Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

TENTANG NILAI-NILAI BUDAYA

Mata Kuliah : Wawasan Budaya Melayu

Di Susun Oleh :
Al Dzikra Firqatul Jannah (2286207001)

Dosen pengampu : Mutiara Hartika, M.Kom.

PROGRAM STUDI S1 PG-PAUD


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TUANKU TAMBUSAI
TP.2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala  puji  dan  syukur  kami  panjatkan  kepada  ALLAH  SWT.   Karena berkat
limpahan    rahmat,    taufik   serta    hidayah Nya kami   dapat menyelesaikan makalah ini
Dalam rangka memenuhi  tugas .
             Akhirnya  Makalah  ini  dapat   kami  selesaikan  berkat bimbingan dan arahan dari
dosen  pengasuh   yang   memberikan  bahan-bahan  materi, dan kami mengucapkan terima kasih
ke semua pihak yang telah membantu.
            Apabila  dalam  makalah  ini banyak terdapat kekurangan, baik dari segi isi maupun
teknik  penulisannya, untuk itu kami mengharapkan kritik, saran dan bimbingan dari semua
pihak untuk perbaikan dimasa yang akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat  dan berguna buat kita semua, amiiin.

                                                                       

                                                                                                            Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
B.Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A.Konsep Nilai,Sistem Nilai dan Orientasi Nilai
1. Konsep Nilai Budaya
2.Sistem Nilai
3.Orientasi Nilai Budaya
B.Sistem Nilai dalam Masyarakat
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral
D.Perbedaan antara Nilai dan Moral
E. Pandangan dari Nilai Masyarakat Terhadap Individu Keluarga dan Masyarakat
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
B.Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

            Kebudayaan mengandung pengertian yang luas, meliputi suatu perasaan bangsa yang
kompleks. Kompleksitas perkembangan budaya meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni,
hukum, moral, adat istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainya yang di peroleh dari anggota
masyarakat. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki secara bersama oleh
warga suatu masyarakat. Pengetahuan yang telah diakui sebagai kebenaran sehingga
fungsional sebagai pedoman. keseluruhannya digunakan secara selektif dan kontekstual
sesuai dengan kebutuhan atau persoalan yang dihadapi.
Secara sederhana IBD adalah pengetahuan yang diharapkan dapat memberikan
pengetahuan dasar dan pengcrtian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk
mengkaji masalah-masalah dan kebudayaan.
Istilah IBD dikembangkan di Indonesia sebagai pengganti istilah Basic Humanities
yang berasal dari istilah bahasa Inggris “The Humanities’. Adapun istilah Humanities itu
sendiri berasal dari bahasa Latin Humanus yang bisa diartikan manusiawi, berbudaya dan
halus (fefined). Dengan mempelajari The Humanities diandaikan seseorang ‘akan bisa
mcnjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Secara demikian bisa dikatakan
bahwa The Humanities berkaitan dengan masalah nilai-nilai, yaitu nilai-nilai manusia sebagai
homo humanus atau manusia berbudaya. Agar. manusia bisa menjadi humanus, mereka harus
mempelajari ilmu yaitu The Humanities di samping tidak mehinggalkan tanggung jawabnya
yang lain sebagai manusia itu sendiri. Kendatipun demikian, Ilmu Budaya Dasar (atau Basic
Humanities) sebagai satu matakuliah tidaklah identik dengan The Humanities (yang disalin
ke dalam bahasa Indonesia menjadi: Pengetahuan Budaya).
Pengetahuan Budaya (The Humanities) dibatasi sebagai pengetahuan yang mencakup
keahlian cabang ilmu (disiplin) seni dan filsafat. Keahlian ini pun dapat dibagi-bagi lagi ke
dalam berbagai bidang kahlian lain, seperti seni sastra, seni tari, seni musik, seni rupa dan
lain-lain. Sedang Ilmu Budaya Dasar (Basic Humanities) sebagaimana dikemukakan di atas,
adalah usaha yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum
tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan
kebudayaan. Masalah-masalah ini dapat didekati dengan menggunakan pengetahuan budaya
(The Humanities), baik secara gabungan berbagai disiplin dalam pengetahuan budaya
ataupun dengan menggunakan masing-masing keahlian di dalam pengetahuan budaya (The
Humanities). Dengan poerkataan lain, Ilmu Budaya Dasar menggunakan pengertian-
pengertian yang berasa! dari berbagai bidang pengetahuan budaya untuk mengembangkan
wawasan pemikiran dan kepekaan dalam mengkaji masalah-masalah manusia dan
kebudayaan,
Salah satu dasar yang harus dikuasai mahasiswa sebelu membahas dan juga
mempelajari materi tentangIBD maka ada materi yang harus dikuasai dan juga dipahami
dengan baik. Salah satu materi tersebut adalah nilai budaya, penting diketahui karena dengan
memahami nilai budaya ini maka kita akan dapat mengerti hakekat kebudayaan dan dan juga
budaya manusia sehingga tetap dapat hidup dan membuat suatu kebudayaan baru.

B. Rumusan Masalah

1.            Konsep Nilai,Sistem Nilai dan Orientasi Nilai


2.            Sistem Nilai dalam Masyarakat
3.            Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral
4.            Perbedaan antara Nilai dan Moral
5.            Pandangan dari Nilai Masyarakat Terhadap Individu Keluarga dan Masyarakat
BAB II

PEMBAHASAN

A.Konsep Nilai,Sistem Nilai dan Orientasi Nilai

1. Konsep Nilai Budaya

Theodorson dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang
abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip – prinsip umum dalam bertindak dan
bertingkah laku. Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai menurut Theodorson relatif
sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat sebagai tujuan
kehidupan manusia itu sendiri.
Sedangkan yang dimaksud dengan nilai budaya itu sendiri sduah dirmuskan oleh
beberapa ahli seperti :

◾Koentjaraningrat
Menurut Koentjaraningrat (1987:85) lain adalah nilai budaya terdiri dari konsepsi –
konsepsi  yang  hidup  dalam  alam  fikiran  sebahagian  besar  warga  masyarakat mengenai
hal – hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat
dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki
seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara – cara, alat – alat, dan tujuan
– tujuan pembuatan yang tersedia.

