Anda di halaman 1dari 6

Klasifikasi iklim di Indonesia pada umumnya menggunakan empat metode,yaitu metode

menurut Mohr, Schmidt dan Ferguson, Oldeman dan Koppen. Masing-masing metode yang
digunakan memiliki tata cara dan kriteria tersendiri yang menjadi parameter penentuan tipe
iklim.Oleh karena mempunyai tata cara dan kriteria yang berbeda-beda tentunya setiap metode
klasifikasi iklim memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda pula. Klasifikasi Mohr
didasarkan pada hubungan antara penguapan dan besarnya curah hujan. Mohr membagi pula dari
hubungan antara besarnya penguapan dan curah hujan tersebut menjadi tiga macam bulan, yaitu
bulan basah apabila curah hujan >100 mm per bulan, bulan lembab bila curah hujan bulan
berkisar antara 100 60 mm dan bulan kering bila curah hujan < 60 mm per bulan.Pada Kota
Banjarmasin menurut data yang diperoleh dari periode tahun 1980 sampai dengan tahun 1989
didapati hasil bahwa bulan basah terjadi setiap bulan yang diperoleh dari hasil rata-rata curah
hujan selama periode tersebut yang berarti pada daerah Banjarmasin tidak terdapat bulan kering
sepanjang tahun 1980-1989. Bulan paling kering yang terjadi pada periode tersebut terdapat pada
Bulan Agustus dengan curah hujan sebesar 61,6 mm namun angka tersebut masih termasuk
dalam kategori bulan lembab. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan melalui metode Mohr dapat
diketahui bahwa daerah Banjarmasin termasuk golongan I, yaitu daerah basah dengan curah
hujan melebihi penguapan selama 12 bulan, tanpa periode kering, dengan 3 BL (bulan lembab)
yaitu pada Bulan Juni, Agustus, dan September.
Metode Mohr ini mempunyai kelebihan dan kelemahan antara lain adalah kelebihannya
klasifikasi Mohr sudah cukup mewakili berbagai jenis tanah di Indonesia walaupun tanah bukan
merupakan parameter dasar, sementara kelemahannya adalah sistem pengklasifikasiannya
berdasarkan pada rata-rata bulanan oleh karena itu kurang sesuai dalam memberikan gambaran
yang baik mengenai keadaan iklim Indonesia serta tidak memasukan sifat fisik tanah yang dapat
mempengaruhi dalam penentuan iklim
Sistem Schmidt dan Ferguson merupakan perbaikan Sistem Mohr yang telah membuat
klasifikasi iklim khususnya untuk daerah tropika. Dasar untuk membuat penggolongan iklim
oleh Schmidt dan Ferguson adalah dengan cara menghitung dan menentukan quitient (Q rerata)
jumlah bulan kering dan rerata bulan basah. Langkah pertama ditentukan terlebih dahulu tentang
status bulan. Untuk ini mereka menggunakan kriteria yang dibuat oleh Mohr ( Nur, 2005).
Perbedaan antara sistem Schmidt dan Ferguson dengan sistem klasifikasi Mohr terletak dalam
hal penentuan derajat kebasahan bulan dan cara perhitungannya. Menurut Mohr perhitungan BB,

BK, dan BL dilakukan dengan rerata jumlah curah hujan sejenis. Sementara menurut Schimdt
dan Ferguson, penentuan BK, BL, BB dilakukan untuk setiap jumlah curah hujan bulanan.
Hasil pengamatan dan perhitungan dari data pengamatan di stasiun Banjarmasin periode
tahun 1980 sampai tahun 1989 didapatkan hasil bahwa terdapat 84 bulan basah , 12 bulan
lembab sebanyak, dan 24 bulan kering sebanyak. Setelah itu dilakukan perhitungan untuk
mencari nilai Q dan didapatkan nilai Q sebesar 0,28. Nilai 0,28 tersebut merujuk pada metode
Schmidt-Fergusson terletak pada kriteria antara 0,143<Q<0,333 yang berarti merupakan tipe
iklim golongan B atau merupakan daerah basah, vegetasi hutan hujan tropis.BMKG,seperti yang
dilansir pada situs http://www.klimatologibanjarbaru.com menyatakan bahwa Kota Banjarmasin
memiliki tipe iklim golongan B pada sistem klasifikasi Schmidt-Fergusson dengan nilai Q 0,238
yang berarti perhitungan dari data pengamatan di stasiun Banjarmasin periode tahun 1980
sampai tahun 1989 masih relevan dengan keadaan sekarang.
Sistem klasifikasi iklim Schmidt-Fergusson mempunyai kelebihan dan
kekurangan dalam penentuan iklim. Kelebihan dari metode SchmidtFergusson antara lain adalah dapat mengetahui pergeseran iklim tiap tahun,
memudahkan pengamatan dalam melihat kapan terjadinya bulan kering dan
bulan basah. Sementara kelemahan dari klasifikasi ini adalah terdapat bulanbulan basah yang dalam perhitungan terabaikan padahal jumlahnya
mungkin lebih banyak dari bulan basah atau bulan kering. Selain itu
penentuan tipe iklim menurut klasifikasi ini hanya mengacu pada

