Anda di halaman 1dari 8

Yadnya dalam Mahabharata

Yajña dalam Mahabharata dan Masa Kini


”Svar yanto nāpekṣanta, ā dyaṁ rohanti rodasi.
yajñam ye vi vatodharam, savidvamso vitenire”.
Terjemahannya:
”Para sarjana yang terkenal yang melaksanakan pengorbanan, mencapai kahyangan (sorga) tanpa
suatu bantuan apa pun. Mereka membuat jalan masuk dengan mudah ke kahyangan (sorga), yang
menyeberangi bumi dan wilayah- pertengahan”. (Yajur Veda XXIII.62)
Memahami Teks
Sarpayajña
Pada zaman Mahabharata dikisahkan Panca Pandawa melaksanakan Yajña Sarpa yang sangat besar
dan dihadiri seluruh rakyat dan undangan yang terdiri atas raja- raja terhormat dari negeri tetangga.
Bukan itu saja, undangan juga datang dari para pertapa suci yang berasal dari hutan atau gunung.
Tidak dapat dilukiskan betapa meriahnya pelaksanaan upacara besar yang mengambil tingkatan
utamaning utama.
Yajña dalam Mahabharata dan Masa Kini
Upacara agni hotra
Menjelang puncak pelaksanaan yajña, datanglah seorang brahmana suci dari hutan ikut memberikan
doa restu dan menjadi saksi atas pelaksanaan upacara yang besar itu. Seperti biasanya, setiap tamu
yang hadir dihidangkan berbagai macam makanan yang lezat dalam jumlah yang tidak terhingga.
Kepada brahmana utama ini diberikan suguhan yang enak-enak. Setelah melalui perjalanan yang
sangat jauh dari gunung ke ibu kota Hastinapura, ia sangat lapar dan pakaiannya mulai terlihat kotor.
Begitu dihidangkan makanan oleh para dayang kerajaan, Sang Brahmana Utamapun langsung
melahapnya dengan cepat bagaikan orang yang tidak pernah menemukan makanan. Bersamaan
dengan itu melintaslah Dewi Drupadi yang tidak lain adalah penyelenggara yajña besar tersebut.
Melihat cara Brahmana Utama menyantap makanan dengan tergesa-gesa, berkomentarlah Drupadi
sambil mencela. “Kasihan Brahmana Utama itu, seperti tidak pernah melihat makanan, cara
makannya tergesa- gesa,”kata Drupadi dengan nada mengejek. Walaupun jarak antara Dewi Drupadi
dengan Sang Brahmana Utama cukup jauh, tetapi karena kesaktiannya ia dapat mendengar dengan
jelas apa yang diucapkan oleh Drupadi. Sang Brahmana Utama diam, tetapi batinnya kecewa. Drupadi
pun melupakan peristiwa tersebut.
Dalam ajaran agama Hindu, disampaikan bahwa apabila kita melakukan tindakan mencela, maka
pahalanya akan dicela dan dihinakan. Terlebih lagi apabila mencela seorang Brahmana Utama,
pahalanya bisa bertumpuk-tumpuk. Dalam kisah berikutnya, Dewi Drupadi mendapatkan penghinaan
yang luar biasa dari saudara iparnya yang tidak lain adalah Duryadana dan adik-adiknya.
Di hadapan Maha Raja Drestarata, Rsi Bisma, Begawan Drona, Kripacarya, dan Perdana Menteri
Widura serta disaksikan oleh para menteri lainnya, Dewi Drupadi dirobek pakaiannya oleh Dursasana
atas perintah Pangeran Duryadana. Perbuatan biadab merendahkan kehormatan wanita dengan
merobek pakaian di depan umum, berdampak pada kehancuran bagi negeri para penghina. Terjadinya
penghinaan terhadap Drupadi adalah pahala dari perbuatannya yang mencela Brahmana Utama ketika
menikmati hidangan.
