Anda di halaman 1dari 9

C.

Çloka Ajaran Bhakti Sejati dalam Rāmāyana

Rāmāyana adalah kitab suci Veda Smrti tergolong Upaveda yang disebut
Itihasa. Rāmāyana sebagai Itihasa yang terdiri dari 7 Kanda dengan jumlah sloka
sebanyak 24.000 buah stanza. Ramãyana sebagai kitab suci Veda ditulis oleh
Bhãgawan Walmiki. Menurut tradisi, kejadian yang dilukiskan di dalam Ramãyana
menggambarkan kehidupan pada zaman Tretayuga tetapi menurut kritikus Barat
berpendapat bahwa Ramãyana sudah selesai ditulis sebelum tahun 500 S.M.
Diduga ceritanya telah populer tahun 3100 S.M.
Ramãyana merupakan epos Aryanisasi yang ditulis dalam bentuk stanza,
meliputi puluhan ribu buah stanza. Penulisnya sendiri menamakannya puisi,
akhyayana, gita dan samhita. Seluruh isi dikelompokkan di dalam tujuh kanda
yaitu; Kiskindha kanda, Sundara kanda, Yuddha kanda dan Uttara kanda. Tiap-tiap
kanda itu merupakan satu kejadian yang menggambarkan ceritera yang menarik.
Kitab ini dikenal sebagai Adikawya sedangkan Walmiki dikenal sebagai Adikawi.
Banyak gubahan ditulis dalam berbagai bentuk dalam versi baru seperti
Ramãyanatatwapadika ditulis oleh Maheswaratirtha, Amrtakataka oleh Sri Rama,
Kekawin Rāmāyana oleh Mpu Yogiswara, dan sebagainya. Tentang kedudukan
Itihasa diantara Weda itu disebutkan secara sepintas lalu saja di dalam Weda Sruti
dimana di dalam Weda Sruti kita jumpai istilah-istilah Akhyayana itu dimasukkan
pula ke dalam Itihasa. Itihasa berasal dari tiga kata yaitu Iti – ha – asa yang artinya
“Sesungguhnya kejadian itu begitulah nyatanya”. Jadi Itihasa memuat unsur
sejarah yang memuat macam-macam isi. Rāmāyana adalah sebuah epos yang
menceritakan riwayat perjalanan Rāmā dalam hidupnya di dunia ini. Rāmā adalah
tokoh utama dalam eposRāmāyana yang disebutkan sebagai awatara Visnu.
Kitab Purāna menyebutkan ada sepuluh awatara Visnu, satu diantaranya
adalah Rāmā.Menurut kritikus Barat, Rāmāyana dibandingkan sebagai kitab Illiad
karya Homer.
Kitab Ramayana adalah karya sastra yang ditulis oleh Maharsi Walmiki,
terbagi menjadi 7 ( tujuh ) bagian dengan istilah ” Sapta Kanda ” bagian-bagiannya
antara lain :
1. Bala kanda
Dalam cerita ini mengisahkan Sang Prabu Dasarata mempunyai 3 ( tiga )
orang istri / permaisuri beserta dengan anak-anaknya yaitu :
– Dewi Kosalya dengan putra Sang Rama Dewa.
– Dewi Kekayi dengan putra Sang Bharata.
– Dewi Sumitra dengan putranya Sang Laksamana dan Sang Satrugna.
Juga diceritakan kemenangan Ramadewa mengikuti sasembara di Matila
sehinha mendapatkan istri Dewi Sita anak dari Prabu Janaka.
2. Ayodya kanda
Setelah Sang Ramadewa berhasil memperistri Dewi Sita, maka sepulang
dari Matila Prabhu Dasarata ingin menyeraikan kerajaan ayodya kepada
Ramadewa , tetapi terhalang oleh Dewi Kekayi mengingat janjinya di tengah hutan
terdahulu . Karena bijaksananya Ramadewa keesokan harinya perggi ke hutan
dengan istrinya ( Dewi Sita ), diikuti oleh adiknya ” Sang Laksamana “. Pada saat
itu pula terdengar oleh Sang Bharata, akhirboya Bharata menolak permintaan
ibunya, langsung ke hvan mencari Ramadewa, karena satya wacana ( setia pada
perkataannya ) akhirnya Rama dewa menyerahkan terompah ( alas kaki ) sebagai
simbul Sang Rama selama perjalanan ke hutan pertapa.
3. Aranya kanda
Setelah sampai di hutan Citra Kuta , sering dikunjungi para pertapa untuk
meminta bantuan dari gangguan raksasa. Sempat pula diganggu oleh raksasa
surpanaka karena melihat ketampanan rama dan laksamana, karena tidak sabar
mendapatkan godaan, hidung surpanaka dipotong oleh Laksamana. Karena
kesalnya Surpanaka melapor kepada kakaknya yaitu Rahwana. Akhirnya rahwana
