Anda di halaman 1dari 42

LEKSIKON PENGOBATAN TRADISIONAL MASYARAKAT MELAYU

LANGKAT

DI DESA SECANGGANG: KAJIAN EKOLINGUISTIK

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH:

MIFTAHUS SURUR

170702035

PROGAM STUDI SASTRA MELAYU

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan karunia beserta rahmat-Nya, sehingga penyusun dapat

menyelesaikan proposal penelitian dengan judul “Leksikon Pengobatan

Tradisional Masyarakat Melayu Langkat Di Desa Secanggang: Kajian

Ekolinguistik”.

Penyusunan proposal penelitian ini merupakan salah satu syarat yang

harus dipenuhi mahasiswa Strata-1 Program Studi Sastra Melayu Universitas

Sumatera Utara dalam Tugas Akhir.

Proposal penelitian ini disusun atas kerjasama dan berkat bantuan dari

berbagai pihak. Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya proposal ini.

Penyusun menyadari adanya keterbatasan di dalam penyusunan laporan

tugas akhir ini. Besar harapan penyusun akan saran dan kritik yang bersifat

membangun. Akhirnya Penyusun berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi

penyusun dan bagi pembaca sekalian

Medan, 2021

Penulis,

Miftahus Surur

NIM: 170702035

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1

1.2 Batasan Masalah ................................................................................. 3

1.3 Rumusan Masalah ............................................................................... 3

1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................ 4

1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................. 4

1.5.1 Manfaat Teoristis .......................................................................... 4

1.5.2 Manfaat Praktis ............................................................................. 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................. 6

2.1 Kajian yang Relevan .......................................................................... 6

2.2 Landasan Teori ................................................................................... 6

2.2.1 Ekolingusitik .................................................................................... 12

2.2.2 Leksikon .......................................................................................... 12

2.2.3 Tanaman Obat Tradisional .............................................................. 19

2.2.4 Bahasa Melayu ................................................................................. 20

2.2.5 Bahasa dan Lingkungan ................................................................... 20

2.3 Tingkat Pemahaman Masyarakat ........................................................ 22

ii
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................ 26

3.1 Metode Penelitian ............................................................................... 26

3.2 Lokasi Penelitian ................................................................................ 27

3.3 Data dan Sumber Data ........................................................................ 27

3.4 Metode Pengumpulan Data ................................................................. 29

3.5 Analisis Data ....................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 35

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia dan lingkungan mempunyai hubungan timbal balik satu sama

lain. Manusia sebagai makhluk hidup dalam melakukan aktivitas sehari-hari

senantiasa tidak lepas dari lingkungannya. Lingkungan manusia tersebut berupa

lingkungan ragawi dan lingkungan buatan. Lingkungan ragawi merupakan

lingkungan alam yang berarti keadaan atau kondisi sekitar yang memengaruhi

perkembangan dan tingkah laku organisme sedangkan lingkungan buatan

merupakan lingkungan hasil pemikiran manusia seperti sosial budaya.

Manusia memerlukan lingkungan ragawi sebagai penunjang kehidupan

sehari-hari seperti tempat tinggal, makanan, minuman, pakaian, dan segala sesuatu

yang dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup. Lingkungan buatan diperlukan

manusia untuk berinteraksi dengan manusia lain seperti bertukar pikiran dan

bersosial budaya. Berinteraksi dengan manusia lain dan bersosial budaya

merupakan hal yang tidak lepas dari bahasa, karena melalui bahasa maka kita

dapat menyalurkan apa yang hendak kita ingin sampaikan disebabkan karena

bahasa adalah lambang bunyi yang digunakan masyarakat untuk saling mengerti

satu dengan yang lain dan terjalin suatu interaksi yang dilakukan secara terus

menerus dan akhirnya menjadi suatu budaya dalam bersosial. Apabila kita

mengaitkan antara bahasa dan lingkungan maka ekolinguistik adalah bidang

1
kajian yang tepat, hal ini disebabkan karena ekolinguistik merupakan ilmu bahasa

interdisipliner menyanding ekologi dan linguistik (Mbete, 2009:1).

Ekologi adalah cabang ilmu yang bertalian erat dengan kehidupan sehari-

hari dengan mengkaji hubungan organisme-organisme atau kelompok-kelompok

organisme yang memiliki hubungan timbal balik terhadap lingkungannya

sedangkan linguistik merupakan bahasa yang digunakan penuturnya sehari-hari.

Jadi, ekolingustik adalah ilmu yang mempelajari tentang bahasa yang digunakan

masyarakat yang bertalian dengan kehidupan sehari-hari. Begitu juga dengan

masyarakat Desa Secanggang yang menggunakan bahasa untuk berintraksi

dengan yang lain, menjalin hubungan dan menciptakan suatu kebudayaan.

Berbicara tentang budaya, masyarakat di desa ini merupakan masyarakat yang

berbudaya. Salah satu budaya dari masyarakat ini adalah penggunaan pengobatan

tradisionalnya. Masyarakat yang tinggal di desa ini didominasi oleh orang-orang

dari suku Melayu Namun, pada saat sekarang ini pengobatan tradisional ini

perlahan mulai berkurang dan mengalami penyusutan sehingga berpengaruh

terhadap bahasa yang digunakan yang mengakibatkan punahnya leksikon dalam

lingkungan perpadian.

Leksikon pengobatan tradisional ini diklasifikasikan menjadi 2 kelompok

yaitu: (1) leksikon nomina dan (2) leksikon verba. Keseluruhan kelompok

leksikon ini hampir punah dari masyarakat tersebut terutama pada generasi muda

yang disebebkan karena mulai menyusutnya budaya pengobatan tradisional

tersebut.

2
Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan sosiokultural

penggunaan dari leksikon-leksikon pengobatan tradisional akan mulai hilang.

Akibatnya, generasi ke generasi tidak lagi menggunakan atau mengenal leksikon

kedaerahan yang berkaitan langsung dengan lingkungan ragawi masyarakat

setempat karena referennya tidak ada lagi. Kecilnya perhatian terhadap

lingkungan, khususnya bidang pengobatan tradisional, hanyalah sebagian kecil

penyebab ekosistem bertambah krisis dan memprihatinkan, hingga pada akhirnya

leksikon-leksikon yang ada pada ekosistem tersebut mengalami pergeseran dan

menjadi punah. Dilatarbelakangi oleh fenomena perubahan lingkungan ragawi

yang semakin memprihatinkan, dalam penelitian ini, peneliti bermaksud

mendeskripsikan leksikon bahasa Melayu Langkat dalam lingkungan pengobatan

tradisional dan keberadaan penggunaannya oleh masyarakat di Kecamatan

Secanggang, khususnya Desa Secanggang melalui perspektif ekolinguistik.

1.2 Batasan Masalah

Penelitian ini, membatasi permasalahan yang akan dikaji untuk

menghindari kesalahpahaman dan kerancuan sehingga permasalahan terfokus

pada penelitian yang berjudul “Leksikon Pengobatan Tradisional Masyarakat

Melayu Langkat Di Desa Secanggang: Kajian Ekolinguistik”. Penelitian ini

dibatasi pada leksikon pengobatan tradisional dalam tataran nomina dan tataran

verba dalam bahasa Melayu langkat di Desa Secanggang, Kecamatan Secanggang.

