Anda di halaman 1dari 10

SALYA PARWA

RINGKASAN SALYA PARWA

Sesudah Karna gugur dalam perang Duryodhana dirundung kesedihan, Bhagavan Krpta
memberi saran agar perang dihentikan untuk menghindari kehancuran lebih lanjut. Tapi
duryodhana mengatakan itu semua sudah terlambat dan ingin melanjutkan pertemburan.
Kemudian ia mengusulkan Salya menjadi seorang senopati, Salya menasehati Duryodhana agar
berhenti berperang dan ia menyanggupi akan menjadi penengah dan penghubung antara Kurawa
dan Pandawa. Aswatama yang memang dari awal tak suka dengan Salya sangat marah dan
menghina Salya hingga terjadi perkelahian dikeduanya. Dan delerai oleh Duryodhana, karena
merasa berhutang budi kepada Duryodhana Salyapun bersedia menjadi senopati.

Keesokan harinya yaitu pada perang yang ke delapan belas, Prabu Salya berhadapan
dengan Arjuna dan Bima berhadapan dengan adik-adik Duryhodana yang hanya tinggal lima
orang. Sebelum tengah hari Bima telah berhasil membunuh kelimanya. Bima sangat merasa puas
karena dendamnya terhadap Korawa hampir dapat terlampiaskan hanya tinggal Duryodhana saja
yang belum. Tetapi sebelum mencari Duryodhana ada seorang lagi yang diincarnya yaitu Sakuni.
Saat dilihatnya Sakuni sedang berhadapan dengan Sahadewa. Dengan Teriakan yang nyaring Ia
menyuruh Sahadewa untuk Mundur.
Melihat Bima datang, sakuni mulai takut. Ia berusaha melarikan diri, tetapi Bima berhasil
mengejarnyadan menjambak rambutnya serta membantingnya. Sakuni berusaha bangun, entah
untuk melawan atau larti lagi. Bima lalu mengeluarkan unek-uneknya, Hai Sakuni, peperangan
ini terjadi akibat mulutmu yang busuk. Aku telah bersumpah untuk merobek mulutmu yang
busuk.
Sakuni merasa bahwa tidak ada gunanya lagi Ia melarikan diri. Ia-pun langsung
menyerang Bima. Namun dalam beberapa gerakan saja Ia telah jatuh tertunduk, serangannya
mampu ditahan Bima. Bima kembali mencacinya, Terlalu enak bagimu jika kau kubunuh
dengan sekali pukul. Karena kaulah yang menjadi sumber segala bencana ini. Dengan akal
busukmukau selalu berusaha mmelenyapkan Pandawa. Sekarang rasakan penderitaanmu. Bima
kembali menjambak rambut Sakuni sambil memakinya sepuas hati. Setelah itu tangannya
dipatahkan, matanya dibutakan, dan akhirnya mulutnya dirobek sampai Ia menjerit melepas
nyawa.
Sementara itu, pertempuran antara Salya dengan Arjuna berlangsung sengit. Lama
kelamaan Salya makin terdesak, Salyapun langsung mengeluarkan Aji Candra Bhairawa. Tubuh
Salya mengeluarkan raksasa yang langsung menyerang Arjuna. Raksasa itu langsung dipanah
oleh Arjuna tepat mengenai perutnya. Raksasa itu tidak mati, bahkan Raksasa itu mengeluarkan
darah dan darahnya berubah menjadi Raksasa lagi. Sehingga Arjuna diserang oleh dua Raksasa.
Arjuna hendak memanahnya lagi namun dilarang oleh Krisna dan Ia meminta Arjuna untuk
mundur.
Bima yang melihat adiknya didesak oleh dua Raksasa mulai menghadang raksasa
tersebut. Dengan Gadanya ia memukuli Raksasa-raksasa tadi. Tetapi Raksasa yang dipukul tadi
menjadi banyak Raksasa karena tiap darah yang keluar berubah menjadi raksasa baru. Dengan
demikian Bima direbut oleh banyak raksasa. Dan raksasa itu pula menyerang seluruh prajurit
Pandawa.
Pada saat itu, hari telah menjelang tengah hari, Krisnha lalu mendekati Yudhistira dan
menyuruh Yudhistirauntuk melawan Salya. Yudhistirapun maju dengan senjata Kalimasada. Tepat
tengah hari Kalimasada dilemparkan dan tepat mengenai kepala Salya. Dan akhirnya Salya gugur,
dengan itu raksasa-raksasa Candra Bairawapun lenyap dengan seketika. Gugurnya Salya dan
lenyapnya para raksasa disambut dengan gembira oleh pasukan Pandawa, sebaliknya prajurit
Korawa menjadi putus asa. Mereka kehilangan semangat untuk bertempur, mengingat para
pemimpin mereka sudah gugur. Mereka berlari menyelamatkan diri. Sedangkan Duryodhana
melarikan diri setelah mengetahui gugurnya Salya dan kehancuran prajurutnya serta tak
seorangpun yang bisa diandalkannya lagi. Duryodhana bersembunyi di sebuah telaga. Sementara
itu para Pandawa mencari Duryodhana di medan perang, namun tidak ditemukan.
Setelah mengetahui Prabu Salya gugur, salah seorang prajuritnya meninggalkan medan
pertempuran dan melapor pada Dewi Setyawati. Mendapatkan laporan tentang suaminya yang
gugur Ia kemudian pingsan. Setelah siuman Ia kemudian berpesan kepada dayang-dayangnya
bahwa Ia akan mencari jenazah suaminya tersebut serta akan melakukan satya. Sugandika yang
menjadi dayangnya ikut dengan Setyawati, setelah membersihkan diri dan berpakain serba putih
mereka berjalan menuju bekas arena pertempuran. Disana Ia menemukan banyak jenazah dan
belum menemukan jenazah suaminya, hingga Ia hampir putus asa, akhirnya ada petunjuk dari
lagit tentang keberadaan jenazah Salya. Akhirnya Setyawati dan Sugandika melakukan satya.
Atas petunjuk Krisna, Pandawa menemukan keberadaan Duryodhana bersembunyi.
Duryodhana pada saat itu sedang berendam disebuah telaga. Bima lalu berkata Hai Duryodhana,