mengutus Marica untuk mematai-matai Rama dengan berubah wujud menjadi
Kijang mas. Sempat Ramadewa terseret oleh tipuan marica, karena permintaan Sita
yang menginginkan kijang itu, sedangkan Sita dijaga oleh Laksamana . Karena
tipuan marica juga membua Sita panik dan menyuruh Laksamana membantu
Ramadewa, ditinggalkah Sita sendiri tetapi dengan kekuatannya Laksamana
sempat membuat sengker / garis dengan kekuatan pelindung, sipapun tidak akan
bisa melewati termasuk dewa. Karena itu Rahwana berubah wujud menjadi Bhiku
untuk menarik simpati Sita. Akhirnya Sita keluar dari pelindung yang dibuat
Laksamana kemudian diculiklah Sita dan dibawa ke Alengka.
4. Kiskinda kanda
Setelah Sita dilarikan oleh oleh Rahwana ke Alengka, Rama dan Laksamana
begitu tidak melihat Sita di pasraman langsung mencasinya ke tengah hutan.
Sampai di perjalanan bertemu dengan Burung Jatayu dalam keadaan luka parah
pada saat bertempur untuk merebut dan menolong Sita dari tangan Rahwana.
Akhirnya Jatayu memilih untuk mati, karena kebaikannya dia diberi pengentas ke
sorga oleh Ramadewa dengan sebuah panahnya. Kemudian melanjutkan
perjalanannya, bertemu Sugriwa untuk meminta banduan agar dapat mengalahkan
Subali dalam memperebutkan Dewi Tara. Ramadewa kemudian mebantu Sugriwa
untuk mengalahkan Subali dan dapat dikalahkan. Sugriwa setelah aman kemudian
membantu untuk membalas jasa, Rama dalam mencari Dewi Sita.
5. Sundara kanda
Dalam pencarian Sita, Anoman diutus sebagai duta untuk menyelidiki Sita
ke Alengka, dia berhasil menemui Sita dan memberi cerita bahwa segera dijemput
ke Alengka. Selesai bercerita dengan Sita, Anoman sempat ditangkap tetapi dengan
kesaktianya melepaskan diri dan sempat membakar Alengka sampai hangus.
Kemudian Anoman kembali melaporkan keadaan Sita kepada Rama.
Sugriwa langsung menyusun siasat agar dapat menyebrangi lautan ke Alengka
dengan membuat jembatan yang disebut dengan Titi Banda.
6. Yudha kanda
Setelah jembatan Banda berhasil dibuat / dibangun, Sugriwa mengerahkan
pasukan keranya untuk menggempur Alengka. Pertempuran yang sengit antara
kedua pasukan, dan pertempupan yang hebat terjadi antara Rama dan Rahwana ,
tetapi dimenangkan oleh Rama. Wibisana juga membantu. Mengingat jasa
Wibisana sangat besar akhirnya diangkat menjadi raja Alengka. Kemudian Rama,
Sita, dan Laksamana diiringi oleh tentara kera kembali ke Ayodya. Setibanya di
Ayodyapura disambut oleh sang Bharata dan langsung dinobatkan sebagai raja
Ayodya.
7. Uttara kanda
Setibanya di kerajaan dan sudah lama memerintah ada seorang rakyat
menyangsikan keberadaan Sita waktu disekap oleh Rahwana. Akhirnya Ramadewa
menyuruh Laksamana untuk mengantarkan Sita ke hutan dan dipungut oleh
Maharesi Walmiki dalam keadaan mengandung.
Akhirnya tidak begitu lama Dewi Sita melahirkan dua orang anak laki-laki
kembar diberi nama Kura dan Lawa. Setelah besar dididik oleh Maharesi Walmiki
ilmu perang, ilmu pemerintahan, dan nyanyian Ramayana. Setelah Kusa dan Lawa
dewasa terdeogar di Ayodya diselenggarakan upacara ” Aswameda ” yaitu
pelepasan kuda berhias diiringi oleh prajurit, setiap yang berani menghalangi
perjalanan akan berhadapan dengan Ramadewa. Tanpa disadari kuda itu melewati
tempat Kusa dan Lawa. Kemudian melihat kuda berhias dipeganglah kuda itu dan
ditangkapnya . Terjadilah pertempuram sengit antara Ramadewa dan Kusa Lawa,
dan tidak ada yang menang atau kalah. Hal ini terliiat lalu dihentikan oleh walmiki.
Barulah diceritakan bahwa mereka berdua adalah anak Rama. Diajaklah ke Ayodya
dan dinobatkan sebagai raja Ayodya. Setelah beberapa lama Ramadewa kembali ke
