Anda di halaman 1dari 8

ARANNYA KANDA

Setelah selesai menuntut ilmu di suatu petapaan, Rama, Sinta dan Lesmana kembali memasuki hutan.
Mereka sudah terbiasa dengan kehidupan di hutan. Kehidupan mereka tidak ada bedanya dengan
kehidupan para pendeta, sedikit pun tidak ada tanda-tanda bahwa mereka adalah putra-putri raja. Pada
suatu hari mereka berjalan keluar dari hutan tersebut. Mereka melihat banyak pendeta dari berbagai
petapaan yang hidupnya sangat sederhana . Melihat para pendeta itu Rama kagum. Mereka
meneruskan perjalanan samba bercakap-cakap sebentar dengan Lesmana tentang pendeta-pendeta
tersebut. Tidak terasa perjalan mereka telah sampai di pertapaan Dandaka. Kedatangan mereka sambut
meriah oleh penduduk di Gunung Dandaka. Orang-orang ingin menyaksikan dan mengelu-elukan putra-
putri raja Ayodya yang telah menewaskan Raksasa Wirada. Mereka dielu-elukan sebagai pahlawan
karena telah menewaskan Raksasa Wirada. Rakyat di sana hidup dengan rukun dan damai juga tekun
bersemedi. Rama memutuskan untuk tinggal di Dandaka untuk waktu yang tidak ditentukan. Kehadiran
mereka membuat kehidupan di daerah itu menjadi lebih tentram dan di daerah tersebut terasa ada
pengayoman. Pada waktu malam Rama melakukan Semedi sedangkan pada waktu siang Ia, istri dan
adiknya bercengkrama di hutan sekitar.

Sudah lama Rama, Sinta dan Lesmana tinggal di Dandaka. Mereka senang menyaksikan kehidupan
rakyat kecil yang sudah mulai meningkat, bertambah tentram, dan orang-orang bersemedi dan
menuntut ilmu tiada gangguan. Pada suatu hari di hutan Dandaka tibalah seorang putri raksasa yang
bertubuh besar tinggi, matanya menyala-nyala, mulutnya terbuka dengan gigi besar dan bertaring.
Pakaiannya pun gemerlapan yang menandakan ia bukan raksasa sembarangan, melainkan seorang putri
raksasa. Ia adalah Sarpakenaka, putri Alengka adik Prabu Rahwana. Sarpakenaka sangat sakti. Pada
waktu itu sarpakenaka sedang mengemban tugas dari kakaknya Prabu Rahwana untuk melakukan
pengawasan perbatasan. Ia terbang melaang-layang di atas gunung, persawahan dan akhirnya tiba di
Dandaka. Pada waktu itu Sarpakenaka sedang beristirahat duduk di sebatang pohon tumbang di tengah
hutan yang tersembunyi. Tiba-tiba ia terkejut mendengar suara canda gurau seorang pria dan seorang
wanita. Sarpakenaka bangkit. Jantung Sarpakenaka berdebar menyaksikan kedua insan yang sedang
bergandengan tangan dengan mesra. Tak jauh dari situ Sarpakenaka melihat seorang lagi kesatria yang
berdiri menyendiri. Ia berparas sangat elok, bagaikan Batara Asmara. Ternyata kesetria itu merupakan
Lesmana. Sarpakenaka pun langsung jatuh cinta kepada Lesmana yang baru dilihatnya itu. Putri raksasa
itu sangan lihai dalam merubah dirinya. Ia pun langsung merubah dirinya menjadi seorang putri yang
sangat cantik. Ia pun langsung mendekati Lesmana dan menyapanya. Lesmana yang semulanya
melamun pun kaget dengan kedatangan putri palsu tersebut. Karena Lesmana layaknya seorang
pendeta wadat tidak kawin. Lesmana menyarankan putri palsu tersebut mendekati Ramawijaya
kakaknya yang tidak berada tidak jauh darinya. Putri palsu jelmaan Sarpakenaka itu pun langsung
mendekati Rama, ia menggoda Rama seperti menggoda Lesmana. Namun sayangnya Rama menolaknya
dengan mentah-menta karena cinta Rama hanya untuk putri Mantili Dewi Sinta isrinya yang
kecantikannya tidak ada bidadari yang dapat menandinginya. Mendengar ucapan Rama, Sarpakenaka
pun merasa malu sekali dan ia kembali ke tempat Lesmana. Ia marah bukan kepalang kepada Lesmana.
Nafsu birahi putri jelmaan Sarpakenaka itu pun memuncak dan tanpa basa basi lagi ia langsung saja
menggulat Lesmana. Lesmana merasakan ada sesuatu yang janggal. Lesmana langsung memusatkan
pikiran dan hidungnya pun mencium bau keringat raksasa, pengelihatannya yang jernih dapat melihat
wajah asli dari siapa yang sedang dihadapinya itu. Lesmana tanpa ragu-ragu lagi diputirnya hidung putri
palsu tersebut hingga putus. Sarpakenaka seketika berubah kembali seperti wujud aslinya. Ia menjerit
kesakitan dan terbang melesat ke udara dan menggeram seperti singa dan berteriak menantang.
Sarpakenaka menangis di udara. Seletah puas menangis, ia segera mendarat di Alengka dan menemui
kedua suaminya yaitu Karadusana dan Trimurda. Sarpakenaka berbohong pada suaminya. Ia
mengatakan kalau ia ingin diperkosa oleh Rama dan Lesmana. Sungguh licik Sarpakenaka. Mendengar
cerita dari Sarpakenaka, suaminya pun marah. Tangan Karadursana dan Trimurda memukul tanah
sehingga debu dan pasir beraburan ke atas. Mereka pun langsung menyiapkan dan membawa satu laksa
raksasa ke Dandaka. Raksasa-raksasa itu terbang besenjata lengkap dan pakaian yang bergemerlapan.
Tiba mereka di atas daerah Dandaka, mereka terbang melayang mengitari gunung mencari Rama dan
Lesmana.

