Anda di halaman 1dari 17

Laporan Praktikum

Agroklimatologi

KLASIFIKASI IKLIM

NAMA : Besse Nur Rahmah


NIM : G011231029
KELAS : Agroklimatologi A
KELOMPOK : 1 (Satu)
ASISTEN : 1. Nurul Azizah
2. Andi Ainun Azzahra Sultan

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN


PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Iklim merupakan gabungan berbagai kondisi cuaca sehari-hari atau dikatakan
sebagai rata-rata cuaca. Iklim disusun oleh unsur-unsur yang sama dengan yang
menyusun cuaca. Iklim dari suatu tempat disusun oleh unsur- unsur yang
variasinya besar, sehingga hampir tidak mungkin untuk dua tempat memiliki
iklim yang identik. Iklim merupakan gabungan berbagai kondisi cuaca sehari-hari
atau dikatakan iklim merupakan rerata cuaca. Iklim yang terdapat di suatu daerah
atau wilayah tidak dapat dibatasi hanya oleh satu analisir iklim tetapi merupakan
kombinasi berbagai anasir iklim ataupun cuaca. Untuk mencari harga rerata
tergantung pada kebutuhan dan keadaan (Anna, 2021).

Kondisi cuaca ataupun iklim ini dicirikan oleh unsur-unsur atau komponen
atau parameter cuaca atau iklim antara lain suhu, angin, kelembaban, penguapan,
curah hujan serta lama dan intensitas penyinaran matahari. Kondisidari unsur-
unsur tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tinggi tempat, lintang
tempat dan posisi matahari berada (Suryana, 2020).
Klasifikasi iklim umumnya sangat spesifik yang didasarkan atas tujuan
penggunaannya, misalnya untuk pertanian, penerbangan atau kelautan.
Pengklasifikasian iklim yang spesifik tetap menggunakan data unsur iklim sebagai
landasannya, tetapi hanya memilih data unsur-unsur iklim yang berhubungan dan
secara langsung memengaruhi aktivitas atau objek dalam bidang-bidang tersebut.
Terdapat berbagai klasifikasi iklim yang dikemukakan oleh beberapa ahli, seperti
Koppen, Thornthwaite, Mohr, Junghun, Schmidt-Ferguson, dan Oldeman. Yang
menggunakan metode yang berbeda-beda di setiap pengamatannya. (Purba, 2021).
Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan praktikum klasifikasi iklim
untuk mengetahui cara menentukan keadaan iklim atau curah hujan suatu wilayah.
Iklim suatu daerah disusun oleh unsur-unsur yang variasinya besar, sehingga
hampir tidak mungkin dua tempat yang berbeda mempunyai iklim yang identik.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum klasifikasi iklim adalah untuk mengetahui keadaan
iklim atau curah hujan suatu wilayah dan untuk mengetahui cara menghitung data
dari hasil pengamatan curah hujan suatu wilayah.
Kegunaan dari praktikum ini adalah agar dapat dijadikan sebagai informasi
keadaan curah hujan pada suatu wilayah tertentu sehingga kita dapat menentukan
waktu yang tepat dalam melakukan suatu kegiatan dalam hal bercocok tanam.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Wajo


