Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada zaman Mahabharata dikisahkan Panca Pandawa
melaksanakan Yadnya Sarpa yang sangat besar dan dihadiri seluruh rakyat dan
undangan yang terdiri atas rajaraja terhormat dari negeri tetangga. Bukan itu saja,
undangan juga datang dari para pertapa suci yang berasal dari hutan atau gunung.
Tidak dapat dilukiskan betapa meriahnya pelaksanaan upacara besar yang
mengambil tingkatan utamaning utama. Menjelang puncak pelaksanaan Yadnya,
datanglah seorang brahmana suci dari hutan ikut memberikan doa restu dan
menjadi saksi atas pelaksanaan upacara yang besar itu.Seperti biasanya, setiap
tamu yang hadir dihidangkan berbagai macam makanan yang lezat dalam jumlah
yang tidak terhingga. Kepada brahmana utama ini diberikan suguhan yang enak-
enak. Setelah melalui perjalanan yang sangat jauh dari gunung ke ibu kota
Hastinapura, ia sangat lapar dan pakaiannya mulai terlihat kotor. Begitu dihidangkan
makanan oleh para dayang kerajaan, Sang Brahmana Utamapun langsung
melahapnya dengan cepat bagaikan orang yang tidak pernah menemukan
makanan. Bersamaan dengan itu melintaslah Dewi Drupadi yang tidak lain adalah
penyelenggara Yajna besar tersebut. Melihat cara Brahmana Utama menyantap
makanan dengan tergesa-gesa, berkomentarlah Drupadi sambil mencela. “Kasihan
Brahmana Utama itu, seperti tidak pernah melihat makanan, cara makannya
tergesagesa,” kata Drupadi dengan nada mengejek. Walaupun jarak antara Dewi
Drupadi dengan Sang Brahmana Utama cukup jauh, tetapi karena kesaktiannya ia
dapat mendengar dengan jelas apa yang diucapkan oleh Drupadi. Sang Brahmana
Utama diam, tetapi batinnya kecewa. Drupadi pun melupakan peristiwa
tersebut.Dalam ajaran agama Hindu, disampaikan bahwa apabila kita melakukan
tindakan mencela, maka pahalanya akan dicela dan dihinakan. Terlebih lagi apabila
mencela seorang Brahmana Utama, pahalanya bisa bertumpuk-tumpuk. Dalam
kisah berikutnya, Dewi Drupadi mendapatkan penghinaan yang luar biasa dari
saudara iparnya yang tidak lain adalah Duryadana dan adik-adiknya. Di hadapan
Maha Raja Drestarata, Rsi Bisma, Guru Drona, Kripacarya, dan Perdana Menteri
Widura serta disaksikan oleh para menteri lainnya, Dewi Drupadi dirobek
pakaiannya oleh Dursasana atas perintah Pangeran Duryadana. Perbuatan biadab
merendahkan kehormatan wanita dengan merobek pakaian di depan umum,
berdampak pada kehancuran bagi negeri para penghina. Terjadinya penghinaan
terhadap Drupadi adalah pahala dari perbuatannya yang mencela Brahmana Utama
ketika menikmati hidangan. Dewi Drupadi tidak bisa ditelanjangi oleh Dursasana,
karena dibantu oleh Krisna dengan memberikan kain secara ajaib yang tidak bisa
habis sampai adiknya Duryadana kelelahan lalu jatuh pingsan. Krisna membantu
Drupadi karena Drupadi pernah berkarma baik dengan cara membalut jari Krisna
yang terkena Panah Cakra setelah membunuh Supala. Pesan moral dari cerita ini
adalah, kalau melaksanakan Yadnya harus tulus ikhlas, tidak boleh mencela dan
tidak boleh ragu-ragu. Ada pula cerita tentang daksina dan pemimpin yadnya.
Mendengar kata daksina, dalam benak orang Hindu “Bali” yang awam akan
terbayang dengan salah satu jejahitan yang berbentuk cerobong (silinder) terbuat
dari daun kelapa yang sudah tua, dan isinya berupa beras, uang, kelapa, telur itik
dan perlengkapan lainnya. Daksina adalah sesajen yang dibuat untuk tujuan
kesaksian spiritual. Daksina adalah lambang Hyang.Guru (Dewa Siwa) dan karena
itu digunakan sebagai saksi Dewata. Makna kata daksina secara umum adalah
suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang kepada
pendeta/pemimpin upacara.Penghormatan ini haruslah dihaturkan secara tulus
ikhlas. Persembahan ini sangat penting dan bahkan merupakan salah satu syarat
mutlak agar Yadnya yang diselenggarakan berkualitas (satwika Yadnya). Selanjutnya
bagaimana pentingnya daksina dalam Yadnya,