◾Clyde Kluckhohn dlam Pelly


Clyde Kluckhohn dalam Pelly (1994) mendefinisikan nilai budaya sebagai konsepsi
umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam,
kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal – hal yang
diingini dan tidak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan orang dengan
lingkungan dan sesama manusia.

◾Sumaatmadja dalam Marpaung


Sementara itu Sumaatmadja dalam Marpaung (2000) mengatakan bahwa pada
perkembangan,  pengembangan,  penerapan  budaya  dalam  kehidupan,  berkembang pula
nilai – nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta
keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya.

Selanjutnya, bertitik tolak dari pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap
individu dalam melaksanakan aktifitas vsosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman
kepada nilai – nilai atau system nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri.
Artinya nilai – nilai itu sangat banyak mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia, baik
secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar
salah, patut atau tidak patut
Suatu nilai apabila sudah membudaya didalam diri seseorang, maka nilai itu akan
dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkahlaku. Hal ini dapat dilihat
dalam kehidupan sehari – hari, misalnya budaya gotong royong, budaya malas, dan lain –
lain. Jadi, secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai
tujuan tertentu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang
dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok
atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.

2. Sistem Nilai

Tylor dalam Imran Manan (1989;19) mengemukakan moral termasuk bagian dari
kebudayaan, yaitu standar tentang baik dan buruk, benar dan salah, yang kesemuanya dalam
konsep yang lebih besar termasuk ke dalam ‘nilai’. Hal ini di lihat dari aspek penyampaian
pendidikan yang dikatakan bahwa pendidikan mencakup penyampaian pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai.
Kedudukan nilai dalam setiap kebudayaan sangatlah penting, maka pemahaman
tentang sistem nilai budaya dan orientasi nilai budaya sangat penting dalam konteks
pemahaman perilaku suatu masyarakat dan sistem pendidikan yang digunakan untuk
menyampaikan sisitem perilaku dan produk budaya yang dijiwai oleh sistem nilai masyarakat
yang bersangkutan.
Clyde Kluckhohn mendefinisikan nilai sebagai ………. sebuah konsepsi, eksplisit
atau implisit, menjadi ciri khusus seseorang atau sekelompok orang, mengenai hal-hal yang
diinginkan yang mempengaruhi pemilihan dari berbagai cara-cara, alat-alat, tujuan-tujuan
perbuatan yang tersedia. Orientasi nilai budaya adalah ……. Konsepsi umum yang
terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan
manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal-hal yang diingini dan tak
diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan antar orang dengan lingkungan dan
sesama manusia.
Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian dari konsep-konsep abstrak yang hidup
dalam masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai
apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Sistem nilai budaya ini menjado
pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam hidup yang memanifestasi kongkritnya
terlihat dalam tata kelakuan. Dari sistem nilai budaya termasuk norma dan sikap yang dalam
bentuk abstrak tercermin dalam cara berfikir dan dalam bentuk konkrit terlihat dalam bentuk
pola perilaku anggota-anggota suatu masyarakat.
Kluckhohn mengemukakan kerangka teori nilai nilai yang mencakup pilihan nilai
yang dominan yang mungkin dipakai oleh anggota-anggota suatu masyarakat dalam
memecahkan 6 masalah pokok kehidupan.

 
3. Orientasi Nilai Budaya

Kluckhohn   dalam   Pelly   (1994)   mengemukakan   bahwa   nilai   budaya


merupakan  sebuah  konsep  beruanglingkup  luas  yang  hidup  dalam  alam  fikiran
sebahagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling berharga dalam hidup.
Rangkaian konsep itu satu sama lain saling berkaitan dan merupakan sebuah sistem nilai –
nilai budaya.
Secara  fungsional  sistem  nilai  ini  mendorong  individu  untuk  berperilaku seperti 
apa  yang  ditentukan.  Mereka  percaya,  bahwa  hanya  dengan  berperilaku seperti itu
mereka akan berhasil (Kahl, dalam Pelly:1994). Sistem nilai itu menjadi pedoman yang
melekat erat secara emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang, malah merupakan
tujuan hidup yang diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah sistem nilai manusia tidaklah
mudah, dibutuhkan waktu. Sebab, nilai – nilai tersebut merupakan  wujud  ideal  dari 
lingkungan  sosialnya.  Dapat  pula  dikatakan  bahwa sistem   nilai   budaya   suatu  
masyarakat   merupakan   wujud   konsepsional   dari kebudayaan mereka, yang seolah – olah
berada diluar dan di atas para individu warga masyarakat itu.
Ada lima masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap kebudayaan yang dapat
ditemukan secara universal. Menurut Kluckhohn dalam Pelly (1994) kelima masalah pokok
tersebut adalah: (1) masalah hakekat hidup, (2) hakekat kerja atau karya manusia, (3) hakekat
kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan alam
sekitar, dan (5) hakekat dari hubungan manusia dengan manusia sesamanya.
Berbagai   kebudayaan   mengkonsepsikan   masalah   universal   ini   dengan
berbagai  variasi  yang  berbeda  –  beda.  Seperti  masalah  pertama,  yaitu  mengenai
hakekat hidup manusia. Dalam banyak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Budha
misalnya, menganggap hidup itu buruk dan menyedihkan. Oleh karena itu pola kehidupan
masyarakatnya berusaha untuk memadamkan hidup itu guna mendapatkan   nirwana,   dan  
mengenyampingkan   segala   tindakan   yang   dapat menambah rangkaian hidup kembali
(samsara) (Koentjaraningrat, 1986:10). Pandangan  seperti  ini  sangat  mempengaruhi 
wawasan  dan  makna  kehidupan  itu secara keseluruhan.
Sebaliknya banyak kebudayaan yang berpendapat bahwa hidup itu baik. Tentu konsep
– konsep kebudayaan yang berbeda ini berpengaruh pula pada sikap dan wawasan mereka.
Masalah kedua mengenai hakekat kerja atau karya dalam kehidupan. Ada kebudayaan
yang memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk kelangsungan hidup (survive) semata.
Kelompok ini kurang tertarik kepada kerja keras. Akan tetapi ada juga yang menganggap
kerja untuk mendapatkan status, jabatan dan kehormatan. Namun, ada yang berpendapat
bahwa kerja untuk mempertinggi prestasi. Mereka ini berorientasi kepada prestasi bukan
kepada status.
Masalah ketiga mengenai orientasi manusia terhadap waktu. Ada budaya yang
memandang penting masa lampau, tetapi ada yang melihat masa kini sebagai focus usaha
dalam perjuangannya. Sebaliknya ada yang jauh melihat kedepan. Pandangan yang berbeda
dalam dimensi waktu ini sangat mempengaruhi perencanaan hidup masyarakatnya.
Masalah keempat berkaitan dengan kedudukan fungsional manusia terhadap alam.
Ada yang percaya bahwa alam itu dahsyat dan mengenai kehidupan manusia. Sebaliknya ada
yang menganggap alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dikuasai manusia.
Akan tetapi, ada juga kebudayaan ingin mencari harmoni dan keselarasan dengan alam. Cara
pandang ini akan berpengaruh terhadap pola aktivitas masyarakatnya.
Masalah kelima menyangkut hubungan antar manusia. Dalam banyak kebudayaan
hubungan ini tampak dalam bentuk orientasi berfikir, cara bermusyawarah, mengambil
keputusan dan bertindak. Kebudayaan yang menekankan hubungan horizontal (koleteral)
antar individu, cenderung untuk mementingkan hak azasi, kemerdekaan dan kemandirian
seperti terlihat dalam masyarakat – masyarakat eligaterian. Sebaliknya kebudayaan yang
menekankan hubungan vertical cenderung untuk mengembangkan orientasi keatas (kepada
senioritas, penguasa atau pemimpin). Orientasi ini banyak terdapat dalam masyarakat
paternalistic (kebapaan). Tentu saja pandangan ini sangat mempengaruhi proses dinamika
dan mobilitas social masyarakatnya.
Inti permasalahan disini seperti yang dikemukakan oleh Manan dalam Pelly (1994)
adalah siapa yang harus mengambil keputusan. Sebaiknya dalam system hubungan vertical
keputusan dibuat oleh atasan (senior) untuk semua orang. Tetapi dalam  masyarakat  yang 
mementingkan  kemandirian  individual,  maka  keputusan dibuat dan diarahkan kepada
masing – masing individu.
Pola orientasi nilai budaya yang hitam putih tersebut di atas merupakan pola yang
ideal untuk masing – masing pihak. Dalam kenyataannya terdapat nuansa atau variasi  antara 
kedua  pola  yang  ekstrim  itu  yang  dapat  disebut  sebagai  pola transisional. Kerangka
Kluckhohn mengenai lima masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientasi nilai
budaya manusia