Wisnuloka dan Sita kembali ke Ibu Pertiwi.
C.1. Nilai - Nilai Dalam Cerita Ramayana
Dalam kitab Ramayana terdapat suatu ajaran Sang Rama terhadap adik
musuhnya bernama Gunawan Wibisana yang menggantikan kakaknya, Rahwana,
setelah perang di Alengka. Ajaran itu dikenal dengan nama Asthabrata, (astha yang
berarti delapan dan brata yang berarti ajaran atau laku). yang merupakan ajaran
tentang bagaimana seharusnya seseorang memerintah sebuah negara atau kerajaan,
yaitu :
· Bumi : artinya sikap pemimpin bangsa harus meniru watak bumi atau momot-
mengku bagi orang jawa, dimana bumi adalah wadah untuk apa saja, baik atau
buruk, yang diolahnya sehingga berguna bagi kehidupan manusia.
· Air : artinya jujur, bersih dan berwibawa, obat haus air maupun haus ilmu
pengetahuan dan haus kesejahteraan.
· Api : artinya seorang pemimpin haruslah pemberi semangat terhadap rakyatnya,
pemberi kekuatan serta penghukum yang adil dan tegas.
· Angin : artinya menghidupi dan menciptakan rasa sejuk bagi rakyatnya, selalu
memperhatikan celah-celah di tempat serumit apapun, bisa sangat lembut serta
bersahaja dan luwes, tapi juga bisa keras melebihi batas, selalu meladeni alam.
· Surya : artinya pemberi panas, penerangan dan energie, sehingga tidak mungkin
ada kehidupan tanpa surya/matahari, mengatur waktu secara disiplin.
· Rembulan : artinya bulan adalah pemberi kedamaian dan kebahagiaan, penuh
kasih sayang dan berwibawa, tapi juga mencekam dan seram, tidak mengancam
tapi disegani.
· Lintang : artinya pemberi harapan-harapan baik kepada rakyatnya setinggi
bintang dilangit, tapi rendah hati dan tidak suka menonjolkan diri, disamping harus
mengakui kelebihan-kelebihan orang lain.
· Mendung : artinya pemberi perlindungan dan payung, berpandangan tidak
sempit, banyak pengetahuannya tentang hidup dan kehidupan, tidak mudak
menerima laporan asal membuat senang, suka memberi hadiah bagi yang
berprestasi dan menghukum dengan adil bagi pelanggar hukum.
C.2. Nilai-Nilai Yadnya Dalam Epos Ramayana
Dalam Ramayana dikisahkan Raja Dasaratha melaksanakan Homa yadnya
untuk memohonketurunan. Beliau meminta Rsi Resyasrengga sebagai purohita
untuk melakukan pemujaan kepada dewa siwa dalam upacara agnihotra. (Homa
yadnya atau sering disebut agnihotra. Agnihotra berasal dari kata sansekerta
dimana terdiri dari dua kata yaitu agni dan hotra. Agni adalah api dan hotra adalah
penyucian. Jadi Agnihotra dalam pengertian leksikal yang dimaksud persembahan
suci kepada Sang Hyang Agni (api suci) teristimewa adalah persembahan susu,
minyak susu dan susu asam. Ada dua macam Agnihotra yaitu yang dilakukan
secara rutin (konstan) umumnya 2 kali sehari pagi dan sore (nitya atau nityakāla)
dan Agnihotra yang dilakukan secara insidental (kāmya atau naimitikakāla). Secara
umum semua yadnya dalam veda mempunyai arti sama yaitu agnihotra. Sebab
pengertian yadnya dalam veda adalah persembahan yang dituangkan ke dalam api
suci. Api suci yang dimaksud adalah api yang dihidupkan dan dikobarkan dalam
kunda. Kunda adalah lambang pengorbanan).
1. Dewa Yadnya
adalah yadnya yang dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa beserta seluruh manifestasinya. Dalam cerita
Ramayana banyak terurai hakikat dewa yadnya dalam perjalanan kisahnya. Seperti
pelaksanaan Homa Yadnya (agnihotra) yang dilaksanakan oleh prabu Dasaratha.
Upacara ini dimaknai sebagai upaya penyucian melalui perantara dewa agni. Jika
istadewatanya bukan dewa agni, sesuai dengan tujuan yajamana, maka upacara ini
dinamai homa yadnya. Istilah lainnya Hawana dan Huta mengingat para dewa
diyakini sebagai penghuni svahloka, maka sudah selayaknya yadnya yang
