Anda di halaman 1dari 18

TRADISI PENGASINGAN MANAK SALAH

SEBAGAI BENTUK MELESTARIKAN


BUDAYA LOKAL DI DESA PADANGBULIA

OLEH :

I WAYAN SUMEKEN (05.026.16)

PRODI PENERANGAN AGAMA HINDU


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN AGAMA SINGARAJA
TAHUN 2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
karunianya, makalah “TRADISI PENGASINGAN MANAK SALAH
SEBAGAI BENTUK MELESTARIKAN BUDAYA LOKAL DI DESA
PADANGBULIA” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Pada kesempatan
ini pula, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak, baik secara
langsung maupun tidak langsung yang membantu dalam penyelesaian makalah
ini. Berhubungan dengan kehidupan masyarakat bali yang mempercayai bahwa
Manak Salah atau sepasang suami-isteri yang melahirkan anak kembar buncing
(laki-perempuan) di asingkan dari desa tempat tinggalnya dan di berikan
upacara-upacara tertentu karena dianggap ngeletehin gumi. Tradisi semacam itu
masih dilestarikan di Desa Padangbulia karea merupakan salah satu budaya lokal.
Maka dari itu saya memilih untuk membuat makalah yang berhubungan dengan
hal tersebut.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
perbaikan makalah ini. Harapan penulis dengan selesainya makalah ini dapat
bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan mengenai kasus yang berkaitan
dengan manak salah di Desa Padangbulia, khususnya kita dapat mengetahui apa
yang dimaksud dengan Manak Salah, bagaimana cara yang seharusnya dan
selakyaknya di terapkan pada pasangan suami-istri yang mengalami kasus seperti
ini di masyarakat.

Singaraja, 6 Juni 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………... i


Daftar Isi ……………………………………………………………….. ii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang …...……………….………………………….….….. 1
1.2 Rumusan Masalah ….…………..……………………………….….….. 2
1.3 Tujuan Penulisan ……………..……………………………….….….. 2
1.4 Manfaat Penulisan …………………… …………………………….……2
Bab II Pembahasan
2.1 Manak Salah ……………..…………………………………………. 3
2.2 Sejarah Manak Salah …………………..……………………….….... 5
2.3 Manak Salah Menurut PHDI Bali……………………… …………….….8
2.4 Kasus Manak Salah di Desa Padangbulia …………………… ……....... .9
2.5 Manak Salah Tradisi atau Agama ……………………………..……...... 12
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan ……………………………………………….……..... 13
3.2 Saran ……………………………………………………….……..... 13
Daftar Pustaka

