Anda di halaman 1dari 19

Makalah : Perkembangan Nilai Budaya

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT. Karena berkat
limpahan rahmat, taufik serta hidayah Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini Dalam
rangka memenuhi tugas .
Akhirnya Makalah ini dapat kami selesaikan berkat bimbingan dan arahan dari
dosen pengasuh yang memberikan bahan-bahan materi, dan kami mengucapkan terima kasih
ke semua pihak yang telah membantu.
Apabila dalam makalah ini banyak terdapat kekurangan, baik dari segi isi maupun
teknik penulisannya, untuk itu kami mengharapkan kritik, saran dan bimbingan dari semua pihak
untuk perbaikan dimasa yang akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat dan berguna buat kita semua, amien.

Matangglumpangdua, 14 Desember 2014

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
B.Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A.Konsep Nilai,Sistem Nilai dan Orientasi Nilai
1. Konsep Nilai Budaya
2.Sistem Nilai
3.Orientasi Nilai Budaya
B.Sistem Nilai dalam Masyarakat
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral
D.Perbedaan antara Nilai dan Moral
E. Pandangan dari Nilai Masyarakat Terhadap Individu Keluarga dan Masyarakat
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
B.Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Kebudayaan mengandung pengertian yang luas, meliputi suatu perasaan bangsa yang
kompleks. Kompleksitas perkembangan budaya meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni,
hukum, moral, adat istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainya yang di peroleh dari anggota
masyarakat. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki secara bersama oleh
warga suatu masyarakat. Pengetahuan yang telah diakui sebagai kebenaran sehingga
fungsional sebagai pedoman. keseluruhannya digunakan secara selektif dan kontekstual sesuai
dengan kebutuhan atau persoalan yang dihadapi.
Secara sederhana IBD adalah pengetahuan yang diharapkan dapat memberikan
pengetahuan dasar dan pengcrtian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk
mengkaji masalah-masalah dan kebudayaan.
Istilah IBD dikembangkan di Indonesia sebagai pengganti istilah Basic Humanities
yang berasal dari istilah bahasa Inggris “The Humanities’. Adapun istilah Humanities itu
sendiri berasal dari bahasa Latin Humanus yang bisa diartikan manusiawi, berbudaya dan halus
(fefined). Dengan mempelajari The Humanities diandaikan seseorang ‘akan bisa mcnjadi lebih
manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Secara demikian bisa dikatakan bahwa The
Humanities berkaitan dengan masalah nilai-nilai, yaitu nilai-nilai manusia sebagai homo
humanus atau manusia berbudaya. Agar. manusia bisa menjadi humanus, mereka harus
mempelajari ilmu yaitu The Humanities di samping tidak mehinggalkan tanggung jawabnya
yang lain sebagai manusia itu sendiri. Kendatipun demikian, Ilmu Budaya Dasar (atau Basic
Humanities) sebagai satu matakuliah tidaklah identik dengan The Humanities (yang disalin ke
dalam bahasa Indonesia menjadi: Pengetahuan Budaya).
Pengetahuan Budaya (The Humanities) dibatasi sebagai pengetahuan yang mencakup
keahlian cabang ilmu (disiplin) seni dan filsafat. Keahlian ini pun dapat dibagi-bagi lagi ke
dalam berbagai bidang kahlian lain, seperti seni sastra, seni tari, seni musik, seni rupa dan lain-
lain. Sedang Ilmu Budaya Dasar (Basic Humanities) sebagaimana dikemukakan di atas, adalah
usaha yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang
konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan
kebudayaan. Masalah-masalah ini dapat didekati dengan menggunakan pengetahuan budaya
(The Humanities), baik secara gabungan berbagai disiplin dalam pengetahuan budaya ataupun
dengan menggunakan masing-masing keahlian di dalam pengetahuan budaya (The
Humanities). Dengan poerkataan lain, Ilmu Budaya Dasar menggunakan pengertian-pengertian
yang berasa! dari berbagai bidang pengetahuan budaya untuk mengembangkan wawasan
pemikiran dan kepekaan dalam mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan,
Salah satu dasar yang harus dikuasai mahasiswa sebelu membahas dan juga
mempelajari materi tentangIBD maka ada materi yang harus dikuasai dan juga dipahami
dengan baik. Salah satu materi tersebut adalah nilai budaya, penting diketahui karena dengan
memahami nilai budaya ini maka kita akan dapat mengerti hakekat kebudayaan dan dan juga
budaya manusia sehingga tetap dapat hidup dan membuat suatu kebudayaan baru.

B.Rumusan Masalah

1. Konsep Nilai,Sistem Nilai dan Orientasi Nilai


2. Sistem Nilai dalam Masyarakat
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral
4. Perbedaan antara Nilai dan Moral
5. Pandangan dari Nilai Masyarakat Terhadap Individu Keluarga dan Masyarakat

BAB II

PEMBAHASAN

A.Konsep Nilai,Sistem Nilai dan Orientasi Nilai


1. Konsep Nilai Budaya

Theodorson dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang
abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip – prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah
laku. Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai menurut Theodorson relatif sangat kuat
dan bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat sebagai tujuan kehidupan
manusia itu sendiri.
Sedangkan yang dimaksud dengan nilai budaya itu sendiri sduah dirmuskan oleh
beberapa ahli seperti :

◾Koentjaraningrat
Menurut Koentjaraningrat (1987:85) lain adalah nilai budaya terdiri dari konsepsi –
konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai
hal – hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat
dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki
seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara – cara, alat – alat, dan tujuan
– tujuan pembuatan yang tersedia.

◾Clyde Kluckhohn dlam Pelly


Clyde Kluckhohn dalam Pelly (1994) mendefinisikan nilai budaya sebagai konsepsi
umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam,
kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal – hal yang
diingini dan tidak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan orang dengan lingkungan
dan sesama manusia.

◾Sumaatmadja dalam Marpaung


Sementara itu Sumaatmadja dalam Marpaung (2000) mengatakan bahwa pada
perkembangan, pengembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang pula
nilai – nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta
keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya.

