Anda di halaman 1dari 11

SAUPTIKAPARWA

Kitab Sauptikaparwa merupakan kitab kesepuluh dari seri Astadasaparwa.


Kitab ini menceritakan kisah tiga ksatria dari pihak Korawa yang melakukan
serangan membabi buta pada di malam hari, saat tentara Pandawa sedang tertidur
pulas. Ketiga ksatria tersebut adalah Aswatama, Krepa, dan Kritawarma.
Aswatama atau Ashwatthaman adalah putera Drona dengan Kripi, adik Krepa
dari Hastinapura. Sebagai putera tunggal, Drona sangat menyayanginya. Saat
kecil keluarganya hidup misikin, namun mengalami perubahan setelah Drona
diterima sebagai guru di istana Hastinapura. Ia mengenyam ilmu militer bersama
dengan para pangeran Kuru, yaitu Korawa dan Pandawa. Kekuatannya hampir
setara dengan Arjuna, terutama dalam ilmu memanah. Saat perang di Kurukshetra
berakhir, hanya ia bersama Kertawarma dan Krepa yang bertahan hidup. Oleh
karena dipenuhi dendam atas kematian ayahnya, ia menyerbu kemah Pandawa
saat tengah malam dan melakukan pembantaian membabi buta terhadap lima
putera Pandawa namun lima putera Pandawa tidak terselamatkan nyawanya.
Saat perang di antara Pandawa dan Korawa meletus, ia memihak kepada
Korawa, sama dengan ayahnya, dan berteman dengan Duryodana. Untuk
membangkitkan semangat pasukan Korawa setelah dipukul mundur, ia
memanggil senjata Narayanastra yang dahsyat. Mengetahui hal tersebut, Kresna
membuat sebuah taktik dan karenanya senjata itu berhasil diatasi. Ia juga
memanggil senjata Agneyastra untuk menyerang Arjuna, namun berhasil
ditumpas dengan senjata Brahmastra. Pertarungannya dengan Bima dalam
Bharatayuddha berakhir secara “skakmat”.
Kabar angin yang salah mengenai kematiannya dalam perang di Kurukshetra
membuat ayahnya meninggal di tangan pangeran Drestadyumna dari kerajaan
Panchala. Aswatama yang menaruh dendam mendapat izin dari Duryodana untuk
membunuh Drestadyumna secara brutal setelah perang berakhir secara resmi.
Saat akhir peperangan, Aswatama yang didasari motif balas dendam berjanji
kepada Duryodana bahwa ia akan membunuh Pandawa,
Ia menyerang kemah Pandawa saat tengah malam, Aswatama membunuh
seluruh pasukan Panchala, Drestadyumna yang membunuh Drona, Srikandi serta
kelima putera Pandawa atau Pancawala (anak Pandawa dari Dropadi). Kemudian
Aswatama sejenak menyesali perbuatannya lalu pergi ke tengah hutan, berlindung
di pertapaan Rsi Byasa.
Pandawa yang marah dengan perbuatan tersebut memburu Aswatama dan
akhirnya ia bertarung dengan Arjuna. Saat pertarungan, Aswatama memanggil
senjata ‘Brahmastra’ yang sangat dahsyat, yang dulu ingin ditukar dengan cakra
milik Kresna namun tidak berhasil. Dengan senjata itu ia menyerang Arjuna dan
Arjuna membalasnya dengan mengeluarkan senjata yang sama. Takut akan
kehancuran dunia, Bhagawan Byasa menyuruh agar kedua kesatria tersebut
menarik senjatanya kembali. Sementara Arjuna berhasil melakukannya,
Aswatama tidak bisa melakukannya dan diberi pilihan agar senjata menyerang
target lain untuk dihancurkan. Dengan rasa dendam, Aswatama mengarahkan
senjata menuju rahim para wanita di keluarga Pandawa. Di antara mereka adalah
Utara, menantu Arjuna.
Setelah Aswatama mengarahkan Brahmastra menuju perut Utara yang sedang