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bali dikenal sebagai etnis yang dianggap kuat mempertahankan tradisi
lokalnya. Begitulah kesan kebanyakan orang luar terhadap masyarakat Bali.
'Pulau Dewata' itu sangat menarik perhatian dunia karena masyarakatnya yang
tetap teguh mempertahankan adat nenek moyang mereka, walaupun negeri
mereka dibanjiri turis asing yang membawa masuk budaya regional dan global.
Namun demikian, Bali bukan tidak mengalami perubahan sosial-budaya.
Dalam sebuah seminar tentang kebudayaan Bali Utara di Buleleng yang saya
hadiri beberapa tahun lalu, saya mendapat kesan bahwa di kalangan intelektual
Bali sendiri terdapat percanggahan pandangan: satu pihak melihat pariwisata
dapat meningkatkan kesadaran orang Bali untuk mempertahankan tradisi mereka;
pihak lain melihat pariwisata telah menimbulkan erosi budaya dan efek-efek
lainnya terhadap masyarakat Bali
Di Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada-Buleleng ada sebuah adat
yang unik yaitu Manak Salah, bila ada penduduk desa melahirkan anak kembar
yang berjenis kelamin pria dan wanita atau yang disebut oleh penduduk setempat
sebagai kembar buncing, orang tua dan bayi kembar buncing ini menurut adat
disana harus di dipindahkan dari rumah asalnya ke sebuah rumah yang terletah di
campuhan atau ujung desa.
Tradisi ini banyak menuai kontroversi, ada beberapa pihak nyang
mengatak bahwa tradisi ini sudah tidak lagi relevan di zaman modern ini, dan
melahirkan anak sebenarnya merupakan sebuah anugrah bukan sebuah kesalahan.
Hal ini bertentangan dengan ajaran agama hindu. Dan dianggap memberatkan
pihak keluarga yang menjalani tradisi pengasingan.
Namun bagi warga setempat, tradisi Manak Salah ini bukanlah sebuah
pengucilan terhadap keluarga. Warga justru setiap hari akan “magebagan” atau
berjaga setiap malam hari di rumah gubuk yang ditempati keluarga yang
menjalani tradisi Manak Salah.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat disusun dalam makalah ini ialah :
1. Apa yang dimaksud dengan Manak Salah?
2. Bagaimana sejarah Manak Salah?
3. Bagaimana Manak Salah menururt PHDI Bali?
4. Bagaimana kasus Manak Salah di Desa Padangbulia?
5. Apakah tradisi pengasingan manak salang harus tetap dilestarikan?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Dapat memahami apa yang dimaksud dengan Manak Salah.
2. Dapat mengetahui bagaimana sejarah munculnya tradisi Manak Salah.
3. Dapat mengetahui bagaiamana pandangan PHDI Bali tentang tradisi
pengasingan Manak Salah.
4. Dapat mengetahui dan memahami bagaimana tradisi Manak Salah di Desa
Padangbulia.
5. Dapat mengetahui apakah tradisi Manak Salah patut di lestarikan.
.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini agar pembaca dapat memahami tentang
tradisi pengasingan Manak Salah dan dapat melihat sisi positif dari adanya tradisi
pengasingan Manak Salah di Desa Padangbulia. Tradisi/kebudayaan yang
mencerminkan rasa gotong royong dan kebersamaan dalam masyarakat desa.
Sehingga harus dilestarikan oleh generasi selanjutnya dan merupakan sebuh lokal
genius di Bali.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Budaya Manak Salah


Budaya Manak Salah merupakan budaya yang telah lama di yakini dan
dilaksanakan oleh masyarakat Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada,
Kabupaten Buleleng. Budaya ini menyalahkan tentang adanya kelahiran bayi
kembar buncing, yaitu kelahiran bayi kembar yang berbeda jenis kelamin.
Kebudayaan Adat Kembar Buncing atau Manak Salah yang berlaku di desa
Padangbulia merupakan salah satu perlakuan khusus bagi desa tersebut, karena
selain Desa Padangbulia tidak ada desa lainnya yang menerapkan kebudayaan ini
atau dengan kata lain dilarang mempertahankan budaya adat ini.
Sebelumnya budaya adat seperti ini diterapkan oleh seluruh desa yang ada
di Provinsi Bali, namun karena adanya pemikiran mengenai HAM maka budaya
adat ini dihapuskan. Menurut penuturan Kelian Adat Desa Padangbulia dan
beberapa masyarakat sekitar pelaksanaan Budaya Adat ”Manak Salah” atau
“Kembar Buncing” di Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Kabupaten
Buleleng, Bali menyangkut hal-hal berikut :
Lokasi
Lokasi pengucilan yakni di tepi sebuah tempat khusus yang terletak di
antara pertemuan dua sungai yang oleh masyarakat di sana sering di sebut
campuhan, sekitar 10 kilometer selatan Singaraja, kota Kabupaten Buleleng.
Kedua orang tua bayi beserta bayinya dipindahkan dari rumah asalnya kesebuah
rumah darurat diatas tanah Banjar Adat yang terletak 800 meter sebelum kuburan.
Campuhan merupakan pertemuan antara 2 anak sungai, dimana merupakan simbol
dari bertemunya laki-laki dan perempuan. Dalam pelaksanaannya, masyarakat
desa secara bergiliran di masing- masing banjar akan menjaga keluarga Manak
Salah tersebut. Segala keperluannya akan di sediakan oleh masyarakat desa.
Namun, rumah tinggal asal tidak dirusak’. Lokasi yang sangat jauh tidak menjadi
alasan bagi warga desa untuk tidak mengunjungi keluarga tersebut. Malah
sebaiknya, jauhnya jarak harusnya menjadikan warga untuk lebih mengerti bahwa
ada warga desa yang harus mendapat perhatian lebih.