Selanjutnya, bertitik tolak dari pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap
individu dalam melaksanakan aktifitas vsosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada
nilai – nilai atau system nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya nilai –
nilai itu sangat banyak mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia, baik secara individual,
kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak
patut
Suatu nilai apabila sudah membudaya didalam diri seseorang, maka nilai itu akan
dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkahlaku. Hal ini dapat dilihat dalam
kehidupan sehari – hari, misalnya budaya gotong royong, budaya malas, dan lain – lain. Jadi,
secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai tujuan
tertentu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang
dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok
atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.

2.Sistem Nilai

Tylor dalam Imran Manan (1989;19) mengemukakan moral termasuk bagian dari
kebudayaan, yaitu standar tentang baik dan buruk, benar dan salah, yang kesemuanya dalam
konsep yang lebih besar termasuk ke dalam ‘nilai’. Hal ini di lihat dari aspek penyampaian
pendidikan yang dikatakan bahwa pendidikan mencakup penyampaian pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai.
Kedudukan nilai dalam setiap kebudayaan sangatlah penting, maka pemahaman tentang
sistem nilai budaya dan orientasi nilai budaya sangat penting dalam konteks pemahaman
perilaku suatu masyarakat dan sistem pendidikan yang digunakan untuk menyampaikan sisitem
perilaku dan produk budaya yang dijiwai oleh sistem nilai masyarakat yang bersangkutan.
Clyde Kluckhohn mendefinisikan nilai sebagai ………. sebuah konsepsi, eksplisit atau
implisit, menjadi ciri khusus seseorang atau sekelompok orang, mengenai hal-hal yang
diinginkan yang mempengaruhi pemilihan dari berbagai cara-cara, alat-alat, tujuan-tujuan
perbuatan yang tersedia. Orientasi nilai budaya adalah ……. Konsepsi umum yang
terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan
manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal-hal yang diingini dan tak
diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan antar orang dengan lingkungan dan sesama
manusia.
Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian dari konsep-konsep abstrak yang hidup
dalam masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai
apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Sistem nilai budaya ini menjado
pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam hidup yang memanifestasi kongkritnya
terlihat dalam tata kelakuan. Dari sistem nilai budaya termasuk norma dan sikap yang dalam
bentuk abstrak tercermin dalam cara berfikir dan dalam bentuk konkrit terlihat dalam bentuk
pola perilaku anggota-anggota suatu masyarakat.
Kluckhohn mengemukakan kerangka teori nilai nilai yang mencakup pilihan nilai yang
dominan yang mungkin dipakai oleh anggota-anggota suatu masyarakat dalam memecahkan 6
masalah pokok kehidupan.

3.Orientasi Nilai Budaya

Kluckhohn dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai budaya


merupakan sebuah konsep beruanglingkup luas yang hidup dalam alam fikiran
sebahagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling berharga dalam hidup.
Rangkaian konsep itu satu sama lain saling berkaitan dan merupakan sebuah sistem nilai – nilai
budaya.
Secara fungsional sistem nilai ini mendorong individu untuk berperilaku
seperti apa yang ditentukan. Mereka percaya, bahwa hanya dengan berperilaku seperti itu
mereka akan berhasil (Kahl, dalam Pelly:1994). Sistem nilai itu menjadi pedoman yang
melekat erat secara emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang, malah merupakan
tujuan hidup yang diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah sistem nilai manusia tidaklah
mudah, dibutuhkan waktu. Sebab, nilai – nilai tersebut
merupakan wujud ideal dari lingkungan sosialnya. Dapat pula dikatakan bahwa
sistem nilai budaya suatu masyarakat merupakan wujud konsepsional dari
kebudayaan mereka, yang seolah – olah berada diluar dan di atas para individu warga
masyarakat itu.
Ada lima masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap kebudayaan yang dapat
ditemukan secara universal. Menurut Kluckhohn dalam Pelly (1994) kelima masalah pokok
tersebut adalah: (1) masalah hakekat hidup, (2) hakekat kerja atau karya manusia, (3) hakekat
kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan alam
sekitar, dan (5) hakekat dari hubungan manusia dengan manusia sesamanya.
Berbagai kebudayaan mengkonsepsikan masalah universal ini dengan
berbagai variasi yang berbeda – beda. Seperti masalah pertama, yaitu mengenai hakekat
hidup manusia. Dalam banyak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Budha misalnya,
menganggap hidup itu buruk dan menyedihkan. Oleh karena itu pola kehidupan masyarakatnya
berusaha untuk memadamkan hidup itu guna
mendapatkan nirwana, dan mengenyampingkan segala tindakan yang dapat
menambah rangkaian hidup kembali (samsara) (Koentjaraningrat, 1986:10).
Pandangan seperti ini sangat mempengaruhi wawasan dan makna kehidupan itu secara
keseluruhan.
Sebaliknya banyak kebudayaan yang berpendapat bahwa hidup itu baik. Tentu konsep
– konsep kebudayaan yang berbeda ini berpengaruh pula pada sikap dan wawasan mereka.
Masalah kedua mengenai hakekat kerja atau karya dalam kehidupan. Ada kebudayaan
yang memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk kelangsungan hidup (survive) semata.
Kelompok ini kurang tertarik kepada kerja keras. Akan tetapi ada juga yang menganggap kerja
untuk mendapatkan status, jabatan dan kehormatan. Namun, ada yang berpendapat bahwa kerja
untuk mempertinggi prestasi. Mereka ini berorientasi kepada prestasi bukan kepada status.
Masalah ketiga mengenai orientasi manusia terhadap waktu. Ada budaya yang
memandang penting masa lampau, tetapi ada yang melihat masa kini sebagai focus usaha
dalam perjuangannya. Sebaliknya ada yang jauh melihat kedepan. Pandangan yang berbeda
dalam dimensi waktu ini sangat mempengaruhi perencanaan hidup masyarakatnya.
Masalah keempat berkaitan dengan kedudukan fungsional manusia terhadap alam. Ada
yang percaya bahwa alam itu dahsyat dan mengenai kehidupan manusia. Sebaliknya ada yang
menganggap alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dikuasai manusia. Akan
tetapi, ada juga kebudayaan ingin mencari harmoni dan keselarasan dengan alam. Cara
pandang ini akan berpengaruh terhadap pola aktivitas masyarakatnya.
Masalah kelima menyangkut hubungan antar manusia. Dalam banyak kebudayaan
hubungan ini tampak dalam bentuk orientasi berfikir, cara bermusyawarah, mengambil
keputusan dan bertindak. Kebudayaan yang menekankan hubungan horizontal (koleteral) antar
individu, cenderung untuk mementingkan hak azasi, kemerdekaan dan kemandirian seperti
terlihat dalam masyarakat – masyarakat eligaterian. Sebaliknya kebudayaan yang menekankan
hubungan vertical cenderung untuk mengembangkan orientasi keatas (kepada senioritas,
penguasa atau pemimpin). Orientasi ini banyak terdapat dalam masyarakat paternalistic
(kebapaan). Tentu saja pandangan ini sangat mempengaruhi proses dinamika dan mobilitas
social masyarakatnya.
Inti permasalahan disini seperti yang dikemukakan oleh Manan dalam Pelly (1994)
adalah siapa yang harus mengambil keputusan. Sebaiknya dalam system hubungan vertical
keputusan dibuat oleh atasan (senior) untuk semua orang. Tetapi
dalam masyarakat yang mementingkan kemandirian individual, maka keputusan dibuat
dan diarahkan kepada masing – masing individu.
Pola orientasi nilai budaya yang hitam putih tersebut di atas merupakan pola yang ideal
untuk masing – masing pihak. Dalam kenyataannya terdapat nuansa atau
variasi antara kedua pola yang ekstrim itu yang dapat disebut sebagai pola transisional.
Kerangka Kluckhohn mengenai lima masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientasi
nilai budaya manusia