Kabupaten Wajo dengan kota Sengkang, terletak di bagian tengah Provinsi
Sulawesi Selatan dengan jarak 242 km dari Makassar yang merupakan kota
Provinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayah Kabupaten Wajo 2. 506.19 km2 atau
4,01% dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis terletak
antara 3°39'-4°16' LS dan 119°53'-120°27 BT. Secara administratif, batasan wilayah
Kabupaten Wajo yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan
Sidrap, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bone dan Soppeng, sebelah
timur berbatasan dengan Teluk Bone, dan sebelah barat berabatasan dengan
Kabupaten Soppeng dan Sidrap (Latif et al., 2022).
Penggunaan lahan sawah 155.801 hektar dan 40.983 hektar lainnya adalah
lahan non-sawah sedangkan lahan kering berupa penggembalaan atau padang
rumput 13.414 hektar sekitar 8,16%. Tahun 2007 Kabupaten Wajo telah menjadi
14 wilayah kecamatan. Selanjutnya berdasarkan keempat-belas daerah kecamatan
terbentuk daerah-daerah yang lebih kecil, yang secara holistik terbagi menjadi 44
daerah yang berstatus kelurahan dan 132 daerah yang berstatus desa. Masing-
masing daerah kecamatan memiliki potensi sumber daya alam dan sumber daya
manusia yang berbeda, pemanfaatan sumber-sumber yang ada relatif sama
bertujuan dalam hal menunjang pertumbuhan pembangunan di wilayahnya agar
daerah berkembang dengan maksimal (Putri, 2022).
Iklim di wilayah Kabupaten Wajo dibagi menjadi 5 (lima), yaitu tipe iklim
C1, D, D2, E2 dan E3. Tipe iklim C1 termasuk tipe iklim agak basah dengan curah
hujan rata-rata 250-3000 mm / tahun dan memiliki jumlah bulan basah sebanyak
dari 5-6 bulan/tahun. Tipe iklim D termasuk tipe iklim agak basah dengan curah
hujan rata-rata 200-250 mm/tahun. Tipe D1 dan D2 memiliki 3-4 bulan basah/
tahun. Sedangkan tipe iklim E2 dan E3 termasuk tipe iklim kering dengan jumlah
bulan basah 0-2 bulan/tahun. Iklim Kabupaten Wajo tergolong beriklim tropis
yang termasuk tipe B dengan 29 °C 31 °C atau suhu rata-rata 29 °C siang hari.
Daerah ini tahunnya berlangsung agak pendek yaitu rata-rata 3 (tiga) bulan yaitu
Bulan April sampai dengan Bulan Juli, dan Bulan Agustus sampai dengan Bulan
Oktober, curah hujan rata-rata 8.000 mm dengan 120 hari hujan (Putri, 2022).
2.2 Iklim
Iklim adalah kondisi cuaca rata-rata dalam setahun, dan surveinya bersifat
jangka panjang dan ekstensif. Iklim di berbagai belahan dunia berubah sepanjang
tahun, tergantung pada musim. Hal ini disebabkan oleh kemiringan sumbu bumi
saat mengorbit Matahari. Daerah tropis yang suhunya konstan sepanjang tahun,
curah hujan menentukan musim, yaitu kemarau atau hujan. Lebih jauh ke utara
dan selatan, perubahan iklim menjadi lebih parah (terutama perubahan suhu),
dengan empat musim utama yaitu musim dingin, musim semi, musim panas dan
musim gugur pada iklim sub-tropis (Lusiana, 2018).
Perubahan iklim merupakan salah satu ancaman yang sangat serius terhadap
sektor pertanian dan berpotensi mendatangkan masalah baru bagi keberlanjutan
produksi pangan dan sistem produksi pertanian pada umumnya. Pertanian
merupakan subsektor tanaman pangan dan hortikultura yang paling rentan
terhadap perubahan pola curah hujan. Perubahan iklim mengakibatkan
peningkatan curah hujan di wilayah tertentu dan sekaligus kekeringan di tempat
yang lain. Sehingga berdampak bagi petani yang tidak lagi tepat memprediksi
musim tanam secara akurat dan tepat (Sudarma et al., 2018).
Pengaruh perubahan iklim terhadap pertanian bersifat multidimensional,
mulai dari sumber daya, infrastruktur pertanian, dan sistem produksi, hingga
ketahanan pangan. Dampak perubahan iklim ekstrim dapat berupa kekeringan
sehingga perubahan iklim menempati urutan pertama penyebab gagal panen.