3
Rentang Waktu
Lamanya pengungsian terhadap keluarga yang harus menjalankan adat ini
berdasarkan Tilem, yakni kurang lebih selama 68 hari atau sampai menemukan
tiga kali Tilem. Dalam hal ini Tilem dijadikan dasar karena Tilem memiliki
makna dimana Tilem merupakan bulan mati yang merupakan suatu kepercayaan
untuk menghilangkan segala ‘kotoran-kotoran’ yang dapat menyebabkan
kehancuran jagat Bali.

Kebutuhan Sehari-hari
Selama dalam pengungsian, kebutuhan sehari-hari makan dan minum
dibantu oleh penduduk Desa, dan setiap hari selalu ada penduduk Desa yang
membantu menjaga bayi dan menghibur kedua orang tua bayi. Dalam hal ini desa
adatlah yang sepenuhnya membiayai semua kebutuhan dari keluarga tersebut,
meskipun dalam hal ini ada beberapa donatur dari berbagai pihak yang simpati
terhadap masalah tersebut. Kelahiran bayi kembar buncing memang merupakan
kejadian langka, tetapi tetap saja adat ini memerlukan banyak biaya untuk
kebutuhan sehari-hari dan sebagainya.

Kegiatan
Selama dalam pengungsian, kedua orang tua bayi tidak melakukan
perjalanan keluar Desa maupun mencari nafkah. Hal ini didasarkan pada cerita
awal munculnya budaya ini, dimana bagi keluarga yang diungsikan memiliki
artian disucikan (bertapa), sehingga keluarga tersebut dilarang melakukan
aktivitas apapun. Aktivitas aktivitas yang menyangkut kebutuhan dari keluarga
tersebut dilakukan oleh warga desa lain yang bertugas.
Selain itu, bagi keluarga yang memiliki lahan pertanian yang dalam
kesehariannya selalu digarapnya sendiri maka saat ditinggalkan untuk menjalani
adat ini dan pada saat selesai pengasingan, keluarga tersebut harus memulainya
dari awal lagi. Tetapi dengan tidak adanya aktivitas yang boleh dilakukan
menyebabkan keluarga ini memiliki waktu luang yang lebih untuk berkumpul dan

4
mempererat hubungan diantara anggota keluarga tersebut. Dan ada lebih banyak
waktu untuk mengurusi kedua bayi tersebut, apalagi jika anaknya tidak hanya dua.

Upacara
Setelah tiga kali tilem dilaksanakan berbagai macam upacara. Yang
pertama, upacara dilakukan di campuhan, kemudian dilaksanakan pecaruan di
jaba Pura Desa. Setelah itu, upacara dilanjutkan dihalaman rumah dari keluarga
yang bersangkutan, tepatnya di Sanggah keluarga. Kemudian dilanjutkan dengan
diadakan upacara melasti ke segara yang dilaksanakan sehari sebelum Tilem. Dan
upacara terakhir adalah Upacara Pengenteg Widhi (upacara penyucian akhir).
Selama tiga hari berturut-turut kedua orang tua bayi dan anaknya
bersembahyang di tiga Pura Desa yang mempunyai Bale Agung Pegat (suatu
bangunan yang dalam Agama Hindu dikenal dengan Bale yang beratap satu tapi
terputus dibagian tengahnya). Bale Agung Pegat yang harus dilewati ini, berlokasi
berbeda-beda yakni : Di Desa Padangbulia, Tenaon, dan Buleleng tepatnya di
Panji.
Dalam hal ini, ketiga Pura Desa yang harus dilewati memiliki makna
Bhur, Bwah, Swah (3 tingkatan lapisan bumi dalam Agama Hindu).
Persembahyangan di ketiga pura tersebut bertujuan agar kehidupan lalu, sekarang
dan mendatang tidak mendapat akibat yang disebabkan oleh adanya kelahiran
kembar buncing ini, sehingga sesuai dengan keyakinan Agama Hindu, jagat
(dunia)

2.2 Sejarah Budaya Pengasingan Manak Salah


Berdasarkan cerita dari Kelian Desa Adat Padangbulia, Gusti Kopang
Supartha yang didasarkan atas beberapa lontar-lontar tua yang pernah dibaca dan
penurunan dari pendahulu-pendahulu sebelumnya serta penuturan dari beliau,
dapat kami tangkap informasi sebagai berikut.
Cerita ini berawal dari adanya Dewa Brahma Sapa yang mempunyai anak
laki-laki. Anak ini mempunyai seorang istri. Pada suatu hari, keduanya sedang
melaksanakan perjalan yang melewati pegunungan. Setelah beberapa lama
melaksanakan perjalanan, mereka merasa lelah dan akhirnya memutuskan untuk

