DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6
PROGRAM STUDI :
AGRIBISNIS A PALEMBANG
ASISTEN DOSEN :
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
KATA PENGANTAR
PENDAHULUAN
Desa begkala merupakan salah satu desa yang terletak di kabupaten buleleng, kecamatan
kubutambahan.Desa bengkala dihuni oleh lebih dari 2280 jiwa.Secara umum sektor
utama mata pencaharian yang utama dari Desa bengkala ini yaitu pertanian dan
perkebunan.Namun ada yang menarik untuk ditelusuri dari desa bengkala ini. Ternyata
lebih dari 2 persen penduduk desa ini adalah penderita tuli bisu yang dalam bahasa bali
juga biasa disebut kolok. Artinya lebih dari 47 jiwa di desa bengkala menderita tuli bisu
yang konon telah diderita secara turun temurun sejak lebih dari 70 tahun yang lalu atau
diperkirakan terjadi sekitar tahun 1940 an. Pada awalnya konon hanya ada satu penderita
tuli bisu di desa ini yang diperkirakan menjadi cikal bakal penderita tuli bisu di desa
bengkala ini merupakan titisan makhluk halus yang datang ke desa tersebut dan menjadi
cikal bakal lahirnya keluarga yang hampir seluruh keluarga tersebut menderita kolok.
Dari segi ilmiah penderita kolok yang turun temurun juga dapat disebakan oleh terjadinya
mutasi genetik yang mempunyai sifat resesif.
Untuk berkomunikasi antar sesama kolok, mereka menciptakan gaya bahasa isyarat
tersendiri yang tidak seperti bahasa tubuh baku untuk penderita bisu tuli. Praktis, hanya
mereka yang menderita kekolokan yang memahami ekspresi dan gerak tubuh mereka saat
berkomunikasi. Bahasa isyarat mereka jauh lebih sederhana. Misalnya, untuk menyebut
makan, mereka cukup mengarahkan jemari tangan ke arah perut. Untuk lapar, cukup
dengan memegang perut.
Disamping itu, hubungan antar warga yang normal tidak menderita kecacatan dengan
warga lainnya yang kolok juga tidak ada masalah dan selalu harmonis. Desa itu punya
lima banjar, yakni Punduh Jero, Tihing, Basta, Asem, Kutuh, dan Coblong, yang selalu
ramai dengan bahasa isyarat. Di lima banjar itu pula kesembilan keluarga kolok tersebar.
Menurut I Ketut Kantha, seorang warga desa yang ikut menaungi sebuah paguyuban
penderita kolok, di desanya juga terdapat sekolah yang dikhususkan untuk warganya yang
menderita cacat kolok.
“Kami punya sekolah khusus tingkat SD untuk anak-anak kolok yang namanya
sekolah inklusi. Sekolah itu berada di satu lingkungan sekolah dasar umum dan mereka
berinteraksi dengan anak-anak normal lainnya. Hanya saja, kami menempatkan siswa
kolok di ruang khusus untuk mereka,” jelas Kantha.
Kolok di desa Bengkala tersebut menjadi sebuah fenomena yang sudah ada sejak
ratusan tahun silam. Menurut Kantha, kondisi desa Bengkala, mirip dengan penduduk San
Jose di Kosta Rika, yang daya pendengarannya berangsur merosot hingga akhirnya hilang
sama sekali. Sekaligus, Desa Bengkala menempati urutan kedua penderita kolok setelah
penduduk San Jose.
Karena kehidupan yang sudah menyatu antara penderita kolok dengan warga yang
lain, mereka akhirnya menyatu dalam perkawinan. Dari situ, generasi kolok umumnya
diwariskan secara turun temurun.
Seperti I Made Pinda yang seluruh keluarganya menderita bisu tuli. Meski seolah
tidak ada keturunan yang lahir normal dan sehat, Pinda mengaku kolok yang sudah
mendarah daging itu menjadi sebuah aib. Bahkan bukan cuma Made Pinda saja, kedua
orangtua dan dua saudara kandungnya juga ditakdirkan tuli dan bisu. Tiga mantan
istrinya, dua anak dan kedua saudara ipar Pinda juga orang kolok.
“Ini takdir yang tak perlu disesali. Kami semua hidup bahagia dan tidak ada masalah
dengan warga lain yang hidup normal. Kami juga bisa hidup normal dengan bekerja
seperti yang lain,” kata pria 50 tahun ini dalam bahasa isyarat.
Tapi diluar itu, menurut Kantha, ada juga yang tidak mewariskan kolok meski ada
satu keluarga yang menderita bisu tuli. Menurutnya, salah satu warga disana bernama
Kadek Srisari yang menikah dengan orang kolok bernama I Wayan Ngarda tidak
membenihkan keturunan yang kolok. Pasangan ini ternyata memiliki dua putra dan putri
dengan pendengaran normal serta mampu berbicara.