Kondisi ini berimplikasi terhadap penurunan produksi dan kesejahteraan petani.
Selain berpengaruh langsung terhadap tingkat produksi tanaman pangan,
perubahan iklim juga memiliki pengaruh tidak langsung yang dapat menurunkan
produktivitas tanaman pangan dengan meningkatnya serangan hama dan penyakit
bagi tanaman yang dibudidaya (Sari, 2021).
2.3 Hujan dan Curah Hujanr
Hujan adalah proses pengembalian air yang telah diuapkan ke atmosfer
menuju ke permukaan bumi. Pengembalian ini akibat dari udara yang naik hingga
melewati ketinggian kondensasi dan berubah menjadi awan. Musim hujan
merupakan berkah bagi petani, dimana air melimpah sehingga tanaman yang
dibudidayakan dapat tumbuh dengan baik. Namun disisi lain, pada musim hujan
biasanya tanaman akan lebih rawan hama penyakit, terutama pada tanaman
sayuran. Salah satunya disebabkan karena secara alami air hujan yang bersifat
asam. Pentingnya memperhatikan musim tanam sebagai penyesuaian terhadap
kondisi curah hujan dan iklim, karena untuk melakukan budidaya tanaman, agar
tanaman dapat menghasilkan secara optimal, maka harus memerhatikan syarat
tumbuh tanaman karena musim tanam yang tidak sesuai dengan kondisi curah
hujan bisa berdampak terhadap kegagalan panen atau penurunan produksi
berakibatkan peluang terserang penyakit dan hama (Syawaluddin, 2022).
Curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah dalam
waktu tertentu. Curah hujan yang dibutuhkan untuk menyusun suatu rencangan
pemanfaatan air dan rencana pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata
diseluruh daerah yang bersangkutan, bukan hanya curah hujan pada satu titik saja.
Data curah hujan dan debit merupakan data yang sangat penting dalam
perencanaan waduk. Analisis data hujan dimaksudkan untuk mendapatkan besaran
curah hujan. Perlunya menghitung curah hujan wilayah adalah untuk penyusunan
suatu rancangan pemanfaatan air bagi pertanian (Suryana, 2020).
Tiga tipe hujan yang umum dijumpai di daerah tropis dapat disebutkan
sebagai hujan konveksional tipe ini disebankan oleh adanya beda panas yang
diterima permukaan tanah dengan panas yang diterima oleh lapisan udara diatas
permukaan tanah. Tipe hujan frontal tipe hujan yang umumnya disebabkan oleh
bergulungnya dua massa udara yang berbeda suhu dan kelembapan, pada tipe
hujan ini massa udara lembab yang hangat dipaksa bergerak ke tempat yang lebih
tinggi. Tipe hujan orografik jenis hujan yang umum terjadi di daerah pegunungan,
yaitu ketika massa udara bergerak ke tempat yang lebih tinggi mengikuti bentang
lahan pegunungan sampai saatnya terjadi proses kondensasi (Iskandar, 2020).
Curah hujan sangat berpengaruh yang cukup signifikan terhadap produksi
tanaman. Jumlah curah hujan secara keseluruhan sangat penting dalam
menentukan hasil tanaman. Kejadian iklim ekstrim yang mempengaruhi curah
hujan, banyak dikaitkan dengan kondisi ENSO. Karakteristik ENSO diwakili oleh
kondis i curah hujan pada tahun-tahun El-Nino dan La-Nina, yaitu pada saat
kondisi curah hujan menyimpang dari kondisi normalnya. Pada saat terjadi El-
Nino, curah hujan di wilayah Indonesia umumnya akan berada di bawah normal
(di bawah rata-rata jangka panjangnya). Sebaliknya pada saat terjadi La-Nina,
curah hujan akan berada di atas normalnya. Pada saat terjadi La-Nina, curah hujan
turun lebih awal dan dalam selang waktu yang lebih lama sehingga waktu tanam
padi bisa lebih awal bahkan dapat dilakukan sepanjang tahun. Pada peristiwa El-
Nino, semakin kuat kejadian El-Nino maka curah hujan maksimum menjadi
mundur waktunya dibandingkan pada kondisi normal. El-Nino dapat
menyebabkan lambatnya onset dan mundurnya awal musim hujan pada suatu
wilayah di daerah tertentu di indonesia (Anwar, et al., 2015)