mengandung, senjata itu berhasil membakar janin Utara, namun Kresna
menghidupkannya lagi dan mengutuk Aswatama agar menderita kusta dan
mengembara di bumi selama 6.000 tahun sebagai orang buangan tanpa rasa kasih
sayang. Dalam versi lain, dipercaya bahwa ia dikutuk agar terus hidup sampai
akhir zaman Kaliyuga. Karena dikutuk untuk hidup selamanya tanpa memiliki
rasa cinta ini menjadikan ia sebagai satu di antara tujuh Chiranjiwin.
Legenda mengatakan bahwa Aswatama pergi mengembara ke daerah yang
sekarang dikenal sebagai semenanjung Arab. Ada juga legenda yang mengatakan
bahwa Aswatama masih mengembara di dunia dalam wujud badai dan angin
topan. Sebuah benteng kuno di dekat Burhanpur, India, yang dikenal dengan
Asirgarh memiliki kuil Siwa di puncaknya. Konon setiap subuh, Aswatama
mengunjungi kuil tersebut untuk mempersembahkan bunga mawar merah.
Masyarakat yang tinggal di sekitar benteng mencoba untuk menyaksikannya
namun tidak pernah berhasil. Konon orang yang bisa menyaksikannya akan
menjadi buta atau kehilangan suaranya. Di Gujarat, India, ada Taman Nasional
Hutan Gir yang dipercaya sebagai tempat Aswatama mengembara dan ia masih
hidup.
Menurut legenda, Aswatama menyerahkan batu permata berharga (Mani)
yang terletak di dahinya, yaitu permata yang membuatnya tidak takut terhadap
segala senjata, penyakit, atau rasa lapar, dan membuatnya tak takut terhadap para
Dewa, danawa, dan naga.
Versi Jawa
Aswatama adalah putra Bhagawan Drona alias Resi Drona dengan Dewi
Kripi, puteri Prabu Purungaji dari negara Tempuru. Ia berambut dan bertelapak
kaki kuda karena ketika awal mengandung dirinya, Dewi Krepi sedang beralih
rupa menjadi kuda sembrani, dalam upaya menolong Bambang Kumbayana (Resi
Drona) terbang menyeberangi lautan. Aswatama berasal dari padepokan Sokalima
dan seperti ayahnya, ia memihak para Korawa saat perang Bharatayuddha. Ketika
ayahnya menjadi guru Keluarga Pandawa dan Korawa di Hastinapura, Aswatama
ikut serta dalam mengikuti pendidikan ilmu olah keprajuritan. Ia memiliki sifat
pemberani, cerdik dan pandai mempergunakan segala macam senjata. Dari
ayahnya, Aswatama mendapat pusaka yang sangat sakti berupa panah bernama
Panah Cundamanik.
Pada perang Bharatayuddha, Drona gugur karena terkena siasat oleh para
Pandawa. Mereka berbohong bahwa Aswatama telah gugur, tetapi yang dimaksud
bukan Aswatama manusia, melainkan seekor gajah yang bernama Hestitama
(Hesti berarti “Gajah”) namun terdengar seperti Aswatama. Lalu Drona menjadi
putus asa setelah ia menanyakan kebenaran kabar tersebut kepada Yudistira yang
dikenal tak pernah berbohong. Aswatama merasa kecewa dengan sikap
Duryodana yang terlalu membela Salya yang dituduhnya sebagai penyebab
gugurnya Karna. Aswatama memutuskan untuk mundur dari perang
Bharatayudha. Setelah Perang Bharatayuda berakhir dan keluarga Pandawa
pindah dari Amarta ke Hastinapura, secara bersembunyi Aswatama masuk
menyelundup ke dalam istana Hastinapura. Ia berhasil membunuh Drestadyumna
(pembunuh ayahnya), Pancawala (putera Puntadewa alias Yudistira), Banowati
(Janda Duryodana) dan Srikandi. Diceritakan bahwa akhirnya ia mati oleh Bima,
karena badannya hancur dipukul Gada Rujakpala.