ternyata kamu sudah tidak ksatriya lagi. Kamu meninggalkan medan perang karena takut mati.
Kamu melarikan diri dan bersembunyi disini. Kamu kira aku tak akan bisa menemukanmu.
Kemanapun kamu bersembunyi akan tetap aku kejar. Sekarang tunjukkanlah sikap kesatryamu.
Ayolah kita bertempur sebagai kesatrya. Mendengar tantangan Bima seperti itu akhirnya
Duryodhana berkata, Hai Bima dan kamu Pandawa semua, aku berendam disini bukan karena
takut, tapi badanku terasa panas. Sekarang majulah kalian berlima serta seluruh prajuritmu
rebutlah aku. Aku tidak takut menghadapi kalian semua seorang diri. Mendengar kata-kata
Duryodhana yang demikian congkak, Krisnapun berkata, Hai Duryodhana, Pandawa tetap
menjunjung tinggi sifat-sifat kesatrya. Pandawa menjadi tidak kesatrya bila mengeroyokmu. Oleh
karena itu kamu boleh memilih salah satu dari mereka untuk bertempur denganmu. Mendengar
penjelasan Krisna, Duryodhana menjawab, Kalau begitu baiklah, aku akan memilih salah satu.
Aku tidak memilih Nakula atau Sahadewa karena bagiku mereka masih terlalu kanak-kanak. Aku
juga tidak memilih Arjuna karena Ia bersifat banci. Aku juga tidak mau bertempur dengan
Yudhistira yang seperti pendeta. Satu-satunya yang cocok berhadapan denganku adalah Bima.
Disamping antara aku dan Bima cukup seimbang, kebetulan sekali kami sama-sama
bersenjatakan gada.
Setelah dialog tersebut disiapkan arena untuk perang tanding antara Bima dan
Duryodhana. Sebelum perang dimulai, kebetulan Baladewa datang ke tempat itu. Semua yang ada
disana memberi hormat atas kedatangannya. Duryodhana sangat senang atas kedatangan
Baladewa begitu juga dengan Bima. Baladewa merupakan guru mereka dalam penggunaan
senjata gada, kemudian mereka meminta restu untuk memulai pertempuran. Dan juga Baladewa
diminta untuk menjadi saksi.
Perang antara Duryodhana dan Bima sangat seru. Setelah beberapa lama Krisna berteriakteriak memberi semangat. Bima yang sedang bertempur tertarik mendengar teriakan Krisna lalu
menoleh ke arah Krisna. Saat Bima menoleh Krisna menepuk pahanya dan mematahkan sepotong
ranting. Melihat hal itu Bima lalu teringat akan sumpahnya bahwa Ia akan mematahkan paha
Duryodhana. Oleh karena itu Ia mengusahaakan untuk hal itu, seketika Duryodhana melompat Ia
memukil pahanya. Seketika itu Duryodhana roboh ke tanah dengan paha yang remuk. Bima lalu
menginjak-injak kepalanya dan memakinya, Hai Duryodhana, rasakan sekarang hasil
perbuatanmu. Inilah balasanku atas segala kejahatanmu terhadap Pandawa.
Baladewa yang meihat hai itu jadi sangat marah. Ia lalu menegur Bima, hai Bima
mengapa kamu menyalahi aturan perang gada. Bukankah kamu tahu, dalam perang gada tidak
boleh memukul dibawah perut. Kenapa kamu memukul paha, disamping itru perbuatanmu
mencaci musuh dan menginjak kepala musuh yang tek berdaya sudah bukan merupakan sifat
kesatrya. Atas dosamu aku akan menghukummu, bersiaplah menerima pukulan gadaku.
Krisna segera berlari menghalangi maksud Baladewa dengan memberikan penjelasan.
Kanda Baladewa, jangan dulu marah. Bima sengaja memukul paha Duryodhana karena ada
alasannya. Pertama, Duryodhana telah banyak sekali berbuat dosa dan menyebabkan pihak
Pandawa menderita. Kedua, karena Bima telah bersumpah akan mematahkan paha Duryodhana
atas perlakuannya yang tidak senonoh terhadap Drupadi. Ketiga, Duryodhana telah terkena kutuk
dari Maharsi Metrya, agar pahanya dipatahkan oleh nusuh karena penghinaannya terhadap Rsi
tersebut. Atas tiga hal tersebut harap Kanda menjadi Maklum. Setelah mendengar penjelasan
tersebut, Baladewapun menjadi maklum dan meninggalkan tempat tersebut.
Setelah Baladewa pergi, Krisnapun mengajak para pendawa untuk meninggalkan tempat
tersebut. Tetapi sebelum mereka pergi jauh Duryodhana yang tak berdaya masih bisa mengomeli
Krisna yang telah memberi syarat pada Bima untuk menghantap pahanya, Ia juga menuduh
Krisna telah menyebabkan kematian Bhisma dengan menyuruh Srikandi menghadapi Bhisma.
Begitu pula kematiasn Drona, dengan menyuruh Yudhistira untuk berbohong. Jiga kematian
Karna yang menyuruh Arjuna memanah Karna yang sedang memperbaiki kereta. Juga kematian
Raja Sindu dengan membuat Kurusetra menjadi gelap
Terhadap omelan Duryodhana tersebut Krisna menjawab bahwa itu adalah akibat dari
dosa-dosa Duryodhana sendiri, seperti meracuni Bima, membakar Pandawa dirumah Gala-gala,