2.4 Jenis-Jenis Klasifikasi Iklim


2.4.1 Schmidt Ferguson
Klasifikasi tipe iklim menurut Schmidt-Ferguson hanya menggunakan data
curah hujan di suatu wilayah dengan memberikan kriteria curah hujan bulanan
pada bulan basah, bulan lembab dan bulan kering. Kategori bulan basah
menunjukkan intensitas curah hujan yang tinggi di suatu daerah. Bulan lembab
menunjukkan intensitas curah hujan sedang, bulan kering menunjukkan intensitas
curah hujan rendah (Anwar, 2018).
Klasifikasi iklim di Indonesia menurut Schmidt-Ferguson (1951) didasrkan
kepada perbandingan bulan kering dan bulan basah. Kriteria bulan kering dan
bulan basah yang digunakan dalam klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson
sama dengan kriteria bulan kering dan bulan basah oleh Mohr (1933), namun
perbedaan utama yakni dalam cara perhitungan bulan kering dan bulan basah
akhir selama jangka waktu data curah hujan itu dihitung. bulan kering. Bulan
dengan curah hujan lebih kecil dari 60 mm. bulan basah. Bulan dengan curah
hujan lebih besar dari 100 mm. bulan lembab. Bulan dengan curah hujan antara
60-100 mm. bulan lembab tidak dimasukkan dalam urmus penentuan tipe curah
hujan (rainfall type) yang dinyatakan dalam nilai Q (quotient Q) Dari besarnya
nilai Q inilah selanjutnya ditentukan tipe curah hujan suatu tempat atau yang
diamati secara berkala dan tepat (Rahmad, 2017).
2.4.2 Oldeman
Oldeman mengungkapkan bahwa kebutuhan air untuk tanaman padi adalah
150 mm per bulan, sedangkan untuk tanaman palawija adalah 70 mm/bulan.
Berdasarkan asumsi bahwa peluang terjadinya hujan yang sama adalah 75%, maka
untuk mencukupi kebutuhan air tanaman padi 150 mm/bulan diperlukan curah
hujan sebesar 220 mm/bulan, untuk mencukupi kebutuhan air untuk tanaman
palawija diperlukan curah hujan sebesar 120 mm/bulan. Menurut Oldeman suatu
bulan dikatakan bulan basah apabila mempunyai curah hujan bulanan lebih besar
dari 200 mm dan dikatakan bulan kering apabila curah hujan bulanan lebih kecil
dari 100 mm klasifikasi iklimi oldeman (Nasution, 2019).
Klasifikasi iklim menurut Oldeman membagi lima zona iklim dan empat sub
zona iklim. Zona iklim merupakan pembagian dari banyaknya jumlah bulan basah
berturut-turut yang terjadi dalam setahun, sedangkan sub zona iklim merupakan
banyaknya jumlah bulan kering berturut-turut dalam setahun. Pemberian nama
Zona iklim berdasarkan huruf yaitu zone A, zona B, zona C, zona D dan zona E,
sedangkan pemberian nama sub zona berdasarkan angka yaitu sub 1, sub 2, sub 3
sub 4 dan sub 5 klasifikasi iklim Oldeman (Anwar, 2018).
Klasifikasi iklim Oldeman juga dikenal sebagai klasifikasi Agroklimat.
Sistem klasifikasi iklim yang tepat untuk digunakan dalam kegiatan budidaya
pertanian, khususnya tanaman pangan berupa tanaman padi adalah sistem
klasifikasi Oldeman. Sistem klasifikasi Oldeman menggunakan unsur curah hujan,