B.Sistem Nilai dalam Masyarakat

Di dalam kehidupan sosial berkembang beberapa sistem nilai. Secara garis besar sistem
nilai tersebut dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu:
(1) sistem nilai yang berhubungan dengan benar dan salah yang disebut dengan logika,
(2) sistem nilai yang berhubungan de-ngan baik dan buruk atau pantas dan tidak pantas yang
disebut dengan etika, dan
(3) sistem
Jika nilai merupakan asumsi-asumsi yang bersifat abstrak, maka norma merupakan
bentuk kongrit dari sistem nilai yang ada dalam masyarakat.

Perwujudan norma sosial dapat berbentuk tertulis dan tidak tertulis. Berdasar kekuatan
yang mengikat sistem nilai dalam kehidupan masyarakat, norma sosial dapat digolongkan
dalam beberapa macam, yaitu cara (usage), kebiasaan (folkways), tata susila (mores), adat
istiadat (customs), hukum (laws), dan agama (religion).

1. Cara (Usage)
Cara (usage) terbentuk melalui proses interaksi yang berlangsung secara konstan
sehingga membentuk sebuah pola perilaku tertentu. Sistem nilai yang terikat dalam bentuk
cara (usage) ini relatif lemah sehingga sanksi terhadap pelanggaran norma ini hanyalah sebuah
predikat “tidak sopan” saja. Di antara contoh-contoh norma ini adalah berdecak atau
bersendawa di waktu makan, mengeluarkan ingus di sembarang tempat, buang air sambil
berdiri di pinggir jalan, dan lain sebagainya.

2. Kebiasaan (Folkways)
Perilaku yang terjadi secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama akan membentuk
kebiasaan (folkways). Norma ini diakui keberadaannya di tengah-tengah masyarakat sebagai
salah satu standar dalam interaksi sosial. Kebiasaan (folkways) tergolong sebagai norma ringan
sehingga pelanggaran terhadap norma ini akan dikenai sanksi berupa gunjingan, sindiran, atau
teguran. Di antara contoh dari norma ini adalah menerima pemberian dengan tangan kanan,
makan dengan tangan kanan, mengetuk pintu jika ingin memasuki kamar orang lain, memberi
salam pada saat bertamu, menerima tamu dengan ramah dan sopan.

3. Adat Istiadat (Customs)


Adat istiadat (customs) adalah tata perilaku yang telah berpola dan terintegrasi secara
tetap dalam suatu masyarakat serta mengikat peri kehidupan masyarakat tersebut dalam
atau teguran. Di antara contoh dari norma ini adalah menerima pemberian dengan tangan
kanan, makan dengan tangan kanan, mengetuk pintu jika ingin memasuki kamar orang lain,
memberi salam pada saat bertamu, menerima tamu dengan ramah dan sopan.

3. Adat Istiadat (Customs)


Adat istiadat (customs) adalah tata perilaku yang telah terpola dan terintegrasi secara
tetap dalam suatu masyarakat serta mengikat peri kehidupan masyarakat tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Pelanggaran terhadap norma adat akan dikenakan sanksi yang cukup
berat, seperti dikucilkan dari masyarakat karena dianggap sebagai pangkal masalah dalam
tata kehidupan masyarakat tersebut.

4. Agama (Religion)
Ajaran-ajaran agama memegang peranan yang sangat vital sebagai pedoman dalam
menjalani kehidupan secara benar, yakni mengajarkan tentang hubungan antara manusia
dengan Tuhan, hubungan antara sesama manusia, dan hubungan antara manusia dengan
makhluk lainnya. Pemahaman dan penerapan ajaran agama secara benar akan menciptakan tata
kehidupan yang harmonis. Sebaliknya, pelanggaran terhadap norma-norma agama akan
menimbulkan konflik, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat sosial.
Norma-norma agama dilaksanakan berdasarkan keimanan dan ketakwaan. Pelanggaran
terhadap norma agama akan dikenakan sanksi-sanksi tertentu, baik sanksi yang dikenakan di
dunia maupun sanksi yang diyakini akan terjadi di akhirat kelak. Agama memang sangat sarat
dengan ajaran-ajaran tentang pola kehidupan yang baik dan benar untuk kebahagiaan di dunia
maupun kebahagiaan di akhirat kelak.

