Anda di halaman 1dari 20

SAIJAH DAN ADINDA

Karya : MULTATULI
Reproduksi : Aryaguna
Dari Saijah dan Adinda
Cuplikan dari “MAX HAVELAR”

BABAK I
Matahari menjelang tenggelam di desa parangkujang. Kelihatan Saijah, Santari dan Mad
Dorat sedang istirahat di jalanan pinggir hutan. Beberapa tonggak kayu bekas di tebang
mencuat dari tanah. Beberapa saat hening, antara mereka tak saling berkata. Kemudian
Saijah mengeluh dan berkata.
SAIJAH : Lima belas tahun di sini, bukan sebentar. Berat sekali disuruh
pindah begitu saja. Sungguh berat meninggalkan tanah. (menarik
nafas panjang) Tanah adalah sebagian dari hidup kita, dan
meninggalkan tanah adalah seperti meninggalkan sebagian dari
nyawa. Kalian kan ngerti ini! Tidak ada anak tani yang
meninggalkan tanah tempat ia dilahirkan!! (tempo) Air yang
mengalir dalam tanah merupakan darah sendiri dalam tubuhnya,
dan dia tidak bisa rela memberikan darahnya. Dan kalau dia juga
dipaksa pergi… ah, adakah orang yang rela begitu saja
memberikan darahnya?! Itulah anak tani. Tidak bisa dipaksa!
Tapi kalau tanah sudah kering, itulah pula berarti darahnya
kering sudah, seperti aku… kalau sudah kering, aku mau apa lagi
di sini, di atas tanah kering…
MAD MORAD : Masih banyak bagian lain tempat yang akan dikerjakan.
SAIJAH : Tapi siapa menjamin, bahwa itu aman bisa dikerjakan.
MAD MORAD : Tapi pak Kliwon dengan keluarganya malah pindah ke tempat
sebelah sungai itu.
SAIJAH : Ya, dia baru datang ke sini, Mad, dan mengapa dia kemari? Aku
sendiri tidak tahu… menurut kata orang di tempatnya, dulu dia
punya apa-apa.(sinis) sekarang dia malah punya kerbau sendiri.

1
SANTARI : Dia usaha sendiri barangkali.
SAIJAH : Kalau betul dia usaha sendiri, tentu dia hidupnya enak. Dan
kalau dia hidup tenang di tanahnya, masa dia mau pindah!
SANTARI : Kalau begitu darimana?
SAIJAH : (dengan cemooh) darimana… memang tidak ada orang yang bisa
tahu. Cuma orang tahu, sesudah pak Kliwon pergi, dia yang mula
mula mau pergi dari situ juga kawan-kawannya pergi dari situ.
Dan Kanjeng Bupati yang kasih salam sama pak Kliwon. Pak
Kliwon perginya gembira tapi kawan-kawannya tak gembira
seperti pak Kliwon.
MAD MORAD : Kalau begitu untung sekali pak Kliwon.
SAIJAH : Untung sampai nanti darahnya jadi kering?!
SANTARI : Mengapa sampai darahnya, Jah?
SAIJAH : Dia untung sampai darahnya kering, Santari, dan sampai dia
tidak punya kerbau lagi!!
MAD MORAD : Kenapa begitu?
SAIJAH : Sekarang dia punya kerbau, dia enak. Tapi siapa yang menjamin
bahwa dia boleh terus tinggal di atas tanah yang dia diami
sekarang, dan dia boleh terus punya kerbau? (sejenak hening)
SANTARI : Kan Kanjeng Bupati yang kuasa kasih tanah.
SAIJAH : Nah , jadi Kanjeng Bupati yang kuasa semua. Ah, sejarah lama
akan berulang. Juga bapaku dulu begitu, tapi tetap dia tidak mau,
dan karena itulah, begini jadinya aku. Dia juga disuruh pindah,
tapi…
SANTARI : Tapi…?
SAIJAH : Tapi dia ingkar, dan apa yang terjadi, kau tahu? Si hitam
kerbauku hilang! Si hitam yang telah menolong aku dari bahaya
maut. Kalian tahu bagaimana hebatnya dia berkelahi? Harimau
itu sudah bukan main dekatnya – aku terjerambab di tanah. Tapi
si hitam – dia sedia. Perut harimau dia makan dengan tanduknya,
terburai keluar ususnya. Kepalanya luka…(diam sebentar –