permainan judi yang curang serta mempermalukan Drupadi. Setelah memberi penjelasan tersebut
Krisna dan Pandawa beranjak dari tempat itu, para prajurit langsung disuruh ke kemah sementara
para Pandawa diajak bertirtayatra untuk penyucian diri lahir batin. Yaitu di telaga Pancaka Tirta,
letaknya di tengah hutan dekat dengan medan Kuru Setra. Telaga ini dibuat oleh Bhagawan
Parasu Rama pada zaman dahulu.
Di Hastinapura, Dhrstaarastha menanyakan bagaimana kematian Duryodhana yang
pahanya remuk dipukul dan apa kata terakhir yang muncul dari mulutnya. Sanjaya menceritakan
rintihan-rintihan Duryodhana kepada Dhrstarastha, juga pesannya kepada krpa, Krtavarma dan
Asvatama serta menginformasikan perintahnya kepada Carvaka tentang saat terakhir yang sangat
menyakitkan. Utusan Duryodhana tiba di perkemahan Asvatama dan menyampaikan pesan dari
Duryodhana. Krpa, Krttavarma dan Aswathama tiba di medan pertempuran dan melihat
pertempuran sudah selesai. Asvathama sangat sedih hatinya melihat runtuhnya kerajaan besar
dibawah pimpinan Duryodhana dan akan memenuhi janji yang diminta Duryodhana. Sumpah
Asvatama dan permintaan Duryodhana untuk menjadikan Krpa sebagai panglima perang,
selanjutnya perpisahan perpisahan ketiga pahlawan itu dan berakhir dengan kematian
Duryodhana.
http://karimalajah.blogspot.co.id/2012/12/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
RABU, 12 DESEMBER 2012. Arnawa Nawara. 23-11-2015/ 19.41