Ternyata Rama dan Lesmana sudah bersiap dari tadi. Keduanya muali menarik panah sakti dan
akibatnya sangat menakjubkan. Bagaikan hujan, bangkai raksasa berjatuhan di tanah. Raksasa Trimurda
pun geram melihat perlakuan kedua putra Aodya tersebut terhadap pasukannya. Ia menukik ke tanah
menyambar dan menyerang Rama. Namun sayangnya Rama dengan cekatan telah melepas paanah
dadalinya yang mengakibatkan Trimurda tewas dengan leher putus. Melihat Trimurda tewas, raksasa
Karadusana marah bukan kepalang. Ia kembali menyerang Rama. Tapi panah dadali tetap saja
menyerang dan mengakibatkan raksasa Karadusana tewas dengan leher terputus juga. Sisa-sisa raksasa
yang terbang masih banyak. Langit terasa mendung. Raksasa-raksasa itu melempar Rama dan Lesmana
dengan gada alugora dan limpung. Tidak sedikit yang menyerang dengan melesatkan anak panah.
Namun Lesmana cepat menarik panah sakti dan Rama tetap menarik panah dadali. Alhasil semua
raksasa itu tewas dan jatuh ke tanah bagaikan hujan. Suluruh rakyat Dandaka bersorak gembira. Mereka
menaburkan bunga tanda syukur.
Sarpakenaka yang sedang menderita lahir batin di istana menerima laporan dari raksasa pengintai
pertempuran di Dandaka mengenai tewasnya kedua suaminya juga seluruh pasukan terbangnya.
Sarpakenaka segera melesat terbang ke istana kakaknya raja Alengka Prabu Rahwana. Prabu Rahwana
sangat sakti dan memiliki aji-aji pancasona yang membuatnya tuidak dapat mati. Banyak raja yang sudah
ditaklukannya. Ayahnya adalah Bagawan Wisrawa dan ibunya Dewi Sukesi. Rahwana memiliki tiga adik.
Yang pertama raksasa Kumbakarna yang bertubuh besar dan tinggi seperti gunung, yang kedua putri
raksasa Sarpakeneka. Sedangkan yang ketiga dan yang bungsu Raden Arya Wibisana atau Gunawan yang
berparas elok. Ini hasil permohonan Bagawan Wirsawa dahulu kepada Dewa. Wibisana sangat bijaksana,
cerdas dan mengetahui apa yang akan datang. Empat putra Bagawan Wirsawa sudah memiliki istana
sendiri-sendiri. Rahawana tinggal di istana Alengka yang sangat indah. Waktu itu Rahwana sedang duduk
sendirian. Tiba-tiba datang Sarpakenaka menubruknya dan langsung melakukan sembah su ngkem dan
menjerit. Sarpakenaka melapokan tentang tewasnya kedua suaminya dan pasukan terbangnya. Ia juaga
menceritakan tentang 2 kesatria Ayodya yang telah menewaskan suami dan pasukannya. Satu lagi ia
juga menceritakan tentang kecantikan dari istri Rama yaitu putri Mantili. Setelah Sarpakenaka bercerita
panjang lebar ia meminta bantuan Prabu Rahwana. Pertamanya Prabu Rahwana tidak tertarik dengan
laporan dari adiknya itu. Namun pada saat Sarpakenaka menceritakan tentang istri Rama yang katanya
kecantikannya tidak ada yang bisa menandingi, Rahwana mulai bangkit dan penyakitnya mulai kambuh
lagi untuk mengejar sampai dapat istri-istrinya yang sekarang, dan juga akan melakukan itu juga untuk
mendapatkan putri Mantili. Muka Rahwana merah padam matanya menyala-nyala. Rahwana berkata
pada adiknya bahwa ia akan menghadapi Rama dan Lesmana. Setelelah Rahwana berbicara ia langsung
terbang ke perbatasan dimana Marica bertempat tinggal. Sesampai di perbatasan Marica menyambut
Rahwana dan melakukan sembah sungkem. Rahwana mengajak Marica ke Dandaka untuk mencari
Rama dan Lesmana. Namun Marica masih takut karena Rama dan Lesmana sangat sakti dan dapat
membunuh satu laksa raksasa bersama raksasa Karadusana dan Trimurda juga ikut terbunuh. Marica
yang tertegun dengan kesaktian putra Ayodya itu. Ia terus mengungkapkan kesaktian mereka. Itu
membuat Rahwana marah besar terhadap Marica yang telah memuji Rama dan Lesmana setinggi langit.
Rahwana pun hampir menusukan Candrasa ke leher Marica. Dan mereka pun akhirnya pergi ke Dandaka
dengan Marica merubah diri menjadi kijang kencana berbulu keemasan untuk menarik perhatian putri
Mantili. Bala tentara Marica pun mengintai dari kejauhan.