2
berubah sedih) dan kalian bayangkan, bagaimana sedih hatiku,
ketika si hitam ditarik keluar, dipaksa, dan dia seakan-akan
mengerti tidak mau bercerai dengan aku, tapi yang paling sedih
ibu, karena dia… bapa tentu juga sedih… yang mengobati si
hitam dengan daun, dia tahu, luka bekas kuku di leher si hitam
yang keras dan tebal itu akan menjadi luka di tubuh anaknya
yang sangat lunak. (tempo) manusia kan mesti tahu balas guna.
Sedangkan binatang juga tahu membalas guna. Cuma saja
manusia biasa lupa semuanya, kalau dia sedang senang.
SANTARI : Masa dia boleh begitu, Jah? Apa boleh saya mengambil kerbau
orang?
SAIJAH : Betullah kau masih kanak-kanak. Kau terlalu lurus, dik, memang
benar tidak hak seorang untuk merampas hak orang lain.
Kecuali… ada kecualinya ! Kecuali yang merampas itu
berkuasa!
SANTARI : (bersama Mad Morad) lho?!
SAIJAH : Kecuali yang merampas itu berkuasa, kataku. Dia dapat berbuat
sekehendaknya karena segala kekuasaan ada di tangannya. Lebih
dari kerbau dapat diambilnya. Nyawa kitapun…
MAD MORAD : Tapi siapa yang mengambil kerbaumu dulu, Jah?
SAIJAH : (agak meradang) Siapa lagi kalau bukan yang berkuasa!
MAD MORAD : Ya, siapa yang berkuasa?
SAIJAH : Masa kau tidak tahu, kan tadi sudah kukatakan. Aku mau Tanya:
siapa yang berkuasa atas tanah kau tinggal? (memandang Satari)
siapa yang meminta pajak pernah kau lihat pada ayahmu?
SANTARI : Kepala desa, jadi, kepala desa yang mengambilnya?
SAIJAH : Dia tentu tidak. Dia Cuma melaksanakan perintah.
SANTARI : Perintah siapa?
SAIJAH : Perintah atasannya. Tuan Camat.
SANTARI : Dan tuan Camat?
SAIJAH : Tuan Camat menjalankan perintah atasannya, tuan Wedana.

3
SANTARI : (ragu) kemudian…
SAIJAH : Ya… pada akhirnya kau tahu juga, bahwa perintah itu datang dari
orang yang berkuasa di daerah Lebak ini. Itulah Kanjeng Bupati.
MAD MORAD : (kurang percaya) Kanjeng Bupati… masa, Jah? Kan itu ada tuan
Residen – dia lebih tinggi. Dia tidak bisa bikin apa-apa?
SAIJAH : Tuan Residen mana maksudmu, Mad Morad?
MAD MORAD : (ragu) Tuan Residen… ka nada Tuan Residen…
SAIJAH : Oh, itu. Asisten Residen… ya, dia juga orang atasan, tapi dia tak
bisa bikin apa-apa. Dia di sini tidak kuasa apa-apa kelihatannya
9tempo) tapi aku masih ingat betul, waktu mula-mula ia datang
ke sini. Semua kepala-kepala dipanggil ke sini. Semua disuruh
duduk di muka kantornya, dan dia pidato. Aku masih ingat
bagian-bagian pidatonya. Hebat sekali. Dia datang ke sini dengan
anak istrinya, dia senang tinggal di sini. Ah, hebat sekali
pidatonya…
Black out – spot light (silhouette)
ASS RESIDEN : Tuanku raden Adipati bupati Banten Kidul, dan sekalian para
raden Demang, yang menjadi kepala distrik di daerah ini, tuan
Raden Jaksa, yang bekerja menegakkan keadilan dan tuan Raden
Kliwon, yang menjalankan kekuasaan di ibu kota, dan sekalian
para raden, mentri-mentri, serta sekalian kepala-kepala di daerah
Banten Kidul. Terimalah salam saya… saya lihat bahwa rakyat
tuan-tuan miskin, dan itulah yang menggembirakan hati nurani
saya. Sebab saya tahu bahwa Allah cinta orang yang miskin, dan
bahwa ia melimpahkan kekayaan kepada orang yang hendak
diujinya, tetapi kepada orang yangmiskin diutusnya orang yang
menyampaikan firman-Nya, supaya mereka bangkit dari
kemelaratan… Kita bersuka cita bukan karena memotong padi,
kita bersuka cita karena memotong padi kita yang kita tanam.
Dan jiwa manusia tumbuh bukan karena upah, tapi kerja yang
membikin ia berhak menerima upah… dan Residen di Semarang,