Dewi Drupadi tidak bisa ditelanjangi oleh Dursasana, karena dibantu oleh Krisna dengan
memberikan kain secara ajaib yang tidak bisa habis sampai adiknya Duryadana kelelahan lalu jatuh
pingsan. Krisna membantu Drupadi karena Drupadi pernah berkarma baik dengan cara membalut jari
Krisna yang terkena Panah Cakra setelah membunuh Supala. Pesan moral dari cerita ini adalah, kalau
melaksanakan yajña harus tulus ikhlas, tidak boleh mencela dan tidak boleh ragu-ragu.
Bagian-bagian Panca Yadnya
Berdasarkan sasaran yang akan diberikan yajña, maka korban suci ini dibedakan menjadi lima jenis
sebagai berikut.
a. Dewa Yajña
Yajña jenis ini adalah persembahan suci yang dihaturkan kepada Sang Hyang Widhi dengan segala
manisfestasi-Nya. Contoh Dewa Yajña dalam kesehariannya, melaksanakan puja Tri Sandya,
sedangkan contoh Dewa Yajña pada hari-hari tertentu melaksanakan piodalan di pura dan lain
sebagainya.
“kāòksanta karmaṇāṁ siddhiṁ yajanta iha devatāá, kṣipraṁ hi mānuṣe loke siddhir bhavati karma-
jā”.
Terjemahannya adalah.
“Mereka yang menginginkan keberhasilan yang timbul dari karma, beryajña di dunia untuk para deva,
karena keberhasilan manusia segera terjadi dari karma, yang lahir dari pengorbanan”. (Bhagavad
Gita. IV.12).
b. Rsi Yajña
Rsi Yajña adalah korban suci yang tulus ikhlas kepada para Rsi. Mengapa yajña ini dilaksanakan,
karena para Rsi sudah berjasa menuntun masyarakat dan melakukan puja surya sewana setiap hari.
Para Rsi telah mendoakan keselamatan dunia, alam semesta beserta isinya. Bukan itu saja, ajaran
suci Veda juga pada mulanya disampaikan oleh para Rsi. Para Rsi dalam hal ini adalah orang yang
disucikan oleh masyarakat. Ada yang sudah melakukan upacara dwijati disebut pandita, dan ada
yang melaksanakan upacara ekajati disebut pinandita atau pemangku. Umat hindu memberikan
yajña terutama pada saat mengundang orang suci yang dimaksud untuk menghantarkan upacara
yajña yang dilaksanakan.
c. Pitra Yajña
Upacara ngaben
Upacara ngaben
Korban suci jenis ini merupakan bentuk rasa normat dan terima kasih kepada para pitara atau leluhur
karena telah berjasa ketika masih hidup melindungi kita. Kewajiban setiap orang yang telah
dibesarkan oleh leluhur adalah memberikan persembahan yang terbaik secara tulus ikhlas. Ini sangat
sesuai dengan ajaran suci Veda agar umat Hindu selalu saling memberi demi menjaga keteraturan
sosial.

d. Manusa Yajña
Manusa Yajña adalah pengorbanan untuk manusia, terutama bagi mereka yang memerlukan bantuan.
Umpamanya ada musibah banjir dan tanah longsor. Banyak pengungsi yang hidup menderita. Dalam
situasi begini, umat Hindu diwajibkan melakukan Manusa Yajña dengan cara memberikan
sumbangan makanan, pakaian layak pakai, dan sebagainya. Bila perlu terlibat langsung untuk menjadi
relawan yang membantu secara sukarela. Dengan demikian, memahami Manusa Yajña tidak hanya
sebatas melakukan serentetan prosesi keagamaan, melainkan juga seperti donor darah dan membantu
orang miskin.

“yeyathāmāṁ prapadyante tāṁs tathaiva bhajāmy aham, Mamavartmānuvartante manusyaá partha


sarvaṡaá”.
Terjemahannya adalah.
“Bagaimanapun (jalan) manusia mendekati-Ku, Aku terima wahai Arjuna. Manusia mengikuti jalan-
Ku pada segala jalan”. (Bhagavad Gita.IV.11).
Manusa Yajña dalam bentuk ritual keagamaan juga penting untuk dilaksanakan. Karena sekecil apa
pun sebuah yajña dilakukan, dampaknya sangat luas dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan.
Umpamanya, kalau kita melaksanakan upacara potong gigi, maka semuanya ikut terlibat dan terkena
dampaknya. Agama Hindu mengajarkan agar upacara Manusa Yajña. dilakukan sejak anak dalam
kandungan seorang ibu.
