Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH GEOGRAFI

POLA CURAH HUJAN DI INDONESIA

Dosen Pembimbing :
R. Lukman Heryadi, Drs, MM

Oleh :
1. Arif Ripcy Pradana
NPT 11.17.0039
2. Davisal Fikri
NPT 11.17.0046
3. Dendi Rona Purnama
NPT 11.17.0047
4. Ika Ainun Tajalla
NPT 11.17.0052
5. Nadya Safira
NPT 11.17.0058

Kelompok :2
Kelas : Meteorologi 1B

SEKOLAH TINGGI METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA


JAKARTA
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang atas rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Pola Curah Hujan di
Indonesia dan Pengkajiannya dalam Ruang Lingkup Ilmu Geografi“.

Penulisan ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas
mata kuliah geografi. Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Akhirnya kami sebagai penulis berharap semoga makalah ini dapat digunakan sebaik-
baiknya dan tentunya banyak diucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu penyusunan makalah ini.

Tangerang Selatan, Januari 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... 2


DAFTAR ISI .................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penulisan .....................................................................................
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Geografi ................................................................................... 6
2.2 Pendekatan Geografi .................................................................................
2.3 Dinamika Atmosfer Wilayah Indonesia .................................................... 7
2.4 Pengertian Hujan ....................................................................................... 8
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Proses Terjadinya Hujan ........................................................................... 16
3.2 Curah Hujan di Indonesia ..........................................................................
3.3 Pola Curah Hujan di Indonesia ..................................................................
3.3.1 Tipe Ekuatorial ...........................................................................
3.3.2 Tipe Monsun ...............................................................................
3.3.3 Tipe Lokal ..................................................................................
3.4 Analisis Pola Curah Hujan di Indonesia dengan Pendekatan Geografi ....
3.4.1 Analisis Keruangan ....................................................................
3.4.2 Analisis Kelingkungan ...............................................................
3.4.3 Analisis Kewilayahan .................................................................
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ................................................................................................
4.2 Saran ..........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 18

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kondisi fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya, seperti posisi lintang, ketinggian,
pola angin (angin pasat dan monsun), sebaran bentang darat dan perairan, serta pegunungan
atau gunung-gunung yang tinggi berpengaruh terhadap variasi dan tipe curah hujan di
wilayah Indonesia. Berdasarkan pola umum terjadinya, terdapat 3 (tiga) tipe curah hujan,
yakni: tipe ekuatorial, tipe monsun dan tipe lokal.

Sejak tahun 1980an para pemerhati dan peneliti meteorologi meyakini bahwa akan
terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spatial maupun temporal,
seperti peningkatan temperatur udara, evaporasi dan curah hujan. Menjadi hal sangat
krusial mengetahui besaran anomali curah hujan yang akan terjadi pada masa datang di
wilayah Indonesia dalam skala global menggunakan model prakiraan iklim yang
dikembangkan berdasarkan keterkaitan proses antara atmosfer, laut, dan kutub dengan
memperhatikan evolusi yang proporsional dari peningkatan konsentrasi CO2 di trophosfer.

Penelitian desk studi simulasi zonasi curah hujan untuk periode 1950-1979 dan periode
2010-2039 beserta anomalinya terutama untuk musim hujan (Maret sampai Oktober)
dilaksanakan pada tahun 2002. Anomali zonasi curah hujan merupakan selisih kejadian
hujan (mm) pada periode inisial (1950-1979) dengan periode berikutnya (2010-2039), dengan
menggunkan model ARPEGE (Action de Recherche Petite Echelle Grande Echelle) Climat
versi 3.0. Besaran curah hujan yang ditampilkan merupakan keadaan curah hujan rataan
bulanan pada kedua periode tersebut. Koordinat yang dipilih berkisar antara 25° Lintang
Utara dan Lintang Selatan serta berkisar 150° Bujur Timur.

Pada periode 2010-2039 diprakirakan akan terjadi peningkatan jumlah curah hujan di
atas wilayah Indonesia, yang ditandai dengan perubahan zonasi wilayah hujan dengan
anomali positip zona konveksi, peningkatan temperatur, dan evaporasi terutama pada zona
konveksi tertinggi di sepanjang selat Malaka, Laut Banda, Laut Karimata, dan Laut
Arafura. Perubahan kualitas dan kuantitas curah hujan, khususnya curah hujan 100-150
mm/hari secara signifikan (59% dan 100%) pada stasiun sinoptik Tamanbogo dan Genteng
telah terjadi pada periode 1991-2000. Langkah antisipasi limpahan curah hujan yang lebih
besar dapat dilakukan secara serentak dengan mengetahui pola curah hujan dan melalui
pendekatan lingkungan dan kemasyarakatan. Dengan mengkaji pola curah hujan melalui ilmu
geografi akan lebih terurut dan terperinci serta dengan mudah melihat fenomena-fenomena
geosfer khususnya dalam geografi atmosfer (berhubungan dengan meteorologi).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pola persebaran curah hujan di Indonesia ?
2. Apa penyebab dari perbedaan curah hujan di Indonesia
3. Bagaimana kajian atau pendekatan ilmu geografi mengenai pola persebaran curah
hujan di Indonesia?

4
1.3 Tujuan Penulisan
1. Pembaca dapat mengetahui intensitas curah hujan di Indonesia dan pola persebaran
curah hujannya.
2. Dapat melihat contoh fenomena atmosfer (hujan) dalam sudut pandang ilmu geografi.
3. Dapat mengetahui hubungan hujan (fenomena atmosfer) dengan komponen geosfer
lainnya melalui pendekatan geografi.
4. Mempelajari dan menganalisis variasi curah hujan dengan fluktuasi fenomena iklim
global

1.4 Manfaat Penulisan


1. Hasil penulisan ini diharapkan bisa menambah wawasan dan perkembangan ilmu
pengetahuan di bidang Meteorologi maupun Geografi.
2. Dapat bekerja dalam kelompok dengan baik.
3. Menambah wawasan dari luar kampus, di luar pembelajaran biasa.