5
beristirahat di goa Gunung Indrakila. Mereka menginap semalam dan secara tidak
sengaja mereka bersenggama di dalam goa tersebut. Mengetahui hal tersebut,
Dewa Brahma datang dan mengutuk anak dan menantunya. Mereka akan
mempunyai anak kembar yang berjenis kelamin berbeda (laki-laki dan
perempuan). Akhirnya anak dan menantu dari Dewa Brahma mempunyai anak
kembar yang berjenis kelamin berbeda (kembar buncing). Mereka diberi nama
Dewa Jroti Srana dan Dewi Gayatri.
Karena menurut Dewa Brahma Sapa kelahiran dari Dewa Jroti Srana dan
Dewi Gayatri merupakan hal yang tidak pantas atau disalahkan, maka mereka
harus dipisahkan dengan cara menyuruh Dewa Jriti Srana ngemban tugas (sebagai
penanggung jawab) di Pura Desa. Sedangkan Dewi Gayatri yang dikenal juga
sebagai Dewi Durga harus ngemban setra di Pura Dalem. Pengembanan tugas
Dewa Jriti Srana ini merupakan cikal bakal dari Pura Desa yang terletak di Desa
Padangbulia.
Duatu hari Dewi Gayatri ingin bertemu dengan Dewa Jroti Srana. Untuk
dapat bertemu kakaknya, ia harus melakukan ritual khusus yang dinamakan Ilmu
Leak. Ilmu ini dapat dinetralkan dengan melaksanakan upacara yang dinamakan
Upacara Peneduh Jagat yang bertujuan untuk menyempurnakan jagat (dunia) dan
menghindari jagat dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Dari cerita tersebut, masyarakat setempat menganggap bahwa kelahiran
bayi kembar buncing merupakan kutukan dari Dewa Brahma. Tempat kelahiran
dan keluarga bersangkutan akan mengalami cuntaka (dalam keadaan kotor). Maka
untuk menyucikan kembali tempat atau desa beserta keluarga yang dilanda
cuntaka, maka masyarakat setempat harus mengadakan upacara penyucian, baik
dari segi Desa ataupun keluarga, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Dari sinilah dikenal istilah ”Budaya Manak Salah” yang masih dilaksanakan di
Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng dari turun temurun.

Babad Hindu Gobleg turunan Lontar Sima Gama Hindu


Dalam babad ini dinyatakan bahwa apabila ada salah satu masyarakat
Desa yang melahirkan Bayi Kembar Laki & Perempuan (Kembar Buncing) atau
sering disebut pula dengan istilah Kama Salit dikatakan akan membuat Desa

