Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH ANTROPOLOGI MARITIM

“KEBUDYAAN NELAYAN ETNIS KAILI”

Dosen Pengampu: Yulianti Bakari, S. Sos, Ma

KELOMPOK 2:
Nurainun Zakina Mz. Dm B301 21 122
Zahra Amalia Dananda B301 21 014
Zalsa Billa Ratu Larasati B301 21 113
Rahma Magfira B301 21 080
Rifka Baeduri B301 21 044
Haryanto Febriawan B301 21 029
Ridho Rahmadhian B301 21 101

KELAS: B

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI


JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS TADULAKO
2024
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh Puji syukur atas rahmat Allah


SWT, Berkat rahmat serta karunia-Nya sehingga makalah ini dapat selesai.

Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Antropologi
Maritim, dengan makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan, dan
makalah ini saya susun berdasarkan berbagai sumber yang saya dapatkan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan


banyak kesalahan. oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan
tidak sempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga
mengharap adanya kritik serta saran dari pembaca apabila menemukan kesalahan
dalam makalah ini.

Palu, 22 Maret 2024

Kelompok 2

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................2
BAB 1......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
1.1 Latar belakang...........................................................................................4
BAB 2......................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................5
2.1 Studi tentang kebudayaan etnis Kaili........................................................5
2.2 Kajian tentang kebudayaan nelayan..........................................................6
BAB 3......................................................................................................................7
PEMBAHASAN......................................................................................................7
3.1 Pengetahuan tentang gerakan air laut........................................................7
3.1.1 Air pasang..........................................................................................7
3.1.2 Air konda............................................................................................8
3.1.3 Arus air...............................................................................................8
3.2 Pengetahuan tentang ombak......................................................................9
3.4 Pengetahuan tentang pergantian musim....................................................9
3.4.1 Musim timur dan barat.......................................................................9
3.4.2 Musim hujan dan kemarau...............................................................10
3.5 Pengetahuan tentang bulan dan perilaku ikan.........................................10
3.6 Kepercayaan dan kearifan lingkungan....................................................11
3.6.1 Kepercayaan.....................................................................................11
3.6.2 Kearifan lingkungan.........................................................................11
KESIMPULAN......................................................................................................12
SARAN..................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................13

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Untuk mengenal etnik kaili maka pertama-tama harus mengetahui asal-
usul orang Kaili (To-Kaili). Dalam buku berjudul “Mengenal Tanah Kaili” ada
legenda yang menceritakan bahwa pada zaman dahulu, wilayah lembah Palu
merupakan lautan dan di sekitarnya tumbuh pohon besar dan menjulang tinggi
yang di beri nama “pohon kaili”. Pohon itu menjadi tanda bagi pelaut yang
memasuki wilayah itu sehingga wilayah itu kemudian diberi nama Laut kaili.

Mengenai asal-usul keturunan orang Kaili, belum diperoleh informasi


yang pasti, baik dari cerita rakyat maupun dari hasil penelitian. Namun, ada cerita
versi lain yang menjelaskan bahwa nenek moyang penduduk awal lembah Palu
pada mulanya berada di lereng-lereng gunung di sekitar lembah Kaili. Setelah air
laut mengering, maka mereka turun ke lembah atau Noili (BK) membuat
pemukiman. Orang-orang yang turun dari gunung dan membuat permukiman di
lembah Palu itulah disebut To-Kaili.

Setiap masyarakat nelayan yang bermukim di wilayah perairan tertentu


sudah barang tentu memiliki pengetahuan yang rinci tentang perilaku dan
taxonomi ikan yang menjadi sasaran buruannya, baik pengetahuan atau dimiliki
dan dikuasai secara individu maupun secara kelompok. Pengetahuan semacam itu
meliputi perilaku mencari pakan atau memangsa, kawin dan reproduksi,
kehidupan berkelompok pada habitat tertentu, struktur umur dan lain-lain.
Pentingnya pengetahuan lokal dalam kegiatan nelayan tidak dapat diragukan lagi.
Pengetahuan mendalam tentang perilaku ikan yang ditangkap merupakan aset
berharga bagi keberlanjutan dan kesuksesan perburuan mereka.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Studi tentang kebudayaan etnis Kaili