4
yang adalah penguasa di wilayah Banten dimana berdiam lima
kali seratus ribu manusia, ingin supaya keadilan berlaku di
daerahnya, dan supaya berlaku keadilan di swapraja-swapraja
yang patuh kepadanya…. Tuan-tuan kepala negri Lebak, kita
semua menginginkan itu. Tapi jika ada orang diantara kita yang
melalaikan kewajiban untuk mencari keuntungan, yang, menjual
keadilan demi uang, atau merampas kerbau dari orang miskin,
dan buah kepunyaan orang lapar… siapa yang akan
menghukumnya? Tuan kepala negri Lebak, siapakah yang
menjalankan keadilan di Banten Kidul? Dengarkanlah saya, jika
saya katakana kepada tuan, bagaimana keadilan akan
dijalankan….
Black out – fade in
SAIJAH : Ya, dia bilang, bahwa kita semua akan mati, baik yang berlaku
adil, yang menjalankan hokum dan keadilan, yang tidak
melakukan pemerasan terhadap si miskin, baik siapa yang
menjual hokum kepada siapa yangmemberinya uang, yang
tersenyum bahagia walau tak ada susu pada susu para ibu yang
sedang menyusukan. Dia sangat mengharap perhubungan baik
dengan tuan-tuan kepala Lebak, hidup dalam persahabatan, dia
akan memberikan teguran lunak kepada yang berlaku sesat. Akan
tetapi kepada yang menjalankan kesalahan yang lebih besar,
yang melakukan paksaan dan penindasan, dia tak mau bicara
lagi… hebat sekali (semua diam)
MAD MORAD : (setelah diam beberapa saat) dan apa jawab tuan-tuan di situ?
SAIJAH : (sambil geleng kepala) Oh, mereka diam semuanya. Kan berani
Cuma pada yang kecil-kecil ini. (mencemooh) memang ada
beberapa yang melihat kepada Kanjeng Bupati Lebak, tetapi tang
lain-lain kebanyakan tunduk semua. (tempo-berubah sedih)
tetapi… kerbau kami diambil, sebab bapa ingkar ikut perintah
Kanjeng Bupati. Pikirnya! Kalau kerbau tidak ada, tentu tidak

5
bisa kerja, tentu tidak bisa dapat uang, tidak bisa bayar pajak.
Tentu dia bisa diusir. (tunduk berubah sedih) celaka sekali,
memang bapa hampir menangis, si hitam dulu dibelinya dengan
menjual keris pusaka kakek. Keris pakai sepuhan perak. Bagus
sekali!
SANTARI : tapi sebelum itu kan kalian ada punya kerbau.
SAIJAH : Betul, ada. Tapi itu sudah lebih dulu diambil. Karena itulah bapa
disuruh pindah tidak mau lagi. Waktu kerbau pertama dulu
diambil, bapa tidak bilang apa-apa.
SANTARI : Mengapa diambil?
SAIJAH : (geram) Karena tuan Wedana perlu adakan pesta besar-besaran,
kan anaknya yang perempuan kawin. Dan tuan Wedana adalah
adik ipar Kanjeng Bupati (semua menarik nafas geram-sedih)
MAD MORAD : Tapi apakah semua ini dibiarkan Tuhan?
SAIJAH : (tenang) Yah.. nasib, dibiarkan Tuhan atau tidak, entah! Tapi
begitulah jadinya, dan lenyap pula bapa. Bapa lari dari rumah,
karena kalau dia tidak bisa bayar pajak, bukan saja diusirnya,
tapi dia akan dihukum. Pusaka dia tidak ada lagi, karena
kakekpun, bapanya, tidak punya apa-apa. Kerbaunya diambil
Kanjeng Bupati yang sekarang ini, masih dicobanya dengan
menyewa kerbau, tapi sungguh sakit kerja demikian kalau sudah
biasa kerja dengan kerbau sendiri, sama susahnya dengan kita
sekarang kita sekarang. Dari tanah yang sudah kita tanam dan
kerjakan sejak kecil disuruh pindah ke tanah yang belum pasti
baik.
SANTARI : Memang sakit memberikan apa yang menjadi hak kita, apalagi
kalau dirugikan. (semua diam mengikuti pikiran masing-masing)
MAD MORAD : Sudah itu kemana bapamu, Jah?
SAIJAH : (tenang) ibu terlampau bersusah hati karena bapa pergi, dan ini
membuat dia sakit… dan meninggal dunia, dan entah bapa
mengetahui ibu tidak ada, pikirnya bertambah kalap, dia lari