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang disampaikan rumusan masalah yang
diangkat dalam karya tulis ini sebagai berikut :
1. Apa kaitan yadnya pada kisah Mahabarata dan kehidupan masa kini?
2. Bagaiamana proses Yadnya Pada Masa Mahabharata (masa lalu) dan Masa Kini?
3. Apa makna yang terkandung apabila melakukan yadnya dengan tulus?
4. Apa saja hal yang bisa kita petik dalam kisah Mahabarata dalam melakukan
yadnya?

C. Tujuan Masalah
Tujuan penulisan karya ilmiah ini antara lain sebagai berikut :
 Untuk menegetahui apa kaitan yadnya pada kisah Mahabarata dan kehidupan masa
kini
 Untuk mengetahui proses Yadnya Pada Masa Mahabharata (masa lalu) dan Masa
Kini
 Untuk mengetahui apa makna yang terkandung apabila melakukan yadnya dengan
tulus
 Untuk mengetahui apa saja hal yang bias kita petik dalam kisah Mahabarata dalam
melakukan yadnya

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Masyarakat
Dengan adanya karya tulis ini diharapkan masyarakat dapat memahami
lebih jauh apa kaitan yadnya dalam Mahabarata dan masa kini.
2. Bagi Pelajar
Dengan adanya karya tulis ini diharapkan para pelajar dapat memahami
lebih jauh apa kaitan yadnya dalam Mahabarata dan masa kini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Mempraktikkan Yajña menurut Kitab Mahabharata dalam Kehidupan


a) Perenungan
”Ya indra sasty-avrato anuṣvāpam-adevayuá,
svaiá sa evair mumurat poṣyam rayiṁ sanutar dhei taṁ tataá”.
Terjemahannya adalah.
”Tuhan Yang Maha Esa, orang yang tidak beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa
adalah lamban dan mengantuk, mati oleh perbuatannya sendiri. Berikanlah semua
kekayaan yang dikumpulkan oleh orang semacam itu, kepada orang lain”. (Åg Veda
VIII. 97.3)
Memahami Teks
Beryajña bagi umat Hindu hukumnya wajib walaubagaimana dan di mana pun mereka
berada. Sesuatu yang di- laksanakan dengan dilandasi oleh yajña adalah utama.
Bagaimana agar semua yang kita laksanakan ini dapat berman- faat dan bekualitas-utama,
mendekatlah kepada-Nya dengan tali kasih karena sesungguhnya Tuhan Maha pengasih.
Kitab Bhagavad Gita menjelaskan sebagaimana berikut ini.

”Ye tu dharmyāmṛtam idaṁ yathoktaṁ paryupāsate,


sraddadhānā mat-paramā bhaktās te ’tiva me priyāá.”

Terjemahannya adalah.
”Sesungguhnya ia yang melaksanakan ajaran dharma yang telah diturunkan dengan
penuh keyakinan, dan menjadikan Aku sebagai tujuan, penganut inilah yang paling
Ku-kasihi, karena mereka sangat kasih pada-Ku.”
(Bhagavad Gita XII. 20)

Kasih sayang adalah sikap yang utama bagi pelakunya. Maksudnya, membiasakan diri
hidup selalu bersahabat sesama makhluk, jauh dari keakuan dan keangkuhan, serta
selalu besama dalam suka dan duka serta pemberi maaf. Orang-orang terkasih selalu
dapat mengendalikan diri, berkeyakinan teguh, terbebas dari kesenangan, kemarahan,
dan kebingungan. Dia tidak mengharapkan apa pun, tidak terusik dan tidak memiliki
pamrih apa pun. Orang-orang terkasih adalah mereka yang terbebas dari pujian dan
makian, pendiam dan puas dengan apa pun yang dialaminya. Persembahan apa pun
yang dilaksanakan oleh seseorang kepada-Nya dapat diterima, karena Beliau bersifat
Mahakasih.