Upacara pernikahan / pawiwahan
Upacara pernikahan / pawiwahan
Ada beberapa perbuatan yang diajarkan oleh Veda sebagai bentuk pelaksanaan dari ajaran Manusa
Yajña, antara lain:

Membantu orangtua, wanita atau anak-anak yang menyeberang jalan ketika kondisi lalu lintas sedang
ramai.
Menjenguk dan memberikan bantuan kepada teman yang sakit.
Melakukan bakti sosial, donor darah, dan pengobatan gratis.
Memberikan tempat duduk kita kepada orangtua, wanita, atau anak-anak ketika berada di dalam
kendaraan umum.
Memberikan beras kepada orang yang membutuhkan.
Memberikan petunjuk jalan kepada orang yang tersesat.
Membantu fakir miskin yang sangat membutuhkan pertolongan.
Membantu teman atau siapa saja yang terkena musibah, bencana alam, kerusuhan, atau kecelakaan
lalu lintas.
Memberikan jalan terlebih dahulu kepada mobil ambulan yang sedang membawa orang sakit.
Semua perilaku ini wajib dilatih, dibiasakan, dan dikembangkan sebagai bentuk pelaksanaan Manusa
Yajña. Dalam konteks ini, tidak berarti hanya melakukan upacara saja, tetapi juga termasuk
membantu orang.
e. Bhuta Yajña
Upacara Bhuta Yajña adalah korban suci untuk para bhuta, yaitu roh yang tidak nampak oleh mata
tetapi ada di sekitar kita. Para bhuta cenderung menjadi kekuatan yang tidak baik, lebih suka
mengganggu orang. Contoh upacara Bhuta Yajña adalah masegeh, macaru, tawur agung, panca wali
krama. Sedangkan tujuannya adalah menetralisir kekuatan bhuta kala yang kurang baik menjadi
kekuatan bhuta hita yang baik dan mendukung kehidupan umat manusia.

KAITAN YADNYA PADA KISAH MAHABARATA DAN KEHIDUPAN MASA KINI


Mahabrata merupakan salah satu bagian dari Weda Smerti kelompok Upaweda, yaitu pada golongan
Itihasa. Mahabrata ditulis oleh Bhagawan Byasa / Kresna Dwipayana dan terdiri dari 18 parwa. Kisah
Mahabrata ini sangat banyak mengandung ajaran-ajaran luhur termasuk tentang yadnya didalamnya.
Di Indonesia, muncul banyak karya sastra yang bersumber dari ke delapan belas parwa tersebut.
antara lain berbagai kitab dan kekawin. Bahkan, dari kisah Mahabrata ini mampu memunculkan 2
kitab suci yaitu Sarasamuscaya dan Bhagawadgita.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kisah Mahabrata terdiri dari 18 parwa. Berikut adalah ulasan isi
dari parwa-para tersebut :
Adi Parwa : lahirnya para leluhur Pandawa dan Korawa, lahirnya para Pandawa, Korawa dan Karna,
dibaginya kerajaan Hastina Pura, Pandawa berhasil membangun kerajaan Indraprastha, Pandawa
berhasil menyelenggarakan upacara Aswamedha & Rajasuya yang membuat Duryodana iri.
Sabhaparwa : Pandawa dan Kurawa bertyemu di balai Jayanta untuk bermain dadu. Pandawa
mengalami kekalahan dan berjanji untuk mengasingkan diri ke hutan
Wanaparwa : berisi kisah pengasingan Pandawa selama 12 tahun di hutan
Wirataparwa : kisah Pandawa yang melewati masa 1 tahun penyamaran diri di kerajaan Wirata. Selain
itu diceritakan pula pernikahan antara Abimanyu dan Uttari.
Udyogaparwa : masing-masing pihak mulai mempersiapkan perang dengan mencari kerajaan sekutu
sebanyak-banyaknya. Kunti mengunjungi Karna sehingga Karna berjanji tidak akan membunuh
Pandawa kecuali Arjuna. Krisna menawarkan pilihan kepada Arjuna dan Duryodana, ingin memilih
dirinya atau pasukan Narayana.
