Anda di halaman 1dari 3

SITU PANJALU

Ciamis merupakan salah satu kota kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang terletak di bagian
timur Kota Priangan, julukan lain Jawa Barat. Di bagian utara kota Ciamis terdapat salah satu
kota kecil (kota kecamatan), yaitu Panjalu. Kota Panjalu terletak sekitar 100 km dari kota
Bandung (ibu kota Propinsi Jawa Barat), sekitar 75 km dari kota Cirebon, dan sekitar 30 km dari
arah kota Ciamis.
Kota kecil ini, ternyata memiliki satu legenda kehidupan masa lalu yang cukup menarik. Di
kawasan Panjalu terdapat sebuah danau buatan yang sangat indah, yaitu Situ Lengkong. Seiring
berkembangnya pembangunan sektor pariwisata dan budaya, Pemerintah Daerah Propinsi Jawa
Barat menetapkan Panjalu sebagai Kota Wisata Budaya Ziarah.
Sebagai tempat pariwisata, Situ Lengkong Panjalu memiliki pesona alam yang sangat menarik.
Bentuk danaunya melingkar dengan air yang jernih serta di tengah-tengah danau tersebut
terdapat daratan atau disebut dengan nusa. Daratan di sekelilingnya dipenuhi dengan berbagai
jenis tumbuhan (kayu) dan hidup beberapa jenis margasatwa. Dijadikan sebagai tempat wisata
budaya dan ziarah, karena di sekitar Situ Lengkong Panjalu terdapat bangunan kecil tempat
menyimpan benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Panjalu, yang diberi nama Museum
Bumi Alit. Sejak Kerajaan Panjalu itulah Agama Islam mulai menyebar luas. Salah satu
kebudayaan yang sampai sekarang masih tetap dilakukan secara turun-temurun, yaitu upacara
adat sakral Nyangku. Pelaksanaan upacara adat Nyangku dilakukan oleh sesepuh Panjalu,
para tokoh, penjaga makam (kuncen), dan unsur pemerintahan, yang dikordinir oleh Yayasan
Boros Ngora dan Pemerintahan Desa Panjalu.
Terjadinya Situ Lengkong Panjalu, tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Panjalu. Konon sekitar
abad VII salah satu leluhur Panjalu bernama Prabu Sanghyang Boros Ngora (Haji Dul Iman bin
Umar bin Muhamad) berkelana dengan maksud mencari ilmu pengetahuan, sehingga sampailah
di sebuah tempat yang di sekitarnya terdiri dari bebatuan dan pasir. Rupanya tanah yang
diinjaknya itu adalah tanah suci Mekkah. Di sanalah ia beroleh ilmu sejati (Islam) yaitu ilmu
yang membawa pada keselamatan dunia dan akhirat. Prabu Sanghyang Boros Ngora menguasai
ilmu tersebut dengan sempurna. Setelah itu, ia pulang dengan membawa oleh-oleh dari seorang
sahabat Nabi Muhammad SAW sekaligus sebagai gurunya, yakni Baginda Ali, r.a. Oleh-oleh dari
sahabat Nabi tersebut tiada lain adalah pakaian kehajian, dan air zam-zam. Air zam-zam
dibawanya dalam sebuah gayung yang permukaannya bolong-bolong, pemberian ayahnya Prabu
Sanghyang Cakra Dewa. Dengan izin Yang Maha Kuasa ia dapat membawa air zam-zam itu
pulang ke tempat asalnya, Panjalu. Setibanya di Panjalu, air zam-zam itu ditumpahkannya di
sebuah tempat yaitu Pasir Jambu, yang hingga kini menjadi sebuah danau yang indah yakni Situ
Lengkong. Di tengah-tengah danau terdapat daratan yang dinamai Nusa Gede. Sampai saat ini,
maka diyakinilah bahwa danau buatan Situ Lengkong Panjalu terjadi karena tumpahan air zamzam yang dibawa oleh leluhur Panjalu pada saat itu, yakni Sanghyang Prabu Boros Ngora.