dilakukan umat manusia melibatkan sirkulasi langit dan bumi.
2. Pitra Yadnya
upacara ini bertujuan untuk menghormati dan memuja leluhur. Kata pitra
bersinonim dengan Pita yang artinya ayah atau dalam pengertian yang lebih luas
yaitu orang tua. Sebagai umat manusia yang beradab, hendaknya selalu berbakti
kepada orang tua, karena menurut agama hindu hal ini adalah salah satu bentuk
yadnya yang utama. Betapa durhakanya seseorang apabila berani dan tidak bisa
menunjukkan rasa baktinya kepada orang tua sebagai pitra. Seperti dalam
Ramayana, dimana Sri Rama sebagai tokoh utama dengan segenap kebijaksanaan,
kepintaran dan kegagahan tetap menunjukkan rasa bhakti yang tinggi terhadap
orang tuanya.
Dari kutipan lontar tersebut tampak jelas nilai pitra yadnya yang termuat
dalam epos Ramayana demi memenuhi janji orang tuanya (Raja Dasaratha), sri
rama Laksmana dan dewi Sita mau menerima perintah dari sang Raja Dsaratha
untuk pergi hidup di hutan meninggalkan kekuasaannya sebagai raja di Ayodhya.
Walaupun itu bukan merupakan keinginan Raja Dasaratha dan hanya sebagai
bentuk janji seorang raja terhadap istrinya Dewi Kaikeyi, Sri Rama secara tulus
dan ikhlas menjalankan perintah orang tuanya tersebut. Bersana istri dan adiknya
Laksmana hidup mengembara di hutan selama bertahun-tahun. Betapa kuat , pintar
dan gagahnya sorang anak hendaknya selalu mampu menunjukkan sujud baktinya
kepada orang tua atas jasnya telah memelihara dan menghidupi anak tersebut.
3. Manusa Yadnya
Dalam rumusan kitab suci veda dan sastra Hindu lainnya, Manusa Yadnya
atau Nara Yadnya itu adalah memberi makan pada masyarakat (maweh apangan
ring Kraman) dan melayani tamu dalam upacara (athiti puja). Namun dalam
penerapannya di Bali, upacara Manusa yadnya tergolong sarira samskara. Inti
sarira samskara adalah peningkatan kualitas manusia. Manusa yadnya di Bali
dilakukan sejak bayi masih berada dalam kandungan upacara pawiwahan atau
upacara perkawinan. Pada cerita Ramayana juga tampak jelas bagaimana nilai
Manusa Yadnya yang termuat di dalam uraian kisahnya. Hal ini dapat dilihat pada
kisah yang menceritakan Sri Rama mempersunting Dewi Sita.
4. Rsi Yadnya
itu adalah menghormati dan memuja Rsi atau pendeta. Dalam lontar
Agastya Parwa disebutkan, Rsi Yadnya ngaranya kapujan ring pandeta sang wruh
ring kalingganing dadi wang, artinya Rsi yadnya adalah berbakti pada pendeta dan
pada orang yang tahu hakikat diri menjadi manusia. Dengan demikian melayani
pendeta sehari-hari maupun saat-saat beliau memimpin upacara tergolong Rsi
Yadnya.
Pada kisah Ramayana, nilai-nilai Rsi Yadnya dapat dijumpai pada beberapa
bagian dimana para tokoh dalam alur ceritanya sangat menghormati para Rsi
sebagai pemimpin keagamaan, penasehat kerajaan, dan guru kerohanian.
5. Bhuta Yadnya
Upacara ini lebih diarahkan pada tujuan untuk nyomia butha kala atau
berbagai kekuatan negative yang dipandang dapat mengganggu kehidupan
manusia. Bhuta yadnya pada hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan butha kala
menjadi butha hita. Butha hita artinya menyejahterakan dan melestarikan alam
lingkungan (sarwaprani) upacara butha yadnya yang lebih cenderung untuk nyomia
atau mendamaikan atau menetralisir kekuatan-kekuatan negative agar tidak
mengganggu kehidupan umat manusia dan bahkan diharapkan membantu umat
manusia.
Nilai-nilai bhuta yadnya juga Nampak jelas pada uraian kisah epos
Ramayana, hal ini dapat dilihat pada pelaksanaan Homa Yadnya sebagai yadnya
yang utama juga diiringi dengan ritual Bguta Yadnya untuk menetralisir kekuatan
negative sehingga alam lingkungan menjadi sejahtera.