Pada waktu itu Dewi Sinta sedang berada di hutan Dandaka bersama Rama dan Lesmana. Dewi
Sinta yang pertama melihat kijang kencana itu. Ia kagum karena baru kali ini ia melihat kijang berbulu
keemasan. Sinta meminta kepada Rama agar ditangkapnya kijang itu. Rama dengan sanang hati
menuruti kehendak istrinya. Dikejarnya kijang kencana itu namun sebelumnya Rama berpesan pada
Lesmana agar dalam keadaan bagaimanapun agar ia tidak meninggalkan Sinta. Rama pun mengejar
kijang yang larinya sangat cepat itu. Rama semakin terpisah dengan istrinya Sinta. Kijang itu seperti
minta ditangkap. Tapi kalau Rama mendekat kijang itu malah lari. Namun saat Rama ketinggalan jauh
kijang itu menunggu seolah ia ingin Rama menangkapnya. Akhirnya betapa sabarnya Rama, namun dia
bisa marah juga. Rama melepaskan panahnya menuju kijang itu. Kijang itu pun menggelepar, tubuhnya
bersimbahan darah segar dan berubah wujud aslinya menjadi Raksasa Marica. Raksasa Marica yang
cerdik itu sangat setia dengan Rahwana. Ia mengorbankan seluruh hidupnya untuk gustinya. Sebelum ia
menghembuskan nafas terakhir, Marica mengeluarkan rintihan mengaduh seperti suara rintihan Rama.
Dengan teus menyebut nama Lesmana untuk menolongnya. Dewi Sinta pun terkecoh oleh Marica. Ia
menugaskan Lesmana untuk menolong Rama suaminya yang diduganya sedang terluka. Namun
Lesmana tidak mau. Ia masih ingat dengan pesan kandanya yag menyuruhnya jangan meninggalkan
Sinta meskipun dalam keadaan apa pun. Namun Dewi Sinta salah paham. Ia malah menuduh Lesmana
yang bukan-bukan. Lesmana sedih sekali hatinya mendengar kata-kata yang dituduhkan oleh Dewi Sinta
terhadapnya. Lesmana pun meneteskan air mata. Ia meminta maaf kepada Dewi Sinta. Lesmana pun
menuruti kehendak Dewi Sinta untuk menyusul kakaknya, Rama dan meninggalkan Dewi Sinta di sana.
Melihat Lesmana sudah jauh dari Dewi Sinta, Rahwana segera muncul dari tempat persembunyiannya
dengan merubah diri menjadi seorang kakek, seorang pendeta yang sudah lanjut usia. Pendeta palsu itu
berjalan sempoyongan dengan susah payah. Kelihatannya ia letih sekali, kepalanya yang gundul plontos
itu berkucir di bagian belakang. Giginya mengeluarkan suara gemetar seperti kedinginan. Ia membawa
labu kosong untuk mencari air. Ia berjalan setapak demi setapak seperti orang yang sudah benar – benar
terlampau tua. Ia mencari perhatian Dewi Sinta yang sedang berdiri sendirian.