6
lebih jauh, lari dari Lebak. Dan tinggal aku tak menentu…
(tempo) dan sejak itu aku diambil oleh bapa si Adinda. Sungguh
aku berterima kasih sangat kepada kebaikan orang tua itu.
MAD MORAD : (menatap Saijah) Kau tidak berhutang budi apa-apa, Jah. Antara
tani dengan tani tak ada hutang! Antara tani dengan tani ada
hubungan nasib yang sama dipertahankan mati-matian, dan
kesatuan nasib ini, siapapun tidak bisa memecahkan, juga tidak
Kanjeng Bupati yang menguasai daerah ini!
SANTARI : Karena itu, sebaiknya engkau tetap tinggal di sini, baik di
sebelah sana kita mulai membantu.
SAIJAH : Bagiku soal lain, kakek dan bapaku, keduanya turun temurun
dirampas Kanjeng Bupati, dan aku lihat rumah gubugku itu,
sejak kutinggalkan lama, makin lama makin tua, sampai rubuh.
Ya, aku tidak punya apa-apa lagi, tapi biarpun demikian, aku
masih menjadi incaran Kanjeng Bupati, karena bapa ingkar, yang
sudah kering darahnya dihisap, kemudian ditangkap lagi sesudah
melarikan diri, alasan mudah dicari, sebagai mudahnya mencari
tongkat pemukul anjing, dia dipersalahkan meninggalkan Lebak
ini tidak dengan surat keterangan, dan polisi membawanya
kembali ke Badur.
MAD MORAD : Mau kemana bapa rupanya?
SAIJAH : Dia mau cari makan ke bogor, tapi dia dikirim kembali ke Badur,
dan dia dimaukkan dalam penjara. Bukan karena tidak bayar
pajak, tapi karena dia dinyatakan gila, dan lihat, mudahnya orang
cari : alas an untuk memasukkan orang dalam, penjara. Soal
sebenarnya, tentu mereka takut bapa akan gelap mata dan
mengamuk, sebab sesabar-sabarnya manusia tentu ada batasnya.
Tapi bapa tidak lama dalam penjara, dia segera mati, darahnya
sudah kering, dan untuk mencabut nyawa yang masih ada sedikit
lagi itu, tidak sukar. Untuk ini dia tidak perlu payah-payah
membunuh diri karena kekesalan.

7
(Semua diam, matahari makin membenam. Saijah berdiri
memandang kejauhan yang lain memandangnya dengan saying)
SAIJAH : (Berbisik) Ah, itu Adinda. Dia mau menuju kemari.
SANTARI : Kalau begitu biar kami pergi, tentu dia perlu ada apa-apa dengan
kau.
(Santari dan Mad Morad pergi – Adinda datang – Saijah
memandang dengan gembira tertahan – Adinda mendekati lamat-
lamat)
SAIJAH : (Lambat) Kau lewat dari tempat kami tinggal dulu, Adinda?
ADINDA : Ya, baru aku lewat dari sana.
SAIJAH : Dan apa yang kelihatan olehmu dari sana?
(Adinda tidak menjawab. Dipandang Saijah mukanya – Adinda
tunduk – lamabat dia duduk ke atas sebuah tonggak kayu)
ADINDA : (Sayu) Abu, tumpukan tanah bersama kotoran sampah.
SAIJAH : (Menarik nafas, memandang wajah Adinda) Di Lebak banyak
tumpukan tanah seperti itu, tanda derita. Karena itulah aku akan
pergi, aku tidak mau bapamu akan mengalami macam-macam
pula oleh karena aku, dan alasan seperti kau tahu mudah dicari,
semoga kau dan orang tuamu selamat, Adinda.
ADINDA : Tapi kau belum tahu kemana kau akan pergi, kemana yang kau
tuju?
SAIJAH : Oh, aku akan ke kota, Adinda, bukan ke Bogor, bukan… bapa
hendak kesitu tapi tak bisa, aku mau ke Betawi.
ADINDA : Apa yang hendak kau lakukan? Kau hanya tahu tani.
SAIJAH : Di Betawi gampang cari uang. Di kota banyak tuan-tuan gagah
naik bendi, dan tentunya tuan-tuan itu bisa memakai aku jadi
suruh-suruhannya mengurus bendi. Untuk mengurus bendi tentu
dia cari orang muda seperti aku, dan kalau rajin tentu akan
banyak uang.
ADINDA : (Gembira campur haru) Saijah…