5
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Geografi

Istilah geografi berasal dari bahasa Yunani: geo berarti bumi dan graphein berarti
tulisan. Secara harfiah, geografi berarti tulisan tentang bumi. Geografi dapat didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari segala fenomena yang ada di permukaan bumi, seperti
penduduk, fauna, flora, cuaca, iklim, batuan, air dan interaksi antara fenomena-fenomena
tersebut. Dengan kata lain, geografi adalah studi tentang gejala-gejala di permukaan bumi
secara keseluruhan dalam lingkup interaksi dan keruangan.
Ada beberapa pengertian geografi menurut beberapa ahli. Menurut Claudius Ptolomaeus,
geografi merupakan suatu penyajian melalui peta dari sebagian dan seluruh permukaan bumi.
Pada buku “Spatial Organization: Geographer’s View of The World” karya Ablar (1971)
menerangkan bahwa geografi mengkaji struktur dan proses fenomena dan permasalahan
dalam ruang. Berkaitan dengan itu, geografi selalu bicara dengan peta untuk mengkaji
struktur keruangan suatu permasalahan.
Pada seminar dan lokakarya Ikatan Geografi Indonesia (IGI) di Semarang pada tahun
1988 merumuskan bahwa geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan
fenomena geosfer dengan sudut pandang kewilayahan dan kelingkungan dalam konteks
keruangan.

2.2 Pendekatan Geografi

Ruang lingkup geografi sangat luas dan mencakup materi pokok serta masalah yang
dikaji. Metode pendekatan yang dapat digunakan tidak hanya dari aspek keruangan saja,
tetapi juga aspek-aspek lain.
Pada ilmu geografi, untuk mengkaji perkembangan atau dinamika suatu fenomena atau
masalah, seorang geografer haruslah menggunakan beberapa pendekatan. Menurut Nursid
Sumatimadja, pendekatan geografi sekurang-kurangnya ada tiga, yaitu pendekatan keruangan
(spatial approach), pendekatan kelingkungan (ecological approach), dan pendekatan
kewilayahan (regional aproach)
Pendekatan keruangan (spatial approach) menekankan pada keruangan. Pendekatan ini
mendasarkan pada perbedaan lokasi dari sifat-sifat pentingnya seperti perbedaan struktur,
pola, dan proses. Struktur keruangan terkait dengan elemen pembentuk ruang yang berupa
kenampakan titik, garis, dan area. Sedangkan pola keruangan berkaitan dengan lokasi
distribusi ketiga elemen tersebut.
Pendekatan kelingkungan (ecological approach) merupakan pendekatan dalam mengkaji
fenomena geosfer yang terkhusus pada interaksi antara organisme hidup dan lingkungannya,
termasuk pada organisme hidup lainnya.
Pendekatan kewilayahan (regional aproach) mendasarkan pada kombinasi antara analisis
keruangan dan analisis ekologi. Analisis ini menekankan pengertian ”areal differentiation”

6
yaitu adanya perbedaan karakteristik tiap-tiap wilayah. Perbedaan ini mendorong suatu
wilayah dapat berinteraksi dengan wilayah lain. Perkembangan wilayah yang saling
berinteraksi terjadi karena terdapat permintaan dan penawaran.

2.3 Objek Kajian dan Prinsip Geografi

Objek dalam kajian geografi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu objek material
dan objek formal. Objek material geografi adalah segala fenomena yang terjadi pada
permukaan bumi, baik berupa fenomena fisik maupun fenomena sosial. Sedangkan objek
formal ialah metode pendekatan dalam pemecahan masalah geografi atau cara pandang
terhadap objek material yang ditinjau dari sudut pandang keruangan , kewilayahan, dan
kelingkungan.
Prinsip geografi merupakan dasar yang digunakan sebagai landasan dalam menguraikan,
mengkaji, mengungkapkan fenomena dan masalah geografi. Ketika melakukan pendekatan
terhadap objek material yang dipelajari, prinsip geografi harus selalu digunakan. Prinsip
geografi terdiri atas prinsip persebaran, prinsip interelasi, prinsip deskripsi dan prinsip
korologi. Prinsip persebaran menjelaskan bahwa semua fenomena tersebar tidak merata di
permukaan bumi. Prinsip interelasi menjelaskan hubungan saling kait dalam ruang. Prinsip
deskripsi merupakan penjelasan lebih jauh mengenai gejala-gejala yang diselidiki atau
dipelajari. Sedangkan prinsip korologi menjelaskan fenomena yang ditinjau sebenarnya
dalam ruang beserta integrasi, interelasi, dan interaksi.

2.4 Dinamika Atmosfer Wilayah Indonesia

Wilayah Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terbentang dari
lintang geografis 7° 20’ LU - 14° LS dan 92° - 141° BT dengan panjang total garis pantai
43.670 mil atau 80.791 km (Bayong, 2006). Ramage (1971) memberikan deskripsi tersendiri
untuk wilayah Indonesia sebagai wilayah khusus dan menamakannya dengan istilah Benua
Bahari (Maritime Continent), benua maritim Indonesia memiliki atmosfer yang sangat
kompleks dan pembentukan awannya sangat unik.
Wilayah Indonesia adalah bagian dari sistem planet bumi yang merupakan satu kesatuan
alamiah antara litosfer (padat), hidrosfer (cair), atmosfer (gas) dan krinosfer (es). Interaksi
keempat lapisan tersebut membentuk sistem cuaca dan iklim Indonesia. Swarinoto dkk
(2007) menyebutkan bahwa wilayah Indonesia memiliki karakteristik cuaca dan iklim
tersendiri dan selalu berkaitan dengan pengaruh interaksi beberapa macam sirkulasi. Akan
tetapi yang memiliki peran yang sangat signifikan dalam pembentukan cuaca dan iklim
hanyalah sirkulasi yang pada saat itu berpengaruh paling dominan.