6
tersebut menjadi Panes/tidak Tentram (pertanda yang tidak baik), untuk itu Bayi
Kembar tersebut harus diupacarai terlebih dahulu sebelum diajak tinggal di dalam
masyarakat Desa tersebut. Kalau yang Lahir terlebih dahulu adalah Bayi Laki-
Laki dilanjutkan dengan Bayi Perempuan, maka kejadian ini dikatakan dengan
istilah Salah Agung (Kesalahan yang Besar), karena hal inilah yang dianggap
bahwa Bayi Laki-Laki tersebut Mengawini Saudaranya (Semetonnya) yang
Perempuan, kemudian kalau yang Lahir terlebih dahulu adalah Bayi Perempuan,
maka dianggap salahnya lebih kecil atau disebut dengan istilah Salah Kikit (tidak
dianggap mengawini saudaranya), mungkin hal ini dikarenakan yang Perempuan
lebih dulu lahir sehingga usianya lebih tua, karena umumnya pasangan yang
kawin itu Laki-Lakinya lebih tua usianya, Kalau jaman sekarang Pasangan yang
kawin (nikah) itu sudah tidak memandang usia lagi.
Disini juga dituliskan bahwa apabila ada salah satu masyarakat Desa yang
melahirkan Bayi Kembar Laki-Laki dianggap sebagai pertanda yang baik bagi
Langit atau disebut dengan istilah Ngetisin Akasa, begitu pula kalau melahirkan
Bayi Kembar Perempuan dianggap pertanda yang baik bagi Bumi atau disebut
dengan istilah Ngetisin Pertiwi, jadi Bayi-bayi kembar ini tidak perlu
mendapatkan upacara khusus sebelum diajak tinggal di dalam masyarakat Desa.
Sebelum diupacarai, Bayi Kembar Buncing belum diperbolehkan untuk
tinggal di dalam Desa bersama dengan masyarakat Desa lainnya, untuk itu Bayi
Kembar Salah Agung terlebih dahulu ditempatkan di Pangseg Banyu (Tlugtug)
yang berdekatan dengan Setra (Kuburan) dan Pura Dalem. Dalam konteks ini, ada
sumber informasi (Lontar) yang menuliskan bahwa salah satu bayi yang
merupakan tetadahan dari Bhatara Kala adalah Bayi Kembar Buncing, jadi Bayi
tersebut diasingkan sementara di daerah perbatasan Desa (Tlugtug) yang
berdekatan dengan Kuburan dan Pura Dalem agar terlihat lebih dekat dengan
Bhatara Kala, jika bayi tersebut berkeadaan selamat sampai umur 42 hari, berarti
bayi tersebut dianggap tidak jadi ditadah oleh Bhatara Kala. Kemudian untuk Bayi
Kembar Salah Kikit terlebih dahulu ditempatkan di Sanggah Keluarga, dalam hal
ini tentunya Bayi-Bayi tersebut didampingi oleh pihak Keluarga dan Krama Desa
yang bersangkutan. Setelah Bayi-Bayi Kembar tersebut berumur 42 hari barulah
diupacarai pembersihan dan dimandikan di Suan Alit dengan menggunakan Tirta

7
yang diberi nama Tirta Banyu Riris. Upacara ini sepenuhnya dibiayai dan
disiapkan oleh Orang Tua Bayi tersebut dan diiringi oleh Krama Desa setempat
menggunakan Gong, namun tidak boleh menggunakan Gong Duwe di Desa
setempat dan Upacara ini harus sudah selesai sebelum tengah hari (jam 12 siang)
waktu setempat. Selanjutnya upacara pembersihan ini akan dilanjutkan dan
disempurnakan lagi dengan Upacara pada Dina Beteng Nuju Tilem Sadha, Bayi-
Bayi Kembar tersebut dimandikan atau disucikan ke Suan Agung, diiringi oleh
seluruh Krama Desa dan disini diperbolehkan menggunakan Gong Duwe. Tujuan
dari Upacara ini agar seluruh Desa dan Masyarakatnya menjadi Tentram, Selamat
dan Rahayu.

2.3 Manak Salah Menurut PHDI Bali


Sudiana menjelaskan,tidak semua kelahiran bayi kembar laki-perempuan
disebut Manak Salah. “Sebenarnya yang disebut Manak Salah jika pada saat
kelahiran yang lahir duluan adalah yang perempuan, sedangkan jika laki laki yang
lahir duluan itu disebut buncing.”
Sesuai dengan aturan adat yang berlaku, orangtua si kembar buncing
tersebut akan diisolasi selama tiga tilem (bulan) di muara desa atau dekat setra
(kuburan) desa pekraman setempat. Istilah ‘Manak Salah’ ini, menurut Sudiana,
termuat dalam lontar Dewa Tatwa dan Brahma Tatwa yang menyebutkan bahwa
manusia yang lahir dengan ketidakwajaran dianggap sebagai “Manak Salah”,
salah satunya disebutkan adalah kelahiran buncing dimana bayi perempuan lahir
terlebih dahulu.
Selain itu dalam lontar Dewa Tatwa juga disebutkan jika terjadi kelahiran
buncing maka seluruh parahyangan atau pura akan tercemari karena Ida Bhatara
yang beristana di tempat tersebut di katakana ‘mur’ atau pergi. Karena Ida Bhatara
yang berstana di parahyangan tersebut telah ‘mur’ maka cuntaka (kotor) lah desa
pekraman tersebut.Selama tiga tilem, di lingkungan desa adat tersebut dilarang
mengadakan upacara yadnya. Namun pengecualian bagi upacara kematian.