“Nah, itulah yang sampai saat ini kami belum tahu. Kalau bilang ada cerita mitos, ya
kami juga percaya. Tapi diluar itu, banyak peneliti bahkan dari luar negeri datang kemari
untuk mencari jawaban dari fenomena di desa kami.
Artinya, keanehan ini bisa dijelaskan secara ilmu pengetahuan. Tapi, sampai sekarang
pun belum ada jawaban yang benar-benar bisa membuka misteri yang ada,” ungkap pria
yang juga berprofesi sebagai pemandu wisata ini.
Para penyandang tuli bisu di desa ini kemudian tergabung ke dalam sebuah kelompok
kesenian serta dibina dan difasilitasi untuk dapat berkarya seperti warga desa yang lain.
Hal ini terbukti dari berkembangnya sebuah karya seni yang sukses menjadi ciri khas
Desa Bengkala yaitu Tari Janger Kolok. Seringkali Tari Janger Kolok mendapat tawaran
untuk tampil dalam berbagai acara. Seperti hiburan dalam acara pernikahan, mengisi
acara ulang tahun desa bahkan sempat turut serta mengisi acara pawai kesenian di
Buleleng.
Tari Janger Kolok merupakan sebuah tarian janger yang khusus ditarikan oleh para
penyandang tuli bisu di desa ini. Biasanya tarian ini terdiri dari belasan orang laki-laki
dan dua orang perempuan. Satu orang laki-laki akan menjadi pemandu dengan membawa
gupek / kendang. Tujuan terciptanya tarian ini adalah untuk memberikan kesempatan
yang sama kepada penduduk penyandang tuli bisu agar dapat memiliki rasa kepercayaan
diri untuk tampil di depan umum seperti penari Bali pada umumnya. Selain itu, tarian ini
merupakan hasil modifikasi dari tarian janger yang sudah umum dipentaskan dengan
menggunakan suara yang berasal dari nyanyian para penarinya.
Keberadaan penduduk yang menyandang tuli bisu lambat laun menjadi daya tarik
tersendiri bagi Desa Bengkala. Dibandingkan wisatawan lokal, lebih banyak wisatawan
mancanegara yang merasa terpanggil untuk mengetahui pola perilaku masyarakat Desa
Bengkala khususnya penduduk penyandang tuli bisu. Walaupun jumlahnya minoritas,
pola interaksi penyandang tuli bisu yang menggunakan isyarat tangan dalam
berkomunikasi telah menjadi hal umum untuk dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan antarmasyarakat yang tidak menyandang tuli bisu pun lebih sering menggunakan
bahasa isyarat dalam berkomunikasi.
Hal ini pun menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk mengunjungi Desa
Bengkala. Pasalnya, keunikan bahasa isyarat lokal yang digunakan penyandang tuli bisu
di desa ini merupakan hasil dari kebiasaan masyarakat dalam mengekspresikan suatu hal.
Pakem yang digunakan berbeda dengan sign languange atau bahasa isyarat nasional
maupun internasional. Hal ini kemudian mengundang perhatian wisatawan untuk
mempelajari penggunaan bahasa isyarat lokal bagi penyandang tuli bisu di Desa
Bengkala. Tidak jarang Desa Bengkala kemudian dijadikan sebagai pusat penelitian oleh
beberapa lembaga baik yang berasal dari Bali, Indonesia maupun kancah internasional.
Lebih lanjut, Kanta menyatakan, sebenarnya siswa kolok dalam keseharian sering
bersama siswa normal.Tapi, jika sudah di kelas, mereka terkesan canggung. Cara lain agar
para siswa kolok mau bersekolah adalah memberinya uang saku Rp 6 ribu.
Sebab, jika tidak diberi uang saku, mereka tidak mau bersekolah.Mereka rata-rata datang
dari keluarga tidak mampu.Karena itu, tiap hari kami pun memberi mereka uang saku.
Lalu, pelajaran apa yang sulit ditransfer tutor selain PKn, bahasa Inggris dan matematika
merupakan pelajaran yang sulit disampaikan. Apalagi jika sudah masuk ke level lebih tinggi.
Yakni, kelas IV dan kelas V. Contohnya, menjelaskan matematika jenis kelipatan.
"Itu yang sulit. Karena itu, bisa ke sana kemari menjelaskan supaya mereka mengerti.
Apalagi, kadang-kadang mereka memiliki penafsiran kebenaran tersendiri atas apa yang
mereka pikirkan,"
https://kabarkomik.wordpress.com/2017/05/03/potensi-wisata-desa-tanpa-suara/
https://www.kintamani.id/desa-bengkala-buleleng-mitos-desa-bisu-bali-002890.html
https://blog.misteraladin.com/desa-bengkala-desanya-orang-tuli-di-bali-yang-jadi-
sorotan-dunia/