Rahwana yang menjelma menjadi pendeta tua mulai membuka percakapan dengan Dewi Sinta. Pendeta
itu banyak bertanya pada Dewi Sinta. Ia bertanya nama, dari istana mana, dan putri siapa. Sinta pun
menjawab semua pertanyaan dari pendeta itu. Dia juga mengatakan bahwa ia istri dari Rama, putra
almarhum Prabu Dasarata yang tertua dari negeri Ayodya. Pendeta itu berkata bahwa Sinta salah
memilih pasangan hidup, padahal di negeri Alengka sana ada yang namanya Prabu Rahwana, prabu yang
sakti mandraguna yang sekarang sedang kesepian yang menginginkan Sinta menjadi istrinya. Setelah
berkata seperti itu, pendeta palsu itu langsung menubruk Sinta dan membawanya terbang ke angkasa
dan seketika Rahwana merubah wujudnya seperti semula. Dewi Sinta menjerit dan berteriak meminta
tolong. Ia menangis keras – keras di udara dan tangisannya itu kedengaran sampai hutan di sekitarnya.
Sinta menangis sambil memanggil nama suaminya, Rama, dan adiknya, Lesmana. Pada waktu itu ada
seekor burung raksasa yang bernama Jatayu. Ia mendengar jeritan Dewi Sinta dan mencoba
menolongnya karena diketahui bahwa Dewi Sinta merupakan menantu dari Prabu Dasarata yang sejak
dulu adalah teman karibnya. Jatayu mengetahui bahwa itu pasti ulah Rahwana. Ia kemudian mencari
arah datangnya suara. Ia terbang dengan begitu cepat. Tak lama kemudian Jatayu melihat sebuah titik
hitam di udara dari kejauhan yang ternyata itu adalah Rahwana. Ia mengejar sambil berteriak, “Hei,
berhenti!”. Mendengar teriakan itu Rahwana menoleh. Dilihatnya seekor burung besar mengejarnya. Ia
marah sekali dan dicabutnya senjata Candrasa. Sebelum sempat Rahwana menyerang Jatayu segera
melesat menukik menyambar dari atas. Ia menyerang Rahwana dan mulai bercucuran darah segar dari
mulut Rahwana. Tulang iga Rahwana hancur. Sebelum tewas, Rahwana melambaikan tangan memanggil
bala tentaranya yang mengikutinya dari kejauhan. Dan dilemparnya Dewi Sinta kepada mereka. Sinta
diterima oleh mereka dan dimasukkan kedalam kereta. Jatayu marah dan langsung menyerang perwira
– perwira raksasa yang mengawal kereta. Semuanya tewas. Kereta itu diterjangnya hancur. Sinta yang
terlempar dan akan jatuh ke tanah diterkamnya dan dibawanya terbang ke udara. Tubuh Rahwana yang
sudah tewas, ketika menyentuh tanah, hidup lagi karena Rahwana memiliki aji – aji pancasona yang
diterimanya dari Subali, ketika tubuhnya menyentuh tanah, dia akan hidup kembali.

Rahwana langsung meluncur ke udara mengejar Jatayu. Jatayu terkejar Rahwana yang sangat marah itu.
Jatayu diserang dengan menggunakan senjata Candrasa milik Rahwana. Jatayu mengalami luka parah.
Sayapnya patah. Ia lemah dan tubuhnya meluncur ke tanah. Sinta terlepas dari punggungnya. Sinta lalu
disambar oleh Rahwana dan segera dibawa ke Alengka. Setibanya di Alengka, Sinta segera diserahkan
kepada kemenakannya, Dewi Trijata Putri dan Raden Wibisana. Trijata merawat Sinta dengan penuh
kecintaan. Sekjak saat itu Sinta tinggal di Alengka bersama Trijata. Hati Sinta sangat sedih. Ia jarang mau
makan dan minum. Tubuhnya menjadi kurus. Setelah 3 hari Sinta berada di taman itu, Rahwana datang.
Rahwana mencoba merayu Sinta untuk menjadi istrinya. Namun Sinta menolak. Ia mengancam bunuh
diri karena dipaksa. Trijata pun menghibur Sinta dengan kebesaran hatinya.

