Anda di halaman 1dari 2

Chevina Alfa Buana (17 ID1 P)

Cerita Dampu Awang

Dahulu kala sekitar tahun 1500-an di Desa Tasik Agung, Rembang, hidup seorang janda etnis Tionghoa
bernama Mai Lae, ia mempunyai 3 anak laki-laki, si sulung bernama Dampo Awang, anak kedua bernama
Dampo Awung, dan anak ketiganya bernama Dampo Awing. Mai Lae dan ketiga anaknya hidup serba
kekurangan, Mai Lae hanya bekerja sebagai buruh serabutan dengan penghasilan yang rendah, dengan susah
payah Mai Lae mendidik dan menghidupi ketiga anaknya, suami dari Mai Lae sendiri telah lama meninggal
dunia karena tenggelam saat berangkat melaut.

Mai Lae mendidik ketiga putranya dengan penuh kasih sayang dan disiplin tinggi hingga membentuk
karakter ketiga anaknya, si sulung Dampo Awang memiliki karakter pekerja keras dan ambisius, Dampo Awung
memiliki karakter penyayang, dan Dampo Awing memiliki karakter bijaksana, ketiga bersaudara itupun mampu
hidup rukun dan saling menyayangi, mereka juga sangat menyayangi ibu mereka, Mai Lae. Meski Keluarga ini
hidup serba kekurangan, namun ikatan kekeluargaan diantara mereka mampu terjalin begitu erat. Mereka juga
saling menguatkan satu sama lain ketika cibiran-cibiran pedas para tetangga menghampiri mereka.

Ketika menginjak dewasa, tiba saatnya bagi ketiga putra Mai Lae tersebut untuk menentukan hidupnya,
Dampo Awang memilih merantau demi mewujudkan ambisinya menjadi orang kaya, Dampo Awung memilih
bekerja didekat rumah agar bisa merawat ibunya, sedangkan Dampo Awing mecoba menitih karir menjadi
pedagang dengan berjualan kue. Ketika Dampo Awang hendak pergi merantau ia pun berpamitan dengan ibu
dan kedua adiknya, saat berpamitan dengan ibunya Dampo Awang berkata : “Ibu doakan aku ya agar menjadi
pelaut yang berhasil dan kaya raya, aku tidak akan pulang sebelum bisa menjadi saudagar kaya” sang ibu
menjawab “Iya nak doa ibu selalu menyertaimu, ini aku berikan cincin emas satu-satunya milik ibu pemberian
ayahmu dulu untuk bekal mu merantau”, “Terimakasih ibu aku tidak akan pernah melupakan jasa-jasa mu
dalam hidupku” ucap Dampo Awang.

Singkat cerita, pergilah Dampo Awang merantau bersama beberapa pemuda Tasik Agung. Saat Dampo
Awang pergi merantau Mai lae sang ibu tak henti-hentinya selalu mendoakan kerberhasilan Dampo Awang,
peluh air mata selalu keluar saat Mai Lae mendoakan Dampo Awang, Mai Lae yakin Dampo Awang akan
berhasil mengingat Dampo Awang adalah sosok pekerja keras dan ambisius. Benar prediksi Mai Lae, dalam
perantauannya, Dampo Awang selalu bekerja keras dan tidak mudah menyerah, hingga 20 tahun kemudian
Dampo Awang telah menjadi sosok yang kaya raya berkat usaha dan kerja kerasnya, setelah kaya raya Dampo
Awang pun pulang ke Tasik Agung untuk memamerkan keberhasilannya menjadi orang kaya kepada para
tetangganya.
Dampo Awang pergi menuju Tasik Agung dengan mengajak istrinya yang cantik dan juga para
pengawalnya yang berjumlah belasan orang, Rombongan Dampo Awang berangkat menggunakan kapal pesiar
mewah miliknya, setelah 2 hari 2 malam menumpuh perjalanan sampailah rombongan ini ditempat tujuan.
Sesampai di dermaga pelabuhan Tasik Agung, para tetangga pun riuh menyambut kedatangan Dampo Awang
yang kini telah menjadi orang kaya raya, pakaian Dampo Awang terbuat dari lapisan emas, sepatu Dampo
Awang terbuat dari berlian, beberapa tetangga pun memberitahu Mai Lae bahwa anak sulungnya Dampo Awang
telah kembali dengan keberhasilannya menjadi orang kaya.

Mai Lae yang telah berumur 60 tahun pun bungah dan dengan tergesa-gesa mengajak dua adik Dampo
Awang untuk menyambut kakaknya. “Ayo kita sambut kakak kalian nak” ucap Mai Lae kepada Dampo Awing
dan Dampo Awung. Singkat cerita mereka bertiga pun bergegas menuju dermaga yang berjarak tak jauh dari
rumah mereka. Ketika Mai Lae sampai di dermaga dan bertemu Dampo Awang, Mai Lae langsung memeluk
Dampo Awang, namun yang terjadi Dampo Awang justru menghindar dan menghina Mai Lae, Dampo Awang
berkata “Hai kau siapa? Sudah tua lusuh, jelek, kotor mau memelukku yang ganteng dan kaya ini!". Mai Lae
pun kaget dengan respon Dampo Awang, kemudian Mai Lae membalas dengan disertai isak tangis “Nak aku
ibumu nak aku ibumu”, Dampo Awang Menyahut lagi “Ibu ku telah lama mati, dan aku tidak mungkin memiliki
ibu jelek sepertimu”.

Istri Dampo Awang pun mengingatkan suaminya “Suamiku tercinta apakah dia itu ibu kandung mu, akui
dan peluklah dia jika memang iya”, Dampo Awang membalas perkataan istrinya “Tidak istriku dia bukan ibuku,
ibuku telah lama mati.". Kedua adik Dampo Awang pun sakit hati dengan perkataan Dampo Awang tersebut dan
berkata “Kakak kau benar-benar durhaka kepada ibu, dulu kau merantau diberi bekal cincin emas satu-satunya
milik ibu tidak ingatkah kau dengan jasa ibu”, Dampo Awang menyahut lagi dengan ketus “Wanita tua bangka
dan lusuh itu (sambil menunjuk Mai Lae) bukan ibuku, kalian juga bukan adik-adik ku”.

Melihat sikap angkuh Dampo Awang, Mai Lae pun murka dan mengutuk Dampo Awang “Hai kau
Dampo Awang yang angkuh, kau sudah kelewatan tidak mengakui ku sebagai ibumu dan juga tidak mengakui
Dampo Awing dan Dampo Awung sebagai Adikmu, kau ku kutuk semoga tenggelam dilautan dan tewas
bersama gulungan ombak”. Setelah peristiwa itu, Dampo Awang pun memutuskan kembali pulang, benar saja,
saat Dampo Awang kembali pulang, tiba-tiba hujan deras dan badai datang, dan menghantam kapal yang
ditumpangi oleh Dampo Awang, kapal Dampo Awang pun pecah karena hantaman ombak, Dampo Awang
akhirnya tewas tenggelam ditengah lautan beserta rombongannya, hanya sang istri yang selamat.

https://www.qureta.com/post/cerita-legenda-dampo-awang
Diunduh 10 Oktober 2019

Anda mungkin juga menyukai