“Budaya Sintuvu Masyarakat Kaili Di Sulawesi Tengah“ Oleh Dwi
Septiwiharti (2020) Memberikan gambaran tentang kebudayaan Kaili, yang
sepanjang sejarah perkembangannya, telah menjadi kebudayaan yang khas, hal ini
disebabkan oleh faktor akulturasi dan asimilasi dengan etnis lainnya. Sejak zaman
kerajaan, berbagai etnis yang mendiami wilayah Sulawesi Tengah, seperti Bugis,
Makassar, Mandar, Banjar, Minangkabau, Jawa, Minahasa, Arab, India, Cina, dan
12 etnis asli, yaitu Kaili, Kulawi, Pamona, Mori, Tomini, Bungku, Tolitoli, Buol,
Banggai, Balantak, Lore, dan Saluan, telah berinteraksi. Proses akulturasi dan
asimilasi dalam kebudayaan kediaman Raja-Raja Kaili ini masih terpelihara
hingga saat ini. Salah satu ciri khas orang Kaili adalah sikap terbuka terhadap
etnis lain yang masuk ke wilayah Sulawesi Tengah. Salah satu kebudayaan khas
masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah adalah "sintuvu", yang diyakini sudah ada
sejak masa Tomalanggai dan berkembang lebih lanjut sejak masa kerajaan Kaili di
Sulawesi Tengah pada abad ke-15. Rumah kediaman Raja Kaili disebut Banua
Oge. Keterbukaan orang Kaili tercermin dalam dua hal sebagai berikut:

1) Sikap menerima semua etnik yang datang ke Tanah Kaili,


2) Kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, yang dimiliki oleh
semua orang Kaili, baik di pedalaman maupun di gunung-gunung.

Kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia merupakan bukti


keterbukaan masyarakat Kaili yang telah berlangsung sejak lama. Meskipun
memiliki bahasa daerah yang sangat kaya dengan berbagai dialek sebagai bentuk
ikatan sosial dan budaya masyarakatnya, masyarakat Kaili juga memiliki
keunggulan dalam penguasaan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia.

5
2.2 Kajian tentang kebudayaan nelayan
“Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Berbasis Sustainable Livelihood di
Pesisir Kota Surabaya” oleh Ardiyanto Maksimilianus (2020) menjelaskan
masyarakat pesisir umumnya terdiri dari sekelompok individu yang mayoritasnya
bermata pencaharian sebagai nelayan, pembudidaya ikan, atau pedagang ikan,
yang hidup berdampingan di wilayah pesisir dan membentuk serta memiliki
kebudayaan khas yang terkait erat dengan ketergantungannya pada sumber daya
pesisir. Meskipun memiliki kekayaan budaya yang unik, masyarakat pesisir sering
kali dianggap terbelakang dan berada dalam posisi marginal. Dalam masyarakat
nelayan khususnya, terdapat beberapa budaya yang telah membentuk pola
kehidupan mereka. Misalnya, kecenderungan untuk hidup bersama lebih dari satu
keluarga dalam satu rumah atau menampung keluarga serta kerabat dalam waktu
yang lama. Hal ini seringkali menyebabkan kepadatan dalam rumah tangga dan
memicu perluasan rumah tanpa perencanaan yang memadai, sehingga
mengakibatkan ruang gerak yang sempit dan terbatas bagi anggota keluarga.

6
BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Pengetahuan tentang gerakan air laut


Gerakan air laut adalah salah satu unsur ekosistem laut yang banyak
mempengaruhi kegiatan penangkapan ikan masyarakat nelayan Berikut deskripsi
tentang pengetahuan nelayan Kaili mengenai tiga macam gerakan air laut di teluk
palu:

3.1.1 Air pasang


Para nelayan Kaili di kelurahan Lere kota Palu menjelaskan bahwa air laut
yang sifatnya naik turun pada waktu-waktu tertentu sehingga pantai terendam oleh
air laut beberapa saat lamanya, kemudian kering kembali setelah air laut turun.
Menurut nelayan, dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan air surut, yaitu
antara jam 05.00-08.00 pagi hari (air pasang) berlangsung kira-kira 2-3 jam
lamanya, kemudian terjadi air surut yaitu antara jam 09.00-19.00 yang
berlangsung kira-kira 10 jam lamanya. Kejadian itu berlangsung terus-menerus
dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun yang kadang-kadang
mengalami perubahan sedikit waktu kejadiannya.