8
2.4 Kasus Pengasingan Manak Salah di Desa Padangbulia
Dikutip pada Koran Buleleng, 15 Maret 2019
Sekeluarga Jalani Tradisi Manak Salah
Setelah Lahir Bayi Kembar Buncing

Tradisi Manak Salah. Keluarga pasutri I Gede Sadi Utama dan Made
Welianingsih (terlihat dari samping) bersama bayi kembar buncing yang
digendong kakek dan neneknya langsung menuju gubuk tempattinggal selama
menjalani tradisi manak Salah di ujung desa. |FOTO : PUTU NOVA A PUTRA|
Singaraja, koranbuleleng.com | Kelahiran manusia dari rahim sang ibu
adalah anugerah terindah, sekalipun dia lahir kembar buncing atau berjenis
kelamin lelaki dan perempuan. Bahkan, kelahiran kembar buncing di Desa Padang
Bulia, Kecamatan Sukasada sangat disakralkan. Keluarga yang mempunyai bayi
lahir kembar buncing harus langsung menjalani tradisi manak salah. Tradisi itu
sudah diterima warga setempat secara turun-temurun.
Ni Made Welianingsih, 30 tahun, istri dari I Gede Sadi Utama, warga
banjar Runuh Desa, Desa Padang Bulia melahirkan sepasang bayi kembar
buncing, Selasa 12 Maret 2019 lalu di Rumah Sakit Karya Dharma Usada.
Sadi Utama menganggap, kelahiran anaknya adalah anugerah dan rejeki
tak terhingga. Sadi Utama tidak keberatan harus menjalani tradisi manak salah
yang sudah diwariskan turun temurun di desanya.
Jumat,15 maret 2019 sekitar pukul 18.00 wita, Sadi Utama memulai tradisi
manak salah. Untuk menjalani tradisi itu, dia bersama bayi kembar dan
keluarganya untuk sementara tinggal di sebuah gubuk yang dibangun di ujung
desa yang dekat dengan setra desa atau pemakaman milik desa adat. Mereka tidak
diperkenankan pulang ke rumahnya.
Mereka harus tinggal di gubuk tersebut sampai melewati tiga kali bulan
mati atau tilem. Dalam hitungan kalender, mereka harus tinggal digubuk tersebut
selama tiga bulan lebih. Nantinya, setelah melewati tiga bulan tilem, sekeluarga
baru diperkenankan pulang ke rumahnya.
Namun sebelum kembali ke rumah, keluarga wajib mengikuti upacara
mecaru dan melasti yang digelar oleh desa adat. Seluruh biaya hidup selama

9
menjalani tradisi manak salah hingga mengikuti ritual mecaru dan melasti dibiayai
oleh desa adat setempat.
Gubuk tersebut, dibuat oleh warga desa, sehari setelah ada paruman adat
mengenai tradisi yang harus di jalani Sadi Utama bersama keluarga setelah
istrinya melahirkan kembar buncing.
Kelahiran Bayi kembar buncing dari rahim Welianingsih sangat sehat.
Saat lahir, berat badan dari bayi perempuan mencapai 2.400 gram, dan adiknya si
lelaki mencapai berat 2.450 gram. Sadi dan Welianingsih belum mempersiapkan
nama bagi bayi kembarnya.
Bagi warga setempat, tradisi manak salah ini bukanlah sebuah pengucilan
terhadap keluarga. Warga justru setiap hari akan “magebagan” atau berjaga setiap
malam hari di rumah gubuk yang ditempati keluarga Sadia.
Gubuk yang dibuat juga sudah berisi satu unit kamar tidur, dapur dan
kamar mandi. Kamar tidur lengkap berisi tempat tidur dan kasur agar si bayi bisa
tidur dengan nyaman. Dinding dipasang dari triplek dan rumbai daun kelapa, serta
atap dari seng.
Dari situ, Sadi Utama justru merasa dirinya diperlakukan sangat baik oleh
warganya. Seperti seorang raja karnea setelah datang dari rumah sakit langsung
menempati gubuk yang sudah lengkap dengan tempat tidur dan peralatan lainnya.
“Saya sangat siap dan iklas menjalani, karena ini tradisi dari desa kami. Saya
berbahagia, ini anugerah yang belum tentu orang lain bisa dapatkan,” kata Sadi
Utama.
Kelahiran bayi kembar buncing ini adalah anak yang kedua dan ketiga dari
Pasutri I Gede Sadi Utama dan Made Welianingsih. Selama menjalani tradisi ini,
Sadi Utama diperkenankan untuk bekerja karena kebetulan tempatnya bekerja
masih di desanya sendiri sebagai salah satu staff Lembaga Perkreditan Desa
(LPD).
Dia juga sudah meminta ijin sejak awal, agar diperkenankan keluar desa
jika dalam keadaan darurat, seperti membutuhkan penanganan medis dari dokter
jika anak kembarnya mengalami sakit.