Catatan sejarah Yayasan Boros Ngora, mengungkapkan bahwa Kerajaan Panjalu (jaman dahulu)
terbentuk dari gabungan 2 kerajaan, yakni kerajaan Gunung Bitung (Soko Galuhnya) dan
kerajaan Karantenan Gunung Syawal. Tersebutlah Sanghyang Tunggal Ratu Galuh Nyakra Wati
Ing Tanah Jawa yang memimpin kerajaan Gunung Bitung, dan mewariskan kepemimpinannya
kepada Batara Babar Sajagat dan Prabu Sanghyang Cipta Permana Dewa. Keturunan Prabu
Sanghyang Cipta Permana Dewa, yaitu; 1) Sanghyang Bleg Tambleg Raja Gulingan, 2)
Sanghyang Pamunggang Sangrumanghyang, dan 3) Sanghyang Ratu Permana Dewi, ketiganya
merupakan anak kembar. Sanghyang Bleg Tambleg Raja Gulingan, menguasai ilmu keduniawian
yang akhirnya pergi ke Kuningan, dan Sanghyang Pamunggang Sangrumanghyang, menguasai
ilmu kedugalan yang akhirnya pergi ke Talaga, sedangkan Sanghyang Ratu Permana Dewi
memiliki sifat yang berbeda dengan kedua kakaknya, ia menguasai ilmu kerahayuan dan
kedamaian.
Sanghyang Ratu Permana Dewi, berdiam di Panjalu lalu menikah dengan keturunan kerajaan
Karantenan Gunung Syawal yakni Rangga Gumilang, putra dari Raja Marangga Sakti sebagai
buyut dari Prabu Tisna Jati yang mewariskannya kepada putranya Batara Layah, diteruskan
oleh Karimun Putih, dan akhirnya kepada Marangga Sakti (ayah Rangga Gumilang).
Ketika memerintah kerajaan Panjalu (Negara Soko Galuh), Sanghyang Ratu Permana Dewi
mendapat gelar dari rakyatnya yaitu gelar Soko Galuh Panjalu. Panjalu beasal dari kata jalu
yang berarti laki-laki, kemudian ditambah awal kata pan, sehingga maksudnya berubah
menjadi bukan laki-laki (melainkan perempuan). Palsafah hidup yang diajarkan oleh Sanghyang
Ratu Permana Dewi adalah Mangan Karna Halal, Pake Karna Suci, Tekad Ucap Lampah
Sabenere, yang artinya makan makanan yang halal, berpakaian yang bersih, itikad ucapan
perilaku yang benar. Sampai saat ini palsafah tersebut masih dipegang teguh oleh masyarakat
Panjalu.
Hasil pernikahan Sanghyang Ratu Permana Dewi dengan Rangga Gumilang melahirkan seorang
putra bernama Prabu Sanghyang Lembu Sampulur, yang meneruskan memerintah kerajaan
Panjalu, dan pada akhirnya diserahkan kepada Prabu Sanghyang Cakra Dewa. Nama Prabu
Sanghyang Cakra Dewa, berarti menolak dewa, karena ia menguasai ilmu yang tinggi sehingga
kurang percaya dengan adanya dewa ilmu Sunda Wiwitan yang diajarkan oleh Prabu
Sanghyang Cakra Dewa. Prabu Sanghyang Cakra Dewa, berputra 6 orang yaitu; 1) Sanghyang
Lembu Sampulur, 2) Sanghyang Prabu Boros Ngora, 3) Sanghyang Panji Barani, 4) Ratu
Marangprang Kencana Artas Wayang, 5) Ratu Pundut Agung, dan 6) Angga Runtin.
Sanghyang Prabu Boros Ngora (salah seorang putra Sanghyang Prabu Cakra Dewa), dinobatkan
menjadi Raja Panjalu, kemudian memindahkan pusat kerajaan Panjalu dari Dayeuh Luhur ke
Pasir Jambu, yang saai ini menjadi Nusa Gede di tengah-tengah Situ Lengkong. Dua orang putra
dari Prabu Sanghyang Boros Ngora yakni Prabu Haryang Kuning dan Prabu Haryang Kancana,
adalah penerus leluhur kerajaan Panjalu berikutnya.

Wangsit Prabu Sanghyang Boros Ngora


Gunung teu beunang dilebur
Lebak teu beuenang diruksak
Larangan teu beunang dirumpak
Buyut teu beunang dirubah
Layar teu beunang dipotong
Pondok teu beunang disambung
Nyaur kudu diukur
Nyablama kudu diunggang
Ulah ngomong sagt-gt
Ulah lmk sadak-dak
Ulah maling papayungan
Ulah jinah papacangan
Kudu ngadk sackna, nilas saplasna
Mipit kudu amit ngala kudu menta
Ngeduk cikur kudu mihatur
Nyokel jah kudu micark
Ngagedak kudu bwara
Weduk teu kalawan diajuk
Bedas teu kalawan dimomoton
Nu lain kudu dilainkeun
Nu ulah kudu diulahkeun
Nu enya kudu dienyakeun
Ulah cueut kanu beureum
Ulah pontng kanu koneng
Karana lamun dirempak
Matak burung jadi ratu
Matak dan jadi mnak
Matak pupul pangaweruh
Matak hambar komarana
Matak teu mahi juritna
Matak teu aya perangna
Matak sangar ka nagara

Anda mungkin juga menyukai