Pada waktu terjadi pasang surut, keadaan air laut menjadi tenang dan
banyak jenis ikan yang muncul di permukaan laut dangkal untuk mencari pakan.
Pada waktu itulah nelayan turun ke laut menangkap ikan. Di antara kedua
kejadian air pasang. para nelayan lebih suka turun ke laut pada waktu dini hari.
Ada beberapa alasan yang diberikan, yaitu: pertama, karena pada waktu itu tidak
perlu menggunakan lampu penerang; kedua, karena pada waktu itu ikan-ikan yang
muncul sangat lapar sehingga lebih mudah dijaring; ketiga, ikan-ikan yang
ditangkap pada waktu pagi hari dapat langsung dijual di pasar dalam keadaan
segar.

7
3.1.2 Air konda
Konsep air konda digunakan oleh nelayan Kaili untuk keadaan permukaan
air laut yang tidak mengalami kenaikan (pasang), tetapi berada pada keadaan surut
kira-kira 10 meter dari garis pantai. Air konda tersebut biasanya terjadi 2 kali
sebulan selama tujuh hari berturut-turut, dan selama itu kurang ikan yang dapat
ditangkap. Oleh karena itu, nelayan jarang turun ke laut menangkap ikan. Namun,
setelah terjadi air konda, terjadi air pasang secara teratur. Selama itu, banyak ikan
yang muncul di perairan dangkal yang dapat ditangkap oleh nelayan.

Konsep air konda yang dikenal oleh nelayan setempat tidak ada konsep yang sama
maknanya dalam kepustakaan ilmu kelautan. Namun, saya memperkirakan bahwa
keadaan air seperti itu sama dengan air surut yang berlangsung beberapa saat.
Namun, yang menjadi pertanyaan apakah mungkin terjadi air surut secara
berturut-turut tanpa diantarai oleh air pasang.

3.1.3 Arus air


Selama terjadi arus air, nelayan sulit mengoperasikan alat penangkap ikan
karena hanyut bersama air sehingga berat ditarik, terutama alat penangkap ikan
yang besar seperti panambe dan jala rompo. Selain itu, para nelayan sulit juga
untuk mengembangkan alat penangkap ikan serta timah untuk mengembangkan
alat penangkap ikan serta timah pemberatnya mudah terangkat sehingga ikan-ikan
gampang lolos keluar. Oleh karena itu, para nelayan sulit memperoleh ikan dalam
jumlah banyak.

Untuk mengatasi masalah arus air, para nelayan di kelurahan Lere, Kota
Palu harus bersabar menunggu hingga arus mereda sebelum mereka bisa turun
melaut. Jika arus tetap kuat dalam beberapa jam, mereka memilih untuk tidak
memancing, mengakibatkan hilangnya pendapatan hari itu. Meskipun
pengetahuan mereka tentang arus air berbeda jauh dengan para ilmuwan, nelayan
ini tetap dihargai karena kemampuannya membedakan antara arus dan ombak

8
yang disebabkan oleh angin, serta prinsip mereka yang lebih memilih hasil
tangkapan yang sedikit daripada kerugian karena peralatan rusak.

3.2 Pengetahuan tentang ombak


Para informan menjelaskan bahwa ombak atau gelombang air laut
dipengaruhi oleh angin yang bertiup pada waktu-waktu tertentu. Semakin kencang
angin, semakin besar ombaknya. Ombak ini berbeda dari arus karena bersifat
maju dan berasal dari arah angin. Waktu munculnya ombak sesuai dengan musim
angin di wilayah perairan tertentu, contohnya di Teluk Palu, ombak keras terjadi
pada siang dan malam hari. Meskipun ombak dapat menghambat aktivitas
menangkap ikan, namun bagi nelayan yang kembali ke pantai, ombak menjadi
tenaga penggerak perahu yang mempercepat perjalanan, kecuali perahu yang
menggunakan dayung.