Bhismaparwa : menceritakan tahap awal pertempuran di Kurusetra, terselip percakapan suci antara
Kresna dan Arjuna yang pada saat ini dikenal sebagai kitab Bhagawad Gita. Pada hari ke sepuluh
Bhisma gugur karena usaha Arjuna yang dibantu oleh Srikandi.
Dronaparwa : Drona diangkat sebagai panglima perang Kurawa. Diceritakan Drona gugur di medan
perang akibat dipenggal oleh Drestadyumna saat ia beryoga. Parwa ini juga menceritakan gugurnya
Abimanyu dan Gatot Kaca
Karnaparwa : Karna diangkat sebagai panglima perang Kurawa. Diceritakan pula kisah gugurnya
Dursasana akibat usaha Bima. Salya menjadi kusir kereta Karna. Karna pun gugur saat berusaha
mengangkat roda keretanya yang terbenam lumpur.
Salyaparwa : Salya diangkat sebagai panglima perang Kurawa. Salya dan Sangkuni pun gugur di
medan perang. Kemudian dilanjutkan dengan gadayudha oleh Bima dan Duryodana. Kurawa pun
hanya menyisakan Aswatama dan Krtawarman.
Sauptikaparwa : Aswatama menyusup ke perkemahan Pandawa dan membunuh panca Kumara,
Drestayumna, dan Srikandi. Ia melarikan diri ke pertapaan bhagawan Byasa yang disusul oleh para
Pandawa. Kresna mengutuk Aswatama karena telah menggunakan senjata terlarang untuk membunuh
keturunan Pandawa.
Striparwa : menceritakan isak tangis para wanita yang ditinggal keluarga mereka yang gugur di
medan perang. Yudistira mengadakan upcara pembakaran mayat dan persembahan air suci pada
leluhur. Kunti menceritakan kisah kelahiran Karna. Gandari mengutuk kerajaan Kresna 36 tahun lagi
akan hancur akibat perang saudara.
Santiparwa : Rsi Byasa dan Rsi Narada memberi Yudistira wejangan suci karena pergulatan batinnya
setelah membunuh saudara-saudaranya.
Anusasanaparwa : Yudistira menyerahkan diri pada Bhisma untuk menerima ajarannya. Atas izin dari
Kresna, Bisma pun meninggal dengan tenang.
Aswamedhikapara : Yudistira melaksanakan upacara Aswamedha. Kisah kelahiran Parikesit yang
dihidupkan kembali oleh Krisna.
Asramawasikaparwa : Drestarasta, Gandari, Kunti, Sanjaya, dan Widura pergi ke hutan dan
menyerahkan tahta ke Yudistira.
Mosalaparwa : bangsa Whrisni musnah, Krisna meninggalkan kerajaan dan pergi ke hutan. Atas saran
sri Byasa, Pandawa dan Drupadi pun ikut mengasingkan diri.
Mahaprastanikaparwa : kisah perjalanan Pandawa dan istrinya ke puncak gunung himalaya. Satu
persatu Pandawa tewas kecuali Yudistira. Adapun tahta kerajaan diserahkan pada Parikesit.
Swargarohanaparwa : dalam perjalanan ke puncak Yudistira ditemani seekor anjing. Dewa Indra
hendak menjemputnya ke surga, namun Yudistira menolah apabila anjingnya tidak ikut serta. Si
anjing pun menampakkan wujudnya yang sebenarnya yaitu Dewa Dharma.
Mahabrata mengandung ajaran-ajaran Weda yang sifatnya universal. Universal dalam artian berlaku
umum dan dapat dialami oleh siapa saja yang ada di dunia. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita
mengambil nilai-nilai baik dalam kisah Mahabrata ini sebagai pedoman hidup kita sehari-hari.