Adapun sloka-sloka kitab Rāmāyana yang memuat ajaran Ajaran Bhakti


Sejati, Antara lain;
Tatkālān kadi kālamrètyu sakalātyanteng galak yar pamuk,
yekāngsōnira sang raghūttama tumāt sang laksmanāngimbangi,
lawan sang gunawān wibhāsana padāmèntang laras nirbhaya,
rangkèp ring guna agraning kekawihan agreng kawìran sire,

Terjemahannya:
Tatkala sang Rāwāna berwujud Malaikat maut, ia mengamuk dengan galaknya.
Pada waktu itu sang Rāmā maju beserta Laksamana mendampinginya, disertai
sang Wibisāna yang bijaksana. Mereka bersama menarik busur dan sama sekali
tiada gentar, karena kesempurnaan ilmu, kemampuan dan keperwiraannya(Kw.
Rāmāyana, III.XXIV.1).

Kesatrya: Rāmā selalu tampil sebagai pemberani dalam membela kebenaran yang
sejati
Ajaran Bhakti Sejati kesatrya yang utama dilaksanakan oleh Rāmā dalam
bait sloka Rāmāyana III.XXIV.1 adalah Rama sebagai seorang raja gagah berani
dalam mengadapi musuh-musuhnya yang ingin merusak kerajaannya dengan sifat
dan sikap gagah berani, pantang menyerah dihadapan musuhnya. Sebagai
seorang kesatrya sejati Rama tidak pernah mundur dalam menegakan dharma
Negara. Rama rela mengorbankan jiwa dan raganya demi keutuhan wilayah
Negaranya. Demikian juga sifat dan sikap kesatryasejati tersebut di tunjukkan oleh
adiknya, Pangeran Wibhisana. Wibhisana sebagai seorang kesatrya sejatiyang
cerdas dan mempuni dibidang perang dengan anak panahnya dengan sangat mudah
dapat menggempur musuh-usuhnya ikut bersama Rama mempertahankan
Negaranya dari rongrongan musuhnya yakni Rahwana.Rama dan Pangeran
Wibhisana adalah putra ayodhya yang cerdas, pintar, cekatan dan trampil dalam
bela Negara. Kedua Pangeran (Rama dan Wibhisana) tampil di medan pertempuran
dengan sikap kesatrya sejatiabdi kerajaan.

sangso sang tiga dewata tripurusa pratyaksa mawak katon,


sanghyang tryagni murub padanira dilah tulya manah tan padem,
mangkin dhira aho ahangkretinika, sang krura lengkadhipa,
tar kewran lumageng tigangwang amanah manang manah nimna ya.