1.3 Rumusan Masalah

3
1. Apa sajakah leksikon yang ada di Desa Secanggang, Kecamatan

Secanggang, Kabupaten Langkat khususnya pada pengobatan tradisional?

2. Bagaimanakah pemahaman leksikon pengobatan tradisional dalam

masyarakat Melayu Langkat pada tiga tingkat generasi usia (remaja,

dewasa, dan tua) di Desa Secanggang, Kecamatan Secanggang, Kabupaten

Langkat?

1.4 Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menjawaban apa yang ada dalam

rumusan masalah. Tujuannya adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan leksikon pengobatan tradisional pada masyarakat

Melayu langkat yang ada di Desa Secanggang, Kecamatan Secanggang,

Kabupaten Langkat.

2. Mendeskripsikan pemahaman masyarakat Melayu Langkat pada tiga

tingkat generasi usia (remaja, dewasa, dan tua) terhadap leksikon

pengobatan tradisional di Desa Secanggang, Kecamatan Secanggang,

Kabupaten Langkat

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini terdapat manfaat yang dapat dibagi menjadi manfaat teoritis

dan manfaat praktis, manfaat tersebut adalah sebagai berikut ini :

1.5.1 Manfaat Teoristis

4
Secara teoretis penelitian ini dapat menjadi sumbangan bagi khazanah

pengetahuan ilmu bahasa khususnya dalam kajian ekolinguistik. Dapat menjadi

salah satu bahan informasi dan bahan rujukan yang relevan dalam penelitian

leksikon. Mengembangkan dan memperkaya ilmu pengetahuan bahasa dalam

kajian leksikon.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Secara praktis penelitian ini dapat menjadi sumbangan bagi masyarakat

untuk lebih memahami leksikon pengobatan tradisional di Secanggang,

Kecamatan Secanggang, Kabupaten langkat.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mendeskripsikan

dan mengidentifikasi leksikon-leksikon pengobatan tradisional yang ada di

Desa Secanggang, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.

3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat

pentingnya pelestarian lingkungan kekayaan alam dan leksikon bahasa

Melayu langkat.

4. Dapat menjadi kamus kecil leksikon pengobatan tradisional bagi generasi

berikutnya.

5
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian yang Relevan

Kajian yang Relevan memuat hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh

peneliti sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.

Penelitian-penelitian tersebut menajadi sumber acuan dalam penelitian ini.

Hairani (2017) dalam skripsinya “Leksikon Perladangan Pohon Aren di

Desa Simpangtolang Julu Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal:

Kajian Ekolinguistik” menjelaskan bahwa Keberadaan leksikon perladangan

pohon aren saat ini sudah menunjukkan gejalagejala kepunahan. Majunya era

globalisasi, teknologi, dan pembangunan merupakan salah satu penyebab

keterancaman keberadaan leksikon khususnya pada perladangan pohon aren.

Artinya, leksikon ini tidak hanya dipandang sebagai bagian dari bahasa, tetapi

juga merupakan bagian dari situasi alam yang berhubungan dengan peradaban

manusia terhadap lingkungannya.

Penelitian ini bermaksud mendeskripsikan keberadaan leksikon

perladangan aren yang masih digunakan oleh masyarakat di Desa Simpangtolang

Julu dan mengetahui pemahaman masyarakat dalam leksikon perladangan aren

bahasa Mandailing. Untuk melengkapi hasil penelitian digunakan metode

kualitatif dan kuantitatif. Data yang digunakan untuk mendukung penelitian

diambil dengan teknik wawancara, observasi, penyebaran kuesioner, dan

6
memanfaatkan literatur yang sudah ada. Data penelitian ini adalah leksikon

nomina dan verba yang terkait dengan leksikon lingkungan kepadian di Desa

Simpangtolang Julu. Dari hasil analisis, dapat diketahui bahwa leksikon

perladangan aren dalam bahasa Mandailing di Desa Simpangtolang Julu terdiri

atas 5 kelompok leksikon yaitu (1) leksikon bagian pohon aren (2) leksikon hewan

yang hidup di sekitar aren (3) leksikon tumbuhan yang hidup di sekitar pohon

aren (4) leksikon hasil olahan (5) leksikon alat untuk menanam dan memanen

pohon aren. Dari 5 kelompok leksikon tersebut diperoleh 55 leksikon nomina,

leksikon verba terdiri atas 21 leksikon, total leksikon yang ditemukan dalam

perladangan pohon aren di Desa Simpangtolang Julu adalah 76 leksikon.

Keterpahaman masyarakat Desa Simpangtolang Julu lebih mengenal leksikon

lingkungan perladangan pohon aren pada kategorisasi leksikon nomina daripada

leksikon verba. Leksikon nomina lingkungan perladangan pohon aren masih

dikenal oleh masyarakat karena masih banyak ditemukan dan digunakan dalam

kehidupan sehari-hari.

Gita (2018) dalam skripsinmya “ Leksikon Perpadian dalam Bahasa Karo

Kajian Ekolinguistik” membahas leksikon nomina dan verba bahasa Karo dalam

lingkungan perpadian di Desa Rumah Pil-Pil melalui perspektif ekolinguistik.

Penelitian ini bertujuanuntuk mendeskripsikan leksikon nominadan verba bahasa

Karo dalam lingkungan perpadian di Desa Rumah Pil-Pil dan gambaran

pemahaman masyarakat terhadap leksikon nominadan verba dalam lingkungan

perpadian. Penelitian ini merupakan penelitiandeskriptif kualitatif.Untuk

melengkapi hasil penelitian, juga digunakan metode kuantitatif.Data yang

7
digunakan untuk mendukung penelitian diambil dengan teknik wawancara,

observasi, dan penyebaran kuesioner.Data penelitian ini adalah leksikon

nominadan verba yang terkait dengan leksikon perpadian di Desa Rumah Pil-Pil.

Dari hasil analisis, dapat diketahui bahwa leksikon perpadian dalam bahasa Karo

di Desa Rumah Pil-Pil terdiri atas 5 kelompok leksikon yaitu (1) leksikon tahap

pratanam; (2) leksikon tahap tanam;(3) leksikon tahap pascatanam; (4) leksikon

hewan dan tumbuhan di sekitar padi; (5) leksikon hasil olahan padi di Desa

Rumah Pil-Pil. Dari lima kelompok leksikon tersebut diperoleh 118 leksikon

nomina dan 50 leksikon verba.Total leksikon yang ditemukan dalam

lingkunganperpadian di Desa Rumah Pil-Pil adalah 168 leksikon. Dari hasil

pengujianpemahaman masyarakat DesaRumah Pil-Pil terhadap leksikon perpadian

diperoleh hasil bahwa telah terjadi penyusutan pemahaman pada setiap kelompok

usia responden terutama kelompok usia remaja. Pemahaman responden terhadap

leskikon nominapada usia ≥45 tahun adalah 97,7 %, usia 21-45 tahun 84,6 %, dan

usia 15-20 tahun 60,5 %. Pemahaman responden terhadap leksikon verbapada

usia≥ 45 tahun98,6 %, usia 21-45 tahun 82,6 %, dan usia 15-21 tahun 39,8 %.