Pada waktu Kijang Kencana yang terpanah oleh Rama itu tewas, wujudnya kembali menjadi Marica.
Setelah itu Rama segera meninggalkan tempat tersebut dan cepat – cepat mencari istrinya. Setelah
Rama kembali ke tempat istrinya semula, ia tidak menemukan seorangpun, baik itu Lesmana, maupun
Sinta. Mukanya menjadi pucat. Ia khawatir akan keselamatan istrinya. Tak lama kemudian, Lesmana
muncul. Rama menanyakan istrinya kepada Lesmana. Lesmana pun melaporkan bahwa tadi Sinta
menugaskannya untuk mencari Rama. Namun entah mengapa Sinta menghilang. Mendengar laporan
adiknya, hati Rama hancur dan Rama pun pingsan. Lesmana memeluk Rama sambil berkata, “Bangunlah
Kanda. Bukankah kita ini sekedar makhluk ciptaan dewa. Sudah barang tentunya kita tidak terbebas dari
rasa sakit, sdih dan lain sebagainya. Bangunlah Kanda.” Rama terbangun pandangannya masih kabur.
Rama seperti orang gila yang tersenyum sendiri. Ia seperti melihat bangan Sinta di celah-celah pohon.
Rama menjadi gandrung. Tingkah lakunya seperti orang gila.
KISKENDA – KANDA

Rama segera menemukan Sugriwa di tempat persembunyiannya di hutan. Awalnya, Sugriwa curiga
pada Rama. Ia mengira Rama adalah mata-mata yang dikirim kakaknya, Subali, untuk membalas
dendam. Hanuman, anak buah Sugriwa diperintahkan untuk menyelidiki kedua bersaudara tersebut.
Hanuman pun menyamar menjadi seorang brahmana dan mencari tau tentang Rama dan Laksmana.
Setelah memastikan bahwa mereka bukanlah musuh, Hanuman membawa dua bersaudara itu ke
hadapan Sugriwa.

Sugriwa meminta Rama untuk menyelesaikan masalahnya dengan Subali, kakaknya. Ia dikejar-kejar
oleh pasukan Subali, hingga harus kabur ke dalam hutan tanpa istri dan keluarganya. Rama meminta
Subali untuk menceritakan alasan kenapa mereka berdua sampai berselisih paham. Subali
menjelaskan bahwa penyebabnya adalah seorang wanita yang menjadi rebutan antara Subali dan
seorang raksasa bernama Mayawi. Mayawi menantang Subali untuk bertanding dengannya, yang
ditanggapi Subali dengan senang hati. Sugriwa dan istri-istri Subali (Oh ya, jangan kaget kalau mereka
punya banyak istri. Di zaman itu memang begitu adatnya lho... ;p) mencegahnya, tetapi Subali tak
mau menurut. Sugriwa mengikuti abangnya itu karena ia menyayangi Subali. Mayawi kabur begitu tau
yang akan dihadapinya tidak hanya Subali, tetapi juga Sugriwa.

Subali dan Sugriwa mengejar Mayawi hingga masuk ke dalam hutan. Mayawi masuk ke dalam gua,
dan atas perintah Subali, Sugriwa menunggu di pinggir gua sementara Subali masuk dan bertarung
dengan Mayawi. Selama setahun penuh Sugriwa menunggu di pintu masuk gua tanpa mendengar
sedikitpun kabar. Hingga pada suatu hari, terdengar suara pekik peperangan dari dalam hutan,
bersama darah yang mengalir ke luar gua. Sugriwa mengira, abangnya telah tewas terbunuh, karena
setelah itu tak terdengar suara Subali dari dalam gua. Sugriwa bergegas menutup pintu gua supaya
Mayawi tidak dapat keluar. Setelah itu, ia pulang ke kerajaannya, Kiskenda, dan memerintah di sana
dengan adil dan bijaksana.