b) Daksina dan Pemimpin Yajña


Mendengar kata daksina, dalam benak orang Hindu “Bali” yang awam akan terbayang
dengan salah satu jejahitan yang berbentuk cerobong (silinder) terbuat dari daun kelapa
yang sudah tua, dan isinya berupa beras, uang, kelapa, telur itik dan perlengkapan lainnya.
Daksina adalah sesajen yang dibuat untuk tujuan kesaksian spiritual. Daksina adalah
lambang Hyang.Guru (Dewa Siwa) dan karena itu digunakan sebagai saksi Dewata.
Makna kata daksina secara umum adalah suatu penghormatan dalam bentuk upacara
dan harta benda atau uang kepada pendeta/pemimpin upacara.
Penghormatan ini haruslah dihatur- kan secara tulus ikhlas. Persembahan ini sangat
penting dan bahkan merupakan salah satu syarat mutlak agar yajña yang
diselenggarakan berkualitas (satwika yajña). Selanjut- nya bagaimana pentingnya
daksina dalam yajña, dikisahkan dalam cerita berikut.
Setelah perang Bharatayuda usai, Sri Krishna menganjurkan kepada Pandawa untuk
menyelenggarakan upacara yajñayang disebut Aswa-
medha yadnya. Upacara korban kuda itu berfungsi untuk menyucikan secara ritual dan
spiritual negara Hastinapura dan Indraprastha karena dipandang leteh (kotor) akibat
perang besar berkecamuk. Di samping itu juga bertujuan agar rakyat Pandawa tidak
diliputi rasa angkuh dan sombong akibat menang perang.
Atas anjuran Sri Krishna, di bawah pimpinan Raja Dharmawangsa, Pandawa
melaksanakan Aswamedha yajña itu. Sri Krishna berpesan agar yajña yang besar itu
tidak perlu dipimpin oleh pendeta agung kerajaan tetapi cukup oleh seorang pendeta
pertapa dari keturunan warna sudra yang tinggal di hutan. Pandawa begitu taat kepada
segala nasihat Sri Krishna, Dharmawangsa mengutus patihnya ke tengah hutan untuk
mencari pendeta pertapa keturunan warna sudra.
Setelah menemui pertapa yang dicari, patih itu menghaturkan sembahnya, “Sudilah
kiranya Kamu memimpin upacara agama yang bernama Aswamedha Yajña, wahai
pendeta yang suci”. Mendengar per- mohonan patih itu, sang pendeta yang sangat
sederhana lalu menjawab, “Atas pilihan Prabhu Yudhistira kepada saya seorang pertapa
untuk memimpin yajña itu saya ucapkan terima kasih. Namun kali ini saya tidak
bersedia untuk memimpin upacara tersebut.
Nanti andaikata kita panjang umur, saya bersedia memimpin upacara Aswamedha yajña
yang diselenggarakan oleh Prabhu Yudistira yang keseratus kali.
Mendengar jawaban itu, sang utusan terperanjat, kaget luar biasa. Ia langsung mohon
pamit dan segera melaporkan segala sesuatunya kepada Raja. Kejadian ini kemudian
diteruskan kepada Sri Krishna. Setelah mendengar laporan itu, Sri Krishna bertanya,
siapa yang disuruh untuk menghadap pendeta, Dharmawangsa pun menjawab “Yang
saya tugaskan menghadap pendeta adalah patih kerajaan”. Sri Krishna menjelaskan,
upacara yang akan dilangsungkan bukanlah atas nama sang patih, tetapi atas nama sang
Raja. Karena itu tidaklah pantas kalau orang lain yang memohon kepada pendeta.
Setidak-tidaknya permaisuri Raja yang harus datang kepada pendeta. Kalau permaisuri
yang datang, sangatlah tepat karena dalam pelaksanaan upacara agama, peranan wanita
lebih menonjol dibandingkan laki-laki. Upacara agama bertujuan untuk membangkitkan
prema atau kasih sayang, dalam hal ini yang paling tepat adalah wanita.
Nasihat Awatara Wisnu itu selalu dituruti oleh Pandawa. Dharmawangsa lalu memohon
sang permaisuri untuk mengemban tugas menghadap pendeta di tengah hutan. Tanpa
mengenakan busana mewah, Dewi Drupadi dengan beberapa iringan menghadap sang
pendeta. Dengan penuh hormat memakai bahasa yang lemah lembut Drupadi
menyampaikan maksudnya kepada pendeta. Di luar dugaan, pendeta kemudian bersedia
memimpin upacara yang agung tersebut Pendeta pun dijemput sebagaimana tata krama
yang berlaku. Drupadi menyuguhkan makanan dan minuman dengan tata krama di kota
kepada pendeta. Karena tidak pernah hidup dan bergaul di kota, sang Pendeta
menikmati hidangan tersebut menurut kebiasaan di hutan yang jauh dengan etika di
kota Pendeta kemudian segera memimpin upacara. Ciri-ciri upacara itu sukses menurut
Sri Krishna adalah apabila turun hujan bunga dan terdengar suara genta dari langit.
Nah, ternyata setelah upacara dilangsungkan tidak ada suara genta maupun hujan bunga
dari langit. Terhadap pertanyaan Darmawangsa, Sri Krishna menjelaskan bahwa
tampaknya tidak ada “daksina” untuk dipersembahkan kepada pendeta. Kalau upacara
agama tidak disertai dengan daksina untuk pendeta, berarti upacara itu menjadi milik
pendeta. Dengan demikian yang menyelenggarakan upacara berarti gagal
melangsungkan yajña. Gagal atau suksesnya yajña ditentukan pula oleh sikap yang
beryajña. Kalau sikapnya tidak baik atau tidak tulus menerima pendeta sebagai
pemimpin upacara maka gagallah upacara itu. Sikap dan perlakuan kepada pendeta
yang penuh hormat dan bhakti merupakan salah satu syarat yang menyebabkan upacara
sukses Setelah mendengar wejangan itu, Drupadi segera menyiapkan Daksina untuk
pendeta. Setelah pendeta mendapat persembahan daksina, tidak ada juga suara genta
dan hujan bunga dari langit. Melihat kejadian itu, Sri Krishna memastikan bahwa di
antara penyelenggara yadnya ada yang bersikap tidak baik kepada pendeta. Atas
wejangan Sri Krishna itu, Drupadi secara jujur mengakui bahwa ia telah menertawakan
B. Kaitan Yadnya Pada Kisah Mahabarata dan Kehidupan Sehari-Hari
Mahabrata merupakan salah satu bagian dari Weda Smerti kelompok
Upaweda, yaitu pada golongan Itihasa. Mahabrata ditulis oleh Bhagawan
Byasa / Kresna Dwipayana dan terdiri dari 18 parwa. Kisah Mahabrata ini
sangat banyak mengandung ajaran-ajaran luhur termasuk tentang yadnya
didalamnya. Di Indonesia, muncul banyak karya sastra yang bersumber dari ke
delapan belas parwa tersebut. antara lain berbagai kitab dan kekawin. Bahkan,
dari kisah Mahabrata ini mampu memunculkan 2 kitab suci yaitu
Sarasamuscaya dan Bhagawadgita.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kisah Mahabrata terdiri dari 18 parwa.
Berikut adalah ulasan isi dari parwa-para tersebut :