Rizkyansyah (2015) dalam skripsinya “Leksikon Nomina dan Verba

Bahasa Jawa dalam Lingkungan Persawahan Di Tanjung Morawa : Kajian

Ekolinguistik” mendeskripsikan leksikon nomina dan verba bahasa Jawa dalam

lingkungan persawahan di Tanjung Morawa dan gambaran pemahaman

masyarakat terhadap leksikon nomina dan verba dalam lingkungan persawahan.

Rizkyansyah melakukan pengujian pemahaman leksikon persawahan terhadap

masyarakat Tanjung Morawa, Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan dengan

8
dua metode, yaitu metode deskriptif kualitatif dan metode kuantitatif. Data di

dalam penelitian ini dikumpulkan dengan metode cakap, observasi nonpartisipan

serta wawancara mendalam. Data dalam penelitian ini adalah leksikon nomina dan

verba yang terkait dengan leksikon persawahan dan perladangan di Tanjung

Morawa. Jumlah leksikon yang ditemukan dalam penelitian ini adalah 258

leksikon. Data dianalisis dengan menggunakan metode padan referensial dengan

teknik Pilah Unsur Penentu (PUP). Dalam menganalisis data, jawaban dari setiap

infoman disimbolkan dengan bentuk angka pada tabel berdasarkan gender dan

usia. Angka-angka tersebut kemudian dijumlahkan dan diubah ke dalam bentuk

persen, lalu ditabulasikan sehingga menunjukkan suatu kecenderungan tertentu.

Simpulan yang didapat dalam penelitian ini adalah bahwa pemahaman

masyarakat Tanjung Morawa terhadap leksikon nomina dan verba bahasa Jawa

dalam lingkungan persawahan masih bertahan pada setiap kelompok usia.

Penelitian yang dilakukan Rizkyansyah memberikan kontribusi pada penelitian ini

dalam hal metode yang digunakan, teknik pengumpulan data dan analisis data.

Surbakti (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Leksikon Ekologi

Kesungaian Lau Bingei : Kajian Ekolinguistik “, mengkaji leksikon terhadap

pemahaman dan nilai budaya ekoleksikon lau bingei bagi guyub tutur bahasa

karo. Teori yang digunakan adalah teori ekolinguistik dan antropolinguistik.

Untuk menganalisis leksikon ekologi kesuangaian Lau Bingei , nilai budaya, dan

kearifan lingkungan digunakan metode deskriftif kualitatif. Dari hasil analisis

diperoleh 14 kelompok leksikon dengan jumlah 409 leksiokon nomina dan 111

leksikon verba. Total leksikon terdiri atas 520 leksikon. Kemudian leksikon

9
tersebut diujikan kepada guyub tutur bahasa karo di 16 kelurahan dengan

menyodorkan 4 kategori pilihan kepada tiga generasi usia >46 tahun, 21-45 tahun,

15-20 tahun, maka diperoleh hasil pemahaman guyub tutur bahasa karo terhadap

leksikon nomina kategori A JP 12093 (30,79) , BJP 14898(37,94 ), C JP

5251(13,39) dan D JP 7018 (17,87). Pemahaman guyub tutur terhadap leksikon

verba dengan kategori A JP 5465 (51,28), B JP 2940(27,59, C JP 1455 , (13,65dan

D JP 796 (7,46. Nilai budaya dan kearifan lingkungan guyub tutur bahasa karo

melalui leksikon ekologi kesuangaian Lau Bingei mengandung nilai-nilai budaya

yaitu (1) nilai sejarah, (2) nilai religius dan keharmonisan, (4) nilai sosial dan

budaya, (4) nilai kesejahteraan dan (5) nilai ciri khas. Sedangkan, nilai kearifan

lingkungan yang dapat digali melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei

adalah (1) nilai kedamaian, dan (2) nilai kesejahteraan dan gotong royong.

Penlitian oleh Surbakti tersebut menambah informasi mengenai teori yang

digunakan. Penelitian tersebut juga memberikan kontribusi terhadap penelitian ini

yaitu berkaitan dengan metode penelitian. Pada teknik pengumpulan data, data

yang diperoleh berasal dari dokumen tertulis , wawancara mendalam dan

observasi partsipan. Wawancara yang dilakukan menggunakan teknik catat dan

rekam. Pada teknik analisis data , untuk menjawab masalah pemahaman guyub

tutur bahasa karo menggunakan metode kuantitatif, serta menggunakan rumus

untuk mendapatkan jumlah persentase pemahaman leksikon ekologi kesungaian

Lau Bingei. Perbedaan penelitian yang dilakukan Surbakti adalah mengenai

leksikon ekologi kesungaian dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya

sedangkan penelitian ini meneliti leksikon perpadian pada 5 kategori pilihan pada

10
3 tingkat generasi usia dan hanya sampai kepada tingkat pemahaman masyarakat

tersebut terhadap leksikon perpadian.

Tangkas (2013) dalam tesisnya “ Khazanah Verbal Kepadian Komunitas

Tutur Bahasa Kodi, Sumba Barat Daya : Kajian Ekolinguistik” menggunakan

teori ekolinguistik dengan menerapkan model hierarki dialektikal, model

referensial, model matriks semantik, dan model dimensi logis untuk mengkaji

bentuk kebahasaan khazanah verbal kepadian serta fungsi dan makna khazanah

verbal kepadian. Khazanah verbal kepadian terdiri atas satuan-satuan lingual

berupa ekoleksikon dan ekowacana kepadian dengan menerapkan aspek semantik,

sintaksis, dan pragmatik. Ekoleksikon kepadian terdiri atas leksikon kepadian

tahap pratanam , dan leksikon kepadian tahap pascatanam. Aspek sintaksis pada

leksikon untuk mengetahui bentuk atau struktur satuan lingual dari sistem

pemarkah pada leksikon, sedangkan aspek semantik untuk menemukan inpor

sosial leksikon yang dipengaruhi oleh semantik teks dan kontek.

Adapun kontrubusi penelitian yang dilakukan oleh Tangkas (2013) dengan

penelitian ini adalah sama-sama menggunakan teori ekolinguitik untuk

mengetahui leksikon pada ruang lingkup masing-masing kajian, tetapi yang

membedakannya adalah tujuan penelitian yaitu menerapkan aspek semantik,

sintaksis, dan pragmatik. Ekoleksikon kepadian terdiri atas leksikon kepadian

tahap pratanam , dan leksikon kepadian tahap pascatanam. Aspek sintaksis pada

leksikon untuk mengetahui bentuk atau struktur satuan lingual dari sistem

pemarkah pada leksikon, sedangkan aspek semantik untuk menemukan inpor

sosial leksiokn yang dipengaruhi oleh semantik teks dan konteks sedangkan

11
penelitian ini mengkaji leksikon pengobatan tradisional dalam bahasa Melayu

Langkat apakah masih bertahan atau telah bergeser.