B. Sistem Nilai dalam Masyarakat

Di dalam kehidupan sosial berkembang beberapa sistem nilai. Secara garis besar
sistem
nilai tersebut dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu:
(1)   sistem nilai yang berhubungan dengan benar dan salah yang disebut dengan logika,
(2)   sistem nilai yang berhubungan de-ngan baik dan buruk atau pantas dan tidak pantas yang
disebut dengan etika, dan
(3)   sistem
Jika nilai merupakan asumsi-asumsi yang bersifat abstrak, maka norma merupakan
bentuk kongrit dari sistem nilai yang ada dalam masyarakat.

Perwujudan norma sosial dapat berbentuk tertulis dan tidak tertulis. Berdasar
kekuatan yang mengikat sistem nilai dalam kehidupan masyarakat, norma sosial dapat
digolongkan dalam beberapa macam, yaitu cara (usage), kebiasaan (folkways), tata susila
(mores), adat istiadat (customs), hukum (laws), dan agama (religion).

1. Cara (Usage)
Cara (usage) terbentuk melalui proses interaksi yang berlangsung secara konstan
sehingga membentuk sebuah pola perilaku tertentu. Sistem nilai yang terikat dalam bentuk
cara (usage) ini relatif lemah sehingga sanksi terhadap pelanggaran norma ini hanyalah
sebuah predikat “tidak sopan” saja. Di antara contoh-contoh norma ini adalah berdecak atau
bersendawa di waktu makan, mengeluarkan ingus di sembarang tempat, buang air sambil
berdiri di pinggir jalan, dan lain sebagainya.

2. Kebiasaan (Folkways)
Perilaku yang terjadi secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama akan
membentuk kebiasaan (folkways). Norma ini diakui keberadaannya di tengah-tengah
masyarakat sebagai salah satu standar dalam interaksi sosial. Kebiasaan (folkways) tergolong
sebagai norma ringan sehingga pelanggaran terhadap norma ini akan dikenai sanksi berupa
gunjingan, sindiran, atau teguran. Di antara contoh dari norma ini adalah menerima
pemberian dengan tangan kanan, makan dengan tangan kanan, mengetuk pintu jika ingin
memasuki kamar orang lain, memberi salam pada saat bertamu, menerima tamu dengan
ramah dan sopan.

3. Adat Istiadat (Customs)


Adat istiadat (customs) adalah tata perilaku yang telah berpola dan terintegrasi secara
tetap dalam suatu masyarakat serta mengikat peri kehidupan masyarakat tersebut dalam
atau teguran. Di antara contoh dari norma ini adalah menerima pemberian dengan tangan
kanan, makan dengan tangan kanan, mengetuk pintu jika ingin memasuki kamar orang lain,
memberi salam pada saat bertamu, menerima tamu dengan ramah dan sopan.

3. Adat Istiadat (Customs)


Adat istiadat (customs) adalah tata perilaku yang telah terpola dan terintegrasi secara
tetap dalam suatu masyarakat serta mengikat peri kehidupan masyarakat tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Pelanggaran terhadap norma adat akan dikenakan sanksi yang cukup
berat, seperti dikucilkan dari masyarakat karena dianggap sebagai pangkal masalah dalam
tata kehidupan masyarakat tersebut.