kriterianya didasarkan pada perhitungan bulan basah dan bulan kering yang
batasannya memperhatikan kebutuhan air tanaman padi. Klasifikasi iklim ini
terutama mencakup produk pertanian dari tanaman pangan yang paling penting
seperti padi, jagung, kedelai dan tanaman sekunder lainnya (Nasution, 2019).
2.4.3 Koppen dan Mohr
Secara spesifik, seorang ahli iklim Jerman Wladimir Koppen membagi iklim
berdasarkan pada kategori tertentu. Meski pembagian Iklim menurut Koppen
dikembangkan pada abad ke 19, namun kini hal tersebut masih menjadi patokan
bagi ilmu sains mengenai cuaca serta iklim di dunia. Setelah pembagian iklim
menurut Koppen cukup menarik bagi ahli iklim lainnya, cabang ilmu yang satu ini
pun menjadi semakin berkembang. Hal itu setelah munculnya seorang ahli iklim
lainnya asal Jerman Rudolf Geiger (Purba, 2021).
Koppen memberi nama iklim tropis dengan sebutan A, ilim kering dengan B,
iklim sedang dengan C, iklim dingin dengan D, iklim kutub dengan E, curah hujan
tinggi sepanjang tahun dengan F, serta bulan kering di belahan bumi tertentu
dengan huruf S. Sementara itu, Koppen juga merujuk iklim kering atau musim
dingin dengan huruf W (Purba, 2021).
Mengacu pada klasifikasi Koppen, sebagian besar wilayah kepulauan
Indonesia dipengaruhi oleh iklim laut yang sedang. Klasifikasi iklim laut sedang
di Indonesia dibagi menjadi: iklim laut sedang tanpa musim kemarau, iklim laut
sedang dengan musim panas yang kering dan iklim dengan permafrost. Klasifikasi
iklim tahun 1961 yang dikembangkan oleh Koppen dan Geiger perlu direvisi.
Namun, ternyata perubahan klasifikasi iklim Koppen-Geiger untuk wilayah di
Indonesia secara umum tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Sehingga
sulit untuk diterapkan di Indonesia (Purba, 2021).
Mohr mendasarkan pada evaporasi tiap hari 2 mm hasilnya terdapat 5 kelas
iklim dengan tingkat kelembaban antara basah hingga sangat kering. Adapun
Oldeman menentukan klasifikasi iklim berdasarkan kebutuhan air untuk
persawahan dan palawija, sehingga penentuan tipe iklim menurut Oldeman
terutama digunakan dalam usaha pertanian di Indonesia (Rahmad, 2017).
Berdasarkan penelitian tanah, terdapat tiga derajat kelembaban yaitu:
1. Jika jumlah curah hujan dalam satu bulan lebih dari 100 mm, maka
bulan ini dinamakan bulan basah, jumlah curah hujan ini melampaui
jumlah penguapan.
2. Jika jumlah curah hujan dalam satu bulan kurang dari 60 mm, maka
bulan ini dinamakan bulan kering, penguapan banyak berasal dari air
dalam tanah daripada curah hujan.
3. Jika jumlah curah hujan dalam satu bulan antara 60 mm sampai 100
mm maka bulan ini dinamakan bulan lembab, curah hujan dan
penguapan kurang lebih seimbang.
Klasifikasi iklim di Indonesia yang didasrakan curah hujan agaknya di
ajukan oleh Mohr pada tahun 1933. Klasifikasi iklim ini didasarkan oleh jumlah
Bulan Kering (BK) dan jumlah Bulan Basah (BB) yang dihitung sebagai harga