8
SAIJAH : Ya… dan kalau terus rajin dalam tiga tahun, uangku cukup buat
beli dua kerbau (berpikir sebentar, lalu mendekati Adinda dan
duduk di sampingnya di atas tonggak) Adinda, coba pikir, kalau
aku kembali, kita sudah bisa kawin, kita sudah punya dua
kerbau!
ADINDA : Baik, sekali, Saijah! Aku mau kawin dengan engkau, kalau kau
kembali, dan selama kau pergi, aku akan rajin menenun, bikin
sarung dan selendang, membatik, aku akan rajin selama itu.
SAIJAH : Aku percaya padamu, Adinda. (ragu) tapi kalau kudapati kau
kelak telah kawin dengan orang lain?
ADINDA : (Tertegun sebentar) Saijah… kau kan tahu, bahwa aku tidak akan
kawin dengan siapapun selain engkau. Bapaku telah berjanji
dahulu dengan bapamu.
SAIJAH : Bapamu dan bapaku… tapi kau sendiri?
ADINDA : (Tersenyum) Sudah tentu, pasti. Mengapa kau binbangkan.
(tempo)
SAIJAH : Kalau aku kembali, dari jauh akan aku serukan…
ADINDA : Siapa bisa mendengarnya kalau kami menumbuk padi di
kampung?
SAIJAH : Oh ya… betul juga, tapi Adinda… (sebentar pikir) yah beginilah,
tunggu aku di hutan jati, di bawah pohon ketapang, tempat kau
dulu memberikan melati padaku.
ADINDA : Tapi Saijah, bagaimana kutahu kalau aku harus kesana
menunggu di bawah pohon ketapang?
SAIJAH : (Sejenak) hitunglah bulan! Tiga kali dua belas bulan aku akan
pergi. Bulan ini jangan turut dihitung. (memandang kejauhan)
dan Adinda tiap bulan terbit, berilah tanda guritan pisau di
lesungmu, dan kalau kau telah menarik tiga kali dua belas
guritan,… pada hari berikutnya, aku akan menunggu di bawah
pohon ketapang. (menatap Adinda) maukah kau berjanji Adinda?

9
ADINDA : (Mengangguk tenang) Saijah, ya. Jika kkembali, aku pun
menunggu di bawah pohon ketapang, dekat pohon jati, apakah
tanda mataku untukmu Saijah?
(Saijah menatap terus – Adinda menyobekkain selendangnya –
diberikan kepada Saijah – Saijah menyobek ikat kepalanya dan
diserahkan Adinda – Saijah mengambil melati dari kantongnya
dan membungkus dengan kain sobekan selendang Adinda)
SAIJAH : Inilah melati pemberianmu dulu, Adinda. Aku akan selalu
mengenangmu…
(pelan-pelan lampu padam)

BABAK II
Hari malam, di jalan ke Badur dekat hutan jati, ada pohon ketapang pohon-pohon lain
dan beberapa tonggak pohon. Kelihatan Saijah agak bingung. Kemudian diletakkannya
bungkusan bawaannya. Kotak bambu dibukanya, dikeluarkannya pas dan surat-surat
keterangan, pada bumbung bambu yang lain diikat dengan kulit ada kotak bambu.
Di timbang-timbangnya dengan gembira, kemudian dikeluarkannya isinya, dihitung-
hitungnya, di pinggangnya ada keris, dipegang-pegangnya pula kemudian di bukanya.
Ada ikat pinggang berkilat, di sediakannya untuk Adinda, segala bawaannya itu
dihadapinya dengan gembira. Saijah duduk kelihatan gelisah – tidak sabar. Sesudah agak
tenang dipegangnya tali yang terikat di lehernya, keluar satu bungkusan sutera, dibuka:
bunga melati layu, diciumnya. Saijah memandang jauh, dengan tak sadar berkata:
SAIJAH : Di sanalah Badur… (diamatinya pohon satu persatu)
(terdengar suaranya sendiri – se:
* hitunglah bulan, tiga kali dua belas bulan aku akan pergi,
Adinda. Tiap bulan baru terbit, guritkan tanda pisau di
lesungmu.
(Saijah termenung. Kedengaran suara lagi)
* laki-laki : Pada hari berikutnya aku akan menunggu di
bawah pohon ketapang.