Kritavarma adalah salah seorang kepala suku dari wangsa Yadawa, Ia disebut
dalam MahaBharata, Vishnu Purana, Bhagavata and the Harivamsa. Ia lahir di
wangsa Andhaka yang masih keluarga besar Wangsa Yadawa. Ia yang juga
melakukan konspirasi terbunuhnya Mertua Khrisna saat di episode Permata
Syamantaka. Diperang ini ia memimpin pasukan Yadawa disisi Kourawa dan
membantu Aswathama membantai Prajurit Pancala dan lainnya. Seteah perang
besar Ia kembali ke kerajaannya dan kelak terbunuh oleh Satyaki ketika
musnahnya wangsa Yadawa di Mausala Parva.

Versi Jawa: Baratayuda


Baratayuda adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang
besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini
merupakan klimaks dari kisah MahaBharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari
India. Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha, yaitu judul sebuah
naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun 1157 oleh Mpu
Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri.
Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa
Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman
Kasunanan Surakarta. Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan
judul Serat Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana
V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848.

Sebab Peperangan
Sama halnya dengan versi aslinya, yaitu versi MahaBharata, perang
Baratayuda merupakan puncak perselisihan antara keluarga Pandawa yang
dipimpin oleh Puntadewa (atau Yudistira) melawan sepupu mereka, yaitu para
Korawa yang dipimpin oleh Duryudana. Akan tetapi versi pewayangan menyebut
perang Baratayuda sebagai peristiwa yang sudah ditetapkan kejadiannya oleh
dewata. Konon, sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan, perang ini sudah
ditetapkan akan terjadi.
Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua
mereka masih sama-sama muda. Pandu, ayah para Pandawa suatu hari membawa
pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gendari, dan Madrim.
Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada Dretarastra, kakaknya yang buta.
Dretarastra memutuskan untuk memilih Gendari, sehingga membuat putri dari
Kerajaan Plasajenar itu tersinggung dan sakit hati. Ia pun bersumpah
keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu.
Gendari dan adiknya, bernama Sengkuni, mendidik anak-anaknya yang
berjumlah seratus orang untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika Pandu
meninggal, anak-anaknya semakin menderita. nyawa mereka selalu diincar oleh
sepupu mereka, yaitu para Korawa. Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda
dengan versi MahaBharata, antara lain usaha pembunuhan Pandawa dalam istana
yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan Amarta melalui permainan dadu.
Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani
hukuman pengasingan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun, ditambah dengan
setahun menyamar sebagai orang rakyat jelata di Kerajaan Wirata. Namun setelah
masa hukuman berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para
Pandawa. Keputusan inilah yang membuat perang Baratayuda tidak dapat
dihindari lagi.

Kitab Jitabsara
Dalam pewayangan Jawa dikenal adanya sebuah kitab yang tidak terdapat
dalam versi MahaBharata. Kitab tersebut bernama Jitabsara berisi tentang urutan
siapa saja yang akan menjadi korban dalam perang Baratayuda. kitab ini ditulis
oleh Batara Penyarikan, atas perintah Batara Guru, raja kahyangan. Kresna raja
Kerajaan Dwarawati yang menjadi penasihat pihak Pandawa berhasil mencuri
kitab tersebut dengan menyamar sebagai seekor lebah putih. Namun, sebagai
seorang ksatria, ia tidak mengambilnya begitu saja. Batara Guru merelakan kitab
Jitabsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya,
serta menukarnya dengan Kembang wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik
Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang mati. Kresna
menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk
menghidupkan orang mati, namun ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang
akan gugur di dalam Baratayuda sesuai isi Jitabsara yang telah ditakdirkan
dewata.

Aturan Peperangan
Jalannya perang Baratayuda versi pewayangan sedikit berbeda dengan
perang versi MahaBharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur sedemikian
rupa sehingga hanya tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju perang,
sedangkan yang lain menunggu giliran untuk maju. Sebagai contoh, apabila
dalam versi MahaBharata, Duryodhana sering bertemu dan terlibat pertempuran
melawan Bimasena, maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu sekali, yaitu
pada hari terakhir di mana Duryudana tewas di tangan Bima.
Dalam pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah
Kresna. Ia yang berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus
mundur. sementara itu di pihak Korawa semuanya diatur oleh Duryudana sendiri,
yang seringkali dilakukannya tanpa perhitungan cermat.