Terjemahannya:

Ketika ketiganya maju, kelihatannya seperti sang Hyang Tripurusa nyarantara


(berwujudsakala). Seperti cahaya Sang Hyang Tri Agni yang berkobar-kobar,
demikianlah semangat mereka tiada pernah padam. Ah, prabhu Lengka yangkejam
itu, semakin berani, sangat mementingian diri pribadi. Tidak disulitkanmemerangi
ke tiga orang itu; segera ia memanah, pikirannya tetap sombongdan sangat
mendalam(Kw. Rāmāyana, III.XXIV.2).

Persatuan: Rama selalu bersatu dalam membela kebenaran yang sejati


Ajaran Bhakti Sejati Persatuan; Rāmā selalu mengutamakan persatuan
dalam membela kebenaran untuk mempertahankan Negara dan membela rakyat
yang dipimpinnya selalu mengutamakan persatuan sebagai tertulis dalam bait
sloka Rāmāyana III.XXIV.2 adalah Rama sebagai seorang raja gagah berani dalam
mengadapi musuh-musuhnya yang ingin merusak kerajaannya dengan sifat dan
sikap bersatu, pantang menyerah dihadapan musuhnya. Sebagai
seorang pemersatu sejati Rama tidak pernah mundur dalam menegakan dharma
Negara. Rama rela mengorbankan jiwa dan raganya demi keutuhan wilayah
Negara yang dipimpinnya. Demikian juga sifat dan sikap persatuan sejati tersebut
di tunjukkan oleh adiknya, PangeranWibhisana. Wibhisana sebagai
seorang kesatrya sejati yang cerdas dan mempuni dibidang perang dengan anak
panahnya dengan sangat mudah dapat menggempur musuh-usuhnya ikut bersama
Rama mempertahankan Negaranya dari rongrongan musuhnya yakni Rahwana.
Rama dan Pangeran Wibhisana adalah putra ayodhya yang cerdas, pintar, cekatan
dan trampil dalam bela Negara. Kedua Pangeran (Rama dan Wibhisana) tampil di
medan pertempuran dengan sikap persatuan yang sejati abdi kerajaan.

Na tojarnira niccayanglepasaken tekang lipung tan luput,


limpad pyahnirangarya laksmana tiba tibranangis tang kaka,
acasu sira sang kapindra kapegannambeknikang wre kabeh,
nton sang Laksmana murcitangesah asih sang siddha mungguwing langit.

Terjemahannya :

Demikianlah perkataanya, dengan penuh keyakinan dia melepaskan lembingnya


dan mengena. Tembus lambung sang Laksmana, dan iapun jatuhlah. Kakanya
menagis dengan sedihnya. Sang Sugriwa sedih, menggeram; kera, semua
pikirannya kusut menyaksikan sang Laksmana pingsan. Para Siddha (mahluk
setengah dewa) yang dilangit gelisah, kasihan kepada sang Laksmana (Kw.
Rāmāyana, III.XXIV.9).