2.2 Landasan Teori

Pada subbab ini akan diuraikan gambaran singkat atau konsep, landasan

teori yang bertujuan sebagai penjelas tentang topik yang berkaitan dengan

penelitian “Leksikon Pengobatan Tradisional Masyarakat Melayu Langkat Di

Desa Secanggang: Kajian Ekolinguistik”. Adapun landasan teori dari penelitian

ini yaitu sebagai berikut:

2.2.1 Ekolinguistik

Teori yang dipakai atau digunakan untuk mengkaji penelitian ini adalah

teori ekolinguistik. Ekolinguistik adalah jenis cabang interdisipliner ilmu

klinguistik yang digunakan untuk mengkaji dalam bidang bahasa dan ekologi.

Kajian tentang ekolinguistik pertama kali perkenalkan oleh Einar Haugen dalam

tulisannya yang bertajuk Ecology of Language tahun 1972. Haugen pada awalnya

menggunakan istilah ekologi bahasa (ecology of language) dari istilah lain yang

berkaitan dengan kajian ini. Pemilihan tersebut karena pencakupan yang luas di

dalamnya, yang mana para pakar bahasa dapat berkerja sama dengan pelbagai

jenis ilmu sosial lainnya dalam memahami interaksi antarbahasa (Haugan dalam

Fill, 2001:57).

Haugen (dalam Mbete, 2009:11-12), menyatakan bahwa ekolinguistik

memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yaitu :

12
1. Linguistik historis komparatif, menjadikan bahasa-bahasa kerabat di suatu

lingkungan geografis sebagai fokus kaji untuk menemukan relasi historis

genetisnya.

2. Linguistik demografi, mengkaji komunitas bahasa tertentu di suatu kawasan

untuk memerikan kuantitas sumber daya (dan kualitas) penggunaan bahasa-

bahasa beserta ranah-ranah dan ragam serta registrasinya (sosiolek dan

fungsiolek).

3. Sosiolinguistik, yang fokus utama kajiannya atas variasi sistematik antara

struktur bahasa dan stuktur masyarakat penuturnya.

4. Dialinguistik, yang memokuskan kajiannya pada jangkauan dialek-dialek dan

bahasa-bahasa yang digunakan masyarakat bahasa, termasuk di habitat baru,

atau kantong migrasi dengan dinamika ekologinya.

5. Dialektologi, mengkaji dan memetakan variasi-variasi internal sistem bahasa.

6. Filologi, mengkaji dan menjejaki potensi budaya dan tradisi tulisan,

propeknya, kaitan maknawi dengan kajian dan atau kepudaran budaya, dan

tradisi tulisan lokal.

7. Linguistik preskriptif, mengkaji daya hidup bahasa di kawasan tertentu di

kawawan tertentu, pembakuan bahasa tulisan dan bahasa lisan, pembakuan

tata bahasa (sebagai muatan lokal yang memang memerlukan kepastian

bahasa baku yang normatif dan pedagogis).

8. Glotopolitik, mengkaji dan memberdayakan pula wadah, atau lembaga

penanganan masalah-masalah bahasa (secara khusus pada era otonomi

daerah, otonomi khusus, serta pendampingan kantor dan atau balai bahasa).

13
9. Etnolinguistik, linguistik antropologi ataupun linguistik kultural (cultural

linguistics) yang membedah pilih-memilih penggunaan bahasa, cara, gaya,

pola pikir dan imajeri dalam kaitan dengan pola penggunaan bahasa, bahasa-

bahasa ritual, kreasi wacana iklan yang berbasiskan bahasa lokal.

10. Tipologi, membedah derajat keuniversalan dan keunikan bahasa-bahasa.

Lingkup kajian ekolinguistik adalah bahasa yang hidup digunakan umtuk

menggambarkan, mewakili, melukiskan (merepresentasikan secara simbolik

verbal) realitas di lingkungan, baik lingkungan ragawi maupun lingkungan buatan

manusia (lingkungan sosial-budaya). Hal tersebut mengimplikasikan bahasa

mengalami perubahan seiring dengan perubahan lingkungan ragawi dan sosialnya,

sebagaimana dinyatakan Liebert (dalam Mbete, 2009:7) bahwa “perubahan bahasa

merepresentasikan perubahan ekologi.” Proses perubahan pada suatu bahasa

tertentu berjalan secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, tanpa disadari

oleh penuturnya, dan tidak dapat dihindari. Perubahan pada bahasa tersebut

tampak jelas jika diamati pada tataran leksikon. Karena kelengkapan leksikon

suatu bahasa mencerminkan sebagian besar gambaran dari lingkungan ragawi dan

karakteristik sosial serta budaya masyarakat penuturnya.

Tataran leksikon, dinamika dan perubahan bahasa dipengaruhi oleh tiga

dimensi sebagaimana dinyatakan Lindo (dalam Surbakti, 2013:19-20), antara lain:

1. Dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat misalnya

ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan ideologi pasar sehingga perlu

14
dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah

dan wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis.

2. Dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial

untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan

wujud praktik sosial yang bermakna, dan

3. Dimensi biologis, berkaitan dengan adanya diversivitas (keanekaragaman)

biota danau (atau laut, ataupun darat) secara berimbang dalam ekosistem, serta

dengan tingkat vitalitas spesies dan daya hidup yang berbeda antara satu

dengan yang lain; ada yang besar dan kuat sehingga mendominasi dan

“menyantap” yang lemah dan kecil, ada yang kecil dan lemah sehingga

terpinggirkan dan termakan.

Dimensi biologis itu secara verbal terekam secara leksikon dalam

khazanah kata setiap bahasa sehingga entitas-entitas itu tertandakan dan dipahami.

2.2.2 Leksikon

Leksikon adalah koleksi dari leksem dalam suatu bahasa. Kajian terhadap

leksikon mencakup apa yang dimaksud dengan kata, struktur kosakata,

penggunaan dan penyimpanan kata, pembelajaran kata, sejarah dan evolusi kata

(etimologi), hubungan antarkata, serta proses pembentukan kata pada suatu

bahasa. Leksikon dianggap sebagai sinonim kamus atau kosakata. Sedangkan

Chaer (2007:5) mengatakan bahwa istilah leksikon berasal dari kata Yunani kuno

yang berarti “kata”, “ucapan”, atau “cara berbicara”. Kata leksikon sekerabat

dengan leksem, leksikografi, leksikograf, leksikal, dan sebagainya. Sebaliknya,

15
istilah kosa kata adalah istilah terbaru yang muncul ketika kita sedang giat-giatnya

mencari kata atau istilah tidak berbau Barat.

Sibarani (1997:4) sedikit membedakan leksikon dari perbendaharaan kata,

yaitu “Leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang

kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantis, sintaksis, morfologis, dan

fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan

kata yang dimiliki seseorang atau sesuatu bahasa.”

Para pakar bahasa mengelompokkan kelas kata berdasarkan sudut

pandangnya masing-masing. Salah satunya menurut Chaer, kelas kata dibedakan

menjadi sebelas macam kelas kata, yaitu nomina, verba, adjektiva, adverbia,

pronomina, numeralia, preposisi, konjungsi, artikulas, interjeksi, dan partikel.