(http://nithaahomework.blogspot.co.id/2014/12/yadnya-dan-kaitannya-dengan-epos.html)
Adapun nilai-nilai yang terkandung di dalam teks Astadasaparwa diantaranya adalah. Nilai ajaran
dharma, nilai kesetiaan, nilai pendidikan dan nilai yajna (korban suci). Nilai-nilai ini kiranya ada
manfaatnya untuk direnungkan dalam kehidupan dewasa ini) :
Nilai Dharma (kebenaran hakiki) ,
Inti pokok cerita Mahabharata adalah konflik (perang) antara saudara sepupu (Pandawa melawan
seratus Korawa) keturunan Bharata. Oleh karena itu Mahabharata disebut juga Maha-bharatayuddha.
Konflik antara Dharma (kebenaran/kebajikan) yang diperankan oeh Panca Pandawa) dengan Adharma
(kejahatan/kebatilan ) yang diperankan oleh Seratus Korawa. Dharma merupakan kebajikan tertinggi
yang senantiasa diketengahkan dalam cerita Mahabharata. Dalam setiap gerak tokoh Pandawa lima,
dharma senantiasa menemaninya. Setiap hal yang ditimbulkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan,
menyenangkan hati diri sendiri, sesama manusia maupun mahluk lain, inilah yang pertama dan utama
Kebenaran itu sama dengan sebatang pohon subur yang menghasilkan buah yang semakin lama
semakin banyak jika kita terus memupuknya. Panca Pandawa dalam menegakkan dharma, pada setiap
langkahnya selalu mendapat ujian berat, memuncak pada perang Bharatayuddha. Bagi siapa saja yang
berlindung pada Dharma, Tuhan akan melindunginya dan memberikan kemenangan serta
kebahagiaan. Sebagaimana yang dilakukan oleh pandawa lima, berlindung di bawah kaki Krsna
sebagai awatara Tuhan. ” Satyam ewa jayate ” (hanya kebenaran yang menang).
Nilai kesetiaan (satya)
Cerita Mahabharata mengandung lima nilai kesetiaan (satya) yang diwakili oleh Yudhistira sulung
pandawa. Kelima nilai kesetiaan itu adalah: Pertama, satya wacana artinya setia atau jujur dalam
berkata-kata, tidak berdusta, tidak mengucapkan kata-kata yang tidak sopan. Kedua, satya hredaya,
artinya setia akan kata hati, berpendirian teguh dan tak terombang-ambing, dalam menegakkan
kebenaran. Ketiga, satya laksana, artinya setia dan jujur mengakui dan bertanggung jawab terhadap
apa yang pernah diperbuat. Keempat, satya mitra, artinya setia kepada teman/sahabat. Kelima, satya
semaya, artinya setia kepada janji. Nilai kesetiaan/satya sesungguhnya merupakan media penyucian
pikiran. Orang yang sering tidak jujur kecerdasannya diracuni oleh virus ketidakjujuran.
Ketidakjujuran menyebabkan pikiran lemah dan dapat diombang-ambing oleh gerakan panca indria.
Orang yang tidak jujur sulit mendapat kepercayaan dari lingkungannya dan Tuhan pun tidak merestui.
Nilai pendidikan
Sistem Pendidikan yang di terapkan dalam cerita Mahabharata lebih menekankan pada penguasaan
satu bidang keilmuan yang disesuaikan dengan minat dan bakat siswa. Artinya seorang guru dituntut
memiliki kepekaan untuk mengetahui bakat dan kemampuan masing-masing siswanya. Sistem ini
diterapkan oleh Guru Drona, Bima yang memiliki tubuh kekar dan kuat bidang keahliannya
memainkan senjata gada, Arjuna mempunyai bakat di bidang senjata panah, dididik menjadi ahli
panah.Untuk menjadi seorang ahli dan mumpuni di bidangnya masing-masing, maka faktor disiplin
dan kerja keras menjadi kata kunci dalam proses belajar mengajar.