2.5 Pengertian Hujan

Hujan adalah titik-titik air di udara atau awan yang sudah terlalu berat karena kandungan
airnya sudah sangat banyak, sehingga akan jatuh kembali ke permukaan bumi sebagai hujan
(presipitasi). Alat untuk mengukur curah hujan adalah fluviometer. Garis khayal di peta yang
menghubungkan tempat-tempat yang mendapatkan curah hujan yang sama disebut isohyet.

7
Karakteristik curah hujan meliputi hal-hal yang menyangkut distribusi (tahunan,
musiman, bulanan, atau harian), intensitas,lamanya hujan, maupun frekuensi hari
hujan (Nieuwolt, 1997).
walaupun karakteristik curah hujan dapat dilihat disuatu titik tertentu (curah hujan
menurut satu stasiun curah hujan), tetapi ditekankan bahwa untuk menyusunan
suatu rancangan pemanfaatan air disuatu wilayah maka karakteristik curah hujan
harus dilihat sebagai suatu keseluruhan wilayah yang bersangkutan, bukan hanya pada suatu
titik tertentu. Oleh sebab itu dikenal istilah curah hujan wilayah, yang
dapat diperkirakan dengan berbagai metode dari beberapa titik pengamatan curah
hujan (stasiun penangkar hujan).

8
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Proses Terjadinya Hujan

Dua per tiga dari bumi kita ini mengandung air dan sisanya adalah daratan. Air itu
tersimpan dalam banyak wadah seperti samudera, lautan, sungai dan danau. Air yang terdapat
di berbagai wadah tersebut akan mengalami penguapan atau evaporasi dengan bantuan
matahari. Air yang ada di daun tumbuhan ataupun permukaan tanah. Proses penguapan air
dari tumbuh-tumbuhan itu dinamakan transpirasi. Kemudian uap-uap air tersebut akan
mengalami proses kondensasi atau pemadatan yang akhirnya menjadi awan. Awan-awan itu
akan bergerak ke tempat yang berbeda dengan bantuan hembusan angin baik secara vertikal
maupun horizontal. Gerakan angin vertikal ke atas menyebabkan awan bergumpal. Gerakan
angin tersebut menyebabkan gumpalan awan semakin membesar dan saling bertindih-tindih.
Akhirnya gumpalan awan berhasil mencapai atmosfer yang bersuhu lebih dingin. Di sinilah
butiran-butiran air dan es mulai terbentuk. Lama-kelamaan angin tidak dapat lagi menopang
beratnya awan dan akhirnya awan yang sudah berisi air ini mengalami presipitasi atau proses
jatuhnya hujan air, hujan es dan sebagainya ke bumi. Seperti itulah proses terjadinya hujan.
Ada dua teori pembentukan hujan yaitu teori bergeron dan teori tumbukan dan penyatuan.

1. Teori Bergeron
Teori ini berlaku untuk awan dingin (di bawah 0 0C) yang terdiri dari kristal es dan
air lewat dingin (air yang suhunya di bawah 0 0C tapi belum membeku). Peristiwa ini sering
terjadi pada awan cumulus yang tumbuh menjadi cumulonimbus dengan puncak awan berada
dibawah titik beku.

2. Teori Tumbukan dan Penyatuan


Menurut teori ini, butir-butir awan hanya terjadi dari air. Hujan terjadi berdasarkan
perbedaan kecepatan jatuh antara butir-butir curah hujan yang berbeda ukurannya. Butir air
yang lebih besar akan memiliki kecepatan jatuh lebih cepat daripada butir-butir kecil. Banyak
terjadi di daerah tropis yang berawan panas dengan perkembangan yang cepat.

3.2 Curah Hujan di Indonesia

Variabilitas iklim tahunan dan antar-tahunan di Indonesia cukup unik karena tidak sama
untuk semua daerah dan berpengaruh pada pola cuaca dan curah hujannya (Haylock and 4
McBride dalam Aldrian ). Sementara Tjasyono menjelaskan bahwa pola monsunal, ITCZ
(Inter Tropical Convergence Zone) dan konveksi troposfer (MJO) ialah beberapa pola cuaca
yang kerap mewarnai dinamika daerah beriklim tropis khususnya Indonesia. Selain itu
dengan interaksi daratan dan lautan serta topografi wilayah dalam skala lokal maka kajian
iklim regional di berbagai daerah di Indonesia merupakan suatu proses awal untuk
memahami pengaruh dari pola-pola cuaca tersebut baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Berbagai parameter cuaca yang diawali oleh radiasi matahari diteruskan dengan fluktuasi
suhu sehingga mengakibatkan perbedaan tekanan diberbagai tempat menjadi pemicu
pergerakan massa udara yang mengandung uap air dari siklus hidrologi, untuk kemudian

9
mengalami proses-proses termodinamik sehingga dapat menjadi awan dan selanjutnya turun
ke permukaan bumi sebagai hujan. Secara statistik curah hujan di wilayah beriklim tropis
seperti Indonesia merupakan salah satuparameter yang dapat menggambarkan kondisi cuaca
secara umum baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Curah hujan sangat bervariasi menurut tempat dan waktu (Handoko, 1994), volume dan
intensitasnya dapat berubah dengan cepat (Galvan et al., 2013). Penerimaan curah hujan dan
waktu terjadinya antara satu wilayah dapat berbeda dengan wilayah lain. Distribusi curah
hujan di suatu wilayah dalam rentang waktu tertentu bisa mengalami peningkatan dan
penurunan. Penyebaran dan keragamannya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti letak
geografi, topografi dan aliran udara atas (Hilario et al., 2009). Selanjutnya, Variasi curah
hujan suatu wilayah khususnya Indonesia sebagai benua maritim (Hendon, 2003; Qian, 2008)
berkaitan erat dengan interaksi dan fluktuasi fenomena yang disebabkan oleh dinamika
Atmosfer-lautan (Ropelewski dan Halpert, 1987; Giannini et al., 2007).