4. Agama (Religion)
Ajaran-ajaran agama memegang peranan yang sangat vital sebagai pedoman dalam
menjalani kehidupan secara benar, yakni mengajarkan tentang hubungan antara manusia
dengan Tuhan, hubungan antara sesama manusia, dan hubungan antara manusia dengan
makhluk lainnya. Pemahaman dan penerapan ajaran agama secara benar akan menciptakan
tata kehidupan yang harmonis. Sebaliknya, pelanggaran terhadap norma-norma agama akan
menimbulkan konflik, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat sosial.
Norma-norma agama dilaksanakan berdasarkan keimanan dan ketakwaan.
Pelanggaran terhadap norma agama akan dikenakan sanksi-sanksi tertentu, baik sanksi yang
dikenakan di dunia maupun sanksi yang diyakini akan terjadi di akhirat kelak. Agama
memang sangat sarat dengan ajaran-ajaran tentang pola kehidupan yang baik dan benar untuk
kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan di akhirat kelak.
5. Hukum (Laws)
Hukum (laws) merupakan aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat yang berupa
ketentuan, perintah, kewajiban, dan larangan, agar tercipta keamanan, ketertiban, dan
keadilan. Berdasarkan wujudnya, hukum (laws) terdiri atas dua macam, yaitu
1.      hukum tertulis, yakni aturan-aturan yang dikodifikasikan dalam bentuk kitab undang-undang.
2.      Dan hukum tidak tertulis (konvensi), yakni aturan-aturan yang diyakini keberadaannya
secara adat meskipun tidak dikodifikasikan dalam bentuk kitab undang-undang.
            Dibandingkan dengan norma-norma lainnya, hukum merupakan norma yang paling
tegas. Pelanggaran terhadap norma hukum ini akan dikenakan sanksi sesuai dengan aturan-
aturan yang terdapat dalam hukum tersebut. Untuk menegakkan hukum pemerintah
membentuk lembaga penegak hukum seperti mahkamah agung, lembaga kehakiman,
kepolisian, dan sebagainya.
Dibandingkan dengan norma-norma lainnya, hukum merupakan norma yang paling
tegas. Pelanggaran terhadap norma hukum ini akan dikenakan sanksi sesuai dengan aturan-
aturan yang terdapat dalam hukum tersebut. Untuk menegakkan hukum pemerintah
membentuk lembaga penegak hukum seperti mahkamah agung, lembaga kehakiman,
kepolisian, dan sebagainya.

6. Mode (Fashion)
Mode (fashion) merupakan gaya hidup yang berkembang di tengah-tengah kehidupan
masyarakat dalam waktu-waktu tertentu. Pada dasarnya gaya hidup merupakan penampilan
tertentu yang sedang trend dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan demikian mode
(fashion) dapat dilihat pada model rambut, model pakaian, model kendaraan, model rumah,
model perilaku yang ditunjukkan dalam acara-acara tertentu, dan sebagainya. Mode (fashion)
dianggap sebagai cermin kehidupan modern, sehingga orang yang tidak mengikuti mode
biasanya akan dianggap ketinggalan zaman.
            Berkembangnya mode yang melampaui batas seperti pakaian seksi, rumah mewah,
mobil mewah, kehidupan seronok, dan sebagainya dapat menciptakan konflik baik yang
bersifat individual maupun yang bersifat sosial. Oleh karena itu berkembangnya mode
(fashion) perlu diimbangi dengan penanaman norma-norma agama yang mantap sehingga
masyarakat akan terhindar dari pengaruh-pengaruh negatif yang berasal dari perkembangan
dunia mode (fashion).

 
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap
individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat
dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi,
pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap individu
yang tumbuh dan berkembang di dalam dirinya.
Remaja yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola
asuh bina kasih, dan religius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki
budi luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan perilaku terpuji. Sebaliknya insividu ytang
tumbuh dan berkembang dengan kondisi psikologis yang penuh dengan konflik, pola
interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang tidak berimbang dan kurang religius maka harapan
agar anak dan remaja tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki nilai-nilai
luhur, moralitas tinggi, dan sikap perilaku terpuji menjadi diragukan.
Perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang
yang dianggapnya sebagai model. Bagi anak-anak usia 12 dan 16 tahun, gambaran ideal yang
diidentifikasikan adalah orang-orang dewasa yang berwibawa atau simpatik, orang-orang
terkenal, dan hal-hal yang ideal yang diciptakannya sendiri.
            Menurut ahli psikoanalisis, moral dan nilai menyatu dalam konsep superego.
Superego dibentuk melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah yang
datang dari luar (khususnya dari orang tua). Oleh karena itu, anak yang tidak memiliki
hubungan harmonis dengan orangtuanya dimasa kecil, kemungkinan besar tidak akan mampu
mengembangkan superego yang cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering
melanggar norma sosial.
 Hubungan anak dengan orangtua bukanlah satu-satunya sarana pembentukan moral.
Para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat mempunyai peran penting dalam pembentukan
moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya control dari masyarakat itu
sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat si pelanggar (Sarlito, 1992:92).