5. Hukum (Laws)
Hukum (laws) merupakan aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat yang berupa
ketentuan, perintah, kewajiban, dan larangan, agar tercipta keamanan, ketertiban, dan keadilan.
Berdasarkan wujudnya, hukum (laws) terdiri atas dua macam, yaitu
1. hukum tertulis, yakni aturan-aturan yang dikodifikasikan dalam bentuk kitab undang-undang.
Dan
2. hukum tidak tertulis (konvensi), yakni aturan-aturan yang diyakini keberadaannya secara adat
meskipun tidak dikodifikasikan dalam bentuk kitab undang-undang.
Dibandingkan dengan norma-norma lainnya, hukum merupakan norma yang paling
tegas. Pelanggaran terhadap norma hukum ini akan dikenakan sanksi sesuai dengan aturan-
aturan yang terdapat dalam hukum tersebut. Untuk menegakkan hukum pemerintah
membentuk lembaga penegak hukum seperti mahkamah agung, lembaga kehakiman,
kepolisian, dan sebagainya.
Dibandingkan dengan norma-norma lainnya, hukum merupakan norma yang paling
tegas. Pelanggaran terhadap norma hukum ini akan dikenakan sanksi sesuai dengan aturan-
aturan yang terdapat dalam hukum tersebut. Untuk menegakkan hukum pemerintah
membentuk lembaga penegak hukum seperti mahkamah agung, lembaga kehakiman,
kepolisian, dan sebagainya.

6. Mode (Fashion)
Mode (fashion) merupakan gaya hidup yang berkembang di tengah-tengah kehidupan
masyarakat dalam waktu-waktu tertentu. Pada dasarnya gaya hidup merupakan penampilan
tertentu yang sedang trend dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan demikian mode
(fashion) dapat dilihat pada model rambut, model pakaian, model kendaraan, model rumah,
model perilaku yang ditunjukkan dalam acara-acara tertentu, dan sebagainya. Mode (fashion)
dianggap sebagai cermin kehidupan modern, sehingga orang yang tidak mengikuti mode
biasanya akan dianggap ketinggalan zaman.
Berkembangnya mode yang melampaui batas seperti pakaian seksi, rumah mewah,
mobil mewah, kehidupan seronok, dan sebagainya dapat menciptakan konflik baik yang
bersifat individual maupun yang bersifat sosial. Oleh karena itu berkembangnya mode
(fashion) perlu diimbangi dengan penanaman norma-norma agama yang mantap sehingga
masyarakat akan terhindar dari pengaruh-pengaruh negatif yang berasal dari perkembangan
dunia mode (fashion).

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap
individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat
dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi,
pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap individu
yang tumbuh dan berkembang di dalam dirinya.
Remaja yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola asuh
bina kasih, dan religius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki budi
luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan perilaku terpuji. Sebaliknya insividu ytang tumbuh dan
berkembang dengan kondisi psikologis yang penuh dengan konflik, pola interaksi yang tidak
jelas, pola asuh yang tidak berimbang dan kurang religius maka harapan agar anak dan remaja
tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi,
dan sikap perilaku terpuji menjadi diragukan.
Perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang
yang dianggapnya sebagai model. Bagi anak-anak usia 12 dan 16 tahun, gambaran ideal yang
diidentifikasikan adalah orang-orang dewasa yang berwibawa atau simpatik, orang-orang
terkenal, dan hal-hal yang ideal yang diciptakannya sendiri.
Menurut ahli psikoanalisis, moral dan nilai menyatu dalam konsep superego. Superego
dibentuk melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari
luar (khususnya dari orang tua). Oleh karena itu, anak yang tidak memiliki hubungan harmonis
dengan orangtuanya dimasa kecil, kemungkinan besar tidak akan mampu mengembangkan
superego yang cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma
sosial.
Hubungan anak dengan orangtua bukanlah satu-satunya sarana pembentukan moral.
Para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat mempunyai peran penting dalam pembentukan
moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya control dari masyarakat itu sendiri
yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat si pelanggar (Sarlito, 1992:92).

D.Perbedaan antara Nilai dan Moral

Dalam membahas nilai ini biasanya membahas tentang pertanyaan mengenai mana
yang baik dan mana yang tidak baik dan bagaimana seseorang untuk dapat berbuat baik serta
tujuan yang memiliki nilai. Pembahasan mengenai nilai ini sangat berkaitan dangan
pembahasasn etika. Kajian mengenai nilai dalam filsafat moral sangat bermuatan normatif dan
metafisika. Etika merupakan sinonim dari akhlak. Kata ini berasal dari bahasa Yunani yakni
ethos yang berarti adat kebiasaan.
Sedangkan yang dimaksud kebiasaan adalah kegiatan yang selalu dilakukan berulang-
ulang sehingga mudah untuk dilakukan seperti merokok yang menjadi kebiasaan bagi pecandu
rokok. Sedangkan etika menurut filasafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana
yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang
dapat diketahui oleh akal pikiran. Etika membahasa tentang tingkah laku manusia.
Ada orang berpendapat bahwa etika dan akhlak adalah sama. Persamaan memang ada
karena kedua-duanya membahas baik dan buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam
pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia disetiap waktu dan
tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal
pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan,
karena pandangan masing-masing golongan dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai
ukuran (kriteria) yang berlainan.
Apabila kita menlusuri lebih mendalam, maka kita dapat menemukan secara jelas
persamaan dan perbedaan etika dan akhlak. Persamaan diantara keduanya adalah terletak pada
objek yang akan dikaji, dimana kedua-duanya sama-sama membahas tentang baik buruknya
tingkah laku dan perbuatan manusia. Sedangkan perbedaannya sumber norma, dimana akhlak
mempunyai basis atau landasan kepada norma agama yang bersumber dari hadist dan al Quran.
Para ahli dapat segera mengetahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai.
berikut.Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbutaan
yang dilakukan oleh manusia. Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal
pikiran dan filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutla, absolut dan tidak
pula universal. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan
penetap terhadap suatu perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, terhina
dsb. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-rubah sesuai
tuntutan zaman. Dengan ciri-ciri yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia
untuk dikatakan baik atau buruk. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku
yang dihasilkan oleh akal manusia.Penganut Islam tidak akan terjamin dari ancaman
kehancuran akhlak yang menimapa umat, kecuali apabila kita memiliki konsep nilai-nilai yang
konkret yang telah disepakati islam, yaitu nilai-nilai absolut yang tegak berdiri diatas asas yang
kokoh. Nilai absolut tersebut adalah kebenaran dan kebaikan sebagai nilai-nilai yang akan
mengantarkan kepada kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat secara individual dan sosial.
Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan
manusia, mana yang baik dan mana yang wajar. Antara nilai etika dan moral memang memiliki
kesamaan. Namun, ada pula berbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan
moral lebih banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat, etika memandang tingkah
laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal. Moral
menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu. Namun demikian, dalam beberapa hal antara
etika dan moral memiliki perbedaan. kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai
perbutan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan
dalam pembicaran moral tolak ukur yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan
berkembang dan berlangsung di masyarakat.