Pembagian babak
Di bawah ini disajikan pembagian kisah Baratayuda menurut versi
pewayangan Jawa.
Babak 1: Seta Gugur
Babak 2: Tawur (Bisma Gugur)
Babak 3: Paluhan (Bogadenta Gugur)
Babak 4: Ranjapan (Abimanyu Gugur)
Babak 5: Timpalan (Burisrawa Gugur atau Dursasana Gugur)
Babak 6: Suluhan (Gatotkaca Gugur)
Babak 7: Karna Tanding
Babak 8: Rubuhan (Duryudana Gugur)
Babak 9: Lahirnya Parikesit
Karena kisah Baratayuda yang tersebar di Indonesia dipengaruhi oleh kisah
sisipan yang tidak terdapat dalam kitab aslinya, mungkin banyak terdapat
perbedaan sesuai dengan daerah masing-masing. Meskipun demikian, inti
kisahnya sama.

Babak pertama
Dikisahkan, Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung
atau pimpinan perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta
sebagai pimpinan perang dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara dan
sayap kiri Arya Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari
Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat
perang Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di pihak Kurawa
mengangkat Bisma (Resi Bisma) sebagai pimpinan perang dengan pendamping
Pendeta Drona dan prabu Salya, raja kerajaan Mandaraka yang mendukung
Korawa. Bisma menggunakan siasat Wukirjaladri yang berarti “gunung
samudra.”
Balatentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-
gulung, sedang pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan
dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu
Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke Kurukshetra untuk menonton jalannya
perang. Meski bukan anggota pasukan perang, dan berada di luar garis
peperangan, ia telah melanggar aturan perang, dengan bermaksud membunuh
Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa. Rukmarata memanah Resi Seta namun
panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya, yakni
seorang pangeran muda yang berada di dalam kereta di luar garis pertempuran,
Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta
Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan
gada (pemukul) Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata,
putera mahkota Mandaraka tewas seketika.
Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya
sedangkan Arya Wratsangka tewas oleh Pendeta Drona. Bisma dengan
bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai
Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang
bersenjata gada Kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang mendekatinya.
Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya
Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak pertama diakhiri
dengan sukacita pihak Korawa karena kematian pimpinan perang Pandawa.

Babak Kedua
Setelah Resi Seta gugur, Pandawa kemudian mengangkat Drestadyumna
(Trustajumena) sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha.
Sedangkan Bisma tetap menjadi pimpinan perang Korawa. Dalam babak ini
kedua kubu berperang dengan siasat yang sama yaitu Garudanglayang (Garuda
terbang).
Dalam pertempuran ini dua anggota Korawa, Wikataboma dan kembarannya,
Bomawikata, terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara itu
beberapa raja sekutu Korawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya Prabu
Sumarma, raja Trigartapura tewas oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh
Arya Satyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan Arya Sangasanga (anak
Setyaki), Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan Gatotkaca, dan Prabu
Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah Hrudadali milik Arjuna. Bisma
setelah melihat komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan
pertempuran, mendesak maju menggempur lawan. Atas petunjuk Kresna,
Pandawa kemudian mengirim Dewi Wara Srikandi untuk maju menghadapi
Bisma. Dengan tampilnya prajurit wanita tersebut, Bisma merasa bahwa tiba
waktunya maut menjemputnya, sesuai dengan kutukan Dewi Amba yang tewas di
tangan Bisma. Bisma gugur dengan perantaraan panah Hrudadali milik Arjuna
yang dilepaskan oleh istrinya, Srikandi.