 Adi Parwa : lahirnya para leluhur Pandawa dan Korawa, lahirnya para
Pandawa, Korawa dan Karna, dibaginya kerajaan Hastina Pura, Pandawa
berhasil membangun kerajaan Indraprastha, Pandawa berhasil
menyelenggarakan upacara Aswamedha & Rajasuya yang membuat Duryodana
iri.
 Sabhaparwa : Pandawa dan Kurawa bertyemu di balai Jayanta untuk bermain
dadu. Pandawa mengalami kekalahan dan berjanji untuk mengasingkan diri ke
hutan
 Wanaparwa : berisi kisah pengasingan Pandawa selama 12 tahun di hutan
 Wirataparwa : kisah Pandawa yang melewati masa 1 tahun penyamaran diri di
kerajaan Wirata. Selain itu diceritakan pula pernikahan antara Abimanyu dan
Uttari.
 Udyogaparwa : masing-masing pihak mulai mempersiapkan perang dengan
mencari kerajaan sekutu sebanyak-banyaknya. Kunti mengunjungi Karna
sehingga Karna berjanji tidak akan membunuh Pandawa kecuali Arjuna. Krisna
menawarkan pilihan kepada Arjuna dan Duryodana, ingin memilih dirinya atau
pasukan Narayana.
 Bhismaparwa : menceritakan tahap awal pertempuran di Kurusetra, terselip
percakapan suci antara Kresna dan Arjuna yang pada saat ini dikenal sebagai
kitab Bhagawad Gita. Pada hari ke sepuluh Bhisma gugur karena usaha Arjuna
yang dibantu oleh Srikandi.
 Dronaparwa : Drona diangkat sebagai panglima perang Kurawa. Diceritakan
Drona gugur di medan perang akibat dipenggal oleh Drestadyumna saat ia
beryoga. Parwa ini juga menceritakan gugurnya Abimanyu dan Gatot Kaca
 Karnaparwa : Karna diangkat sebagai panglima perang Kurawa. Diceritakan
pula kisah gugurnya Dursasana akibat usaha Bima. Salya menjadi kusir kereta
Karna. Karna pun gugur saat berusaha mengangkat roda keretanya yang
terbenam lumpur.
 Salyaparwa : Salya diangkat sebagai panglima perang Kurawa. Salya dan
Sangkuni pun gugur di medan perang. Kemudian dilanjutkan dengan
gadayudha oleh Bima dan Duryodana. Kurawa pun hanya menyisakan
 Aswatama dan Krtawarman.Sauptikaparwa : Aswatama menyusup ke
perkemahan Pandawa dan membunuh panca Kumara, Drestayumna, dan
Srikandi. Ia melarikan diri ke pertapaan bhagawan Byasa yang disusul oleh
para Pandawa. Kresna mengutuk Aswatama karena telah menggunakan senjata
terlarang untuk membunuh keturunan Pandawa
 .Striparwa : menceritakan isak tangis para wanita yang ditinggal keluarga
mereka yang gugur di medan perang. Yudistira mengadakan upcara
pembakaran mayat dan persembahan air suci pada leluhur. Kunti menceritakan
kisah kelahiran Karna. Gandari mengutuk kerajaan Kresna 36 tahun lagi akan
hancur akibat perang saudara.
 Santiparwa : Rsi Byasa dan Rsi Narada memberi Yudistira wejangan suci
karena pergulatan batinnya setelah membunuh saudara-saudaranya.
 Anusasanaparwa : Yudistira menyerahkan diri pada Bhisma untuk menerima
ajarannya. Atas izin dari Kresna, Bisma pun meninggal dengan tenang.
 Aswamedhikapara : Yudistira melaksanakan upacara Aswamedha. Kisah
kelahiran Parikesit yang dihidupkan kembali oleh Krisna.
 Asramawasikaparwa : Drestarasta, Gandari, Kunti, Sanjaya, dan Widura pergi
ke hutan dan menyerahkan tahta ke Yudistira.
 Mosalaparwa : bangsa Whrisni musnah, Krisna meninggalkan kerajaan dan
pergi ke hutan. Atas saran sri Byasa, Pandawa dan Drupadi pun ikut
mengasingkan diri.
 Mahaprastanikaparwa : kisah perjalanan Pandawa dan istrinya ke puncak
gunung himalaya. Satu persatu Pandawa tewas kecuali Yudistira. Adapun tahta
kerajaan diserahkan pada Parikesit.
 Swargarohanaparwa : dalam perjalanan ke puncak Yudistira ditemani seekor
anjing. Dewa Indra hendak menjemputnya ke surga, namun Yudistira menolah
apabila anjingnya tidak ikut serta. Si anjing pun menampakkan wujudnya yang
sebenarnya yaitu Dewa Dharma.