10
* papan : ya, Saijah. Aku akan menunggu di bawah pohon
ketapang.
(Suara ini makin lama makin cepat – lama-lama bersaman Saijah
berdiri)
SAIJAH : Hari masih malam…
(Menjatuhkan dirinya di bawah pohon ketapang – bersandar –
angin malam mendesau. Saijah tertidur – angin terus mendesau
membawa mimpi:
************** Adinda membelakanginya
SAIJAH : Ingin kupeluk kau Adinda (Saijah terduduk menatap bayangan
Adinda) wajahmu, Adinda, kepalamu, bahumu, sanggulmu nian
alangkah besarnya, hitam berkilat menggantung ke bawah…
(Bayangan Adinda membalik, menghadap pada Saijah,
tersenyum) matamu yang besar, Adinda, berkilat – ah, bibirmu
yang menyimpulkan senyum persis ketika kecil dulu kuganggu.
Dadamu busung disembunyikan kebaya sarung yang kau tenun
sendiri meliputi pinggangmu, Lutut kencana. (sejenak terpeona
menatap adinda maju) Aku datang, Adinda.
ADINDA : (Maju menatap Saijah) Selamat datang Saijah.
(Suara makin jelas) kenangan senantiasa padamu jua ketika
menenun dan menumbuk padi di lesung. Selamat datang, saijah.
Jadilah aku istrimu – apa cerita perjalanan?
SAIJAH : (Gembira) aku di Betawi, Adinda, tiga tahun cari uang tidak jadi
suruhan bendi, aku jadi pelayan. Tepat tiga tahun aku berhenti,
gembira sekali aku kemari, Adinda.
ADINDA : Selalu Adinda terkenang dalam hati abang?
SAIJAH : Sejak berangkat dulu, Adinda, bila malam hari, dalam gelap,
kukeluarkan melati pemberian adik, dibawah pohon ketapang.
Sedih wajah adik tidak terpandang, berat adik bercerai kasih tiga
tahun. Akan kembali hati di tengah jalan, tapi apa konon Adinda

11
memandang abang berhati rapuh? Teruslah jalan, tangan
menekan dada bersuntingkan melati dalam sapu tangan sutera.
ADINDA : Tiada sesalan dalam hati abang?
SAIJAH : Ada timbul sesalan, adik. Pertengkaran kita yang lalu sebelum
abang berangkat. Ketika adik pasangkan tali laying-layang adik-
adik kecil, aduan laying desa Badur lawan desa Cipurut, adik
salah pasang, desa Badur kalah, abang marah mencerca adik.
Timbul sesal sungguh: bolehkah abang sekejam itu pada adik?
Aku yang menghamburkan kata-kata cerca pada gadis, sesal
tiada putus, karena kalau aku mati di rantau orang, tiap orang
Badur akan berkata: untunglah si Saijah telah mati, karena dia
kurang senonoh pada si Adinda…
ADINDA : Saijah, Saijah…. !
SAIJAH : Adinda, Adinda…! (akan dipeluknya Adinda – hilang)
(Saijah terbangun, makin lama hari makin terang, Saijah memandang jauh)
SAIJAH : Ibu, bapa…
(disangkanya bungkusan bawaannya, berjalan menuju jurusan
Badur, tapi sejurus kembali lagi)
Ah, mengapa aku ke Badur? Bukankah baik kutunggu Adinda di
sini? (memandang jauh, gelisah, sebentar-sebentar berdiri dan
duduk)
SAIJAH : (tiba-tiba berdiri) itu jauh orang datang. Perempuan! Itu Adinda!!
(Sejenak memperhatikan – kesal) ah, bukan… (angin pagi terus
mendesau) masih belum ada orang dari Badur jalan kemari…
(bingung sedih – lalu duduk) ah, barangkali ia tertidur karena
berjaga-jaga semalam. Tentulah sejak berminggu-minggu tidak
tidur, kasihan… biarlah aku ke Badur! (berpikir sejenak) ah,
mengapa aku bimbang? Kan pasti dia datang! Nah itu ada orang
dengan kerbaunya (memperhatikan kejauhan) Pak! Pak! Pak! Ah,
tidak kedengaran. Baiklah tidak kedengaran… mengapa pula aku
bertanyakan Adinda, jangan bertanyakan Adinda, dia pertama