D. Perbedaan antara Nilai dan Moral

Dalam membahas nilai ini biasanya membahas tentang pertanyaan mengenai mana
yang baik dan mana yang tidak baik dan bagaimana seseorang untuk dapat berbuat baik serta
tujuan yang memiliki nilai. Pembahasan mengenai nilai ini sangat berkaitan dangan
pembahasasn etika. Kajian mengenai nilai dalam filsafat moral sangat bermuatan normatif
dan metafisika. Etika merupakan sinonim dari akhlak. Kata ini berasal dari bahasa Yunani
yakni ethos yang berarti adat kebiasaan.
Sedangkan yang dimaksud kebiasaan adalah kegiatan yang selalu dilakukan berulang-
ulang sehingga mudah untuk dilakukan seperti merokok yang menjadi kebiasaan bagi
pecandu rokok. Sedangkan etika menurut filasafat dapat disebut sebagai ilmu yang
menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan
manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Etika membahasa tentang tingkah
laku manusia.
Ada orang berpendapat bahwa etika dan akhlak adalah sama. Persamaan memang ada
karena kedua-duanya membahas baik dan buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika
dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia disetiap
waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat
diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika
mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan dunia ini tentang baik dan
buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan.
            Apabila kita menlusuri lebih mendalam, maka kita dapat menemukan secara jelas
persamaan dan perbedaan etika dan akhlak. Persamaan diantara keduanya adalah terletak
pada objek yang akan dikaji, dimana kedua-duanya sama-sama membahas tentang baik
buruknya tingkah laku dan perbuatan manusia. Sedangkan perbedaannya sumber norma,
dimana akhlak mempunyai basis atau landasan kepada norma agama yang bersumber dari
hadist dan al Quran.
            Para ahli dapat segera mengetahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal
sebagai. berikut.Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas
perbutaan yang dilakukan oleh manusia. Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber
pada akal pikiran dan filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutla,
absolut dan tidak pula universal. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai
penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk,
mulia, terhormat, terhina dsb. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni
dapat berubah-rubah sesuai tuntutan zaman. Dengan ciri-ciri yang demikian itu, maka etika
lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan
yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Dengan kata lain etika adalah
aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.Penganut Islam tidak akan
terjamin dari ancaman kehancuran akhlak yang menimapa umat, kecuali apabila kita
memiliki konsep nilai-nilai yang konkret yang telah disepakati islam, yaitu nilai-nilai absolut
yang tegak berdiri diatas asas yang kokoh. Nilai absolut tersebut adalah kebenaran dan
kebaikan sebagai nilai-nilai yang akan mengantarkan kepada kesejahteraan hidup di dunia
dan akhirat secara individual dan sosial.
            Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan
manusia, mana yang baik dan mana yang wajar. Antara nilai etika dan moral memang
memiliki kesamaan. Namun, ada pula berbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori,
sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat, etika
memandang tingkah laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral
secara lokal. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu. Namun demikian,
dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. kalau dalam pembicaraan
etika, untuk menentukan nilai perbutan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur
akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaran moral tolak ukur yang digunakan adalah
norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat.
Istilah moral senantiasa mengaku kepada baik buruknya perbuatan manusia sebagai
manusia. Inti pembicaraan tentang moral adalah menyangkut bidang kehidupan manusia
dinilai dari baik buruknya perbutaannya selaku manusia. Norma moral dijadikan sebagai
tolak ukur untuk menetapkan betul salahnya sikap dan tindakan manusia, baik buruknya
sebagai manusia.
 Melihat dari uraian diatas nilai ( value ) adalah tolak ukur dari etika yang dimiliki
oleh setiap manusia. Penanaman nilai dalam diri peserta didik sangatlah penting. Kebutuhan
akan penanaman pendidikan nilai mulai nampak dan dirasakan penting setelah maraknya
berbagai bentuk penyimpangan asusila, amoral di tengah masyarakat. Hampir setiap hari ada
saja pemberitaan di media cetak dan elektronik tentang pembunuhan, pemerkosan, seks bebas
di luar nikah, aborsi, peredaran dan pemakaian narkoba, bahkan pernah dilansir kasus
pemerasan yang dilakukan geng anak usia sekolah dasar (SD). Tentu hal ini membuat gelisah
dan cemas terutama akan dirasakan oleh para orangtua termasuk pihak lembaga sekolah yang
mengemban tugas melakukan untuk mendidik, melatih dan membimbing anak didiknya. Ini
persoalan serius dan perlu mendapat perhatian ekstra khususnya bagi pelaku-pelaku dunia
pendidikan.
            Ketidakseimbangan desain pendidikan yang hanya memfokuskan pada pencapaian
aspek intelektual atau ranah kognitif semata dan mengambaikan aspek penanaman dan
pembinaan nilai/sikap diduga sebagai penyebab munculnya degradasi atau demoralisasi
terutama yang dialami oleh anak sekolah. Gaffar (Sauri: 2009) menyebutkan bahwa
pendidikan bukan hanya sekedar menumbuhkan dan mengembangkan keseluruhan aspek
kemanusiaan tanpa diikat oleh nilai, tetapi nilai itu merupakan pengikat dan pengarah proses
pertumbuhan dan perkembangan tersebut. Nilai sebagai sesuatu yang berharga, baik, luhur,
diinginkan dan dianggap penting oleh masyarakat pada gilirannya perlu diperkenalkan pada
anak. Sanjaya (2007) mengartikan nilai (value) sebagai norma-norma yang dianggap baik
oleh setiap individu. Inilah yang menurutnya selanjutnya akan menuntun setiap individu
menjalankan tugas-tugasnya seperti nilai kejujuran, nilai kesederhanaan, dan lain sebagainya.
Mulyana (2004) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar
menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam
keseluruhan hidupnya. Pendidikan nilai tidak hanya merupakan program khusus yang
diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, akan tetapi mencakup keseluruhan program
pendidikan. Nursid Sumaatmadja (2002) menambahkan bahwa pendidikan nilai ialah upaya
mewujudkan manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, manusiawi dan berkepedulian terhadap kebutuhan serta
kepentingan orang lain; yang intinya menjadi manusia yang terdidik baik terdidik dalam
imannya, ilmunya maupun akhlaknya serta menjadi warga negara dan dunia yang baik (well
educated men and good citenship).
 Sebagai perbandingan, penerapan konsep-konsep pendidikan nilai menurut Sofyan
Sauri (2007) pernah diterapkan pada sebuah lembaga pendidikan di Thailand dengan
menggunakan suku kata yang terdapat dalam kata EDUCATION yang memiliki arti sebagai
sebagai berikut.
 (E) Singkatan untuk Enlightenment (pencerahan). Ini adalah proses pencapaian
pemahaman dari dalam diri atau bathin melalui peningkatan kesadaran menuju pikiran super
sadar yang akan memunculkan intuisi, kebijaksanaan, dan pemahaman.
 (D) Singkatan untuk Duty and Devotion (tugas dan pengabdian). Pendidikan harus
membuat siswa menyadari tugasnya dalam hidup. Selain memiliki tugas atau kewajiban yang
terhadap orang tua dan keluarga, siswa juga memiliki kewajiban yang berlandaskan cinta
kasih dan belas kasih untuk melayani dan menolong semua orang di masyarakat dan di dunia.
 (U) Singkatan untuk Understanding (pemahaman). Ini bukan hanya mengenai
pemahaman terhadap mata pelajaran yang diberikan dalam kurikulum nasional tetapi juga
penting untuk memahami diri sendiri.
            (C) Singkatan untuk Character (karakter). Guru mesti membentuk karekter yang baik
pada diri siswa. Seorang yang berkarakter adalah seorang yang memiliki kekuatan moral dan
lima nilai kemanusiaan yaitu Kebenaran, Kebajikan, Kedamaian, Kasih sayang dan tanpa
Kekerasan. Nilai kemanusiaan tersebut harus terpadu dalam pembelajaran di kelas.
            (A) Singkatan untuk Action (tindakan). Para siswa kini belajar dengan giat dan
menuangkan pengetahuan yang dipelajarinya dalam ruang ujian dan keluar dengan kepala
kosong. Pengetahuan yang mereka peroleh tidak diterapkan dalam tindakan. Pendidikan
seperti itu tak berguna. Apapun yang dipelajari siswa mesti diterapkan dalam praktek. Model
pembelajaran yang baik mesti membuat hubungan antara yang dipelajari dan situasi nyata
dalam hidup. Hal ini akan memungkinkan siswa mengaplikasikan pengetahuan ke dalam
hidup mereka sendiri.
 (T) Singkatan untuk Thanking (berterima kasih). Siswa mesti belajar berterima kasih
kepada orang-orang yang telah membantu mereka. Di atas segalanya adalah orang tua yang
telah melahirkan dan mengasuh mereka. Siswa harus mengasihi dan menghormati orang tua
mereka. Selanjutnya siswa harus berterima kasih kepada guru-guru, karena siswa
memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan melalui guru-guru. Maka siswa mesti mengasihi
dan menghormati guru. Demikian pula, siswa telah mendapatkan banyak hal dari masyarakat,
dari bangsa, dari dunia, dan alam. Siswa mesti selalu berterima kasih kepada semua hal.
 (I) Singkatan untuk Integrity (Integritas).. Integritas adalah sifat jujur dan karakter
menjunjung kejujuran. Siswa mesti tumbuh menjadi seseorang yang memiliki integritas, yang
bisa dipercaya untuk menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing.
 (O) Singkatan untuk Oneness (kesatuan). Pendidikan mesti membantu siswa melihat
kesatuan dalam kemajemukan. Apakah kita memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda,
warna kulit dan ras yang berbeda. Kita mesti belajar hidup damai dan harmonis dengan alam.
            (N) Singkatan untuk Nobility (kemuliaan). Kemuliaan adalah sifat yang muncul
karena memiliki karakter yang tinggi atau mulia. Kemuliaan tidak timbul dari lahir tetapi
muncul dari pendidikan.Jadi, kemuliaan terdiri dari semua nilai-nilai yang dijelaskan di atas.
           