Berikut adalah tabel curah hujan tahunan rata-rata di Indonesia

10
3.3 Pola Curah Hujan di Indonesia

Pengaruh faktor fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya terhadap unsur-unsur


iklim/cuaca telah menghasilkan 3 (tiga) tipe curah hujan, yakni: tipe ekuatorial, tipe monsun
dan tipe lokal. Ada beberapa faktor fisis penting yang ikut berperan terhadap proses
terjadinya hujan di wilayah Indonesia, di antaranya adalah: posisi lintang, ketinggian tempat
pola angin (angin pasat dan monsun), sebaran bentang darat dan perairan, serta pegunungan
dan gunung-gunung yang tinggi. Faktor-faktor tersebut, secara bersama-sama atau gabungan
antara dua faktor atau lebih akan berpengaruh terhadap variasi dan tipe curah hujan.
Berdasarkan proses terjadinya, paling tidak ada 3 tipe pola curah hujan yang terjadi di
wilayah Indonesia, yakni tipe ekuatorial, monsun dan lokal.
Indonesia terletak di antara dua samudra besar , yakni Samudra Pasifik di sebelah timur
laut dan Samudra Indonesia di sebelah barat daya, kedua samudra ini merupakan sumber
udara lembab yang banyak mendatangkan hujan bagi wilayah Indonesia. Pada siang hari
proses evaporasi dari permukaan kedua samudra ini secara nyata akan meningkatkan
kelembaban udara di atasnya.
Keberadaan dua benua yang mengapit kepulauan Indonesia, yakni Benua Asia dan
Benua Australia akan mempengaruhi pola pergerakan angin di wilayah Indonesia, arah angin
sangat penting peranannya dalam mempengaruhi pola curah hujan. Jika angin berhembus dari
arah Samudra Pasifik dan Samudra Indonesia, maka angin tersebut akan membawa udara
lembab ke wilayah Indonesia dan mengakibatkan curah hujan di wilayah Indonesia menjadi
tinggi, sedangkan jika angin berhembus dari arah daratan Benua Asia dan Benua Australia,
angin tersebut hanya mengandung sedikit uap air dan tidak banyak menimbulkan hujan.
Wilayah Indonesia yang berada di sekitar garis ekuator, dicirikan oleh musim kemarau
yang singkat dan musim hujan yang panjang, ini terjadi karena tempat-tempat di sekitar garis
ekuator merupakan zona pertemuan dua massa udara yang berasal dari dua belahan bumi.
Posisinya relatif sempit dan berada pada lintang rendah dan dikenal dengan nama Inter-
tropical Convergence Zone (ITCZ) atau juga dikenal dengan nama ekuator panas (heat
equator) atau front equator (equatorial fr ont).
ITCZ bergerak menuju ke arah utara saat musim panas di belahan Bumi Utara dan
menuju ke selatan saat musim panas di belahan Bumi Selatan, posisi rata-rata agak ke utara
dari ekuator , di atas lautan jelajah pergerakannya agak kecil, sedangkan di atas daratan atau
benua cukup besar . Tempat-tempat yang lokasinya bertepatan dengan garis ekuator pada
umumnya memiliki curah hujan yang tinggi dan terjadi 2 (dua) kali periode hujan dalam
setahun, keadaan seperti ini disebut memiliki pola curah hujan bimodal. Musim kemarau
secara berangsur-angsur menjadi lebih panjang untuk wilayah yang lebih jauh dari garis
ekuator ke arah selatan dan tenggara.
Pola curah hujan di Indonesia juga dipengaruhi oleh keberadaan deretan pegunungan.
Pegunungan merupakan penghalang fisik bagi pergerakan angin. Hujan orografis akan terjadi
jika udara lembab terdorong naik karena per gerakannya terhalang oleh keberadaan
pegunungan, Curah hujan untuk sisi arah datang angin lembab (wind-ward side)akan tinggi
dan pada sisi pegunungan disebelahnya (leeward) curah hujan akan sangat rendah

11
12
3.3.1 Tipe Ekuatorial

Pola ini berhubungan dengan pergerakan zona konvergensi ke arah utara dan selatan
mengikuti pergerakan semu matahari. Zone konver gensi merupakan pertemuan dua massa
udara (angin) yang berasal dari dua belahan bumi, kemudian udaranya ber gerak ke atas.
Angin yang ber gerak menuju satu titik dan kemudian bergerak ke atas disebut konvergensi,
dan tempat terjadinya konvergensi disebut daerah konver gensi. Posisinya relatif sempit dan
berada pada lintang rendah dan dikenal dengan nama Inter -tr opical Conver gence
Zone(ITCZ) atau Daerah Konvergensi Antar T ropik (DKA T). ITCZ juga dikenal dengan
nama ekuator panas (heat equator) atau front ekuator (equatorial fr ont) (Subarna, 2002: 45)

Di atas lautan Atlantik dan Pasifik posisi ITCZ sangat dekat terhubung dengan
“doldrums”(daerah 5°LU-5ºLS), maka ITCZ merupakan batas antara angin pasat utara-
timuran dengan angin pasat selatan-timuran, sedangkan di atas benua pergeseran posisi ITCZ
tampak lebih tegas. Sirkulasi monsun terhubung dengan pergeseran utara-selatan dari ITCZ,
dan juga tergantung pada kontras musiman dalam pemanasan daratan dan lautan sebagai
suatu sistem yang kompleks (Prawirowardoyo, 1996: 75).