Sebelas macam kelas kata tersebut, Chaer menggolongkan kelas kata itu menjadi

dua kategori yaitu, kelas kata terbuka dan kelas kata tertutup. Kelas kata terbuka

adalah kelas kata yang keanggotaannya dapat bertambah atau berkurang sewaktu-

waktu berkenaan dengan perkembangan sosial budaya yang terjadi dalam

masyarakat penutur suatu bahasa (Chaer, 2008:65). Sedangkan kelas kata tertutup

adalah kelas kata yang jumlahnya terbatas dan tidak tampak kemungkinan untuk

bertambah atau berkurang (Chaer, 2008:83).

Chaer mengkategorikan kelas kata tersebut menjadi tiga macam yaitu

nomina, verba, dan adjektiva. Sementara kelas kata tertutup dapat digolongkan

menjadi delapan kelas kata, yaitu adverbia, pronomina, numeralia, preposisi,

konjungsi, artikulas, interjeksi, dan partikel. Penelitian ini hanya menggunakan

16
kelas kata benda (nomina) dan kerja (verba) sebagai batasan masalah yang

sebelumya sudah dipaparkan.

A. Kata Benda (Nomina)

Kata benda adalah kata yang mengacu pada benda, manusia, binatang, dan

konsep atau pengertian. Chaer (2006: 86) mengatakan ”kata-kata yang dapat

diikuti dengan frase yang... atau yang sangat... disebut kata benda”. Misalnya

kata-kata: (1) jalan (yang bagus); (2) murid (yang rajin); (3) pemuda (yang sangat

rajin).

Ada tiga macam kata benda yaitu:

(a) Kata benda yang jumlahnya dapat dihitung sehingga di depan kata benda itu

dapat diletakkan kata bantu bilangan. Kedalam kelompok kata benda ini

termasuk kata-kata yang menyatakan:

(1) Orang, termasuk kata-kata: (a) nama diri, seperti Hasan, Abas, Siti, (b)

nama perkerabatan, seperti adik, ibu, saudara, dan kakak, (c) nama pangkat,

jabatan, atau pekerjaan, seperti letnan, lurah, penulis, dan raden, (d) nama

gelar, seperti insinyur, profesor, dan petani.

(2) Hewan, seperti kucing, gajah, ular, dan semut.

(3) Tumbuhan atau pohon seperti kemuning, nyiur, palem, dan jambu.

(4) Alat, perkakas, atau perabot, seperti obeng, pisau, gergaji, mobil, meja, dan

lampu.

(5) Benda alam, seperti kota, sungai, bintang, desa, dan danau.

17
(6) Hal atau proses, seperti peraturan, perampokkan, kekuatan, dan

pembongkaran.

(7) Hasil, seperti bendungan, jawatan, karangan, dan binatang.

(b) Kata benda yang jumlahnya tidak terhitung. Untuk dapat dihitung di depan kata

benda itu harus diletakkan kata keterangan ukuran satuan seperti gram, ton, cm

(sentimeter), km (kilometer), persegi, liter, kubik, termasuk juga katakata yang

menyatakan nama wadah yang menjadi tempat benda tersebut, seperti karung,

gelar, kaleng, truk, dan gerobak; serta kata-kata seperti (se)ikat, (se)potong,

(se)kerat, (se)tumpuk, (se)iris. Kelompok kata benda ini termasuk kata-kata

yang menyatakan (1) bahan, seperti semen, pasir, tepung, gula, beras, dan

kayu, dan (2) zat, seperti air, asap, udara, dan bensin .

(c) Kata benda yang menyatakan nama khas. Di muka kata benda ini tidak dapat

diletakkan kata bilangan, seperti Jakarta, Bali, Galunggung, Toba, Eropa,

Amazone, dan Madinah.

B. Kata Kerja (Verba)

Kata kerja adalah kata yang menjelaskan tentang suatu perbuatan atau

kegiatan yang dilakukan oleh seseorang. Alwi (1993:93) mengatakan bahwa verba

memiliki ciri-ciri antara lain: (1) verba berfungsi utama sebagai predikat atau

sebagai inti predikat dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain,

(2) verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau ter- yang

berarti paling. (3)Verba seperti mati atau suka, misalnya, tidak dapat diubah

18
menjadi termati atau tersuka, dan (4) pada umumnya verba tidak dapat bergabung

dengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan.

2.2.3 Tanaman Obat Tradisional

Tanaman obat didefenisikan sebagai jenis tanaman yang sebagian, seluruh

tanaman dan atau eksudat tanaman tersebut digunakan sebagai obat, bahan, atau

ramuan obat-obatan. Ahli lain mengelompokkan tanaman berkhasiat obat menjadi

tiga kelompok, yaitu :

1. Tumbuhan obat tradisional, merupakan spesies tumbuhan yang diketahui

atau dipercayai masyarakat memiliki khasiat obat dan telah digunakan

sebagai bahan baku obat tradisional.

2. Tumbuhan obat modern, merupakan spesies tumbuhan yang secara ilmiah

telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat

obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.

3. Tumbuhan obat potensial, merupakan spesies tumbuhan yang diduga

mengandung atau memiliki senyawa atau bahan biokatif berkhasiat obat

tetapi belum dibuktikan penggunaannya secara ilmiah-medis sebagai

bahan obat.

Sedangkan Departemen Kesehatan RI mendefenisikan tanaman obat

Indonesia seperti yang tercantum dalam SK Menkes No.

149/SK/Menkes/IV/1978, yaitu :

19
a. Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan obat

tradisional atau jamu.

b. Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan pemula

bahan baku obat (precursor).

c. Tanaman atau bagian tanaman yang diekstraksi dan ekstrak tanaman

tersebut digunakan sebagai obat. (Al Qamari, 2017: 2-3)

2.2.4 Bahasa Melayu

Bahasa Melayu merupakan bahasa yang menjadi akar dari bahasa

Indonesia. Meskipun demikian, dalam perjalanan dan perkembangannya, bahasa

Melayu yang sekarang menjadi bahasa Indonesia itu telah mengalami perubahan

dibandingkan dengan bahasa Melayu yang menjadi akarnya. Prijana dalam

pidatonya pada Kongres Bahasa Indonesia yang diadakan tahun 1954 di Medan

berkata: “Bahasa Indonesia tumbuh dari bahasa Melayu, tetapi bahasa Indonesia

tidak sama lagi dengan bahasa Melayu. Bahkan bahasa Indonesia bukan sama,

tetapi bukan pula berlainan juga dengan bahasa Melayu” (Tarigan 2011: 84).

2.2.5 Bahasa dan Lingkungan

Tahun 1970, Haugen untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah

ecology of language (1972:325, dalam Tangkas, 2013:29-30). Haugen

memaparkan “ecology of language may be defined as the study of interactions

between any given language and its environment”. Isitlah ekologi bahasa dalam

petikan di atas didefinisikan sebagai sebuah studi tentang interaksi atau hubungan

timbal balik antara bahasa tertentu dan lingkungan. Haugen menegaskan bahwa

20
bahasa berada dalam pikiran penggunanya dan bahasa berfungsi dalam hubungan

antarpenggunanya satu sama lain dan lingkungan, yaitu lingkungan sosial dan

lingkungan alam.