Oleh karena itu, antara nilai dan moral sebenarnya tidak begitu jauh dalam pengertian
dan maknanya, akan tetapi ada sedikit perbedaan diantaranya; nilai lebih berorentasi pada
hasil yang di dapat dari sebuah jenjang penidikan, sedangkan moral adalah merupaka
penerapan nilai yang di dapat di bangku sekolah/ pendidikan yang di ukur oleh masyarakat
dengan memakai ukuran baik atau buruknya kelakuan seseorang dalam hidup bermasyarakat.
 

E. Pandangan dari Nilai Masyarakat Terhadap Individu Keluarga dan Masyarakat

            Kluckhohn mengemukakan kerangka teori nilai nilai yang mencakup pilihan nilai
yang dominan yang mungkin dipakai oleh anggota-anggota suatu masyarakat dalam
memecahkan 6 masalah pokok kehidupan, sebagai berikut:
Masalah pertama, yang dihadapi manusia dalam semua masyarakat adalah bagaimana
mereka memandang sesamanya, bagaimana mereka harus bekerja bersama dan bergaul dalam
suatu kesatuan sosial. Hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat tersebut dapat
mempunyai beberapa orientasi nilai pokok, yaitu yang bersifat linealism, collateralism, dan
indiviualism. Inti persoalannya adalah siapa yang harus mengambil keputusan.
  Masyarakat dengan orientasi nilai yang lineal orang akan berorientasi kepada seseorang untuk
membuatkan keputusan bagi semua anggota kelompok.
  Masyarakat dengan orientasi nilai yang collateral, orientasi nilai akan berpusat  pada kelompok.
Kelompoklah yang mempunyai keputusan tertinggi.
  Masyarakat dengan orientasi individualism, semua keputusan dibuat oleh individu-individu.
Individualisme menekankan hak tertinggi individu dalam mengambil keputusan-keputusan
dalam memecahkan berbagai permasalahan kehidupan.
Masalah Kedua, Setiap manusia berhadapan dengan waktu. Setiap kebudayaan
menentukan dimensi dimensi waktu yang dominan yang menjadi ciri khas kebudayaan
tersebut. Secara teoritis ada tida dimensi waktu yang dominan yang menjadi orientasi nilai
kebudayaan suatu masyarakat, yaitu yang berorientasi ke masa lalu, masa sekarang, dan masa
depan. Dimensi waktu yang dominan akan menjiwai perilaku anggota-anggota suatu
masyarakat yang sangat berpengaruh dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
pengejaran kemjuan.
Masalah Ketiga, Setiap manusia berhubungan dengan alam. Hubungan dapat berbentuk
apakah alam menguasai manusia, atau hidup selaras dengan alam, atau manusia harus
menguasai alam.
Masalah Keempat, Masalah yang mendasar yang dihadapi manusia adalah masalah kerja.
Apakah orang berorientasi nilai kerja sebagai sesuatu untuk hidup saja, ataukah kerja
untukmencari kedudukan, ataukah kerja untuk menghasilkan kerja yang lebih banyak.
Masalah Kelima, Masalah kepemilian kebudayaan. Alternatif pemilikan kebudayaan yang
tersedia adalah suatu kontinum antara pemilikan kebudayaan yang berorientasi pada
materialisme atau yang berorientasi pada spiritualisme. Ada kesan bahwa kebudayaan barat
sangat berorientasi kepada materialisme sedang kebudayaan timur sangat berorientasi kepada
spiritualisme.
Masalah Keenam, Apakah hakekat hidup manusia. Orientasi nilai yang tersedia adalah
pandangan-pandangan bahwa hidup itu sesuatu yang baik, sesuatu yang buruk, atau sesuatu
yang buruk tetapi dapat disempurnakan.
Ahli lain yang menganalisa nilai inti atau pola orientasi nilai suatu masyarakat adalah
Talcots Parson. Dia telah memperkembangkan suatu taksonomi nilai dasar yang
dinamakannya ”pattern variables” yang menentukan makna situasi-situasi tertentu dan cara
memecahkan dilemma pengambilan keputusan. Lima pattern tersebut adalah:

