama sawah ladang mereka. Tipe ini sama dengan nebulous farm village type.
b. Cluster village

Penduduk berdiam terpusat di suatu tempat, dan selebihnya adalah sawah ladang
mereka.
c. The line village

Bentuk pola permukiman penduduk di berbagai wilayah bervariasi, hal ini


dipengaruhi oleh kondisi geografis setempat, ketersediaan pusat pelayanan serta jalur
transportasi yang ada. Bentuk pola permukiman di pegunungan akan berbeda dengan yang
ada di dataran, berbeda pula dengan bentuk yang ada di sekitar jalan raya. Bentuk
permukiman penduduk di perdesaan pada prinsipnya mengikuti pola persebaran desa, yang
dapat dibedakan atas permukiman mengelompok atau memusat, permukiman terpencar,
permukiman linier dan permukiman mengelilingi fasilitas tertentu.

            Menurut Bintarto ada 6 pola desa dikemukakan yaitu :


1.  Memanjang jalan : Susunan desanya mengikuti jalur-jalur jalan dan sungai. Contohnya
terdapat didaerah Bantul, Jokyakarta

2.  Memanjang sungai : Susunan desanya mengikuti jalur-jalur jalan dan sungai. Contohnya
terdapat didaerah Bantul, yogyakarta

3.  Radial : Pola desa ini berbentuk radial terhadap gunung dan memanjang sepanjang sungai
dilereng gunung

4.  Tersebar : Pola desa didaerah gunung kidul – yogyakarta merupakan nucleus yang berdiri
sendiri.

5.  Memanjang pantai : Didaerah pantai susunan desa nelayan berbentuk memanjang


sepanjang pantai.

6.  Sejajar jalan kereta api.

Di Pakistan, geograf Misra merincinya lebih lengkap lagi menjadi 14 pola desa, yaitu:
1.    Segi empat memanjang ( rectangular ) ; tipe paling umum karena bentuk lahan
pertaniannya. Kekompakan desa membutuhkan letak rumah yang saling berdekatan,
karena tak ada tembok keliling yang mengamankannya. Pola segi 4 cocok bagi
permukiman berkelompok.

8
2. Bujur sangkar ( square ) ; tipe ini muncul di persilangan jalan, juga di permukiman
bentuk segi 4 panjang yang terbagi 4 kelompok.
3. Bujur sangkar ( 4 square )
4. Desa memanjang ( elongated 1 ) ; kondisi alam dan budaya setempat telah membatasi
pemekaran desa ke arah-arah tertentu sehingga terpaksa memanjangkan diri.
5. Desa memanjang ( elongated 2 ) penjelasannya sama seperti diatas.
6. Desa melingkar ( circular ) ; bentuk ini diwarisi ketika tanah masih kosong. Desa
dibangun di atas urugan tanah, sehingga dari luar nampak seperti benteng dengan lubang
untuk keluar masuk.
7. Tipe beruji ( radial plan ) ; jika pusat desa berpengaruh besar atas perumahan
penduduk, maka tercapai bentuk beruji. Pengaruh tersebut berasal dari istana bangsawan,
rumah ibadah atau pasar.
8. Desa poligonal ; karena desa tak pernah dibangun menurut rencana tertentu, maka
nampak bentuk2 luar yang beragam. Bentuk ini antara melingkar dan segi empat
panjang.
9. Pola tapal kuda ( horse shoe ) ; dihasilkan oleh sebuah gundukan, bukit atau lembah,
sehingga pola desa menjadi setengah melingkar.
10. Tak teratur ( irregular ) : desa yang masing-masing rumahnya tak karuan alang
ujurnya.
11. Inti rangkap ( double nucleus ) ; desa kembar hasil pertemuan-pertemuen 
permukiman yang saling mendekat, misalnya akibat lokasi stasiun kereta api di antara
keduanya.
12. Pola kipas ; ( Fan-pattern )  tumbuh dari pusat yang letaknya di salah satu ujung
permukiman, dari situ jalan raya menuju ke segala arah.
13. Desa pinggir jalan raya ( street ) ; desa ini memanjang sepanjang jalan raya, pasar
berada di tengah, jalan kereta api menyusuri jalan raya tsb.
14. Desa bulat telur ( oval  ) ; sengaja dibuat menurut rencana demikian.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Desa dalam pengertian umum adalah permukiman manusia di luar kota yang
penduduknya berjiwa agraris. Dalam keseharian disebut kampung, sehingga ada istilah
pulang ke kampung atau kampung halaman. Desa adalah bentuk kesatuan administratif yang
disebut kelurahan. Lurahnya kepala desa.

Menurut (Johara, T., 1999) wilayah perdesaan menunjukkan bagian suatu negeri yang
memeperlihatkan penggunaan lahan yang luas sebagai ciri penentu, baik pada waktu sekarang
maupun beberapa waktu yang lampau. Lahan di perdesaan umumnya digunakan untuk
kehidupan sosial dan kegiatan ekonomi. Kehidupan sosial seperti berkeluarga, bersekolah,
beribadat, berekreasi, berolah raga dan sebagainya.

Bentuk dan pola desa memiliki karakterisitik dan jenisnya masing-masing sesuai
dengan pendapat ahli yang telah mengacu kepada suatu kajian penelitian maupun observasi
sehingga bisa diterima masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Daldjoeni, N. 2003. Geografi Kota dan Desa. Bandung: P.T. Alumni.

10
Johara, T., J. (1999). Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Perdesaan dan Perkotaan.
Bandung: ITB.
Suparmin. (2012). Pola keruangan desa dan kota. Lembaga Penelitian Dan Pengabdian,
Universitas Negeri Yogyakarta, 0–47.
Mansur, Y. M. 1988. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta: Pustaka Graika Kita.

11

Anda mungkin juga menyukai