rata-rata dalam waktu yang lama. Bulan Basah (BB): Bulan dengan curah hujan
lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi). Bulan
Kering (BK): Bulan dengan curah hujan kurang dari 60 mm (jumlah curah hujan
lebih kecil dari jumlah penguapan yang terjadi) (Nurabiyatun, 2020).
Klasifikasi iklim menurut koppen klasifikasi iklim seluruh dunia
berdasarkan suhu dan kelembaban udara. Kedua unsur iklim tersebut sangat besar
pengaruhnya terhadap permukaan bumi dan kehidupan di atasnya. Berdasarkan
ketentuan itu Koppen membagi iklim dalam lima daerah iklim pokok. Masing-
masing daerah iklim diberi symbol utama A,B,C,D,danE. Seiring dengan
terjadinya perubahan iklim dan bertambahnya pos-pos penakar curah hujan maka
kemungkinan terjadinya perubahan tipe-tipe iklim berdasarkan klasifikasi Koppen
sangatlah besar. Sedangkan untuk pengambilan keputusan di bidang-bidang
pertanian, informasi mengenai iklim suatu daerah sangatlah di butuhkan. Dengan
kemajuan teknologi, proses identifikasi iklim wilayah telah dipadupadankan
dengan teknologi informasi sehingga data-data zona iklim dapat ditampilkan
dalam bentuk keruangan berupa zona-zona tipe iklim wilayah yang akhirnya
mempermudah pembacaan dan penginterpretasian data-data tersebut (Purba,2021)
Klasifikasi Mohr didasarkan pada hubungan antara penguapan dan besarnya
curah hujan, darihubungan ini didapatkan tiga jenis pembagian bulan dalam kurun
waktu satu tahun dimana keadaanyang disebut bulan basah apabila curah hujan
>100 mm per bulan, bulan lembab bila curah hujanbulan berkisar antara 100<60
mm dan bulan kering bila curah hujan < 60 mm per bulan (Rahmad, 2017).
Klasifikasi iklim Mohr sama halnya dengan metode Schmidt-Ferguson, Mohr juga
menggunakan unsur curah hujan sebagai dasar klasifikasi iklim. Bahkan, Mohr
(1933) merupakan ahli yang pertama yang mengajukan klasifikasi iklim di
Indonesia yang didasarkan pada curah hujan. Klasifikasi iklim di Indonesia
menurut Mohr didasarkan pada jumlah bulan kering dan bulan basah yang
dihitung sebagai harga rata-rata dalam waktu yang lama. Curah hujan rata-rata
yang digunakan diperoleh dari pengamatan curah hujan selama minimal 10 tahun.
Klasifikasi Iklim Mohr berdasarkan hubungan antara penguapan dan besarnya
curah hujan. Asumsi untuk penguapan / evaporasi (E) adalah 2 mm per hari.
Sedangkan Klasifikasi Koppen dikembangkan oleh Wladimir Koppen dengan
melihat adanya hubungan antara region vegetasi yang utama dengan karakteristik
iklim regional. Sistem ini mendeskripsikan iklim berdasarkan rerata temperatur
bulanan, rerata curah hujan bulanan, dan total curah hujan tahunan. Sistem
klasifikasi ini termasuk yang paling berhasil, iklim di permukaan bumi dibagi
berdasarkan ciri-ciri yang menentukan pertumbuhan vegetasi sehingga berguna
bagi manusia, hewan, dan tumbuhan (Nurabiyatum, 2020).
BAB III