Nilai yajna (koban suci dan keiklasan)
Bermacam-macam yajna dijelaskan dalam cerita Mahaharata, ada yajna berbentuk benda, yajna
dengan tapa, yoga, yajna mempelajari kitab suci ,yajna ilmu pengetahuan, yajna untuk kebahagiaan
orang tua. Korban suci dan keiklasan yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud tidak
mementingkan diri sendiri dan menggalang kebahagiaan bersama adalah pelaksanaan ajaran dharma
yang tertinggi (yajnam sanatanam). Kegiatan upacara agama dan dharma sadhana lainnya
sesungguhnya adalah usaha peningkatan kesucian diri. Kitab Manawa Dharmasastra V.109
menyebutkan.: “Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kejujuran (satya), atma
disucikan dengan tapa brata, budhi disucikan dengan ilmu pengetahuan (spiritual)”
Nilai-nilai ajaran dalam cerita Mahabharata kiranya masih relevan digunakan sebagai pedoman untuk
menuntun hidup menuju ke jalan yang sesuai dengan Veda. Oleh karena itu mempelajari kita suci
Veda, terlebih dahulu harus memahami dan menguasai Itihasa dan Purana (Mahabharata dan
Ramayana), seperti yang disebutkan dalam kitab Sarasamuscaya sloka 49 sebagai berikut : “Weda itu
hendaknya dipelajari dengan sempurna, dengan jalan mempelajari itihasa dan purana, sebab Weda itu
merasa takut akan orang-orang yang sedikit pengetahuannya”
(http://wayantarne.blogspot.co.id/2014/11/kajian-nilai-dan-makna-filosofis-kisah.html)
PROSES YADNYA PADA MASA MAHABHARATA (MASA LALU) DAN MASA KINI
Yadnya yang dilakukan pada kisah Mahabharata (masa lalu/India) ternyata berbeda dengan
Yadnya yang dilakukan oleh masyarakat masa kini (Bali). Berikut merupakan persamaan dan
perbedaan beberapa yadnya yang dilakukan pada kisah Mahabharata dan pada saat ini :
Perbedaan
Upacara Pemakaman (ngaben) :
Di India upacara ngaben dilakukan dengan sangat sederhana. Yaitu dengan cara menyiramkan air
kepada jenazah yang sudah dibungkus oleh kain kasa dan kemudian dibakar. Setelah dibakar abu dari
jenazah tersebut akan dihanyutkan di sungai.
Sedangkan upacara ngaben di Bali membutuhkan banten yang banyak. Dan biasanya dilakukan di
pemakaman. Yang kemudian abunya diletakkan pada mrajan rong telu.
Upacara Pernikahan
Di India tangan dan kaki pengantin wanita dan seluruh anggota keluarga terdekatnya akan dihias oleh
seniman henna profesional. Henna dipercaya bisa meningkatkan kecantikan pengantin wanita.
Upacara ini biasanya dilaksanakan sehari sebelum pernikahan. Juga dilaksanakan upacara pemujaan
Ganesh Puja. Sebelum pesta dimulai, Ganesh Puja dilakukan untuk keberuntungan. Hal ini penting
karena Ganesh adalah dewa penghancur segala hambatan. Upacara ini biasanya melibatkan anggota
keluarga inti kedua mempelai.
(http://dharmagupta.blogspot.co.id/2013/11/tata-cara-perkawinan-hindu-etnis-bali.html)
Sedangkan di Bali mencari hari baik/ medewasa ayu. Mencari hari baik (dewasa) biasanya dilakukan
oleh pihak pengantin pria, dengan cara minta petunjuk kepada seorang sulinggih atau seseorang yang
sudah biasa memberikan dewasa (nibakang padewasaan). Adapun dewasa yang diminta biasanya
berurutan sesuai dengan acara-acara dalam pelaksanaan upacara perkawinan, antara lain: dewasa
pangenten (pemberitahuan), dewasa mererasan (meminang/mapadik), dewasa penjemputan calon
pengantin wanita dan dewasa pawiwahan. Serta dilakukan Acara memadik menggunakan upakara.
Adapun upakara yang dibawa pada waktu memadik (meminang), antara lain:
Pejati, sebagai upakara pesaksi untuk dihaturkan di pemerajan calon pengantin perempuan.
Canang pangraos, ditambah dengan segehan putih kuning asoroh.
Pagemelan (rarapan) atau
(https://id.wikihow.com/Merayakan-Pernikahan-Tradisional-Hindu)
Persamaan
Upacara Pemakaman (ngaben)
Upacara ngaben yang dilakukan di India dan di Bali memiliki persamaan yaitu, sama-sama dilakukan
pembakaran terhadap jenazahnya.