C. Hal Yang Bisa Kita Petik Dalam Kisah Mahabarata Dalam Melakukan Yadnya
Bermacam-macam yajna dijelaskan dalam cerita Mahaharata, ada yajna berbentuk
benda, yajna dengan tapa, yoga, yajna mempelajari kitab suci ,yajna ilmu pengetahuan,
yajna untuk kebahagiaan orang tua. Korban suci dan keiklasan yang dilakukan oleh
seseorang dengan maksud tidak mementingkan diri sendiri dan menggalang
kebahagiaan bersama adalah pelaksanaan ajaran dharma yang tertinggi (yajnam
sanatanam).
Kegiatan upacara agama dan dharma sadhana lainnya sesungguhnya adalah usaha
peningkatan kesucian diri. Kitab Manawa Dharmasastra V.109 menyebutkan.:
“Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kejujuran (satya), atma
disucikan dengan tapa brata, budhi disucikan dengan ilmu pengetahuan (spiritual)”.
Nilai-nilai ajaran dalam cerita Mahabharata kiranya masih relevan digunakan sebagai
pedoman untuk menuntun hidup menuju ke jalan yang sesuai dengan Veda. Oleh
karena itu mempelajari kita suci Veda, terlebih dahulu harus memahami dan
menguasai Itihasa dan Purana (Mahabharata dan Ramayana), seperti yang disebutkan
dalam kitab Sarasamuscaya sloka 49 sebagai berikut :
“Weda itu hendaknya dipelajari dengan sempurna, dengan jalan mempelajari itihasa
dan purana, sebab Weda itu merasa takut akan orang-orang yang sedikit
pengetahuannya”