METODOLOGI
3.1 Tempat dan Waktu
Praktikum pertama Klasifikasi Iklim dilaksanakan di laboratorium
Agroklimatologi dan Biostatika, Fakultas pertanian, Universitas Hasanuddin,
Makassar, Pada hari Sabtu, 7 Oktober 2023.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada pelaksanaan pengolahan data curah hujan dan
penentuan klasifikasi iklim adalah laptop dan LCD, sedangkan bahan yang
digunakan adalah data curah hujan mentah Kabupaten Wajo selama 13 tahun dan
data iklim Kabupaten Wajo selama 13 tahun yang diperoleh dalam bentuk
hardcopy.
3.3 Metode Praktikum
Metode praktikum praktikum yang digunakan dalam praktikum ini adalah
sebagai berikut:
3.3.1 Prosedur Praktikum Laboratorium
1. Menyiapkan alat tulis menulis yang akan digunakan
2. Memperhatikan presentasi klasifikasi iklim yang telah disampaikan oleh
asisten dalam bentuk materi PPT
3. Mencatat hal-hal yang ditampilkan dan dijelaskan oleh asisten
4. Melakukan sesi tanya jawab dengan asisten
5. Melakukan evaluasi hasil dari materi klasifikasi iklim
3.3.2 Cara Penentuan Tipe Iklim Menurut Oldeman
Prosedur penentuan tipe iklim menurut Oldeman adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan data mentah 13 tahun terakhir pada kecamatan tertentu yang
ingin diolah datanya.
2. Menentukan jumlah curah hujan dan rata-ratanya yang terjadi dalam waktu
per hari, kemudian per bulan, lalu per tahun.
3. Menggabungkan data dengan teman satu kelompok yang mengerjakan pada
tahun yang lain (jangka 13 tahun terakhir).
4. Menghitung jumlah bobot curah hujan bulan dengan rumus “ =30/31*CH ”
dengan “30” merupakan angka rata-rata hari dalam satu bulan, “31”
merupakan jumlah hari dalam bulan yang diamati dan “CH” merupakan
cells curah hujan yang terjadi pada bulan tersebut (dalam tahun tertentu).
5. Menghitung dan memilah jumlah bobot hujan yang ada dengan ketetapan
Oldeman, yaitu jika ia termasuk :
a. Bulan Basah (BB) > 200mm/bulan
b. Bulan Lembab (BL) 100-200 mm/bulan
c. Bulan kering (BK) < 100 mm/bulan
6. Menentukan tipe utama (Huruf) iklim Oldeman yaitu :
a. Iklim A : jika ada > 9 bulan basah berturut-turut
b. Iklim B : jika ada 7-9 bulan basah berturut-turut
c. Iklim C : jika ada 5-6 bulan basah berturut-turut
d. Iklim D : jika ada 3-4 bulan basah berturut-turut
e. Iklim E : jika ada < 3 bulan basah berturut-turut
7. Menentukan sub tipe (angka) iklim Oldeman yait:
a. Tipe 1 : bulan kering berjumlah < 1 berturut-turut
b. Tipe 2 : bulan kering berjumlah 2-3 berturut-turut
c. Tipe 3 : bulan kering berjumlah 4-6 berturut-turut
d. Tipe 1 : bulan kering berjumlah >6 berturut-turut
3.3.3 Cara Penentuan Tipe Iklim Menurut Scmidt dan Fergusson
1. Pengolahan datanya sama dengan klasifikasi Oldemen akan tetapi jumlah
bobotnya yang berbeda.
2. Menghitung dan memilah jumlah bobot hujan yang ada dengan ketetapan
Schmidt - Fergusson, yaitu jika ia termasuk :
Bulan Basah (BB) > 100 mm/bulan
Bulan Lembab (BL) 60 – 100 mm/bulan
Bulan kering (BK) < 60 mm/bulan
3. Menghitung jumlah Bulan Basah (BB) dan Bulan Kering (BK) yang terjadi
dalam bobot curah hujan yang ada, sehingga dapat menentukan pada bulan
berapa sebaiknya dilakukan pola penanaman yang sesuai.
4. Menghitung nilai Q, yaitu banyak bulan kering/banyak bulan basah x 100%.
5. Memasukkan nilai Q yang ada ke dalam 8 pembagian tipe Iklim menurut
sifatnya.
3.3.4 Cara Kerja Mencari Klasifikasi/ Curah Hujan
1. Menyiapkan data curah hujan Kabupaten Wajo
2. Menginput data curah hujan Kabupaten Wajo dalam laptop dengan
mengklasifikasikan per dekade.
3. Memboboti data curah hujan Kabupaten Wajo dekade ke-3 dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
Pembobotan =
4. Menjumlahkan data curah hujan semua dekade pada setiap bulanya
5. Mengurutkan atau merengking data curah hujan Kabupaten Wajo dari nilai
terbesar ke nilai terkecil
6. Menghitung jumlah tahun dan mencari letak peluang 40%, 50%, dan 60%
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Jumlah tahun = jumlah tahun + 1
Letak peluang 40% = jumlah tahun x 40%
Letak peluang 50% = jumlah tahun x 50%
Letak peluang 60% = jumlah tahun x 60%
7. Menghitung peluang 40%, 50%, dan 60% dengan menggunkan rumus
sebagai berikut:
Peluang 40% = CHn – (R-n (CHn – CHn-1)
8. Membuat grafik peluang 40%, 50%, 60% dan grafik gabungan ketiganya
DAFTAR PUSTAKA