13
ITCZ bergerak ke arah utara pada musim panas di belahan bumi utara (bulan Juli) dan
bergerak ke arah selatan pada musim panas di belahan bumi selatan (bulan Januari)
mengikuti lokasi pemanasan matahari maksimum, sehingga pada bulan Juli, yaitu saat
terjadinya maksimum musim panas di belahan bumi utara, posisi ITCZ berada di sekitar 25°
LU di atas benua Asia dan antara 5 s/d 10° LU di atas lautan. Pada bulan Januari, saat
terjadinya maksimum musim panas di belahan bumi selatan, ITCZ berada di sekitar 15° LS di
atas daratan (benua) dan dekat katulistiwa di atas lautan.
Letak ITCZ akan mempengaruhi curah hujan pada tempat-tempat yang bertepatan
dengan keberadaan ITCZ, dan kemungkinan besar akan menyebabkan hujan berhari-hari
dengan cuaca mendung terus menerus. ITCZ berada tepat di garis ekuator dua kali dalam
setahun, yakni pada bulan September dan bulan Maret, maka pada bulan-bulan tersebut di
atas ekuator terjadi konvergensi yang berkontribusi terhadap meningkatnya curah hujan.
Secara umum wilayah Indonesia di sekitar ekuator dicirikan dengan musim kemarau
yang singkat dan musim hujan yang panjang, serta dua kali maksimum curah hujan bulanan
dalam setahun. Musim Kemarau secara berangsur-angsur akan lebih panjang untuk wilayah
yang lebih jauh dari garis ekuator ke arah selatan dan tenggara, fenomena ini dapat dilihat
pada data curah hujan yang disajikan.
Pola curah hujan yang memiliki 2 (dua) kali maksimum curah hujan bulanan dalam
kurun waktu setahun disebut memiliki pola bimodal (dua puncak hujan), yang biasanya
terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi equinox. Di Indonesia, curah
hujan yang mengikuti pola ini terjadi di sebagian besar Daerahnya meliputi pulau Sumatra
bagian tengah dan Utara serta pulau Kalimantan bagian Utara, contohnya adalah yang terjadi
di Pontianak, Kota Mobagu, Sidikalang dan Bengkalis

14
3.3.2 Tipe Monsun

Curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh monsun yang digerakan oleh adanya sel
tekanan tinggi dan sel tekanan rendah di benua Asia dan Australia secara bergantian. Dalam
bulan DesemberJanuari-Februari (DJF) di Belahan Bumi Utara terjadi musim dingin
akibatnya terjadi sel tekanan tinggi di Benua Asia, sedangkan di Belahan Bumi Selatan pada
waktu yang sama terjadi musim panas, akibatnya terjadi sel tekanan rendah di benua
Australia. Oleh karena terdapat perbedaan tekanan udara di kedua benua tersebut, maka pada
periode DJF bertiup angin dari tekanan tinggi di Asia menuju ke tekanan rendah di Australia,
angin ini disebut Monsun Barat atau Monsun Barat Laut.
Dalam bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) terjadi sebaliknya, terdapat tekanan rendah di Asia
dan sel tekanan tinggi di Australia, maka pada periode JJA bertiup angin dari tekanan tinggi
di benua Australian menuju ke tekanan rendah di Asia, angin ini disebut Monsun Timur
atau Monsun Tenggara.

Monsun Barat biasanya lebih lembab dan banyak menimbulkan hujan daripada
Monsun Timur . Perbedaan banyaknya curah hujan yang disebabkan oleh kedua monsun
tersebut karena perbedaan sifat kejenuhan dari kedua massa udara (angin) tersebut. Pada
Monsun Timur arus udara bergerak di atas laut yang jaraknya pendek, sedangkan pada
Monsun Barat arus udara bergerak di atas laut dengan jarak yang cukup jauh, sehingga massa
udara Monsun Barat lebih banyak mengandung uap air dan menimbulkan banyak hujan
dibanding Monsun Timur.

15
Tipe hujan monsun di Indonesia dicirikan oleh tipe curah hujan yang bersifat
unimodial (satu puncak musim hujan), adanya perbedaan yang jelas antara periode musim
hujan dengan musim kemarau dalam satu tahun, dimana pada bulan Juni, Juli dan Agustus
terjadi musim kering, sedangkan untuk bulan Desember, Januari dan Februari merupakan
bulan basah. Sedangkan enam bulan sisanya merupakan periode peralihan atau pancaroba
(tiga bulan peralihan musim kemarau ke musim hujan dan tiga bulan peralihan musim hujan
ke musim kemarau). Tipe hujan ini terjadi di wilayah Indonesia bagian selatan, seperti di
ujung Pulau Sumatra bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku selatan. Contoh
curah hujan tipe monsun adalah yang terjadi di Serang, Jakarta dan Pasuruhan.

3.3.3 Tipe Lokal

Pola curah hujan tipe lokal dicirikan dengan besarnya pengaruh kondisi setempat, yakni
keberadaan pegunungan, lautan dan bentang perairan lainnya, serta terjadinya pemanasan
lokal yang intensif. Faktor pembentukannya adalah naiknya udara yang menuju ke dataran
tinggi atau pegunungan karena pemanasan lokal yang intensif. Tipe curah hujan ini banyak
terjadi di Maluku, Papua, dan sebagian Sulawesi.

16
Tipe curah hujan ini hanya terjadi satu kali maksimum curah hujan bulanan dalam
satu tahun atau bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya
berlawanan dengan tipe hujan monsun. Selain itu juga tampak adanya beberapa bulan kering
yang bertepatan dengan bertiupnya angin Muson Barat.

3.4 Penjelasan Objek Kajian Geografi

Objek material dalam fenomena ini merupakan objek material atmosfir dengan dimensi
horizontal, yaitu hujan dan pola persebarannya di Indonesia yang termasuk fenomena tropis.

