Anda di halaman 1dari 3

DALEM BALINGKANG ”

Sebuah daerah hutan yang luas. Wilayahnya membentang dari pantai utara Bali hingga ke
pegunungan Kintamani. Penduduknya yang bertani tinggal berjauhan satu sama lainnya. Mereka
tinggal dalam kelompok-kelompok kecil yang tidak saling mengenal antara kelompok satu
dengan kelompok lainnya. Sering terjadi pertengkaran dan perebutan lahan diantara mereka. Hal
itu terjadi karena mereka tidak mempunyai pemimpin yang cakap. Pada suatu hari, sekelompok
orang menghadap Ida Batara Jambudwipa. Mereka memohon agar di berikan seorang pemimpin
yang berwibawa. Dan diangkatlah Sri Jayapangus putra Batara Jambudwipa sebagai Raja.
Bersama rakyatnya Sri Jayapangus membangun kerajaan yang diberi nama Kerajaan Panarojan.
Atas petunjuk Mpu Siwa Gama, penasehat raja, Beliau membangun kerajaan sesuai dengan
ajaran agama dan undang undang pemerintahan. Dalam waktu singkat rakyat sudah dapat
menikmati kehidupan yang aman, rukun, dan penuh persaudaraan. Tak seorang pun berani
menentang Raja Sri Jayapangus yang berwibawa dan menjadi suri teladan itu.

Hingga pada suatu ketika datang seorang pedagang dari Cina berdagang di wilayahnya.
Pedagang tersebut datang bersama putrinya yang bernama Kang Cing Wei. Putri Kang Cing Wei
adalah putri yang sangat cantik. Tubuhnya semampai, matanya sipit, dan kulitnya putih juga
halus. Ditambah lagi dengan senyumnya yang manis dan tegur sapa yang ramah. Siang dan
malam rakyat Panerojan tak henti-hentinya memperbincangkan putri Kang Cing Wei yang bak
bidadari tersebut. Akhirnya berita putri Cina yang cantik itu sampai ke istana. Raja Jayapangus
pun memanggil Pedagang Cina tersebut bersama putrinya. Rupa-rupanya pandangan pertama
Kang Cing Wei telah meluluhkan hati Raja Jayapangus. Sehingga sosok Kang Cing Wei selalu
terbayang di benak beliau walaupun putri itu telah berada jauh di luar istana.

Raja Jayapangus pun memanggil Mpu Siwa Gama untuk berunding. “Bagawanta, aku akan
menikahi Kang Cing Wei,” ucap Raja Jayapangus pada penasihatnya. “Menikahi Putri Cina itu?
Berpikirlah yang panjang Tuanku, jangan hanya mengikuti api asmara,” jawab Mpu Siwa Gama
dengan sangat terkejut. Raja Jayapangus terdiam, Mpu Siwa Gama melanjutkan “Ampun
Tuanku, Putri Kang Cing Wei beragama Buddha sedangkan Tuanku beragama Hindu. Dan tidak
hanya itu, Putri tersebut juga memiliki adat istiadat yang berbeda dengan kita Tuanku. Jika
pernikahan ini tetap berlangsung maka akan terjadi malapetaka yang sangat hebat mengguncang
kerajaan ini Tuanku,”. Namun nasihat Mpu Siwa Gama tersebut tidak dihiraukan oleh Raja
Jayapangus yang telah dimabuk asmara pada Putri Kang Cing Wei.

Sri Jayapangus tetap melanggar adat yang sangat ditabukan saat itu yakni mengawini putri Kang
Cing Wei. Raja Jayapangus tetap menikahinya meskipun tidak direstui Mpu Siwa Gama. Dan
apa yang diramalkan oleh Mpu Siwa Gama benar-benar terjadi. Di tengah kemeriahan pesta
pernikahan, tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat. Tumpahan air dari langit itu tak ada henti
hentinya. Ditambah lagi dengan tiupan badai dari segala penjuru. Pohon-pohon besar
bertumbangan menimpa rumah penduduk. Satu persatu bangunan istana ambruk dan
dihanyutkan oleh banjir yang maha dahsyat. Karena Kerajaan Panerojan telah rusak parah, maka
kerajaan dipindahkan ke tempat lain. Tempat itu disebut Balingkang (dari kata Bali ditambah
Kang, nama depan istrinya), dan rakyat menyebut rajanya dengan Dalem Balingkang.

Setelah lama menikah, sayangnya Putri Kang Cing Wei belum juga mempunyai keturunan.
Dalem Balingkang kemudian pergi bertapa ke Gunung Batur untuk memohon kepada dewa-
dewa agar dikaruniai anak. Namun, dalam perjalananya di hutan, Raja Jayapangus bertemu
dengan Dewi Danu. Raja Jayapangus pun terpikat dengan kemolekan Dewi Danu tersebut.
Dalam perkenalannya dengan Dewi Danu, Raja Jayapangus mengaku masih bujang. Dan singkat
cerita Raja Jayapangus lalu menikah diam-diam dengan Dewi Danu tanpa sepengetahuan Putri
Kang Cing Wei. Dari pernikahan tersebut lahirlah seorang putra yang sangat sakti bernama
Mayadenawa.

Sementara itu, Kang Cing Wei tentu saja gelisah ditinggal suaminya berlama-lama. Ia pun
menyusul ke Gunung Batur. Di tengah hutan belantara yang hebat, Putri Kang Cing Wei bertemu
dengan Dewi Danu. Putri Kang Cing Wei bertanya “Maaf apakah kau melihat seorang laki-laki
yang sedang bertapa di gunung ini?”. Dewi Danu menjawab “Di hutan ini aku tak pernah melihat
seorang laki-laki pun selain suamiku, Jayapangus,”. Putri Kang Cing Wei sangat terkejut
mengetahui suaminya diakui oleh Dewi Danu. “Suamimu?? Jayapangus itu suamiku ! Siapa kau
yang berani mengakui suamiku?” bentak Putri Kang Cing Wei. Mendengar ada keributan, Raja
Jayapangus mendatangi asal keributan itu. Raja Jayapangus sangat terkejut melihat Dewi Danu
yang bertengkar dengan Putri Kang Cing Wei. Dewi Danu menyadari kedatangan Raja
Jayapangus, dan bertanya “Suamiku, apakah sebelum menikahiku kau telah menikah dengan
perempuan ini?”. Dengan gelisah Raja Jayapangus menjawab “Maafkan aku Danu, aku telah
membohongimu, aku sangat menyesal,”. Ketiganya lalu terlibat dalam pertengkaran sengit.

Dalam api kemarahan Dewi Danu mengalahkan Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei dengan
kekuatan gaibnya, hingga hilang ditelan bumi. Meskipun hilang tanpa bekas, rakyat tetap
mencintai Dalem Balingkang dan Putri Kang Cing Wei, lalu dibuatkanlah patung sebagai simbol
keduanya. Kedua patung inilah yang kemudian berkembang menjadi Barong Landung. Karena
itu jika diperhatikan prarai (wajah) Jero Luh beserta asesoris busananya, mengandung unsur
budaya Cina.

Anda mungkin juga menyukai