Salyaparwa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Duryodana menunjuk Salyasebagai panglima besar Korawa.

Salyaparwa adalah kitab kesembilan dari seluruh naskah wiracarita Mahabharata yang terdiri
atas 18 parwa. Bagian ini bercerita tentang klimaks perang besar antara
keluarga Pandawa melawan Korawa yang terjadi di Padang Kurukshetra. Perang ini
dalam pewayanganterkenal dengan sebutan Baratayuda.

Ringkasan Cerita[sunting | sunting sumber]

Bima (kanan) menyerangDuryodana (kiri) menggunakan Gadasaat menjelang kematian Duryodana

Salyaparwa terdiri atas 65 bab. Kitab ini bercerita tentang pertempuran pada hari ke-18 di mana
saat itu pihak Korawa telah kehilangan banyak pasukan. Kisah diawali dengan
ratapan Duryodana atas kematian Karna, panglima andalannya pada hari sebelumnya. Ia
kemudian mengangkat Salya sebagai panglima baru untuk melanjutkan peperangan.
Dalam pertempuran hari itu, Salya akhirnya gugur di tangan Yudistira, pemimpin para Pandawa.
Namun kisah Salyaparwa tidak berakhir sampai di sini. Selanjutnya diceritakan bagaimana
penasihat pihak Korawa yang licik, yaitu Sangkuni tewas di tangan Sahadewa, adik bungsu
Yudistira.
Bagian akhir Salyaparwa mulai bab ke-32 diberi judul Gadayuddhaparwa, yang berkisah tentang
perang tanding antara Duryodana melawan Bimasena. Perang ini merupakan klimaks dari
seluruh rangkaian Baratayuda. Dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, Duryodana
akhirnya roboh terkena hantaman gada milik Bima.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Salya

Sangkuni

Duryodana

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Terjemahan Salyaparwa dalam Bahasa Inggris oleh Kisari Mohan G