12
kali aku lihat, pertama kali dia! Ah, pasti dia segera datang.
Biarlah aku menunggu (sejenak terbayang kesabaran – gelisah
lagi) tapi kalau dia sakit… atau mati?! (seperti orang kehilangan
akal dia lari menuju Badur. Kedengaran suara ramai di kejauhan,
tidak lama dia kembali, tertunduk, angin sedih mendesau. Suara
ramai makin mendekat, tiba-tiba Saijah lari menuju suara,
terdengar suara perempuan memanggil)
BIBI : Saijah! Saijah! (hening sebentar, bibi mendekati Saijah) kami
mengerti kesedihan hatimu, kau mencari Adinda.
SAIJAH : Ya, dimana Adinda?
BIBI : Cerita lama, Saijah.
SAIJAH : Cerita lama… apa maksud bibi?
BIBI : (tenang) ketika kepala desa mengambil kerbau Adinda…
SAIJAH : Ahhh!...
BIBI : Ibu si Adinda sakit karena susah hati. Adik si Adinda yang kecil
meninggal dunia, karena tiada ibu yang menyusukan, dan bapa si
Adinda, yang takut dihukum karena tidak membayar pajak…
SAIJAH : Sudah, sudah!
BIBI : Bapa si Adinda berangkat menionggalkan Lebak. Adinda
dibawanya dengan adik-adiknya.
SAIJAH : Kemana mereka pergi? (angin menyayat) Adinda, rumah rumah
Adinda, bibi.
BIBI : (haru) di tanah rumah Adinda berdiri dulu, didirikan rumah baru.
SAIJAH : Dulu….
BIBI : Dulu apa?
SAIJAH : Lesung Adinda, lesung….
BIBI : Mengapa?
SAIJAH : Bibikah kawan Adinda menumbuk padi di kampung?
BIBI : Ya.
SAIJAH : Bisakah aku tahu dimana lesung Adinda?
(tak ada jawab)

13
(terdengar suara-s.e:
tiga kali dua belas bulan aku pergi, bulan ini jangan dihitung dan
Adinda, tiap bulan baru terbit berilah tanda guritan dengan pisau
di lesungmu, dan kalau kau telah menarik tiga kali dua belas
bulan guritan, pada hari berikutnya aku akan menunggu di bawah
pohon ketapang.
(suara perempuan: jika kau kembali, akupun menunggu di bawah
pohon ketapang dekat hutan jati).
(suara semakin jelas, Saijah sejenak bingung)
BIBI : Saijah, Adinda sekeluarga telah pergi empat bulan yang lalu, dan
lesung itu telah menjadi milik orang lain.
SAIJAH : (Menahan marah) bibi, katakanlah dengan hati yang pasti,
kemana mereka pergi?
BIBI : Jauh sekali, nak. Lebih jauh dari penciuman patroli, yang selalu
mencari-cari. Tapi Saijah, kesayangan desa Badur, marilah
singgah ke pondok bibi dulu, Pak Lontah pasti gembira dan
setuju. (Saijah mendekap dan mencium tangan bibi)
SAIJAH : Bibi yang baik hati. (lalu berdiri tegak) selama darah masih
panas, selama derita menimpa Adinda dan kaumku… (tiba-tiba
ketawa terbahak-bahak)
Pelan-pelan lampu padam
BABAK III
Dalam sebuah rumah gubug, menjelang senja, peralatan yang ada menunjukkan keadaan
yang masih darurat, suasana hutan disekelilingnya membangunkan suasana tersendiri
dalam rumah itu.
Spot light (silhouette)

ASS RESIDEN : Sudah saya katakana bahwa untuk sama sekali tidak
menyampaikan berita-berita kecuali yang baik-baik kepada
pemerintah, bisa jadi mentertawakan, sekiranya akibat semua ini
tidak demikian menyedihkan.