1.      Dasar-dasar pemilihan objek terhadap mana sebuah orientasi berlaku, yaitu apakah pemilihan
ditentukan oleh keturunan (ascription) atau keberhasilan (achievement).
2.      Kepatutan atau ketak-patutan pemuasan kebutuhan melalui tindakan ekspresif dalam konteks
tertentu, yaitu apakah pemuasan yang patut harus disarankan atas pertimbangan perasaan,
(affectivity) atau netral perasaan (affective neutrality).
3.      Ruang lingkup perhatian dan kewajiban terhadap sebuah objek yaitu apakah perhatian harus
jelas dan tegas untuk sesuatu (specificity) atau tidak jelas dan tegas, atau berbaur
(diffuseness).
4.      Tipe norma yang menguasai orientasi terhadap suatu objek yaitu apakah norma yang berlaku
bersifat universal (universlism) atau normanya bersifat khusus (particularism).
5.      Relevan atau tidak relevannya kewajiban-kewajiban kolektif dalam konteks tertentu, yaitu
apakah kewajiban-kewajiban didasarkan kepada orientasi kepentingan pribadi (self-
orientation) atau kepentingan kolektif (collective orientation).
Menurut pandangan Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang menggunakan struktur
nilai-nilai yang universal yang ada dalam masyarakat manusia. Menurut STA yang
dinamakan kebudayaan adalah penjelmaan dari nilai-nilai. Bagian penting adalah adalah
membuat klasifikasi nilai yang universal yang ada dalam masyarakat manusia. Dia merasa
klasifikasi nilai yang digunakan E. Spranger adalah yang terbaik untuk dipakai dalam melihat
kebudayaan umat manusia. Spranger mengemukakan ada 6 nilai pokok dalam setiap
kebudayaan, yaitu:
1.            Nilai teori yang menentukan identitas sesuatu.
2.            Nilai ekonomi yang berupa utilitas atau kegunaan.
3.            Nilai agama yang berbentuk das Heilige atau kekudusan.
4.            Nilai seni yang menjelmakan expressiveness atau keekspresian.
5.            Nilai kuasa atau politik.
6.            Nilai solidaritas yang menjelma dalam cinta, persahabatan, gotong royong dan lain-lain.
Keenam nilai ini masing-masing mempunyai logika, tujuan, norma-norma, maupun
kenyataan masing-masing.
Menurut STA nilai-nilai yang dominan yang berfungsi menyusun organisasi
masyarakat adalah nilai kuasa dan nilai solidaritas.
Didalam hidupnya manusia dinilai !! atau akan melakukan sesuatu karena nilai. Nilai
mana yang akan dituju tergantung kepada tingkat pengertian akan nilai tersebut.
Misalnya, seorang yang telah melakukan pembunuhan kemudian ia melakukan
pengakuan dosa dihadapan pendeta dan dalam pengakuannya itu ia benar-benar
menggambarkan suatu kesalahan atau dosa. Hal ini karena dilatarbelakangi nilai ketuhanan
atas nilai baik dan buruk menurut agama, sehingga membunuh itu dosa hukumnya dan yang
melakukannya itu salah.
Berbeda dengan orang yang menganggap hal itu suatu pembelaan yang harus
ditempuh, maka pembunuhan bukanlah merupakan suatu kesalahan, akan tetapi merupakan
kebanggaan yang harus dijunjung seperti budaya ‘carok’ pada etnis Madura (carok
merupakan budaya Madura masa silam, yang menjunjung tinggi harga diri keluarga jika
kehormatannya diganggu, maka carok adalah penyelesaian yang terhormat)
Di lain pihak, semakin seseorang bersikap setia pada tuntutan-tuntutan moral,
semakin ia membuka diri terhadap dunia nilai-nilai dan realitas rohani. Boleh dikatakan
bahwa ia menjadi sekodrat dengan mereka. Ia mencintai mereka, dan dengan demikian dapat
melihat arti suatu jalan menuju kepada realitas rohani dan nilai yang terutama, yaitu Tuhan.
Sehingga ia mengerti arti baik dan buruk atau salah dan benar dalam berperilaku !
Sebelum sesuatu itu ada (sebagai landasan etis) maka nilai baik dan buruk atau dosa
dan pahala itu tidak ada, sehingga setiap perbuatan memerlukan sandaran nilai untuk dapat
dipertanggung jawabkan atas nilai perbuatan seseorang itu !! Dalam kaidah usul fikihnya
kullu syain ibahah illa ma dalla daliilu `ala khilaafihi setiap sesuatu itu adalah kebolehan
sehingga sampai ada dalil yang menentukan nilai (haram atau halal)
Jika setiap perbuatan tidak memiliki landasan nilai, maka akan sulit kita menentukan
bagaimana kita mengatakan perbuatan itu baik atau buruk, walaupun menurut pandangan
etika umum menyatakan perbuatan itu buruk, misalnya orang primitif memiliki kebiasaan
tidak memakai baju bahkan hanya memakai koteka (terbuat dari kulit labu untuk menutup
kemaluan), dia tidak akan mengerti kalau hal itu dikatakan telah bersalah karena tidak
menutup auratnya…mereka justru bingung dengan pernyataan kita ..mengapa hal ini
salah ???? baginya tidak masuk akal …mengapa orang-orang modern itu melarangnya
memakai koteka ??? kalau hal itu dikatakan tidak etis …etis menurut siapa ???
Sebuah nilai muncul dari kesepakan dalam sebuah kaum, …kaum primitif memiliki
kesepakatan nilai yang menjadi landasan etis untuk mengetahui sesuatu itu baik atau buruk
… Dan dalam suatu masyarakat modern setiap tindakannya akan mengacu kedalam
perudang-undangan yang telah disepakati bersama dalam sebuah majelis musyawarah yang
diperjuangan wakil-wakilnya dalam sebuah parlemen, sehingga menghasilkan sebuah tata
hukum positip untuk menilai dan menindak sesuatu boleh atau tidak boleh.
Narkotika, sebelum disepakati sebagai barang haram merupakan benda yang digemari
para bangsawan dan para kafilah, artinya barang ini tidak memiliki nilai apa-apa secara
hukum (kebolehan) ketika tidak diketahui manfaat dan mudharatnya, sehingga bagi
pemakainya merupakan kebolehan (halal) dan tindakannya tidak dikatakan buruk (bersalah).
Namun setelah kita sepakat bahwa narkotika itu membahayakan dan menurut hukum positip
itu dilarang maka perbuatan si pemakai itu suatu keburukan, bahkan dikatakan sebagai
kejahatan yang harus diperangi ….
Jadi kesimpulannya adalah setiap perbuatan itu bisa dikatakan baik atau buruk jika
perbuatan itu di landasi nilai etis terhadap sesuatu …Bagi orang tidak memiliki landasan
dalam tindakannya maka orang tersebut bisa dikategorikan dalam tiga gologan yang disebut
dalam sebuah hadist, yaitu: Anak-anak yang belum sampai akil baligh Orang tidur sampai
bangun, Orang gila sampai ia sadar, Mereka ini tidak mendapatkan sanksi hukum positif
dalam setiap tindakannya, karena perbuat-annya tidak memiliki tindakan dasar nilai etis
Ada beberapa landasan populer yang di gunakan dalam masyarakat dunia antara lain :
Etika ketuhanan ( agama. Islam, kristen, hindu, budha, katolik,dll), Etika budaya ( etika jawa,
sunda, melayu, adat dll), Filsafat (Yunani, Tao, komunis, pancasila, dll), Budaya primitip dll
Di dalam Islam, pengertian nilai yang dimaksud adalah bahwa manusia memahami
apa yang baik dan buruk serta ia dapat membedakan keduanya dan selanjutnya
mengamalkannya. Pengertian tentang baik dan buruk tidak dilalui oleh pengalaman, akan
tetapi telah ada sejak pertama kali ruh ditiupkan.
“Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) keburukan dan kebaikan” ( QS. 91:7-8)
Pengertian (pemahaman) baik dan buruk merupakan asasi manusia yang harus
diungkap lebih jelas, atas dasar apa kita melakukan sesuatu amalan.
Imam Alghazaly menamakan pengertian apriori sebagai pengertian awwali. Dari
mana pengertian-pengertian tersebut diperoleh, sebagaimana ucapannya:
“Pikiran menjadi sehat dan berkeseimbangan kembali dan dengan aman dan yakin
dapat ia menerima kembali segala pengertian-pengertian awwali dari akal itu. Semua itu
terjadi tidak dengan mengatur alasan atau menyusun keterangan , melainkan dengan nur
(cahaya) yang dipancarkan Allah Swt, kedalam bathin dari ilmu ma’rifat. “
Disini, Alghazaly mengembalikannya kedasar pengertian awwali yaitu pengertian
ilahiyah, sedang Plato menyebutnya “idea”. Ia mengungkapkan bahwa “idea” hakekatnya
sudah ada, tinggal manusia mencarinya dengan cara kontemplasi atau bagi seniman biasa
disebut mencari inspirasi. Jelasnya “idea” bukan timbul dari pengalaman atau ciptaan pikiran
sehingga menghasilkan idea
Dan idea-idea ini bersifat murni, tidak mengandung nilai baik atau buruk dan bersifat
universal, sebelum turun sampai kepada kesepakatan hukum positif. Misalnya seorang yang
mendapatkan ide membuat ilustrasi mengenai lengkuk tubuh manusia adalah murni sebuah
ide, … tidak ada nilai baik ataupun buruk dalam ide tersebut, kecuali setelah ada kesepakatan
bahwa gambar itu mengandung pengaruh yang sangat buruk dalam masyarakat tertentu, akan
tetapi sebaliknya gambar itu sekaligus merupakan sesuatu yang baik jika di kaitkan dengan
kajian ilmu kedokteran dalam mengungkapkan fakta dalam anatomi tersebut…..
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