Namun ternyata, Subali masih hidup. Ia sangat marah kepada Sugriwa yang dianggapnya telah
merebut tahtanya. Ia memaki, memarahi, bahkan menyiksa Sugriwa. Sugriwa meminta maaf sepenuh
hati kepada kakaknya itu, tetapi Subali telah buta oleh amarah, hingga tak mau mendengar adiknya
itu. Sugriwa pun kabur ke hutan, dimana Subali tak dapat mengejarnya karena sebuah kutukan.

Rama berjanji kepada sahabat barunya itu untuk menolongnya. Mereka ke Kiskenda bersama-sama
dan menantang Subali. Pertarungan dahsyat di antara keduanya tak dapat terelakkan. Mereka
bertarung, hingga Sugriwa terdesak. Rama menyaksikan pertarungan itu dari jarak jauh, siap dengan
busurnya untuk membunuh Subali. Tetapi, fisik keduanya begitu serupa, hingga Rama tak berani
mengambil resiko memanah dan yang terbunuh justru Sugriwa, bukan Subali. Sugriwa semakin
terdesak dan hampir terbunuh. Untungnya, ia berhasil melarikan diri ke dalam hutan.

Sugriwa sangat marah kepada Rama yang tidak menolongnya padahal ia sudah hampir kalah. Rama
meminta maaf dan berkata bahwa ia tak dapat membedakan mereka berdua. Rama kemudian
meminta kepada Sugriwa untuk bertarung sekali lagi. Ia berjanji bahwa kali ini ia tak akan salah
mengenali mereka berdua. Sugriwa menuruti kata-kata Rama, dan kembali menantang Subali di
Kiskenda.

Tara, istri Subali, menasehati suaminya agar tak terpancing tantangan Sugriwa. Sugriwa pasti dibantu
oleh seseorang, karena jika sendirian ia tak akan bisa menandingi Subali. Subali yang memang pada
dasarnya berpikiran pendek dan tak mau kalah, tak mendengar nasehat istrinya. Ia menerima
tantangan Sugriwa untuk bertarung dengannya.

Di tengah-tengah pertarungan, Rama memanah Subali dengan busur saktinya. Subali jatuh ke tanah
dalam sekejap. Dalam keadaan sekarat, Subali memaki Rama yang dianggapnya ikut campur urusan
keluarga mereka. Rama juga tidak bertindak layaknya ksatria karena menusuknya dari belakang. Ia
tidak pernah bermusuhan dengan Rama, tak pernah menyerang kota tempat Rama tinggal, tetapi
Rama memperlakukannya dengan keji.

Rama terdiam mendengar kata-kata Subali yang sekarat, lalu mulai menjelaskan berbagai macam
kesalahan Subali seperti tak bersikap adil kepada adiknya dan juga merebut istri Sugriwa. Rama juga
mengingatkan arti darma kepada Subali. Subali menyadari kesalahannya, ia meminta maaf kepada
Sugriwa lalu meminta adiknya itu untuk menjaga anak kesayangannya, Anggada. Tak lama kemudian,
Subali pun menghembuskan nafas terakhirnya.

Sebelum saya melanjutkan cerita, saya tergelitik untuk menyampaikan beberapa hal di sini. Pertama,
cerita tentang pertarungan Subali dan Sugriwa. Saya pernah mendengar cerita ini sebelumnya, kalau
tidak salah ketika SD dulu. Saya kemudian browsing dan dapat cerita versi pewayangannya. Di versi
tersebut, ternyata Subali bertarung dengan dua orang raksasa. Sugriwa diperintah untuk menjaga
gua, dan harus menutup gua itu jika ia melihat cairan putih yang keluar dari dalam gua. Cairan putih
berarti Subali yang mati, sementara merah, jika para raksasa yang mati. Setelah pertarungan panjang
(dalam versi ini tiga hari tiga malam, bukan setahun), dari dalam gua keluarlah cairan merah dan putih
secara bersamaan. Sugriwa bergegas menutup pintu gua dan pulang ke Kiskenda. Ternyata, Subali
masih hidup. Cairan putih yang keluar itu ternyata berasal dari otak raksasa yang kepalanya diadu
oleh Subali.... #nahanmuntah
Kedua, adegan pertarungan Subali dan Sugriwa di Kiskenda. Sugriwa kalah di pertarungan pertama,
karena Rama tak bisa membedakan mereka berdua. Di versi Ramayana yang saya baca ini, Rama
berkata pada Sugriwa bahwa ia tak akan salah membedakan mereka berdua lagi. Jujur saja, saya
bingung bagaimana Rama bisa melakukannya, karena tak dijelaskan di situ. Saya pun mencari-cari,
dan ternyata ada versi Ramayana yang menyebutkan bahwa Rama memberikan kalung bunga kepada
Sugriwa sebagai penanda (kalau dalam pewayangan Rama memberinya janur kuning). Dengan itu,
Rama bisa dengan mudah membedakan mereka berdua, dan membunuh Subali.