Anna, K., 2021. Buku Praktikum Dasar-Dasar Klimatologi. Politeknik Lpp.


Yogyakarta.

Anwar, A., Sudjatmiko, S., dan Barchia, M. F. 2018. Pergeseran Klasifikasi


Iklim Oldeman dan Schmidt-Ferguson sebagai Dasar Pengelolaan
Sumberdaya Alam di Bengkulu. Naturalis: Jurnal Penelitian
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. 7(1): 59-68.

Iskandar, I., D. O. Lestari, P. A. Utari, Supardi, Rozirwan, M. Y. N. Khakim, P.


Poerwono, and D. Setiabudidaya (2020), Evolution and impact of the 2019
negative Indian Ocean Dipole, J. Phys. Conf. Ser., 985(1), doi:10.1088/1742-
6596/985/1/012020

Latif, A., Musa, R., dan Mallombassi, A. 2022. Kajian Pengendalian Banjir
Sungai Kera Kabupaten Wajo. Jurnal Konstruksi. Teknik, Infrastruktur
dan Sains. 1(4): 37-48.

Lusiana, F. 2018. Analisis Spasial Pengendalian dan Iklim terhadap Pola


Kejadian (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Kaluku Bodoa dan
Kapasa Kota Makassar Tahun 2013-2017. Doctoral dissertation,
Fakultas Mipa ,Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Nasution, M. I., dan Nuh, M. 2019. Kajian Iklim berdasarkan Klasifikasi


Oldeman di Kabupaten Langkat. JISTech (Journal of Islamic Science
and Technology). 3(2): 1-19.

Nurabiyatun, N. 2020. Pengaruh Iklim terhadap Pertumbuhan Stroberi di


Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah_Mataram).

Purba, L. I., Arsi, A., Armus, R., Purba, S. R. F., Amartani, K., Yasa, I. W.,
Saidah, H. dan Setyawan, M. B. 2021. Agroklimatologi. Yayasan Kita
Menulis, Lampung.

Putri, U. E. 2022. Prevelensi Protozoa Darah dan Profil Hematologi pada


Sapi (Bos sp.) Dikecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo. Skripsi.
Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makassar

Rahmad, R. 2017. Analisis Curah Hujan, Tipe Iklim, dan Evapotranspirasi


Potensial untuk Kab/Kota di Sumatera Utara. Universitas Negeri
Medan. Sumatera utara.

Sari, Y., Nasution, I.S. dan Syahrul, S., 2021. Pengaruh Perubahan Iklim
terhadap Jadwal Tanam dan Produktivitas Padi Sawah di Daerah
Irigasi (DI) Krueng Aceh Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Pertanian. 6(3): 166-177.
Sudarma, I.M. dan As-syakur, A.R., 2018. Dampak Perubahan Iklim
Terhadap Sektor Pertanian di Provinsi Bali. SOCA: Jurnal Sosial
Ekonomi Pertanian, 12(1): 87-98.
Suryana, I. G. P. E. dan Antara, I. G. M. Y. 2020. Relokasi Tanaman Salak
Karangasem ke Daerah Yogyakarta. Media Komunikasi Geografi.
21(2): 144-156.
Syawaluddin, 2022. Analisis Curah Hujan sebagai unsur Agroklimatologi terhadap
Produksi dan Penentuan Musim Tanam Cabai Merah (Capsicum Annum L.).
di Kabupaten Tapanuli Selatan. Jakarta. 1(1): 75-84.
Albasri, A., Paembonan, S. A., Millang, S., dan Ma’ruf, A. 2015. Desain
Agroforestri pada Lahan Kritis di Desa Kayu Loe Kecamatan Bantaeng
Kabupaten Bantaeng. Jurnal Ecogreen 1(1): 79-88. (Contoh penulisan jurnal)
Haidir, M. R. 2022. Otomatisasi Penambahan Air dan Sistem Pencahayaan pada
Tanaman Hidroponik. Skripsi. Universitas Hasanuddin: Makassar. (Contoh
penulisan skripsi/thesis/disertasi)
Lukman, L. 2021. Buku Lapang Budidaya Mangga. Jakarta: Gedor Horti. (Contoh
penulisan buku)

NOTE:
 Kertas A4, Margin 4333, TNR 12, Spasi 1,5
 Jurnal minimal 5 tahun terakhir
 buku minimal 15 tahun terakhir.

Anda mungkin juga menyukai