https://id.wikipedia.org/wiki/Salyaparwa. 23-11-2015./ 20.33

Salyaparwa
Kitab Salyaparwa merupakan kitab kesembilan dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan kisah diangkatnya Salya sebagai panglima perang pasukan Korawa,
menggantikan Karna yang telah gugur. di tangan Arjuna pada hari ke-17, Salya pun
diangkat sebagai panglima baru pihak Korawa. Salya hanya memimpin selama
setengah hari, karena pada hari itu juga Salya gugur di tangan Yudistira. Salya
adalah kakak ipar Pandu yang terpaksa membantu Korawa karena tipu daya mereka.
Pada hari ke-18, ia diangkat sebagai panglima oleh Duryodana. Akhirnya ia pun
tewas terkena tombak Yudistira.
Naskah Bharatayuddha berbahasa Jawa Kuno mengisahkan bahwa Salya memakai
senjata bernama Rudrarohastra, sedangkan Yudistira memakai senjata bernama
Kalimahosaddha. Pusaka Yudistira yang berupa kitab itu dilemparkannya dan tibatiba berubah menjadi tombak menembus dada Salya.
Kematian Salya diuraikan pula dalam Kakawin Bharatayuddha. Ketika ia diangkat
sebagai panglima, Aswatama yang menjadi saksi kematian Karna mengajukan
keberatan karena Salya telah berkhianat, yaitu diam-diam membantu Arjuna.
Namun, Duryodana justru menuduh Aswatama bersikap lancang dan segera
mengusirnya.
Salya maju perang menggunakan senjata Rudrarohastra. Muncul raksasa-raksasa
kerdil namun sangat ganas yang jika dilukai justru bertambah banyak. Kresna
mengutus Nakula supaya meminta dibunuh Salya saat itu juga. Nakula pun
berangkat dan akhirnya tiba di hadapan Salya. Tentu saja Salya tidak tega
membunuh keponakannya tersebut. Ia sadar kalau itu semua hanyalah siasat
Kresna. Salya pun dengan jujur mengatakan, Rudrarohastra hanya bisa ditaklukkan
dengan jiwa yang suci.
Kresna pun meminta Yudistira yang terkenal berhati suci untuk maju menghadapi
Salya. Rudrarohastra berhasil dilumpuhkannya. Ia kemudian melepaskan pusaka
Kalimahosaddha ke arah Salya. Pusaka berupa kitab itu kemudian berubah menjadi
tombak yang melesat menembus dada Salya.

Sementara itu menurut versi pewayangan Jawa, Rudrarohastra disebut dengan nama
Candabirawa. Salya mengerahkan ilmu Candabirawa berupa raksasa kerdil
mengerikan, yang jika dilukai jumlahnya justru bertambah banyak. Puntadewa maju
mengheningkan cipta. Candabirawa lumpuh seketika karena Puntadewa telah
dirasuki arwah Resi Bagaspati, yaitu pemilik asli ilmu tersebut. Bahkan, sejak itu

Candabirawa justru berbalik mengabdi kepada Yudistira. Selanjutnya, Puntadewa


melepaskan Jamus Kalimasada yang melesat menghantam dada Salya. Salya pun
tewas seketika.
Baik versi Bharatayuddha ataupun versi pewayangan Jawa mengisahkan setelah
Salya tewas, istrinya yaitu Setyawati datang menyusul ke medan pertempuran untuk
melakukan bela pati. Setyawati dan pembantunya yang bernama Sugandika
kemudian bunuh diri menggunakan keris.
Pada hari ke-18 ini juga Sangkuni bertempur melawan Sahadewa. Dengan
mengandalkan ilmu sihirnya, Sangkuni menciptakan banjir besar melanda dataran
Kurukshetra. Sadewa dengan susah payah akhirnya berhasil mangalahkan Sangkuni.
Tokoh licik itu tewas terkena pedang Sadewa. Menurut versi MahaBharata bagian
kedelapan atau Salyaparwa, Sangkuni tewas di tangan Sahadewa, yaitu Pandawa
nomor lima. Pertempuran habis-habisan antara keduanya terjadi pada hari ke-18.
Sangkuni mengerahkan ilmu sihirnya sehingga tercipta banjir besar yang menyapu
daratan Kurukshetra, tempat perang berlangsung. Dengan penuh perjuangan,
Sahadewa akhirnya berhasil memenggal kepala Sangkuni. Riwayat tokoh licik itu pun
berakhir.
Versi Jawa
Menurut Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada zaman Kerajaan Kadiri tahun
1157, Sangkuni bukan mati di tangan Sahadewa, melainkan di tangan Bimasena,
Pandawa nomor dua. Sangkuni dikisahkan mati remuk oleh pukulan gada Bima.
Tidak hanya itu, Bima kemudian memotong-motong tubuh Sangkuni menjadi
beberapa bagian.
Pada hari terakhir Baratayuda, Sangkuni bertempur melawan Bima. Kulitnya yang
kebal karena pengaruh Minyak Tala bahkan sempat membuat Bima merasa putus
asa.
Penasihat Pandawa selain Kresna, yaitu Semar muncul memberi tahu Bima bahwa
kelemahan Sangkuni berada di bagian dubur, karena bagian tersebut dulunya pasti
tidak terkena Minyak Tala. Bima pun maju kembali. Sangkuni ditangkap dan disobek
duburnya menggunakan Kuku Pancanaka yang tumbuh di ujung jari Bima.
Ilmu kebal Sangkuni pun musnah. Dengan beringas, Bima menyobek dan menguliti
Sangkuni tanpa ampun. Meskipun demikian, Sangkuni hanya sekarat tetapi tidak
mati.
Pada sore harinya Bima berhasil mengalahkan Duryudana, raja para Korawa. Dalam
keadaan sekarat, Duryudana menyatakan bahwa dirinya bersedia mati jika ditemani