unsur

iklim hujan dan dalam menentukan iklim diperlukan data hujan bulanan
paling sedikit 10 tahun.
Oldeman dalam klasifikasinya lebih menekankan pada hubungan iklim dan tanaman,
sehingga disebut juga Sistem Klasifikasi Agroklimat. Menurut Rafii dalam Sasminto
et al (2014) klasifikasi SchmidtFerguson memiliki beberapa klasifikasi iklim
antara lain sangat basah, basah, agak basah,sedang, agak kering, kering,
sangat kering, dan luar biasa kering. Klasifikasi iklim Oldeman tergolong
klasifikasi yang baru di Indonesia.Klasifikasi ini cukup berguna terutama
dalam klasifikasi lahan pertanian tanaman pangan di Indonesia. Oldeman
membuat dan menggolongkan tipe-tipe iklim di Indonesia berdasarkan pada
kriteria bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering secara berturut-turut.

Dengan iklim yang berganti ganti pada suatu wilayah maka dengan
klasifikasi Oldeman ini wilayah tersebut dapat menentukan tindakan dan
waktu kapan petani dapat menanam padi dan kapan juga petani dapat
menanam tanaman palawija. Dalam metode Oldeman, bulan basah mempunyai curah
hujan sekurang-kurangnya 200 mm, sementara pada bulan kering mempunyai jumlah curah
hujan kurang dari 100 mm. Ketentuan bulan basah dan bulan kering ini didasarkan karena padi
sawah dipandang cukup untuk dibudidayakan pada curah hujan 200 mm tiap bulan, sedangkan
untuk sebagian besar palawija, jumlah curah hujan minimal yang diperlukan tiap bulan adalah
100 mm.
Dari hasil pengamatan dari data pengamatan di stasiun Banjarmasin periode tahun 1980
sampai tahun 1989 dapat diketahui bahwa stasiun Banjarmasin termasuk dalam zona C2 dalam
sistem klasifikasi Oldeman yaitu daerah dengan 5-6 BB berurutan dan kemudian mempunyai BK
2-3 sehingga dapat disimpulkan bahwa Kota Banjarmasin merupakan daerah yang memiliki
musim hujan yang cukup lama dengan curah hujan cukup tinggi sepanjang tahunya.Hal tersebut
cukup sesuai jika dibandingkan dengan data yang dari BMKG yang dilansir dari
http://www.klimatologibanjarbaru.com yang menyatakan bahwa daerah Banjarmasin jika dilihat
dari sistem klasifikasi Oldeman mempuyai tipe iklim C2 dengan tingkat kebasahan 5,yang
apabila dijabarkan memiliki penanaman padi dapat dilakukan sekali dalam setahun dan
penanaman palawija dapat dilakukan dua kali dalam setahun namun penanaman palawija harus
memperhatikan waktu tanamnya,jangan sampai jatuh pada bulan kering.
Kelebihan metode Oldeman dibandingkan dengan sistem Mohr dan Schmidt-Fergusson
metode Oldeman lebih maju karena metode Oldeman yang telah mempertimbangkan unsur
cuaca yang lain seperti radiasi matahari yang dihasilkan dengan kebutuhan air tanaman sehingga,
dengan memanfaatkan sistem klasifikasi ini,

dapat diperkirakan pola tanam dengan

memperhatikan hubungan antara iklim dan tanaman. Namun, metode Oldeman memiliki
kekurangan yaitu sistem ini menjadikan curah hujan sebagai salah indikator terpentingnya,
sehingga terdapat banyak kesulitan dan kendala dalam menentukan iklim suatu wilayah yang
terdapat 4 musim pertahunnya. Selain hal tersebut, metode ini tidak dapat menjelaskan
pergeseran iklim bulanan yang terjadi.
Klasifikasi Koppen merupakan kelasifikasi utama yang berdasarkan pada hubungan
antara iklim dan pertumbuhan vegetasi. Dasar klasifikasi ini adalah suhu hujan rata-rata bulanan