1.            Nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di
dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan
tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.
2.            Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian dari konsep-konsep abstrak yang hidup dalam
masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga menjadi pedoman
dan pendorong perilaku manusia dalam hidup yang memanifestasi kongkritnya terlihat dalam
tata kelakuan. Dari sistem nilai budaya termasuk norma dan sikap yang dalam bentuk abstrak
tercermin dalam cara berfikir dan dalam bentuk konkrit terlihat dalam bentuk pola perilaku
anggota-anggota suatu masyarakat.
3.            Orientasi atau focus dari nilai budqaya adalah untuk membahas dan juga menyelesaikan 5
permasalahan dalam hidup yaitu
(1) masalah hakekat hidup
(2) hakekat kerja atau karya manusia,
(3) hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu,
(4) hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan
(5) hakekat dari hubungan manusia dengan manusia sesamanya.
Tindakan nilai merupakan hal asasi yang terpenting untuk menentukan sesuatu baik
atau buruk. Kalau hal ini sudah jelas maka kita akan bisa berkata perbuatan saya salah atau
perbuatan saya baik, maka berdosalah saya jika demikian dan berpahalalah tindakan saya jika
demikian. Islam menekankan setiap tindakan harus dilandasi niat lillahita’ala (karena Allah
ta’ala) untuk membedakan tindakan etis selain Allah, sehingga jika tidak dilandasi niat
karena Allah, maka perbuatannya tidak diterima oleh Allah Swt.

B.Saran

Dengan adanya makalah ini, semoga kalian dapat memahami dan mengerti tentang
Perkembangan Nilai Budaya .selain dari itu saya juga mengharapkan kritikan dari kalian
semua, agar dapat membangun atau untuk menyempurnakan pembuatan makalah yang
selanjutnya.  

DAFTAR PUSTAKA

https://asrikoe.wordpress.com/2011/12/22/nilai-dan-norma-dalam-kehidupan-masyarakat/
www.google.com

/ 20 feb 2018 23:18

https://miswarymyusuf.blogspot.co.id/2015/07/makalah-perkembangan-nilai-budaya.html

Anda mungkin juga menyukai