10
Sementara itu, Kelian Desa Pakraman Padang Bulia, Gusti Komang Suparta
menjelaskan tradisi manak salah yang dijalani oleh I Gede Sadi Utama dan Made
Welianingsih adalah adat istiadat leluhur yang sampai kini masih dilestarikan.
Tidak ada catatan angka tahun, sejak kapan tradisi ini dimulai. Namun,
diketahui bahwa tradisi manak salah ini didasarkan pada sejumlah lontar. Yakni,
Lontra Brahma Sapa, Babad hindu Gobed Gobleg, hingga Lontar Medang
Kemulan.
Dari sejumlah lontar tersebut, tradisi manak salah harus dijalani di
campuhan desa atau di tanggun desa (ujung desa). Dari referensi itu, apruman
desa adat memutuskan untuk membuatkan gubuk sebagai tempat tinggal selama
menjalankan tradisi manak salah berlokasi di ujung desa yang berbatasan dengan
desa lainnya.
“Sesuai lontar Brahma Sapa bahwa tradisi manak salah ini merupakan
salah wetu sebagai ciri jagat awantara. Jika tidak dibuatkan upacara maka akan
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,” ujar Gusti Komang Suparta setelah
menengok bayi kembar buncing. Semisal gagal panen berkepanjangan hingga
kematian warga desa beruntun. “Yang ditakutkan terjadi lahir 10 orang tetapi
meninggal 10 orang.” terangnya.
Gubuk yang ditempati oleh keluarga Sadi Utama ini merupakan sarana
ritual anyuci laksana atau perenungan diri agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Sepanjang pelaksanaan tradisi manak salah ini, warga desa juga
menjalani sebel desa. Yakni, tidak boleh menggelar kegiatan keagamaan (dewa
yadnya) termasuk persembahyangan di pura-pura.
Kecuali ada keluarga yang mempunyai upacara tiga bulanan bayi, yang
harinya tidak bisa digantikan, maka keluarga tersebut cukup memohon tirta dari
penyawangan pura.
“Acara tiga bulan itu juga tidak boleh berlebihan. “ ucapnya.
Sadi Utama dan Welianingsih akan menjalani tradisi manak salah hingga 2
Juni 2019 mendatang. Pihak Desa Pakraman Padang Bulia juga sudah bersiap
menjalankan tradisi ini mendampingi keluarga Sadi utama. |NP|