Istilah moral senantiasa mengaku kepada baik buruknya perbuatan manusia sebagai
manusia. Inti pembicaraan tentang moral adalah menyangkut bidang kehidupan manusia dinilai
dari baik buruknya perbutaannya selaku manusia. Norma moral dijadikan sebagai tolak ukur
untuk menetapkan betul salahnya sikap dan tindakan manusia, baik buruknya sebagai manusia.
Melihat dari uraian diatas nilai ( value ) adalah tolak ukur dari etika yang dimiliki oleh
setiap manusia. Penanaman nilai dalam diri peserta didik sangatlah penting. Kebutuhan akan
penanaman pendidikan nilai mulai nampak dan dirasakan penting setelah maraknya berbagai
bentuk penyimpangan asusila, amoral di tengah masyarakat. Hampir setiap hari ada saja
pemberitaan di media cetak dan elektronik tentang pembunuhan, pemerkosan, seks bebas di
luar nikah, aborsi, peredaran dan pemakaian narkoba, bahkan pernah dilansir kasus pemerasan
yang dilakukan geng anak usia sekolah dasar (SD). Tentu hal ini membuat gelisah dan cemas
terutama akan dirasakan oleh para orangtua termasuk pihak lembaga sekolah yang mengemban
tugas melakukan untuk mendidik, melatih dan membimbing anak didiknya. Ini persoalan serius
dan perlu mendapat perhatian ekstra khususnya bagi pelaku-pelaku dunia pendidikan.
Ketidakseimbangan desain pendidikan yang hanya memfokuskan pada pencapaian
aspek intelektual atau ranah kognitif semata dan mengambaikan aspek penanaman dan
pembinaan nilai/sikap diduga sebagai penyebab munculnya degradasi atau demoralisasi
terutama yang dialami oleh anak sekolah. Gaffar (Sauri: 2009) menyebutkan bahwa pendidikan
bukan hanya sekedar menumbuhkan dan mengembangkan keseluruhan aspek kemanusiaan
tanpa diikat oleh nilai, tetapi nilai itu merupakan pengikat dan pengarah proses pertumbuhan
dan perkembangan tersebut. Nilai sebagai sesuatu yang berharga, baik, luhur, diinginkan dan
dianggap penting oleh masyarakat pada gilirannya perlu diperkenalkan pada anak. Sanjaya
(2007) mengartikan nilai (value) sebagai norma-norma yang dianggap baik oleh setiap
individu. Inilah yang menurutnya selanjutnya akan menuntun setiap individu menjalankan
tugas-tugasnya seperti nilai kejujuran, nilai kesederhanaan, dan lain sebagainya. Mulyana
(2004) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari
dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya.
Pendidikan nilai tidak hanya merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata
pelajaran, akan tetapi mencakup keseluruhan program pendidikan. Nursid Sumaatmadja (2002)
menambahkan bahwa pendidikan nilai ialah upaya mewujudkan manusia seutuhnya yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
manusiawi dan berkepedulian terhadap kebutuhan serta kepentingan orang lain; yang intinya
menjadi manusia yang terdidik baik terdidik dalam imannya, ilmunya maupun akhlaknya serta
menjadi warga negara dan dunia yang baik (well educated men and good citenship).
Sebagai perbandingan, penerapan konsep-konsep pendidikan nilai menurut Sofyan
Sauri (2007) pernah diterapkan pada sebuah lembaga pendidikan di Thailand dengan
menggunakan suku kata yang terdapat dalam kata EDUCATION yang memiliki arti sebagai
sebagai berikut.
(E) Singkatan untuk Enlightenment (pencerahan). Ini adalah proses pencapaian
pemahaman dari dalam diri atau bathin melalui peningkatan kesadaran menuju pikiran super
sadar yang akan memunculkan intuisi, kebijaksanaan, dan pemahaman.
(D) Singkatan untuk Duty and Devotion (tugas dan pengabdian). Pendidikan harus
membuat siswa menyadari tugasnya dalam hidup. Selain memiliki tugas atau kewajiban yang
terhadap orang tua dan keluarga, siswa juga memiliki kewajiban yang berlandaskan cinta kasih
dan belas kasih untuk melayani dan menolong semua orang di masyarakat dan di dunia.
(U) Singkatan untuk Understanding (pemahaman). Ini bukan hanya mengenai
pemahaman terhadap mata pelajaran yang diberikan dalam kurikulum nasional tetapi juga
penting untuk memahami diri sendiri.
(C) Singkatan untuk Character (karakter). Guru mesti membentuk karekter yang baik
pada diri siswa. Seorang yang berkarakter adalah seorang yang memiliki kekuatan moral dan
lima nilai kemanusiaan yaitu Kebenaran, Kebajikan, Kedamaian, Kasih sayang dan tanpa
Kekerasan. Nilai kemanusiaan tersebut harus terpadu dalam pembelajaran di kelas.
(A) Singkatan untuk Action (tindakan). Para siswa kini belajar dengan giat dan
menuangkan pengetahuan yang dipelajarinya dalam ruang ujian dan keluar dengan kepala
kosong. Pengetahuan yang mereka peroleh tidak diterapkan dalam tindakan. Pendidikan seperti
itu tak berguna. Apapun yang dipelajari siswa mesti diterapkan dalam praktek. Model
pembelajaran yang baik mesti membuat hubungan antara yang dipelajari dan situasi nyata
dalam hidup. Hal ini akan memungkinkan siswa mengaplikasikan pengetahuan ke dalam hidup
mereka sendiri.
(T) Singkatan untuk Thanking (berterima kasih). Siswa mesti belajar berterima kasih
kepada orang-orang yang telah membantu mereka. Di atas segalanya adalah orang tua yang
telah melahirkan dan mengasuh mereka. Siswa harus mengasihi dan menghormati orang tua
mereka. Selanjutnya siswa harus berterima kasih kepada guru-guru, karena siswa memperoleh
pengetahuan dan kebijaksanaan melalui guru-guru. Maka siswa mesti mengasihi dan
menghormati guru. Demikian pula, siswa telah mendapatkan banyak hal dari masyarakat, dari
bangsa, dari dunia, dan alam. Siswa mesti selalu berterima kasih kepada semua hal.
(I) Singkatan untuk Integrity (Integritas).. Integritas adalah sifat jujur dan karakter
menjunjung kejujuran. Siswa mesti tumbuh menjadi seseorang yang memiliki integritas, yang
bisa dipercaya untuk menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing.
(O) Singkatan untuk Oneness (kesatuan). Pendidikan mesti membantu siswa melihat
kesatuan dalam kemajemukan. Apakah kita memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda,
warna kulit dan ras yang berbeda. Kita mesti belajar hidup damai dan harmonis dengan alam.
(N) Singkatan untuk Nobility (kemuliaan). Kemuliaan adalah sifat yang muncul karena
memiliki karakter yang tinggi atau mulia. Kemuliaan tidak timbul dari lahir tetapi muncul dari
pendidikan.Jadi, kemuliaan terdiri dari semua nilai-nilai yang dijelaskan di atas.