Objek formal atmosfir dalam fenomena ini merupakan sudut pandang kita terhadap
fenomena tersebut dengan pendekatan keruangan, kewilayahan dan kelingkungan yang akan
dijelaskan lebih lanjut di bahasan selanjutnya.

3.5 Analisis Pola Curah Hujan di Indonesia dengan Pendekatan Geografi

3.5.1 Analisis Keruangan


Hujan adalah titik-titik air di udara atau awan yang sudah terlalu berat karena kandungan
airnya sudah sangat banyak, sehingga akan jatuh kembali ke permukaan bumi sebagai hujan
(presipitasi). Karakteristik curah hujan meliputi hal-hal yang menyangkut distribusi (tahunan,
musiman, bulanan, atau harian, intensitas,lamanya hujan, maupun frekuensi hari hujan,
walaupun karakteristik curah hujan dapat dilihat disuatu titik tertentu (curah hujan
menurut satu stasiun curah hujan).
Pola curah hujan di Indonesia merupakan objek dalam kajian makalah ini. Hujan di
Indonesia memiliki pola tersendiri, hal ini disebabkan oleh faktor fisiografis wilayah
Indonesia dan sekitarnya yang terhadap unsur-unsur iklim/cuaca telah menghasilkan 3 (tiga)
tipe curah hujan, yakni: tipe ekuatorial, tipe monsun dan tipe lokal. Ada pun faktor lain yaitu
faktor fisis yang ikut berperan terhadap proses terjadinya hujan di wilayah Indonesia, di
17
antaranya adalah: posisi lintang, ketinggian tempat pola angin (angin pasat dan monsun),
sebaran bentang darat dan perairan, serta pegunungan dan gunung-gunung yang tinggi.
Faktor-faktor tersebut, secara bersama-sama atau gabungan antara dua faktor atau lebih akan
berpengaruh terhadap variasi dan tipe curah hujan. Berdasarkan proses terjadinya, paling
tidak ada 3 tipe pola curah hujan yang terjadi di wilayah Indonesia, yakni tipe ekuatorial,
monsun dan lokal.
Faktor lain yang mempengaruhi pola curah hujan di Indonesia adalah letak Indonesia
yang diapit oleh dua samudra besar yaitu Samudra Pasifik dan Samudra Indonesia, diapit oleh
dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia, wilayah Indonesia yang berada di sekitar
garis ekuator atau dapat disebut kedalam zona Inter-tropical Convergence Zone (ITCZ), dan
deretan pegunungan yang dapat menjadi penghalang fisik pergerakan angin.

Pada Tipe Ekuatorial ITCZ berada tepat di garis ekuator dua kali dalam setahun, yakni
pada bulan September dan bulan Maret, maka pada bulan-bulan tersebut di atas ekuator
terjadi konvergensi yang berkontribusi terhadap meningkatnya curah hujan. Sedangkan Pada
bulan Januari, saat terjadinya maksimum musim panas di belahan bumi selatan, ITCZ berada
di sekitar 15° LS di atas daratan (benua) dan dekat katulistiwa di atas lautan.

Pada tipe Monson, bulan Desember JanuariFebruari sel tekanan tinggi di Benua Asia,
sedangkan terjadi sel tekanan rendah di benua Australia, angin bertiup dari tekanan tinggi di
Asia menuju ke tekanan rendah di Australia, angin ini disebut Monsun Barat atau Monsun
Barat Laut. Sedangkan dalam bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) terjadi sebaliknya, terdapat
tekanan rendah di Asia dan sel tekanan tinggi di Australia, maka pada periode JJA bertiup
angin dari tekanan tinggi di benua Australian menuju ke tekanan rendah di Asia, angin ini
disebut Monsun Timur atau Monsun Tenggara.
Sedangkan untuk pola curah hujan tipe lokal dicirikan dengan besarnya pengaruh
kondisi setempat.
Pola umum curah hujan di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh letak geografis. Secara rinci
pola umum hujan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pantai sebelah barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak
daripada pantai sebelah timur.
2. Curah hujan di Indonesia bagian barat lebih besar daripada Indonesia bagian timur.
Sebagai contoh, deretan pulau-pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang dihubungkan
oleh selat-selat sempit, jumlah curah hujan yang terbanyak adalah Jawa Barat.
3. Curah hujan juga bertambah sesuai dengan ketinggian tempat. Curah hujan terbanyak
umumnya berada pada ketinggian antara 600 – 900 m di atas permukaan laut.
4. Di daerah pedalaman, di semua pulau musim hujan jatuh pada musim pancaroba.
Demikian juga halnya di daerah-daerah rawa yang besar.
5. Bulan maksimum hujan sesuai dengan letak DKAT.
6. Saat mulai turunnya hujan bergeser dari barat ke timur seperti:
1) Pantai barat pulau Sumatera sampai ke Bengkulu mendapat hujan terbanyak pada
bulan November.

18
2) Lampung-Bangka yang letaknya ke timur mendapat hujan terbanyak pada bulan
Desember.
3) Jawa bagian utara, Bali, NTB, dan NTT pada bulan Januari – Februari.
7. Di Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Tengah, musim
hujannya berbeda, yaitu bulan Mei-Juni. Pada saat itu, daerah lain sedang mengalami
musim kering. Batas daerah hujan Indonesia barat dan timur terletak pada kira-kira
120( Bujur Timur. Grafik perbandingan empat pola curah hujan di Indonesia dapat
Anda lihat pada gambar dibawah ini.

Rata-rata curah hujan di Indonesia untuk setiap tahunnya tidak sama. Namun masih tergolong
cukup banyak, yaitu rata-rata 2000 – 3000 mm/tahun. Begitu pula antara tempat yang satu
dengan tempat yang lain rata-rata curah hujannya tidak sama.