11
2.5 Melestarikan Budaya Lokal (Pengasingan Manak Salah)
Budaya pengasingan manak salah harus dilestarikan namun dalam
pelaksanaannya diusahakan tidak menyakiti atau merugikan pihak manapun.
Seperti yang dilakukan di Desa Padangbulia, semua pengeluaran dan keperluan
yang dibutuhkan oleh keluarga disediakan oleh masyarakat desa dengan cara
bergotong royong (megebagan).
Pihak keluarga yang mengikuti tradisi manak salah juga merasa tidak
keberatan. Pihak keluarga malah merasa bahagia dan mendapat banyak perhatian
dari warga desa, seperti diistimewakan.
Banyak nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan budaya yang sudah
dilakukan sejak dahulu ini.
Toleransi
Dalam pelaksanaan tradisi ini masih ada situasi-situasi yang masih di
toleransi oleh pihak Desa. Seperti jangka waktu yang hanya berlangsung 3 bulan
saja. Kemudian apabila kepala keluarga bekerja selama masih di dalam desa maka
diperbolehkan. Dan apabila ada yang sakit diperbolehkan untuk berobat keluar
desa.
Kerja sama dan gotong royong
Dalam mengurus setiap keperluan mulai dari tempat tinggal sampai
kebutuhan pokok. Setiap malam ada masyarakat yang bejaga disekitar tempat
tinggalnya. Kemudian segala pembiayaan ditanggung oleh desa. Sampai nanti saat
selesai akan diadakan upacara. Jadi tidak hanya keluarga yang cuntaka tapi semua
masyarakat desa juga cuntaka.
Mengutamakan kepentingan masyarakat
Tradisi ini dilaksanakan karena kepercayaan masyarakat desa secara
niskala bahwa manak salah akan membawa malapetaka apabila tidak diupacarai
tapi akan terhindar dari malapetaka jika sudah diupacarai. Jadi tradisi ini
menyangkut kepentingan dan kesejahteraan masyarakat Padangbulia secara
niskala.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Manak Salah merupakan budaya tentang adanya kelahiran bayi kembar
buncing, yaitu kelahiran bayi kembar yang berbeda jenis kelamin. Lokasi
pengucilan yakni di tepi sebuah tempat khusus yang terletak di antara pertemuan
dua sungai yang oleh masyarakat di sana sering di sebut campuhan. Lamanya
pengungsian terhadap keluarga yang harus menjalankan adat ini berdasarkan
Tilem, yakni kurang lebih selama 68 hari atau sampai menemukan tiga kali Tilem.
Dalam hal ini desa adatlah yang sepenuhnya membiayai semua kebutuhan dari
keluarga tersebut, meskipun dalam hal ini ada beberapa donatur dari berbagai
pihak yang simpati terhadap masalah tersebut. Selama dalam pengungsian, kedua
orang tua bayi tidak melakukan perjalanan keluar Desa maupun mencari nafkah.
Budaya ini patut dilestarikan karena di dalamnya diajarkan sikap-sikap
toleransi, gotong royong dan mengutamakan kepentingan masyarakat serta tidak
merugikan atau menyakiti pihak manapun.

3.2 Saran
Masyarakat Desa Padangbulia harus tetap melestarikan tradisi pengasingan
manak salah jika masih percaya terhadap konsekuensi niskala. Namun
pelaksanaannya harus dilakukan dengan asas gotong royong sehingga tidak
memberatkan keluarga yang menjalani tradisi manak salah. Sehingga tercipta
kerukunan dan kemakmuran di Desa padangbulia.

13
Daftar Pustaka

Lestari, Ayu Komang Dewi dan Ni Luh Putu Purnama Sari. 2013. Budaya
Kontroversial ”Manak Salah” Di Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada,
Kabupaten Buleleng, Bali Sebagai Pelestarian Budaya Bali.
https://suluhinbuleleng.WordPress.com. (diakses 6 Juni 2019)
Sebuah Catatan Klasik mengenai Mitos tentang Kembar Buncing (Manak Salah)
di bali. https://kompasiana.com (diakses 6 Juni 2019)
Sima manak Salah (Bayi Kembar Buncing). https://desakedis.blogspot.com
(diakses 6 Juni 2019)
Made Susena, Y. 1995. Kisah Kasih Anak Kembar Se-Dunia dan Kasus
“Manakan Salah” di Bali. Denpasar : PT. BP
Antara, Bali Post, Tempo, PHDI Provinsi Bali, Universitas Udayana. Ilustrasi
Gambar Utama:ryogustyamaya.wordpress.com
Penulis Redaksi Koran Buleleng. 2019. Sekeluarga Jalani Tradisi Manak
Salah Setelah Lahir Bayi Kembar Buncing. https://koranbuleleng.com
(diakses 6 Juni 2019)
Artika, I Wayan. 2005. Incest. Yogyakarta : Pinus. www.wikipedia.com
http://www.google.co.id/search?hl=id&q=budaya+adat+desa+padangbulia+%27b
http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2007/3/28/b7.htm
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/4/22/b27.htm
http://forum.wgaul.com/archive/index.php/t-27444.html
http://www.tempointeractive.com/hg/nusa/bali/2004/04/21/brk,20040421-
26,id.html
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0404/23/nus04.html
http://www.indoforum.org/showthread.php?t=40830&page=4

14
15

Anda mungkin juga menyukai