pasangan hidupnya, yaitu istrinya yang bernama Banowati. Atas nasihat Kresna,
Bima pun mengambil Sangkuni yang masih sekarat untuk diserahkan kepada
Duryudana. Duryudana yang sudah kehilangan penglihatannya akibat luka parah
segera menggigit leher Sangkuni yang dikiranya Banowati.
Akibat gigitan itu, Sangkuni pun tewas seketika, begitu pula dengan Duryudana. Ini
membuktikan bahwa pasangan sejati Duryudana sesungguhnya bukan istrinya,
melainkan pamannya yaitu Sangkuni yang senantiasa berjuang dengan berbagai
cara untuk membahagiakan para Korawa.

Diceritakan Duryodana yang ditinggal mati saudara dan sekutunya dan kini hanya ia
sendirian sebagai Korawa yang menyerang Pandawa. Semenjak seluruh saudaranya
gugur demi memihak dirinya, Duryodana menyesali segala perbuatannya dan
berencana untuk menghentikan peperangan.
Setelah kehabisan pasukan, Duryodhana bersembunyi di dasar telaga. Kelima
Pandawa didampingi Kresna berhasil menemukan tempat itu. Ia pun bersedia untuk
menyerahkan kerajaannya kepada para Pandawa agar mampu meninggalkan dunia
fana dengan tenang. Sikap Duryodana tersebut menjadi ejekan bagi para Pandawa.
Duryodana pun naik ke darat siap menghadapi kelima Pandawa sekaligus, sikap itu
ditunjukan karena Ia tahu bahwa Pandawa tidak akan mungkin secara bersama-sama
mengeroyoknya.
Yudistira menolak tantangan Duryodhana karena Pandawa pantang berbuat
pengecut dengan cara main keroyok, sebagaimana para Korawa ketika membunuh
Abimanyu pada hari ke-13. Yudistira mengajukan tawaran, bahwa ia harus bertarung
dengan salah satu Pandawa, dan jika Pandawa itu dikalahkan, maka Yudistira akan
menyerahkan kerajaan kepada Duryodana.