Tawur demi kemenangan


Dalam babak ini juga diadakan korban demi syarat kemenangan pihak yang
sedang berperang. Resi Ijrapa dan anaknya Rawan dengan sukarela menyediakan
diri sebagai korban (Tawur) bagi Pandawa. Keduanya pernah ditolong Bima dari
bahaya raksasa. Selain itu satria Pandawa terkemuka, Antareja yang merupakan
putra Bima juga bersedia menjadi tawur dengan cara menjilat bekas kakinya
hingga tewas. Sementara itu Sagotra, hartawan yang berhutang budi pada Arjuna
ingin menjadi korban bagi Pandawa. Namun karena tidak tahu arah, ia bertemu
dengan Korawa. Oleh tipu muslihat Korawa, ia akan dipertemukan dengan
Arjuna, namun dibawa ke Astina. Sagotra dipaksa menjadi tawur bagi Korawa,
namun menolak mentah-mentah. Akhirnya, Dursasana, salah satu anggota
Kurawa membunuhnya dengan alasan sebagai tawur pihak Korawa.

Kutipan dari Kakawin Bharatayuddha


Kutipan di bawah ini mengambarkan suasana perang di Kurukshetra, yaitu
setelah pihak Pandawa yang dipimpin oleh Raja Drupada menyusun sebuah
barisan yang diberi nama “Garuda” yang sangat hebat untuk menggempur
pasukan Korawa. Setelah selesai dipuja oleh ksatria semuanya, maka pada siang
hari berangkatlah Sang Raja putera Drupada, setibanya telah siap mengatur
barisan yang sangat membahayakan, nama barisannya yang berbahaya ialah
“Garuda” yang masyur gagah berani
Raja Drupada merupakan kepala dan tak lain Arjuna sebagai paruh, para Raja
merupakan punggung dan Maharaja Yudistira sebagai pimpinan, sayap bagian
kanan merupakan Sang Drestadyumna bersama bala tentara, sayap kiri
merupakan Bhima yang terkenal kekuatannya dan Satyaki pada ekornya. Hal itu
ditiru pula oleh Sang Duryodana. Sang Sakuni merupakan kepala dan ditetapkan
Raja Madra sebagai paruh, sayap kanan kiri adalah Rsi Bhisma dan pendeta
Drona merupakan telinga, Raja Kuru merupakan punggung dan Sang Dursasana
pada ekor
Setelah semuanya selesai mengatur barisan kala itu Rsi Bhisma maju ke
muka, merusak bagian luar pasukan Pandawa dengan panah, dibalas oleh Arjuna
berlipat ganda menyerang dengan panah, ditambah pula diterjang oleh Sang Bima
sehingga banyak bergelimpangan. Sebab itu binasa hancur luluh dan tak seorang
pun hendak membalas, entah berapa ratus pahlawan yang gugur dipanah, Raja
Kuru – Pendeta Kripa – Raja Salya – dan Sang Dursasana serta Sang Sakuni,
sama-sama lari menuju Rsi Bhisma dan Pendeta Drona yang merupakan taruhan.
Niscaya akan bubar lari tunggang langgang para pahlawan bangsa Kaurawa, jika
tidak disuruh oleh Rsi Bhisma dan Pendeta Drona agar mereka mundur, ditambah
pula keadaan gelap karena mengepulnya debu membuat mereka bingung tidak
tahu keadaan, akhirnya keadaan terang karena darah berhamburan memadamkan
debu.
Setelah gelap menghilang darah seakan-akan air laut pasang, yang
merupakan lumpurnya adalah kain perhiasan para pahlawan yang gugur saling
bantai, bangkai gajah dan kuda sebagai karangnya dan senjata panah yang
bertaburan laksana pandan yang rimbun, sebagai orang menyusun suatu karangan
para pahlawan yang tak merasa takut membalas dendam
Ketika itu rupanya Arjuna menjadi gelisah dan agak kecewa, setelah ia
melihat Raja-Raja yang secara menyedihkan terbunuh dalam keretanya, di
sanalah terdapat Sang Irawan, anak Sang Arjuna dengan Dewi Ulupi yang gugur
dalam pertempuran melawan Sang Srenggi, seorang rakshasa yang ulung

Anda mungkin juga menyukai