Tulisannya yang berjudul “Language, Ecology and Environment,

Mühlhäusler” (2001:3 dalam Rizkyansah 2015:12) menyebut, ada empat yang

memungkinkan hubungan antara bahasa dan lingkungan. Semuanya menjadi

subjek yang berbeda dari kajian linguistik pada satu waktu, atau pada waktu yang

lain. Keempat hubungan tersebut adalah (1) bahasa berdiri dan terbentuk sendiri,

(2) bahasa dikontruksi alam, (3) alam dikontruksi bahasa, (4) bahasa saling

berhubungan dengan alam-keduanya saling mengontruksi, tetapi jarang yang

berdiri sendiri (ekolinguistik). Bahasa lingkungan (ecologycal language) adalah

bentuk verbal yang mengandung makna tentang lingkungan. Lingkungan bahasa

(language ecology) adalah produk dan kondisi alam dan bersifat alamiah (Mbete,

2013:2).

Lingkungan bahasa atau ekologi bahasa adalah ruang hidup, tempat hidup

bahasa-bahasa. Bahasa yang hidup ada pada guyub tutur dan secara nyata hadir

dalam komunikasi dan interaksi kegiatan baik lisan maupun tulisan. Ekologi

adalah ilmu tentang lingkungan hidup sedangkan linguistik adalah ilmu tentang

bahasa. Kerangka pandang ekologi, bandingkan misalnya ekolinguistik, menjadi

parameter yang membedakannya dengan cabang makrolinguistik lainnya (seperti

sosiolingistik, psikolinguistik, neurolinguistik, atau antropolinguistik), adalah (1)

interelasi (interrelationship), (2) lingkungan (environment), dan (3) keberagaman

(diversity) (dalam Fill, 2001:1).

21
Berdasarkan kerangka pandang itu, bahasa-bahasa dapat dikaji, di dalami

dan dimaknai secara khusus. Lingkungan hidup bahasa meniscayakan adanya

keberagaman dan kesalinghubungan dengan pemahaman bahwa di suatu

lingkungan atau kawasan memang hidup bahasa, namun bahasa hidup dalam

guyub tutur. Adalah kenyataan bahwa di suatu lingkungan hidup, secara khusus

lingkungan hidup manusia dalam suatu jejaring dan kebersaam sosial, hidup

beragam bahasa pula. Hal ini sejalan dengan pendapat Safir (dalam Fill 2001:14)

dan (Handayani, 2015:9), menyebutkan tiga bentuk lingkungan:

1. Lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi sebuah

negara (baik pantai, lembah dataran tinggi, maupun pegunungan, keadaan

cuaca dan jumlah curah hujan).

2. Lingkungan ekonomis ‘kebutuhan dasar manusia’ yang terdiri atas flora dan

fauna dan sumber mineral yang ada dalam daerah tersebut.

3. Lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang dalam masyarakat

yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun

yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar etika,

bentuk organisasi politik dan seni.

2.3 Tingkat Pemahaman Masyarakat

Pemahaman masyarakat adalah suatu langkah atau proses dalam mencapai

suatu tujuan dimana terdapat sekumpulan orang yang telah memiliki hukum adat,

norma-norma, dan berbagai peraturan yang siap ditaati.

22
Menurut Bloom (dalam Mukhtar, 2003: 23), pemahaman (comprehension)

merupakan salah satu aspek dalam ranah kognitif. Pemahaman berarti

kemampuan seseorang untuk mengerti dan memahami sesuatu setelah sesuatu itu

diketahui atau diingat, mencakup kemampuan untuk menangkap makna dan arti

dari bahan yang dipelajari, yang dinyatakan dengan menguraikan isi pokok dari

suatu bacaan, atau mengubah data yang disajikan dalam bentuk tertentu ke bentuk

yang lain. Kemampuan ini dapat dijabarkan dalam tiga bentuk, yaitu

menerjemahkan (translation), menginterpretasi (interpretation), dan

mengekstrapolasi (ekstrapolation) (Mukhtar, 2003: 23). Untuk mempermudah

proses penelitian ini digunakan rumus pengolahan data-data sebagai berikut:

A. Rumus menentukan jumlah responden / sampel

Menentukan Jumlah responden di lingkungan tersebut digunakan rumus

Slovin karena dalam penarikan sampel, jumlahnya harus represntatif agar hasil

penelitian dapat digenerasikan dan perhinungannya tidak memerlukan table

jumlah sampel, namun dapat dilakukan rumus dan perhitungan sederhana. Rumus

Slovin untuk menentukan sampel yaitu :

N
n=
1+ N ( e)

Keterangan:

n = Ukuran sampel/jumlah responden

N = Ukuran populasi

23
e = Presentase kelonggaran ketelitian kesalahan pengambilan sampel yang masih

bisa ditolerir,e = 0,1

Dalam rumus Slovin ada ketentuan sebagai berikut:

Nilai e = 0,1 (10%) untuk populasi dalam jumlah besar

Nilai e = 0,2 (20%) untuk populasi dalam jumlah kecil

Jadi rentang sampel yang dapat diambil dari teknik Slovin adalah antara 10% -

20% dari populasi penelitian

B Rumus yang digunakan untuk mendapat persentase pemahaman

kelompok usia responden.

Menghitung frekuensi data, memberikan skor atau penilaian atas jawaban-

jawaban dari tiap butir pertanyaan kuesioner dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

F
P= x 100 %
n

Keterangan:

P = angka persentase

F = jumlah temuan (pemaham)

N Leksik Tua Dewasa Remaja

o. on
1. 1 2 3 1 2 3 1 2 3

2. L P L P L P L P L P L P L P L P L P

24
k r k r k r k r k r k r k r k r k r
3.

Ds

t
n = total informan

Keterangan :

1: mengenal, pernah melihat, pernah mendengar, dan pernah menggunakan

2: tidak mengenal, tidak pernah melihat, pernah mendengar, dan tidak pernah

menggunakan

3: tidak mengenal, tidak pernah lihat, tidak pernah mendengar, dan tidak pernah

menggunakan.

Persentase tingkat pemahaman leksikon dalam satu generasi dihitung

dengan menggunakan rumus. Namun, sebelum tingkat pemahaman dihitung

melalui rumus tersebut, terlebih dahulu data diuji dengan kuisioner yang akan

ditanyakan kepada responden dan bentuknya adalah seperti tabel di atas.

25
BAB III

METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penlitian ini adalah perpaduan antara

metode kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang

bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek

penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik, dan

dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks

khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah

(Moleong, 2006:9).

Subjek penelitian kualitatif berjumlah kecil, teknik sampling bertujuan.

Sementara kuantitatif berjumlah besar, pemilihan secara acara. Pengamatan

terstruktur yang non-partisipan, wawancara semi-terstruktur dan formal,

administrasi tes dan kuesioner, eksperimen, penelitian survei, eksperimen-kuasi

(Moleong, 2006:36). Penelitian kuantitatif bertujuan menjelaskan, meramalkan,

dan/atau mengontrol fenomena melalui pengumpulan data terfokus dari data

numerik (Moleong, 2006:31).