D. Makna Yang Terkadung Apabila Melakukan Yadnya Dengan Tulus


Yadnya adalah korban suci secara tulus ikhlas dalam rangka memuja Hyang
Widhi. Pada dasarnya Yadnya adalah penyangga dunia dan alam semesta,
karena alam dan manusia diciptakan oleh Hyang Widhi melalui Yadnya. Pada
masa srsti yaitu penciptaan alam Hyang Hidhi dalam kondisi Nirguna Brahma (
Tuhan dalam wujud tanpa sifat ) melakukan Tapa menjadikan diri beliau
Saguna Brahma ( Tuhan dalam wujud sifat Purusha dan Pradhana ). Dari
proses awal ini jelas bahwa awal penciptaan awal dilakukan Yadnya yaitu
pengorbanan diri Hyang Widhi dari Nirguna Brahma menjadi Saguna Brahma .
Selanjutnya semua alam diciptakan secara evolusi melalui Yadnya.
Yadnya di dalam suatu upakara haruslah di dilandasi oleh rasa tulus ikhlas
dengan rasa yang senang. Persembahan yang tulus ikhlas dan dilandasi hati
yang bersih niscaya tuhan akan menerima persembahan yang kita haturkan
kepada beliau. Jika apa yang kita persembahkan itu ingin di terima tuhan,
maka kita harus memberinya dengan rela, tulus dan suka cita tanpa ada
motivasi terselubung dibalik itu dan jangan sampai kita memberikan dengan
terpaksa atau karena dipaksa oleh pihak lain, jika tidak, maka persembahan
kita tidak akan berarti apa-apa dihadapan tuhan dan tidak mendapatkan berkat
bagi kita. Mungkin dengan persembahan yang diberikan orang lain
disenangkan, tapi belum tentu hal itu menyenangkan hati tuhan. Dalam
persembahan yang tulus ikhlas tuhan tidak melihat besar kecilnya
persembahan yang kita persembahkan, namun motivasi dan ketulusan hati
kita. Dan jangan pernah hitung-hitungan dengan Tuhan, apalagi menahan
berkat yang seharusnya kita salurkan kepada yang berhak menerima.
BAB III
KESIMPULAN

 
A. KESIMPULAN
            Yadnya merupakan salah satu upacara yang sangat penting untuk dilakukan. Yadnya
sendiri adalah segala bentuk pemujaan/persembahan dan pengorbanan yang dilaksanakan secara
tulus ikhlas dengan tujuan-tujuan mulia dan luhur terhadap Ida Sang Hyang Widhi. Adapun
Yadnya memiliki 4 unsur yaitu Karya (perbuatan), Sreya (ketulus ikhlasan), Bhudi (kesadaran),
dan Bhakti (persembahan). Adapun tujuan yajña adalah untuk melakukan penebusan utang atau
Ṛṇa. Sedangkan penyucian dilakukan agar Ātman kembali bersatu dengan Paramātma.
Ada banyak hal yang dapat kita petik dari cerita yang ada dalam kisah Mahabharata yang sudah
di uraikan tadi. Salah satunya adalah kita harus menjalankan yadnya dengan tulus ikhlas. Dengan
menjalankan yadnya secara tulus ikhlas dan dengan hati suci maka niscaya Ida Sang Hyang
Widhi Wasa akan menerima yadnya yang sudah kita buat. Kemudian kita tidak boleh
menertawakan brahmana yang berpenampilan lusuh.

 
DAFTAR PUSTAKA
 

https://mgmplampung.blogspot.co.id/2014/11/yajna-dalam-kisah-mahabharata.html
http://dexputra501.blogspot.co.id/2014/04/nilai-di-dalam-sebuah-keikhlasan-di.html
http://nithaahomework.blogspot.co.id/2014/12/yadnya-dan-kaitannya-dengan-epos.html
http://parwata-lananganom.blogspot.co.id/2008/12/kenapa-ber-yadnya-diambil-dari-milist.html
http://wayantarne.blogspot.co.id/2014/11/kajian-nilai-dan-makna-filosofis-kisah.html
http://dharmagupta.blogspot.co.id/2013/11/tata-cara-perkawinan-hindu-etnis-bali.html
https://id.wikihow.com/Merayakan-Pernikahan-Tradisional-Hindu
 

Anda mungkin juga menyukai