Bima

terkejut

mendengar

keputusan

Yudistira

yang

seolah-olah

memberi

kesempatan Duryodana untuk berkuasa lagi, padahal kemenangan Pandawa tinggal


selangkah saja. Dalam hal ini Yudistira justru menyalahkan Bima yang dianggap
kurang percaya diri. Duryodana malu mendengarkan pembicaraan kakak dan adik
ini. Ia menyadari nasi sudah menjadi bubur dan sekarang saatnya untuk
mengakhriri. Meskipun bersifat angkara murka namun ia juga seorang pemberani.
Duryodana memilih bertarung dengan senjata gada melawan Bima. Kedua-duanya
memiliki kemampuan yang setara dalam memainkan senjata gada karena mereka
berdua menuntut ilmu kepada guru yang sama, yaitu Baladewa. Pertarungan terjadi
dengan sengit, keduanya sama-sama kuat dan sama-sama ahli bergulat dan
bertarung dengan senjata gada. Khasiat mata sang Ibunda Gandari memanglah

hebat tidak ada satupun badan dari Duryodana dapat dilukai Bima. Bima walaupun
bertenaga sangat kuat namun ia tidak kunjung dapat melukai Duryodana, Bima
mulai kehilangan kepercayaan diri dan kelelahan sementara Duryodana justu
semakin meningkat kepercayaan dirinya dan mulai berusaha untuk membunuh
Bima. Bima mulai mengalami banyak luka di sekujur tubuhnya, Ia semakin melemah
sedangkan hari mendekati senja. Kontras dengan Bima, justru Duryodana semakin
bersemangat.
Baladewa hadir juga menyaksikan pertempuran itu sehingga tidak leluasa bagi
Krisna untuk memberikan petunjuk secara langsung kepada Bima. Satu kesalahan
saja, akan membuat Baladewa memihak Duryodana. Akhirnya Kresna mengingatkan
Bima akan sumpahnya (bahwa ia akan mematahkan paha Duryodana karena
perbuatannya yang melecehkan Dropadi). Atas petunjuk Kresna, Bima menjadi ingat
perbuatan keji Duryodana terhadap Droupadi dan mengingat sumpahnya kembali.
Kemarahannya meningkat walaupun ia tidak yakin mampu melukai Duryodana Ia
langsung mengarahkan gadanya ke paha Duryodana. Setelah pahanya dipukul
dengan keras, Duryodana tersungkur dan roboh. Ia mulai mengerang kesakitan,
sebab itulah bagian tubuhnya yang tidak kebal telah dipukul oleh Bima. Keadaan itu
terjadi ketika Gandari meminta Duryodana telanjang dihadapannya, namun krisna
waktu itu mengejeknya tidak tahu tahu sopan santun karena menghadap ibunda
dengan posisi telanjang. Ia kemudian memakai penutup pinggang hingga ke paha.
Saat Bima ingin mengakhiri riwayat Duryodana, Baladewa datang untuk
mencegahnya dan mengancam bahwa ia akan membunuh Bima. Baladewa juga
memarahi Bima yang telah memukul paha Duryodana, karena sangat dilarang untuk
memukul bagian itu dalam pertempuran dengan senjata gada.
Kresna kemudian menyadarkan Baladewa, bahwa sudah menjadi kewajiban bagi
Bima untuk menunaikan sumpahnya. Kresna juga membeberkan kecurangankecurangan yang dilakukan oleh Duryodana. Duryodana lebih banyak melanggar
aturan-aturan perang daripada Bima. Ia melakukan penyerangan secara curang
untuk membunuh Abimanyu. Ia juga telah melakukan berbagai perbuatan curang
agar Indraprastha jatuh ke tangannya.
Duryodana gugur dengan perlahan-lahan pada pertempuran di hari kedelapan belas.
Hanya tiga ksatria yang bertahan hidup dan masih berada di pihaknya, yaitu
Aswatama, Krepa, dan Kretawarma. Sebelum ia meninggal, Aswatama yang masih
hidup diangkat menjadi panglima perang.
https://anothermahabharata.wordpress.com/2010/11/22/mahabharata-9-salyaparwa/

Mahabharata 9 Salyaparwa

NOV 22

Posted by Rachel 23-11-2015/ 20.44

"Gunung bukanlah puncak aku berdiri, tapi setiap langkah aku mendaki." dan
"Bukanlah gunung yang menjadi penghalang tetapi diri kita sendiri." Selalu
semangat, tersenyumlah, semua kan indah :) :)

Anda mungkin juga menyukai