Metode penelitian kuantitatif, adalah metode penelitian yang terstruktur,

formal, ditentukan terlebih dahulu, tidak luwes, dijabarkan secara rinci terlebih

dahulu sebelum penelitian dilakukan. Sementara kualitatif historikal, etnografis,

dan studi kasus (Moleong, 2006:33)

26
Demikian juga dengan pendekatan kualitatif yang dilakukan di dalam

penelitian ini sangat tepat untuk mengumpulkan data, menganalisis data, serta

melihat fenomena yang terjadi di lingkungan pengobatan masyarakat Melayu

Langkat, desa Secanggang. Sementara pendekatan kuantitatif diterapkan untuk

menguji pemahaman leksikon pengobatan bahasa Melayu Langkat di Desa

Secanggang, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di Desa Secanggang Kecamatan Secanggang berjarak

sekitar 61 Km dari kota Medan. Daerah ini berada pada 0 – 300 meter di atas

permukaan laut, dengan luas sekitar 223,27 km². Desa secanggang merupakan

lokasi penelitian yang berada pada lokasi dimana sebelah selatan berbatasan

dengan Kota Stabat, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Pura,

dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Belawan. (Wikipedia,

Secanggang, 2020). Desa Secanggang ini memiliki lahan-lahan yang luas,

masyarakat yang tinggal dan menetap di sana menggunakan bahasa Melayu dalam

berinteraksi antara satu dengan yang lain setiap hari.

3.3 Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian “Leksikon Pengobatan Tradisional Masyarakat

Melayu Langkat Di Desa Secanggang: Kajian Ekolinguistik” ini diperoleh dari

informan dan responden, berupa leksikon nomina dan verba di Desa Secanggang.

Sumber data pada penelitian ini terdiri atas data primer dan sekunder. Data

primer berupa kata-kata yang diperoleh dari informan di Desa Secanggang yang

27
sehari-harinya menggunakan bahasa Melayu Langkat. Informan dalah masyarakat

sekitar yang hidup dan sudah lama tinggal di Desa Secanggang. Penentuan

informan dilakukan saat peneliti melakukan penelitian ke Desa Secanggang. Data

sekunder berupa dokumen tertulis, seperti buku-buku yang berhungan dengan

pengobatan tradisional, khususnya pengobatan tradisional Melayu Langkat.

Menurut Moleong (2005:157) sumber data utama dalam penelitian

kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti

dokumen dan lain-lain. Adapun sumber data yang akan digunakan penelitian ini

meliputi:

(a.) Data primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara secara dan

pengamatan secara mendalam kepada para informannya 49 langsung yaitu

para joged, tokoh masyarakat sekitar, dan warga yang tinggal di daerah

setempat tentang adanya fenomena pemakaian susuk terhadap profesi

joged.

(b.) Data sekunder, yaitu sumber data yang tidak langsung namun dapat

memberikan data tambahan yang mendukung data primer. Sumber data

sekunder dapat diperoleh dari Dinas Pariwisata setempat, media cetak

maupun media elektronik seperti buku dan internet guna mendukung

pembahasan dan dari hasil-hasil penelitian lain.

Data dalam penelitian ini diperoleh dari informan dan responden dengan

jenis data primer. Data primernya adalah kata-kata yang didapat dari informan

28
guyub tutur bahasa Melayu Langkat di Desa Secanggang, Kecamatan

Secanggang, Kabupaten Langkat. Berikut adalah syarat informan :

1. Berjenis kelamin pria atau wanita;

2. Berusia di atas 25 tahun;

3. Orang tua, istri atau suami informan lahir dan dibesarkan di Desa

Secanggang atau berdomisili di Desa Secanggang;

4. Menetap di Desa Secanggang minimal selama 10 tahun;

5. Menguasai pertanyaan dalam bahasa Indonesia (bila tidak, peneliti akan

menggunakan tenaga pembantu penelitian yang menguasai bahasa

Indonesia dan bahasa Melayu Langkat);

6. Dapat mengerti bahasa Indonesia;

7. Bagi informan yang sudah tua, memiliki pendengaran yang baik dan tidak

pikun;

8. Sehat jasmani dan rohani (lihat Mahsun, 2005:141-142)

Wawancara dilakukan minimal kepada tiga informan pada penelitian ini.

Pertanyaan yang dilakukan pada waktu wawancara terdiri atas :

1. Leksikon lingkungan pengobatan yang terdiri dari nomina, verba dan

adjektiva;

2. Istilah-istilah yang digunakan untuk alat-alat pengobatan; Jumlah data

merujuk kepada Chaer (2007:39) yang menyatakan bahwa dalam

penelitian kualitatif, jumlah data yang dikumpulkan tidak tergantung pada

29
jumlah tertentu, melainkan tergantung pada jumlah yang dirasakan telah

memadai.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Menurut Moleong (2017: 157) teknik pengumpulan data adalah cara atau

strategi untuk mendapatkan data yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan.

Teknik pengumpulan data bertujuan untuk memperoleh data dengan cara yang

sesuai dengan penelitian sehingga peneliti akan memperoleh data yang lengkap

baik secara lisan maupun tertulis. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

beberapa teknik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi.

1. Observasi

Observasi merupakan cara pengumpulan data dengan melibatkan

hubungan interaksi sosial antara peneliti dan informan dalam suatu latar

penelitian (pengamatan objek penelitian di lapangan). Pengamatan

dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat semua peristiwa. Cara ini

bertujuan untuk mengetahui kebenaran atau fakta yang ada di lapangan

(Moleong, 2010: 125-126).

Observasi yang dilakukan peneliti adalah dalam bentuk pengamatan

dan pencatatan langsung dan tidak langsung. Peneliti menggunakan

observasi non partisipan, yaitu peneliti hanya mengamati secara langsung

keadaan objek, tetapi peneliti tidak aktif dan terlibat secara langsung.

2. Wawancara

30
Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara mengajukan

sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula.

Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang melibatkan

seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan

mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu (Deddy,

2004:180).

Wawancara secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu wawancara

terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara tersetruktur sering

juga disebut dengan istilah wawancara baku, yang susunan pertanyaannya

sudah ditetapkan sebelumnya dengan pilihanpilihan jawaban yang

disediakan. Wawancara tidak terstruktur bersifat luwes, susunan

pertanyaannya dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah

pada saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat

wawancara (Deddy, 2004: 180-181). Wawancara dalam penelitian ini

dilakukan dengan para informan dan masyararakat yang tinggal menetap di

Desa Secanggang , Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak

langsung ditujukan kepada subjek penelitian, melainkan sebagai data

pendukung yang sangat dibutuhkan oleh peneliti (Deddy, 2004: 195).

Dokumentasi dapat berupa dokumen yang dipublikasikan atau dokumen

pribadi seperti foto, video, catatan harian dan catatan lainnya. Dokumentasi

yang dilakukan oleh peneliti ialah segala bentuk dokumentasi tertulis

31
maupun tidak tertulis yang dapat digunakan untuk melengkapi data-data

lainnya.