3.4 Pengetahuan tentang pergantian musim


Nelayan umumnya memahami pergantian musim yang berhubungan
dengan pekerjaan mereka, seperti musim Barat dan Timur, musim penghujan, dan
kemarau. Demikian pula, masyarakat nelayan Kaili di Kelurahan Lere memiliki
pemahaman tentang makna di balik setiap musim yang muncul pada waktu
tertentu. Pengetahuan dan tindakan nelayan terkait dengan musim akan dijelaskan
secara rinci dalam pembahasan berikutnya:

3.4.1 Musim timur dan barat


Sulawesi Tengah memiliki dua musim tetap: musim Timur (April -
September) yang kurang hujan, dan musim Barat (Oktober - Maret) yang hujan
deras. Kedua musim ini memengaruhi musim penangkapan ikan secara umum di
Sulawesi Tengah, termasuk Kabupaten Donggala.

Pengetahuan budaya nelayan tentang musim Timur dan Barat menjadi


panduan dalam menangkap ikan. Selama musim Barat (Oktober - Maret), banyak
ikan ditangkap di perairan kecamatan Parigi dan sekitarnya (pantai timur
Donggala), menyebabkan harga ikan di pasar menjadi murah. Namun, di perairan
Palu Barat dan sekitarnya (pantai barat Donggala), terjadi paceklik ikan, sehingga

9
nelayan di kelurahan Lere jarang menangkap ikan. Sebagai gantinya, para istri
nelayan menjadi pengecer ikan di pasar Palu.

Sebaliknya, saat musim Timur (April - September), terjadi paceklik ikan di


wilayah perairan Parigi dan sekitarnya (pantai timur Donggala), membuat harga
ikan di pasar kota Palu menjadi mahal. Oleh karena itu, selama musim Timur,
nelayan di kelurahan Lere intensif menangkap ikan untuk menutupi kekurangan
hasil tangkapan selama musim Barat.

3.4.2 Musim hujan dan kemarau


Masyarakat nelayan Kaili di kelurahan Lere, Kota Palu, memiliki
pemahaman tentang fungsi dan signifikansi musim hujan dan kemarau terhadap
mata pencaharian mereka. Saat hujan, sungai Palu banjir sehingga air di muara
sungainya keruh, memicu peningkatan aktivitas penangkapan udang merah.
Sebaliknya, saat kemarau tiba dan air menjadi jernih, banyak udang putih yang
mencari pakan di perairan tersebut. Oleh karena itu, nelayan beralih menangkap
udang putih secara intensif saat musim kemarau.

Pengetahuan dan tindakan nelayan ini mencerminkan suatu "mekanisme


adaptif" yang membantu menjaga kelangsungan sumber daya ikan dengan
mengoptimalkan penangkapan sesuai dengan musim. Fungsi pengetahuan budaya
dan adaptasi terhadap pergantian musim sangat penting dalam menjaga
pengelolaan yang berkelanjutan terhadap sumber daya laut, memastikan bahwa
sumber daya ikan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk masa depan.

3.5 Pengetahuan tentang bulan dan perilaku ikan


Nelayan etnik Kaili memiliki pengetahuan yang melibatkan konsep bulan
terang dan bulan gelap yang memengaruhi perilaku ikan. Menurut mereka,
fenomena ini terjadi setiap bulan, mulai dari malam ke-11 hingga malam ke-21.
Pada saat bulan terang, mereka memilih untuk tidak melaut menangkap ikan
karena mengalami kesulitan dalam menangkapnya. Saat ditanya mengapa sulit
menangkap ikan pada saat bulan terang, nelayan menjelaskan bahwa ikan-ikan
berada di permukaan laut, bermain-main, dan saling kejar-kejaran, sehingga sulit

10
untuk ditangkap dengan jala maupun pancing karena mereka tidak tertarik pada
umpan. Hal ini disebabkan karena ikan-ikan tersebut sedang dalam proses kawin.
Selama periode 7 hingga 10 hari saat bulan terang, nelayan tidak melaut, yang
mengakibatkan kenaikan harga ikan di pasar. Meskipun demikian, fenomena ini
sudah menjadi hal yang umum dan diterima oleh masyarakat, meskipun terkadang
mereka mengeluhkan harga ikan yang naik. Selama bulan terang, nelayan
melakukan kegiatan sampingan seperti perawatan perahu, perbaikan jala, pancing,
atau mencari pekerjaan lain seperti buruh harian bangunan atau berdagang ikan.