Oleh karena itu, antara nilai dan moral sebenarnya tidak begitu jauh dalam pengertian
dan maknanya, akan tetapi ada sedikit perbedaan diantaranya; nilai lebih berorentasi pada hasil
yang di dapat dari sebuah jenjang penidikan, sedangkan moral adalah merupaka penerapan
nilai yang di dapat di bangku sekolah/ pendidikan yang di ukur oleh masyarakat dengan
memakai ukuran baik atau buruknya kelakuan seseorang dalam hidup bermasyarakat.

E. Pandangan dari Nilai Masyarakat Terhadap Individu Keluarga dan Masyarakat

Kluckhohn mengemukakan kerangka teori nilai nilai yang mencakup pilihan nilai yang
dominan yang mungkin dipakai oleh anggota-anggota suatu masyarakat dalam memecahkan 6
masalah pokok kehidupan, sebagai berikut:
Masalah pertama, yang dihadapi manusia dalam semua masyarakat adalah bagaimana
mereka memandang sesamanya, bagaimana mereka harus bekerja bersama dan bergaul dalam
suatu kesatuan sosial. Hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat tersebut dapat
mempunyai beberapa orientasi nilai pokok, yaitu yang bersifat linealism, collateralism, dan
indiviualism. Inti persoalannya adalah siapa yang harus mengambil keputusan.
 Masyarakat dengan orientasi nilai yang lineal orang akan berorientasi kepada seseorang untuk
membuatkan keputusan bagi semua anggota kelompok.
 Masyarakat dengan orientasi nilai yang collateral, orientasi nilai akan berpusat pada kelompok.
Kelompoklah yang mempunyai keputusan tertinggi.
 Masyarakat dengan orientasi individualism, semua keputusan dibuat oleh individu-individu.
Individualisme menekankan hak tertinggi individu dalam mengambil keputusan-keputusan
dalam memecahkan berbagai permasalahan kehidupan.
Masalah Kedua, Setiap manusia berhadapan dengan waktu. Setiap kebudayaan
menentukan dimensi dimensi waktu yang dominan yang menjadi ciri khas kebudayaan
tersebut. Secara teoritis ada tida dimensi waktu yang dominan yang menjadi orientasi nilai
kebudayaan suatu masyarakat, yaitu yang berorientasi ke masa lalu, masa sekarang, dan masa
depan. Dimensi waktu yang dominan akan menjiwai perilaku anggota-anggota suatu
masyarakat yang sangat berpengaruh dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
pengejaran kemjuan.
Masalah Ketiga, Setiap manusia berhubungan dengan alam. Hubungan dapat berbentuk
apakah alam menguasai manusia, atau hidup selaras dengan alam, atau manusia harus
menguasai alam.
Masalah Keempat, Masalah yang mendasar yang dihadapi manusia adalah masalah kerja.
Apakah orang berorientasi nilai kerja sebagai sesuatu untuk hidup saja, ataukah kerja
untukmencari kedudukan, ataukah kerja untuk menghasilkan kerja yang lebih banyak.
Masalah Kelima, Masalah kepemilian kebudayaan. Alternatif pemilikan kebudayaan yang
tersedia adalah suatu kontinum antara pemilikan kebudayaan yang berorientasi pada
materialisme atau yang berorientasi pada spiritualisme. Ada kesan bahwa kebudayaan barat
sangat berorientasi kepada materialisme sedang kebudayaan timur sangat berorientasi kepada
spiritualisme.
Masalah Keenam, Apakah hakekat hidup manusia. Orientasi nilai yang tersedia adalah
pandangan-pandangan bahwa hidup itu sesuatu yang baik, sesuatu yang buruk, atau sesuatu
yang buruk tetapi dapat disempurnakan.
Ahli lain yang menganalisa nilai inti atau pola orientasi nilai suatu masyarakat adalah
Talcots Parson. Dia telah memperkembangkan suatu taksonomi nilai dasar yang dinamakannya
”pattern variables” yang menentukan makna situasi-situasi tertentu dan cara memecahkan
dilemma pengambilan keputusan. Lima pattern tersebut adalah:
1. Dasar-dasar pemilihan objek terhadap mana sebuah orientasi berlaku, yaitu apakah pemilihan
ditentukan oleh keturunan (ascription) atau keberhasilan (achievement).
2. Kepatutan atau ketak-patutan pemuasan kebutuhan melalui tindakan ekspresif dalam konteks
tertentu, yaitu apakah pemuasan yang patut harus disarankan atas pertimbangan perasaan,
(affectivity) atau netral perasaan (affective neutrality).
3. Ruang lingkup perhatian dan kewajiban terhadap sebuah objek yaitu apakah perhatian harus
jelas dan tegas untuk sesuatu (specificity) atau tidak jelas dan tegas, atau berbaur (diffuseness).
4. Tipe norma yang menguasai orientasi terhadap suatu objek yaitu apakah norma yang berlaku
bersifat universal (universlism) atau normanya bersifat khusus (particularism).
5. Relevan atau tidak relevannya kewajiban-kewajiban kolektif dalam konteks tertentu, yaitu
apakah kewajiban-kewajiban didasarkan kepada orientasi kepentingan pribadi (self-
orientation) atau kepentingan kolektif (collective orientation).
Menurut pandangan Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang menggunakan struktur
nilai-nilai yang universal yang ada dalam masyarakat manusia. Menurut STA yang dinamakan
kebudayaan adalah penjelmaan dari nilai-nilai. Bagian penting adalah adalah membuat
klasifikasi nilai yang universal yang ada dalam masyarakat manusia. Dia merasa klasifikasi
nilai yang digunakan E. Spranger adalah yang terbaik untuk dipakai dalam melihat kebudayaan
umat manusia. Spranger mengemukakan ada 6 nilai pokok dalam setiap kebudayaan, yaitu:
1. Nilai teori yang menentukan identitas sesuatu.
2. Nilai ekonomi yang berupa utilitas atau kegunaan.
3. Nilai agama yang berbentuk das Heilige atau kekudusan.
4. Nilai seni yang menjelmakan expressiveness atau keekspresian.
5. Nilai kuasa atau politik.
6. Nilai solidaritas yang menjelma dalam cinta, persahabatan, gotong royong dan lain-lain.
Keenam nilai ini masing-masing mempunyai logika, tujuan, norma-norma, maupun
kenyataan masing-masing.
Menurut STA nilai-nilai yang dominan yang berfungsi menyusun organisasi
masyarakat adalah nilai kuasa dan nilai solidaritas.
Didalam hidupnya manusia dinilai !! atau akan melakukan sesuatu karena nilai. Nilai
mana yang akan dituju tergantung kepada tingkat pengertian akan nilai tersebut.
Misalnya, seorang yang telah melakukan pembunuhan kemudian ia melakukan
pengakuan dosa dihadapan pendeta dan dalam pengakuannya itu ia benar-benar