Kasih sayang: Rama selalu bersikap kasih sayang dalam membela kebenaran yang
sejati
Ajaran Bhakti Sejati Kasih sayang; Rāmā selalu mengutamakan Kasih
sayang dalam membela kebenaran untuk mempertahankan Negara dan membela
rakyat yang dipimpinnya selalu mengutamakan Kasih sayang sebagai tertulis
dalam bait sloka Rāmāyana III.XXIV.9 adalah Rama sebagai seorang raja gagah
berani dalam mengadapi musuh-musuhnya yang ingin merusak kerajaannya
dengan sifat dan sikap bersatu, pantang menyerah dihadapan musuhnya. Sebagai
seorang bersikap Kasih saying sejati Rama tidak pernah mundur dalam menegakan
dharma Negara. Rama rela mengorbankan jiwa dan raganya demi keutuhan
wilayah Negara yang dipimpinnya. Demikian juga sifat dan sikap Kasih
sayang sejati tersebut di tunjukkan oleh adiknya, Pangeran Wibhisana, Sang
Laksamana, Sang Sugriwa, dan Para Sidha. Wibhisana sebagai
seorang kesatryasejati yang cerdas dan mempuni dibidang perang dengan anak
panahnya dengan sangat mudah dapat menggempur musuh-usuhnya ikut bersama
Rama mempertahankan Negaranya dari rongrongan musuhnya yakni Rahwana.
Rama dan Pangeran Wibhisana adalah putra ayodhya yang cerdas, pintar, cekatan
dan trampil dalam bela Negara. Kedua Pangeran (Rama dan Wibhisana) tampil
dimedan pertempuran dengan sikap kasih sayang yan gsejati abdi kerajaan.

prajna sang kinawih wibhisana wawang pundut ta sang laksmana,


mundur mur sakareng watekta ikanang kontaralap ngosadhi,
pohikang kani nirwikara mabangun sang laksmananganjali,
sakweh sang manangis mingis mari maruk manghruk watek wanara.

Terjemahaannya:
Wibhisana yang bijaksana dan ahli segera memikul sang Laksmana. Ia kemudian
mundur dan pergi sebentar; kemudian ia menarik lembing itu dan diambilnya
obat; diperasi lukanya; tanpa cacad Laksmana bangun dan terus menyembah.
Segala yang menangis menyeringai, berhati sedih, dan berteriaklah kera-kera itu
(Kw. Rāmāyana, III.XXIV.10).

Bantu-membantu: Rama selalu bersatu dalam membela kebenaran yang sejati


Ajaran Bhakti Sejati Bantu-membantu; Rāmā selalu mengutamakan
kebersamaan dalam membela kebenaran untuk mempertahankan Negara dan
membela rakyat yang dipimpinnya selalu mengutamakan kebersamaan sebagai
tertulis dalam bait sloka Rāmāyana III.XXIV.10adalah Rama sebagai seorang raja
mengutamakan kebersamaan dalam mengadapi musuh-musuhnya yang ingin
merusak kerajaannya dengan sifat dan sikap kebersamaan, pantang menyerah
dihadapan musuhnya. Sebagai seorang mengutamakan kerjasama Rama tidak
pernah mundur dalam menegakan dharma Negara. Rama rela mengorbankan jiwa
dan raganya demi keutuhan wilayah Negara yang dipimpinnya. Demikian juga
sifat dan sikap kebersamaan sejatitersebut di tunjukkan oleh adiknya,
Pangeran Wibhisana, bersama Sang Laksmana. Wibhisana sebagai
seorangpenolong sejati yang cerdas dan mempuni dibidang perang dan pengobatan
dengan lembingnya dengan sangat mudah dapat menggempur musuh-usuhnya ikut
bersama Rama mempertahankan Negaranya dari rongrongan musuhnya
yakni Rahwana. Rama dan Pangeran Wibhisana, Sang Laksmana adalah putra
ayodhya yang cerdas, pintar, cekatan dan trampil dalam bela Negara. Ketiga
Pangeran (Rama dan Wibhisana, Laksamana) tampil di medan pertempuran dengan
sikap kebersamaan yangsejati abdi kerajaan.
Sloka-sloka kitab Ramayana yang berhubungan dengan ajaran bhakti sejati
yang tersurat diatas hanya baru sebagian kecil dari jumlahnya sebanyak 24.000
stanza. Selanjutnya masih banyak yang perlu digali lebih jauh untuk pembelajaran
pembentukan sifat dan sikap yang berhubungan dengan ajaran bhakti sejati untuk
dipedomani oleh umat sedharma.

Anda mungkin juga menyukai