Upacara Pernikahan
Upacara pernikahan di India dan di Bali sama-sama melakukan pertemuan keluarga antara pengantin
pria dan wanita.

MAKNA YANG TERKANDUNG APABILA MELAKUKAN YADNYA DENGAN TULUS


Yadnya adalah korban suci secara tulus ikhlas dalam rangka memuja Hyang Widhi. Pada dasarnya
Yadnya adalah penyangga dunia dan alam semesta, karena alam dan manusia diciptakan oleh Hyang
Widhi melalui Yadnya. Pada masa srsti yaitu penciptaan alam Hyang Hidhi dalam kondisi Nirguna
Brahma ( Tuhan dalam wujud tanpa sifat ) melakukan Tapa menjadikan diri beliau Saguna Brahma
( Tuhan dalam wujud sifat Purusha dan Pradhana ). Dari proses awal ini jelas bahwa awal penciptaan
awal dilakukan Yadnya yaitu pengorbanan diri Hyang Widhi dari Nirguna Brahma menjadi Saguna
Brahma . Selanjutnya semua alam diciptakan secara evolusi melalui Yadnya.
Yadnya di dalam suatu upakara haruslah di dilandasi oleh rasa tulus ikhlas dengan rasa yang senang.
Persembahan yang tulus ikhlas dan dilandasi hati yang bersih niscaya tuhan akan menerima
persembahan yang kita haturkan kepada beliau. Jika apa yang kita persembahkan itu ingin di terima
tuhan, maka kita harus memberinya dengan rela, tulus dan suka cita tanpa ada motivasi terselubung
dibalik itu dan jangan sampai kita memberikan dengan terpaksa atau karena dipaksa oleh pihak lain,
jika tidak, maka persembahan kita tidak akan berarti apa-apa dihadapan tuhan dan tidak mendapatkan
berkat bagi kita. Mungkin dengan persembahan yang diberikan orang lain disenangkan, tapi belum
tentu hal itu menyenangkan hati tuhan. Dalam persembahan yang tulus ikhlas tuhan tidak melihat
besar kecilnya persembahan yang kita persembahkan, namun motivasi dan ketulusan hati kita. Dan
jangan pernah hitung-hitungan dengan Tuhan, apalagi menahan berkat yang seharusnya kita salurkan
kepada yang berhak menerima.
(http://dexputra501.blogspot.co.id/2014/04/nilai-di-dalam-sebuah-keikhlasan-di.html)
HAL YANG BISA KITA PETIK DALAM KISAH MAHABARATA DALAM MELAKUKAN
YADNYA
Bermacam-macam yajna dijelaskan dalam cerita Mahaharata, ada yajna berbentuk benda, yajna
dengan tapa, yoga, yajna mempelajari kitab suci ,yajna ilmu pengetahuan, yajna untuk kebahagiaan
orang tua. Korban suci dan keiklasan yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud tidak
mementingkan diri sendiri dan menggalang kebahagiaan bersama adalah pelaksanaan ajaran dharma
yang tertinggi (yajnam sanatanam).
Kegiatan upacara agama dan dharma sadhana lainnya sesungguhnya adalah usaha peningkatan
kesucian diri. Kitab Manawa Dharmasastra V.109 menyebutkan.:
“Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kejujuran (satya), atma disucikan dengan
tapa brata, budhi disucikan dengan ilmu pengetahuan (spiritual)”.
Nilai-nilai ajaran dalam cerita Mahabharata kiranya masih relevan digunakan sebagai pedoman untuk
menuntun hidup menuju ke jalan yang sesuai dengan Veda. Oleh karena itu mempelajari kita suci
Veda, terlebih dahulu harus memahami dan menguasai Itihasa dan Purana (Mahabharata dan
Ramayana), seperti yang disebutkan dalam kitab Sarasamuscaya sloka 49 sebagai berikut :
“Weda itu hendaknya dipelajari dengan sempurna, dengan jalan mempelajari itihasa dan purana,
sebab Weda itu merasa takut akan orang-orang yang sedikit pengetahuannya”
(http://parwata-lananganom.blogspot.co.id/2008/12/kenapa-ber-yadnya-diambil-dari-milist.html)

Anda mungkin juga menyukai