Ada beberapa daerah yang mendapat curah hujan sangat rendah dan ada pula daerah yang
mendapat curah hujan tinggi:

1. Daerah yang mendapat curah hujan rata-rata per tahun kurang dari 1000 mm, meliputi
0,6% dari luas wilayah Indonesia, di antaranya Nusa Tenggara, dan 2 daerah di
Sulawesi (lembah Palu dan Luwuk).
2. Daerah yang mendapat curah hujan antara 1000 – 2000 mm per tahun di antaranya
sebagian Nusa Tenggara, daerah sempit di Merauke, Kepulauan Aru, dan Tanibar.
3. Daerah yang mendapat curah hujan antara 2000 – 3000 mm per tahun, meliputi
Sumatera Timur, Kalimantan Selatan, dan Timur sebagian besar Jawa Barat dan Jawa
Tengah, sebagian Irian Jaya, Kepulauan Maluku dan sebagaian besar Sulawesi.
4. Daerah yang mendapat curah hujan tertinggi lebih dari 3000 mm per tahun meliputi
dataran tinggi di Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, dataran tinggi Irian bagian
tengah, dan beberapa daerah di Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba.

3.5.2 Analisis Kelingkungan

Di Indonesia, setiap wilayah memiliki pola hujan yang berbeda-beda dan curah hujan
yang berbeda-beda, maka disetiap wilayah tersebut masing-masing penduduknya memiliki
aktifitas yang berbeda-beda, misalnya di daerah yang memiliki curah hujan tinggi
mempunyai aktifitas bercocok tanam dan bertani dengan varietas tumbuhan lebih beragam.
Daerah dengan curah hujan tinggi merupakan daerah dengan kontur dan juga kondisi
tanah pada lapisan atmosfer yang cenderung subur dan mudah untuk ditanami. Hal ini akan
semakin membuat kualitas sumber daya alam dari lokasi dan juga daerah yang bercurah
hujan tinggi menjadi semakin baik dan berlimpah. Masyarakat Indonesia akan dapat lebih
mudah dalam bercocok tanam dan juga berkebun untuk menghasilkan bahan pangan dan
kebutuhan sehari – hari dari sektor pertanian dan juga agrarian.
Selain itu, dengan adanya curah hujan yang tinggi dan beriklim Tropis maka, di
Indonesia terdapat banyak hutan hujan tropis yang banyak akan hasil sumber daya alamnya,
umumnya masyarakat Indonesia sering mengkonsumsi bahan makanan dan juga sumber daya

19
alam yang melimpah, selain itu masyarakat Indonesia juga menghirup udara segar dari hutan
hujan tropis tersebut.
Namun, daerah dengan curah hujan tinggi denagan minimnya daya serap tanah seperti
didaerah perkotaan, maka bila saat hujan turun secara terus menerus akan mengakibatkan
bencana alam seperti banjir, masyarakat didaerah tersebut di perlukan juga kewaspadaan dan
tanggap bencana jika sewaktu-waktu terjadi bencana alam
Di Indonesia juga ada sebagian daerah yang memiliki curah hujan rendah. Daerah
yang memiliki curah hujan rendah, masyarakat akan kesulitan mendapatkan pasokan air
bersih untuk keperluan sehari – hari, seperti untuk mandi, sumber air minum, mencuci piring
dan pakaian, serta sangat rentan mengalami kekeringan karena dengan curah hujannya yang
rendah ditambah dengan panasnya matahari pada saat musim panas, tanaman pun akan sulit
untuk bertumbuh yang disebabkan oleh kurangnya kandungan air dalam tanah, masyarakat di
daerah dengan curah hujan rendah pun akan sulit untuk bercocok tanam.
Suhu udara yang panas dan tidak sejuk di daerah yang memiliki curah hujan rendah
dapat menyebabkan dehidrasi, dengan suhu yang sangat tinggi ini, terkadang aktivitas dari
masyarakat akan menjadi terganggu, dan bila curah hujan yang rendah namun dengan tingkat
polusi tinggi di suatu daerah maka dapat menyebabkan debu dan polusi udara tidak bisa
teredam, hal ini dapat menyebabkan infeksi dan gangguan saluran pernafasan (ISPA) bagi
masyarakat.

3.5.3 Analisis Kewilayahan

Wilayah Indonesia yang terbagi dalam tiga tipe curah hujan dan masing-masing
memiliki karakteristik yang berbeda.
Di Indonesia bagian barat, tipe hujan yang terjadi adalah tipe monsun dan tipe
equatorial. Pulau Jawa, Kalimantan Selatan serta bagian timur pulau Sumatera adalah
wilayah yang didominasi oleh hujan bertipe monsoon. Sedangkan Kalimantan Barat serta
wilayah barat pulau Sumatera adalah wilayah yang didominasi olah hujan bertipe equatorial.
Di Indonesia bagian tengah tipe hujan yang terjadi adalah tipe hujan monsun, tipe
equatorial dan tipe hujan lokal. Tipe hujan monsun terjadi di bagian selatan pulau Sulawesi,
Nusa Tenggaraserta bagian selatan pulau Kalimantan. Tipe hujan equatorial terjadi di
sebagian besar pulau Sulawesi dan Kalimantan Timur. Sedangkan hujan bertipe lokal hanya
terjadi di beberapa daerah saja, seperti Sinjay, Luwuk dan Palu.
Di Indonesia bagian Timur tipe huja yang terjadi adalah tipe hujan monsoon, tipe
equatorial dan tipe hujan local. Tipe hujan monsoon terjadi di Wamena, Merauke, Jayapura,
sebagian besar pulau Ambon dan Buru, daerah utara pulau Halmahera serta pulau-pulau kecil
di bagian selatan. Tipe hujan equatorial di sebagian besar pulau Halmahera dan sebagian
besar pulau Papua. Sedangkan hujan bertipe lokal terjadi di pulau Sula, daerah selatan pulau
Ambon dan Buru, Sorong, Fakfak serta pulau-pulau di dekat daerah Sorong.