Data penelitian ini juga dikumpulkan dengan metode simak dan metode

cakap. Data lisan dikumpulkan dengan menggunakan metode simak dengan

teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik simak bebas libat

cakap. Dalam teknik simak libat cakap, penulis terlibat langsung dalam

wawancara dengan informan. Wawancara mendalam dilakukan kepada informan

sesuai dengan persyaratan informan. Kemudian, data dikategorikan berdasarkan

perangkat kelas katanya. Setelah data leksikon ekologi pengobatan terkumpul,

peneliti menyusun kuisioner untuk ditanya kepada responden dengan tujuan untuk

mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat Desa Secanggang terhadap

leksikon tersebut. Syarat-syarat responden adalah sebagai berikut :

Responden dikelompokkan menjadi tiga kelompok usia, yaitu:

a) 15-20 tahun; mengacu pada pendapat psikolog (lihat Mubin dan

Cahyadi, 2006: 106),

b) 21-45 tahun (Mubin dan Cahyadi,2006:106),

c) Di atas 45 tahun (Mubin dan Cahyadi, 2006:115)

Adapun alasan pembagian kelompok usia tersebut adalah sebagai berikut.

a. kelompok usia remaja (15-20 tahun).

b. kelompok usia dewasa, yaitu awal masa dewasa (21-45 tahun).

c. kelompok pertengahan masa dewasa dan masa dewasa lanjut atau

masa tua (di atas 45 tahun).

32
Jumlah responden adalah 10-25 % dari jumlah populasi di Desa

Secanggang. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Arikunto, jika subjeknya

kurang dari 100 orang sebaiknya diambil semuanya, jika subjeknya besar atau

lebih dari 100 orang dapat diambil 10-15% atau 20-25% atau lebih, Arikunto

(2010:112).

3.5 Analisis Data

Proses analisis data dimulai sejak pengumpulan data dilakukan dan sesudah

meninggalkan lapangan. Proses analisis data ditelaah dari seluruh data yang

tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah

dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen resmi, gambar, dan foto.

Untuk memecahkan rumusan masalah yang pertama, peneliti menggunakan

metode padan. Hal ini karena metode padan adalah metode yang alat penentunya

berasal dari luar bahasa (Sudaryanto, 2015: 15). Hubungan padan itu berupa

hubungan banding antara semua unsur penentu yang relevan dengan semua unsur

data yang ditentukan (Sudaryanto, 2015: 31). Karena membandingkan itu berarti

pula mencari semua kesamaan dan perbedaan yang ada di antara kedua hal yang

dibandingkan maka dapatlah hubungan banding itu dijabarkan menjadi hubungan

penyamaan dan hubungan pemerbedaan.

Adapun alatnya ialah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki seorang

peneliti. Sesuai dengan jenis penentu yang akan dipilah-pilahkan atau dipisah-

pisahkan atau dibagi menjadi berbagai unsur itu maka daya pilah itu dapat disebut

“daya pilah referensial”, “daya pilah fonetis artikulatoris”, “daya pilah

33
translasional”, “daya pilah ortografis”, dan “daya pilah pragmatis”. Metode padan

yang digunakan dalam tahap pengkajian data penelitian ini adalah metode padan

referensial. Dalam metode ini digunakan teknik pilah unsur penentu sebagai

pembeda referen, yaitu mendeskripsikan sejumlah leksikon pengobatan tradisional

yang ada di Desa Secanggang. Dalam tahap ini peneliti mengkategorikan kelas

kata tiap kelompok leksikon menjadi dua yaitu kelas kata nomina dan kelas kata

verba berdasarkan konsep Chaer dan Alwi.

Analisis data dalam penelitian ini penulis melakukan tahapan langkah

berikut:

a. Menelaah seluruh data yang diperoleh berdasarkan observasi, wawancara,

catatan lapangan, foto, dan sebagainya.

b. mereduksi data dengan membuat abstraksi/ rangkuman untuk selanjutnya

dilakukan penyusunan dalam satuan-satuan untuk menjawab

permasalahan.

c. Mengelompokkan hasil analisis interferensi tersebut ke dalam beberapa

jenis.

Penyajian hasil analisis data menggunakan metode formal dan infomal.

Metode informal digunakan untuk menyajikan hasil analisis data dengan kata-kata

biasa. Metode tersebut digunakan untuk menyajikan hasil analisis leksikon

pengobatan tradisional Melayu Langkat. Metode formal digunakan untuk

menyajikan hasil penelitin dengan rumusan dan angka seperti singkatan , rumus ,

34
dan sebagainya. Metode ini digunakan untuk menyajikan hasil analisis masalah

yang kedua (Sudaryanto 1993:145).

35
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.Jakarta :

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Arikunto, Suharsimi.2010. Managemen Penelitian (edisi revisi). Jakarta: Rineka

Cipta.

Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. (edisi revisi).

Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2007. A. Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka

Cipta.

B . Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.

Handayani, Dila. 2015. Leksikon Kuliner Melayu Tanjung Balai: Kajian

Ekolinguistik (Tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara.

Mahsun. 2012. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Mbete, Aron Meko. 2009. Ekolinguistik :Perspektif Kelinguistikan

yangProspektif. Denpasar: Program Magister dan Doktor Linguistik

Universitas Udayana.

Mbete, Aron. 2013. Penulisan Singkat Penulisan Proposal Penelitian

Ekolinguistik. Denpasar: Vidia.

Mubin dan Ani Cahyadi. 2006. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Quantum

Teaching.

36
Muhlhausler, Peter and Alwin Fill (Eds.) 2001. The Ecolinguistics Reader :

Language,Ecology and Environment. London and New York: Continuum.

Moleong, Lexy J. 2017. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan 46, Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Oktaviani, Anggun. 2013. ”Leksikon Lingkungan Kepadian dalam Bahasa Jawa

di Desa Suka Makmur Kecamatan Binjai”: Kajian Ekolinguistik (Skripsi).

Medan: Universitas Sumatera Utara.

Riskyansyah, M Rozy. 2015. “Leksikon Nomina dan Verba Bahasa Jawa dalam

Lingkungan Persawahan di Tanjung Morawa: Kajian Ekolinguistik”

(Skripsi). Medan: Universitas Sumatera Utara.

Sibarani, Robert. 1997. Leksikografi. Medan: USU Press.

Simanjuntak, Dairi Sapta Rindu. 2014. “Perubahan Fungsi Sosiologis Leksikon

Flora Bahasa Pakpak Dairi” (Tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar

Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press.

Surbakti, Ernawati. 2013. “ Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Bingei: Kajian

Ekolinguistik” (Tesis). Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Tangkas,

Putu Reland Dafincy. 2013. Khazanah Verbal Kepadian Komunitas Tutur

Bahasa

37
Tangkas, Putu Reland Dafincy. 2013. “Khazanah Verbal Kepadian Komunitas

Tutur Bahasa Kodi, Sumba Barat Daya: Kajian Ekolinguistik”

(Tesis). Pascasarjana Universitas Udayana.

Tarigan, Gita Esikel. 2018. “Leksikon perpadian dalam Bahasa Karo Kajian

Ekolinguistik”(Skripsi). Medan: Universitas Sumatera Utara.

Widayati, Dwi, dkk. 2012. “Perubahan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu

Asahan”(Laporan Penelitian). Medan: Universitas Sumatera

Utara.

38

Anda mungkin juga menyukai