3.6 Kepercayaan dan kearifan lingkungan


3.6.1 Kepercayaan
Nelayan etnik Kaili di Teluk Palu memiliki kepercayaan bahwa laut
dikuasai oleh Dewa yang bernama "Dewa Hilir" menimbulkan bahaya dan
kemalangan sehingga nelayan melakukan upacara pemberian sesajen ketika
memulai menggunakan perahu dan alat penangkap ikan yang baru.

3.6.2 Kearifan lingkungan


Nelayan etnik Kaili di Teluk Palu memiliki kearifan terhadap sumber daya
laut, yaitu melarang nelayan lain mengoperasikan pukat harimau dan bagang
karena dapat menguras populasi ikan dalam waktu singkat sehingga tidak dapat
dikelola secara berkelanjutan.

11
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan, nelayan etnik Kaili di Teluk Palu memiliki
pengetahuan yang mendalam tentang dinamika perairan, termasuk gerakan air laut
seperti pasang, konda, dan arus. Mereka memahami pola-pola ini dengan baik,
yang memengaruhi kegiatan penangkapan ikan sehari-hari. Selain itu, mereka juga
memahami pengaruh ombak yang dipengaruhi oleh angin dan menggunakannya
sebagai tenaga penggerak perahu. Pemahaman mereka tentang pergantian musim,
seperti musim Timur dan Barat, musim hujan, dan kemarau, memungkinkan
mereka untuk mengadaptasi strategi penangkapan ikan sesuai dengan kondisi
musiman yang berbeda. Selanjutnya, nelayan juga memiliki pengetahuan tentang
hubungan antara fase bulan dan perilaku ikan, seperti menghindari melaut saat
bulan terang karena sulit menangkap ikan yang sedang kawin. Tidak hanya itu,
mereka juga memiliki kepercayaan terhadap Dewa Laut dan menjalankan ritual
tertentu sebelum memulai aktivitas penangkapan ikan, serta memiliki kearifan
lingkungan dalam melarang penggunaan alat tangkap tertentu yang dapat merusak
populasi ikan secara berlebihan. Semua ini mencerminkan pengetahuan yang
holistik dan kearifan lokal yang penting dalam menjaga keberlanjutan sumber
daya laut dan kehidupan nelayan.

SARAN
Untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan dan menjaga keberlanjutan
sumber daya laut, nelayan Kaili dapat mengikuti beberapa langkah sederhana.
Pertama, mereka dapat memantau perkiraan cuaca dan kondisi ombak sebelum
berlayar, sehingga dapat merencanakan waktu terbaik untuk melaut dan
meminimalkan risiko kecelakaan. Selanjutnya, pemilihan alat tangkap ikan yang
sesuai dengan kebutuhan dan ramah lingkungan juga penting. Hindari penggunaan
alat tangkap yang merusak lingkungan laut, seperti pukat harimau dan bagang,
yang dapat menguras populasi ikan secara berlebihan. Dengan menerapkan
langkah-langkah sederhana ini, diharapkan nelayan dapat meningkatkan hasil
tangkapan ikan secara berkelanjutan dan menjaga keseimbangan ekosistem laut.

12
DAFTAR PUSTAKA

Maksimilianus, A. (2020). Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Berbasis


Sustainable Livelihood di Pesisir Kota Surabaya. Malang: CV. Dream
Litera Buana .
Mamar, H. S. (2017). Kebudayaan Masyarakat Maritim. Papua: Aseni (Anggota
IKAPI Pusat).
Septiwiharti, D. (2020). Budaya Sintuvu Masyarakat Kaili Di Sulawesi Tengah.
Naditira Widya .

13

Anda mungkin juga menyukai