3.6 Penerapan Prinsip Geografi sebagai Landasan Pengkajian Fenomena

Penerapan prinsip persebaran dalam pengkajian fenomena pola curah hujan di Indonesia
ialah terlihat tidak meratanya berbagai pola hujan. Bisa kita lihat dalam peta pola curah hujan

20
bahwa pola tersebut berkelompok di wilayah tertentu, terutama tipe lokal yang hanya terlihat
di beberapa daerah yang sempit (tidak seluas area tipe ekuator dan tipe monsun).

Penerapan prinsip interelasi dalam fenomena pola curah hujan di Indonesia ialah
terlihatnya masing-masing daerah dengan tipe masing-masing saling berkaitan dengan tipe
lain, terutama dalam bidang pertanian karena perbedaan tipe pola hujan dapat mengakibatkan
perbedaan curah hujan yang berdampak pada perbedaan vegetasi di tiap-tiap area. Sehingga
untuk memenuhi kebutuhan pangannya akan ada hubungan timbal balik antar daerah.

Penerapan prinsip deskripsi dalam pengkajian fenomena pola curah hujan di Indonesia
ialah dijabarkannya tiga tipe pola curah hujan di Indonesia secara terperinci, sehingga dapat
terlihat karakteristik khas daerah masing-masing tipe pola curah hujan.

Penerapan prinsip korologi dalam pengkajian fenomena pola curah hujan di Indonesia
ialah dengan memperhatikan persebaran ruangnya, interelasi antar tipe curah hujan, serta
interaksi atau pengaruh dari fenomena tersebut tehadap kehidupan di daerah tersebut. Dengan
demikian akan terungkap karakteristik dari tipe curah hujan tersebut dari berbagai aspek.

21
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Hujan adalah titik-titik air di udara atau awan yang sudah terlalu berat karena kandungan
airnya sudah sangat banyak, sehingga akan jatuh kembali ke permukaan bumi sebagai hujan
(presipitasi). Karakteristik curah hujan meliputi hal-hal yang menyangkut distribusi (tahunan,
musiman, bulanan, atau harian), intensitas,lamanya hujan, maupun frekuensi hari hujan
Ada beberapa faktor fisis penting yang berpengaruh terhadap proses terjadinya hujan di
wilayah Indonesia, di antaranya adalah: posisi lintang, pola angin (angin pasat dan monsun),
keberadaan lautan dan permukaan air lainnya, serta pegunungan dan gunung-gunung yang
tinggi. Dari pengaruh faktor-faktor fisik tersebut, paling tidak ada 3 tipe pola curah hujan
yang terjadi di wilayah Indonesia, yakni tipe ekuatorial, monsun dan tipe lokal.
Tipe ekuatorial, pola ini berhubungan dengan pergerakan zona konvergensi ke utara dan
selatan mengikuti pergeraan semu matahari, dicirikan oleh dua kali maksimum curah hujan
bulanan dalam setahun. Wilayah Indonesia yang mengikuti pola ini adalah sebagian wilayah
Sumatra dan Kalimantan.
Tipe Monsun, Pola monsun dipengaruhi oleh angin laut dalam skala yang sangat luas.
Tipe hujan ini dicirikan oleh adanya perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan
kemarau dalam setahun, dan hanya terjadi satu kali maksimum curah hujan bulanan dalam
setahun. Sebaran tipe curah hujan ini adalah di pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara
Tipe Lokal, Pola curah hujan tipe lokal dicirikan dengan besarnya pengaruh kondisi
lingkungan fisis setempat, misalnya bentang perairan atau lautan, pegunungan yang tinggi,
serta pemanasan lokal yang intensif. Pola lokal hanya terjadi satu kali maksimum curah hujan
bulanan dala waktu satu tahun, dan tampak adanya beberapa bulan kering yang bertepatan
denga bertiupnya angin Muson Barat. Lokasi sebarannya meliputi Papua, Maluku dan
sebagian Sulawesi.
Jumlah curah hujan rata-rata yang turun di pelbagai tempat di wilayah Indonesia dalam
setahun berkisar antara 500 mm sampai lebih dari 5000 mm. Banyak sedikitnya curah hujan
juga dipengaruhi oleh letak dan ketinggian suatu tempat, yakni tempat-tempat yang letaknya
di pantai barat atau selatan yang langsung menghadapi angin barat memiliki curah hujan yang
besar.

4.2 Saran

1. Dengan mengetahui karakteristik dari area masing-masing tipe pola curah hujan,
pemerintah dan masyarakat harus bisa memanfaatkan keuntungannya maupun
menanggulangi permasalahan yang akan timbul.
2. Pemerintah dan masyarakat bisa mengoptimalkan hubungan timbal balik dari tiap
ruang.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Wardiatmoko. 2013. Geografi untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta: Erlangga.


2. Tukidi. 2010. Karakter Curah Hujan di Indonesia, Volume 7 No. 2
3. Aldrian, Edvin. 2001. Pembagian Iklim Indonesia Berdasarkan Pola Curah Hujan
Dengan Metoda “Double Correlation”, Volume 2 No. 1
4. Prawirowardoyo, S. 1996. Meteorologi. Bandung: Penerbit ITB
5. https://kadarsah.wordpress.com/2007/06/29/tiga-daerah-iklim-indonesia/
6. http://www.geografi.org/2017/11/pola-curah-hujan-di-indonesia.html
7. https://id.wikipedia.org/wiki/Hujan
8. http://www.bmkg.go.id/iklim/informasi-hujan-bulanan.bmkg?p=analisis-curah-hujan-
dan-sifat-hujan-bulan-desember-2017&tag=&lang=ID
9. http://www.bmkg.go.id/iklim/perubahan-normal-curah-hujan.bmkg

23

Anda mungkin juga menyukai