maupun tahunan yang dihubungkan dengan keadaan vegetasi alami berdasarkan peta vegetasi De
Candolle. Menurut Koppen vegetasi yang hidup secara alami menggambarkan iklim tempat
tumbuhnya.Vegetasi tersebut tumbuh dan berkembang sesuai dengan hujan efektif, yaitu
kesetimbangan antara hujan, suhu, dan evapotraspirasi. Jumlah hujan yang sama akan berbeda
kegunaanya bila jatuh pada musim yang berbeda. Oleh karena itu, batas-batas klasifikasi Koppen
berkaitan dengan batas-batas penyebaran vegetasi ( Nuryadi et al,2010)
Dari hasil pengamatan dari data pengamatan di stasiun Banjarmasin periode tahun 1980
sampai tahun 1989 tersebut diperoleh informasi bahwa lokasi stasiun Banjarmasin memiliki
curah hujan rata-rata bulan terkering 61,6 mm yaitu pada bulan Agustus yang menunjukan bahwa
Kota Banjarmasin tidak memiliki bulan kering dan berarti termasuk dalam tipe iklim Af jika
ditinjau dengan sistem klasifikasi Koppen hal ini cukup sesuai apabila dibandingkan dengan data
yang dilansir https://id.climate-data.org yang juga menyatakan bahwa Kota Banjarmasin
memiliki tipe iklim Af menurut sistem klasifikasi Koppen.Menurut Betha et al ( 2008 ),hampir
seluruh dari wilayah Kalimantan mempunyai tipe iklim Af-Aw menurut sistem klasifikasi
Koppen.
Seperti pada metode metode sebelumnya, Klasifikasi iklim Koppen
memiliki kelebihan dan kekurangan,antara lain adalah :

Kelebihan klasifikasi Koppen :


1. Penyusunan simbol-simbol

tipe

iklim

yang

dengan

tepat

merumuskan sifat dan corak masing-masing tipe iklim, hanya


dengan tanda yang terdiri dari kombinasi beberapa huruf saja.
2.

Klasifikasi Koppen telah diterima sejak lama dan sudah familiar


dikalangan ahli geografi.

3.

Mudah dipahami oleh orang awam

4.

Sistem bersifat kuantitatif yaitu penggunaan nilai-nilai numerik


untuk mendefinisikan batas-batas dan lambang-lambang tidak
hanya untuk kelompok dan tipe-tipe iklim yang besar tetapi juga
untuk bagian-bagiannya yang lebih kecil beserta karakteristiknya.

5.

Sistem

Koppen

merupakan

batasan dan tipe iklim

suatu

klasifikasi

empiris

yang

didasarkan pada pengamatan sifat-sifat

temperatur dan presipitasi sehingga

tidak mengalami kesulitan

untuk disesuaikan dengan pola genetika yang menekankan pada


kendali iklim lainya. Oleh karena itu, sistem ini mempunyai
kelebihan sebagai klasifikasi empiris dengan dukungan genetik.
6.

Berlaku umum yaitu berlaku untuk seluruh iklim bumi dan lebih

spesifik dalam menjelaskan jenis iklim.


Kekurangan klasifikasi Koppen :
1. Tidak dapat menjelaskan tanaman budidaya yang cocok pada suatu
tempat

karena

hanya

melihat

tempat,sehingga akan kurang

tanaman

endemik

suatu

tepat apabila digunakan dalam

menentukan pola tanam tanaman budidaya.


2. Menjemukan, karena sistem klasifikasi ini membuat uraian tanpa
referensi terhadap asal mulanya.
3. Terdapat penyimpangan-penyimpangan yang banyak dan penting
dari apa yang dianggap sebagai pola bumi, tetapi penyimpanganpenyimpangan

itu

membutuhkan

penjelasan-penjelasan

yang

banyak pula.
4. Klasifikasi Koppen mengidentifikasikan lima kelompok utama iklim
yang didefiniskan secara termal kecuali B, iklim-iklim kering yang
tidak diidentifikasikan secara termal yang berada disela-sela antara
keempat yang lain bukannya tersendiri pada posisi akhir atau awal
iklim untuk memberikan tekanan pada dasar yang digunakan untuk
klasifikasi yang tidak sama.

Anonim.2013.Klasifikasi Iklim
Oldeman.<http://www.klimatologibanjarbaru.com/klimatologi/publikasi/keter
angan-oldeman/>. Diakses pada tanggal 16 November 2015.
Anonim.2013.Klasifikasi Iklim
Oldeman.<http://www.klimatologibanjarbaru.com/klimatologi/publikasi/schid
midt-ferguson/>. Diakses pada tanggal 16 November 2015.

Anonim.2013.Klasifikasi Iklim Oldeman.<http https://id.climatedata.org/location/585890/>. Diakses pada tanggal 16 November 2015.


Retno,A,Sasminto., Alexander.T., J,Bambang, W,..2014. Analisis Spasial
Penentuan Iklim Menurut Klasifikasi Schmidt-Ferguson dan Oldeman di
Kabupaten Ponorogo. Jurnal Sumberdaya Alam & Lingkungan 1 :51-56
Betha Lusiana, Rudy Widodo, Elok Mulyoutami,Dudy Adi Nugroho and Meine
van Noordwijk. Assessing hydrological situation of kapuas hulu basin, kapuas hulu
regency,west kalimantan. World Agroforestry Centre 57 :12-13
Nuryadi,Basuki,Indawansani.2010. Analisis karakteristik iklim untuk optimalisasi
produksi kedelai dl provinsi lampung. Pusat Penelitian Dan Pengembangan
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika :15

Anda mungkin juga menyukai