menggambarkan suatu kesalahan atau dosa. Hal ini karena dilatarbelakangi nilai ketuhanan
atas nilai baik dan buruk menurut agama, sehingga membunuh itu dosa hukumnya dan yang
melakukannya itu salah.
Berbeda dengan orang yang menganggap hal itu suatu pembelaan yang harus ditempuh,
maka pembunuhan bukanlah merupakan suatu kesalahan, akan tetapi merupakan kebanggaan
yang harus dijunjung seperti budaya ‘carok’ pada etnis Madura (carok merupakan budaya
Madura masa silam, yang menjunjung tinggi harga diri keluarga jika kehormatannya diganggu,
maka carok adalah penyelesaian yang terhormat)
Di lain pihak, semakin seseorang bersikap setia pada tuntutan-tuntutan moral, semakin
ia membuka diri terhadap dunia nilai-nilai dan realitas rohani. Boleh dikatakan bahwa ia
menjadi sekodrat dengan mereka. Ia mencintai mereka, dan dengan demikian dapat melihat arti
suatu jalan menuju kepada realitas rohani dan nilai yang terutama, yaitu Tuhan. Sehingga ia
mengerti arti baik dan buruk atau salah dan benar dalam berperilaku !
Sebelum sesuatu itu ada (sebagai landasan etis) maka nilai baik dan buruk atau dosa
dan pahala itu tidak ada, sehingga setiap perbuatan memerlukan sandaran nilai untuk dapat
dipertanggung jawabkan atas nilai perbuatan seseorang itu !! Dalam kaidah usul fikihnya kullu
syain ibahah illa ma dalla daliilu `ala khilaafihi setiap sesuatu itu adalah kebolehan sehingga
sampai ada dalil yang menentukan nilai (haram atau halal)
Jika setiap perbuatan tidak memiliki landasan nilai, maka akan sulit kita menentukan
bagaimana kita mengatakan perbuatan itu baik atau buruk, walaupun menurut pandangan etika
umum menyatakan perbuatan itu buruk, misalnya orang primitif memiliki kebiasaan tidak
memakai baju bahkan hanya memakai koteka (terbuat dari kulit labu untuk menutup
kemaluan), dia tidak akan mengerti kalau hal itu dikatakan telah bersalah karena tidak menutup
auratnya…mereka justru bingung dengan pernyataan kita ..mengapa hal ini salah ???? baginya
tidak masuk akal …mengapa orang-orang modern itu melarangnya memakai koteka ??? kalau
hal itu dikatakan tidak etis …etis menurut siapa ???
Sebuah nilai muncul dari kesepakan dalam sebuah kaum, …kaum primitif memiliki
kesepakatan nilai yang menjadi landasan etis untuk mengetahui sesuatu itu baik atau buruk …
Dan dalam suatu masyarakat modern setiap tindakannya akan mengacu kedalam perudang-
undangan yang telah disepakati bersama dalam sebuah majelis musyawarah yang diperjuangan
wakil-wakilnya dalam sebuah parlemen, sehingga menghasilkan sebuah tata hukum positip
untuk menilai dan menindak sesuatu boleh atau tidak boleh.
Narkotika, sebelum disepakati sebagai barang haram merupakan benda yang digemari
para bangsawan dan para kafilah, artinya barang ini tidak memiliki nilai apa-apa secara hukum
(kebolehan) ketika tidak diketahui manfaat dan mudharatnya, sehingga bagi pemakainya
merupakan kebolehan (halal) dan tindakannya tidak dikatakan buruk (bersalah). Namun setelah
kita sepakat bahwa narkotika itu membahayakan dan menurut hukum positip itu dilarang maka
perbuatan si pemakai itu suatu keburukan, bahkan dikatakan sebagai kejahatan yang harus
diperangi ….
Jadi kesimpulannya adalah setiap perbuatan itu bisa dikatakan baik atau buruk jika
perbuatan itu di landasi nilai etis terhadap sesuatu …Bagi orang tidak memiliki landasan dalam
tindakannya maka orang tersebut bisa dikategorikan dalam tiga gologan yang disebut dalam
sebuah hadist, yaitu: Anak-anak yang belum sampai akil baligh Orang tidur sampai bangun,
Orang gila sampai ia sadar, Mereka ini tidak mendapatkan sanksi hukum positif dalam setiap
tindakannya, karena perbuat-annya tidak memiliki tindakan dasar nilai etis
Ada beberapa landasan populer yang di gunakan dalam masyarakat dunia antara lain :
Etika ketuhanan ( agama. Islam, kristen, hindu, budha, katolik,dll), Etika budaya ( etika jawa,
sunda, melayu, adat dll), Filsafat (Yunani, Tao, komunis, pancasila, dll), Budaya primitip dll
Di dalam Islam, pengertian nilai yang dimaksud adalah bahwa manusia memahami apa
yang baik dan buruk serta ia dapat membedakan keduanya dan selanjutnya mengamalkannya.
Pengertian tentang baik dan buruk tidak dilalui oleh pengalaman, akan tetapi telah ada sejak
pertama kali ruh ditiupkan.
“Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) keburukan dan kebaikan” ( QS. 91:7-8)
Pengertian (pemahaman) baik dan buruk merupakan asasi manusia yang harus
diungkap lebih jelas, atas dasar apa kita melakukan sesuatu amalan.
Imam Alghazaly menamakan pengertian apriori sebagai pengertian awwali. Dari mana
pengertian-pengertian tersebut diperoleh, sebagaimana ucapannya:
“Pikiran menjadi sehat dan berkeseimbangan kembali dan dengan aman dan yakin
dapat ia menerima kembali segala pengertian-pengertian awwali dari akal itu. Semua itu terjadi
tidak dengan mengatur alasan atau menyusun keterangan , melainkan dengan nur (cahaya) yang
dipancarkan Allah Swt, kedalam bathin dari ilmu ma’rifat. “
Disini, Alghazaly mengembalikannya kedasar pengertian awwali yaitu pengertian
ilahiyah, sedang Plato menyebutnya “idea”. Ia mengungkapkan bahwa “idea” hakekatnya
sudah ada, tinggal manusia mencarinya dengan cara kontemplasi atau bagi seniman biasa
disebut mencari inspirasi. Jelasnya “idea” bukan timbul dari pengalaman atau ciptaan pikiran
sehingga menghasilkan idea
Dan idea-idea ini bersifat murni, tidak mengandung nilai baik atau buruk dan bersifat
universal, sebelum turun sampai kepada kesepakatan hukum positif. Misalnya seorang yang
mendapatkan ide membuat ilustrasi mengenai lengkuk tubuh manusia adalah murni sebuah ide,
… tidak ada nilai baik ataupun buruk dalam ide tersebut, kecuali setelah ada kesepakatan
bahwa gambar itu mengandung pengaruh yang sangat buruk dalam masyarakat tertentu, akan
tetapi sebaliknya gambar itu sekaligus merupakan sesuatu yang baik jika di kaitkan dengan
kajian ilmu kedokteran dalam mengungkapkan fakta dalam anatomi tersebut…..

BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

1. Nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di
dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan
tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.
2. Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian dari konsep-konsep abstrak yang hidup dalam
masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga menjadi pedoman
dan pendorong perilaku manusia dalam hidup yang memanifestasi kongkritnya terlihat dalam
tata kelakuan. Dari sistem nilai budaya termasuk norma dan sikap yang dalam bentuk abstrak
tercermin dalam cara berfikir dan dalam bentuk konkrit terlihat dalam bentuk pola perilaku
anggota-anggota suatu masyarakat.
3. Orientasi atau focus dari nilai budqaya adalah untuk membahas dan juga menyelesaikan 5
permasalahan dalam hidup yaitu
(1) masalah hakekat hidup
(2) hakekat kerja atau karya manusia,
(3) hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu,
(4) hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan
(5) hakekat dari hubungan manusia dengan manusia sesamanya.
Tindakan nilai merupakan hal asasi yang terpenting untuk menentukan sesuatu baik
atau buruk. Kalau hal ini sudah jelas maka kita akan bisa berkata perbuatan saya salah atau
perbuatan saya baik, maka berdosalah saya jika demikian dan berpahalalah tindakan saya jika
demikian. Islam menekankan setiap tindakan harus dilandasi niat lillahita’ala (karena Allah
ta’ala) untuk membedakan tindakan etis selain Allah, sehingga jika tidak dilandasi niat karena
Allah, maka perbuatannya tidak diterima oleh Allah Swt.

B.Saran

Dengan adanya makalah ini, semoga kalian dapat memahami dan mengerti tentang
Perkembangan Nilai Budaya .selain dari itu saya juga mengharapkan kritikan dari kalian
semua, agar dapat membangun atau untuk menyempurnakan pembuatan makalah yang
selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

https://asrikoe.wordpress.com/2011/12/22/nilai-dan-norma-dalam-kehidupan-masyarakat/
www.google.com

/ 20 feb 2018 23:18

https://miswarymyusuf.blogspot.co.id/2015/07/makalah-perkembangan-nilai-budaya.html

Anda mungkin juga menyukai