Versi kedua yang sebenarnya lebih saya suka. Karena lebih masuk akal. Soalnya, Rama baru mengenal
Sugriwa, sehingga pastilah sulit bagi dia untuk membedakan mereka berdua. Apalagi, Subali dan
Sugriwa adalah saudara kembar. Yah, saya agak berkerut sebenarnya ketika sampai di bagian itu.
Tapi, saya abaikan saja. Hahaha

Selanjutnya, yang ketiga adalah adegan ketika Subali sekarat. Subali yang sekarat memaki Rama
dengan kata-kata yang pedas namun jujur. Sejujurnya, saya sendiri pun menganggap tindakan Rama
itu pengecut. Seharusnya, jika memang Rama berniat untuk membunuh Subali, ia ikut menantang
Subali secara terang-terangan dan bukan menyerahkannya kepada Sugriwa untuk bertarung seorang
diri. Saya berbicara di sini tentunya sebagai seorang manusia yang awam dengan segala macam hal
mengenai peperangan. Terpikir dalam benak saya, kalau seandainya kejadian itu dibalik. Subalilah
yang baik, sementara Sugriwa dan Rama adalah orang jahat, kita tentu akan langsung mencap itu
sebagai sesuatu hal yang sangat pengecut. Bersembunyi di balik layar, dan menyerang ketika musuh
lengah. Jujur saja, saya tidak suka dengan tindakan Rama di sini.

Di versi yang saya baca ini, Rama juga bersikap sebagai orang yang lebih tinggi kedudukannya
daripada Subali yang hanya seorang wanara (arti harfiahnya manusia hutan. Di dalam Ramayana,
digambarkan sebagai kera). Saya dibesarkan di dalam agama yang menganggap semua manusia itu
sama kedudukannya, sehingga saya tidak suka juga dengan sikap Rama yang seperti ini. Apalagi
sebelumnya dijelaskan bahwa kata wanara mungkin sebenarnya merujuk kepada bangsa Dravida
yang tinggal di hutan (hayoo, diingat lagi pelajarannya waktu SMA dulu... xD). Penggambaran mereka
sebagai kera saja sudah terasa merendahkan bagi saya. Ditambah lagi dengan adanya perbedaan
bahwa bangsa Dravida dianggap lebih rendah kedudukannya dibanding bangsa Arya.
Usut punya usut (kebanyakan dari Mbah Wiki, sih...), ternyata ada versi yang menerangkan bahwa
setelah Subali memaki Rama yang dianggapnya pengecut itu, Rama menjelaskan kepada Subali bahwa
ia memang bersalah. Karena kalau memang Subali adalah orang yang tidak berdosa, panah Rama
tidak akan bisa melukai Subali, dan justru akan berbalik melukai Rama. Lagi-lagi, saya lebih menyukai
versi yang kedua ini. Meskipun demikian, tetap saja dalam hati saya tak bisa memaafkan perbuatan
Rama yang menyerang Subali dari belakang. Owh! I hate backstabbing!! #curcol
Kembali ke kisah di buku keempat ini. Sugriwa yang sekarang diangkat menjadi raja Kiskenda ternyata
jadi lupa diri dan melupakan janjinya kepada Rama. Laksmana pun diutus Rama untuk mengingatkan
Sugriwa akan janjinya. Sugriwa sadar akan kelalaiannya dan mulai memerintahkan rakyatnya untuk
berpencar mencari Sita. Ia membagi pasukannya ke seluruh penjuru mata angin dan harus membawa
kabar sesegera mungkin. Semua pasukan kembali tanpa hasil. Mereka tak dapat menemukan Sita.
Harapan mereka semua kini tertumpu pada Hanuman yang belum kembali ke Kiskenda. Harapan itu
tak sia-sia, karena Hanuman menemukan jalan ke Alengka.

Anda mungkin juga menyukai