14
Perbaikan apakah yang boleh diharapkan dari banyak kesalahan-
kesalahan jika sebelumnya sudah ada maksud tertentu untuk
membengkokkan segala-galanya dan memiuh berita-berita yang
disampaikan kepada pemerintah…? Bukankah gas …(missing
text)… Orang mengingkarinya, akhirnya berubah menjadi
amarah, putus asa, mata gelap? Tidakkah di ujung jalan itu
menunggu Jacquerie? Pemberontak rakyat? Dan dimanakah akan
berada pejabat-pejabat itu yang sejak bertahun-tahun ganti-
berganti, tanpa tiba pada pikiran bahwa ada sesuatu yang lebih
tinggi dari “kepuasan gubernur jenderal”, dimanakah mereka itu
berada, penulis-penulis berita yang pengecut itu, yang
menyilaukan mata pemerintah dengan kehongannya? Apakah
mereka itu dahulu takut menuliskan kata yang berani di atas
kertas, akan memanggul senjata dan mempertahankan negri
jajahan untuk pemerintah Belanda? Apakah mereka itu akan
mengembalikan kepada pemerintah Belanda harta benda yang
diperlukan untuk memadamkan pemberontakan, mencegah
revolusi? Apakah mereka akhirnya akan mengembalikan nyawa
yang beribu-ribu orang yang jatuh menjadi korban karena
kesalahannya?
Black out – fade in
Nampak Pak Entoh sedang duduk menikmati kopi, dan Adinda membersihkan ruangan.
PAK ENTOH : (sambil menghirup kopi) sebentar lagi mereka datang. Kau
sediakan minum Adinda.
ADINDA : (berhenti menyapu) berapa orang pak?
PAK ENTOH : Pak Lontah, si Uniah, Pak Ansui, Abdul Isma dan adalagi
beberapa orang akan dibawanya.
ADINDA : Makin banyak orang kemari, pak.
PAK ENTOH : Ya, siapa tahan di Lebak? Memang benar juga kata si Saijah
dulu, seperti dia tahu apa yang akan terjadi (Adinda tunduk)

15
mengapa kau diam Adinda? Masih tetap Saijah dalam hatimu?
(Adinda masih tetap diam) Kalau Saijah kembali ke Badur…
ADINDA : Pasti dia kembali ke Badur. (tempo) dia akan menunggu di
bawah pohon ketapang, tempat aku memberikan melati padanya.
(seperti pada diri sendiri) tapi aku tidak datang, tiga kali dua
belas guritan… aku Cuma mengguritkan tigapuluh dua baris.
PAK ENTOH : (Menggeleng kasihan) kalau Saijah kembali ke Badur, dia tidak
akan tahan tinggal di Badur, dan akan mencari kita.
ADINDA : Tapi dia tidak akan tahu tempat kita.
PAK ENTOH : (Kesal) Dia sendiri tentu tidak, tapi, orang-orang Badur, yang
tidak sanggup membayar pajak, yang kerbaunya dirampas, akan
bersama-sama mengikuti jalan yang kita tempuh, di sini kita bisa
berkumpul semua.
ADINDA : Kalau mereka tidak kedapatan oleh serdadu patroli.
PAK ENTOH : (Kesal) Sampai sekarang mereka belum tahu tempat
persembunyian kita, entah kalau ada yang berpengkhianat
ADINDA : (Mengangguk – geram) bapa berangkat membawa aku dan adik-
adik, tapi dia tidak ke Bogor, karena di situ dulu bapa Saijah
dihajar dengan rotan, dia meninggalkan Bogor tidak dengan surat
keterangan. Karena itui bapa tidak pergi ke Bogor, juga ke
Krawang, ke Priangan atau ke sekitar Betawi. Kami dibawanya
ke Cilangkahan, dekat laut. Di situlah kami bersembunyi,
menunggu kawan-kawan lain, yang kerbaunya telah dirampas
oleh Wedana Parang Kujang. Beserta kawan-kawan lain
ketakutan dihukum karena tidak sanggup membayar pajak,
sampai kemari… (tunduk terharu) mudah-mudahan saja mereka
bertiga selamat, sebab kepungan mereka jarang lolos. (sejenak
diam) Bibi tidak dengar kabar Saijah di Badur?
BIBI : Ya Adinda, Saijah telah datang di Badur.
ADINDA : Bibi pernah melihatnya?
BIBI : (ragu) Ya… ya Adinda

16
ADINDA : Di mana bi?
BIBI : Dia mencari anakku, Adinda.
ADINDA : Tapi aku tidak ada.
BIBI : Dia minta cari lesungmu.
ADINDA : Lesungku, … dia ada pada siti, bi
BIBI : (Mengangguk) Ya.
ADINDA : Ada bibi tunjukkan (bibi mengangguk) senangkah aku sudah, dia
tahu aku tetap setia padanya (diam sejenak) apa lagi bi?
BIBI : (Sejenak tak menjawab) Adinda…
ADINDA : Ya, bi.
BIBI : Kau jangan terkejut, Adinda.
ADINDA : Mengapa?
BIBI : Dia kembali ke Badur, Adinda tidak ada. Saijah tinggal bersama
kami.. tapi…
ADINDA : Tapia pa, bi?
BIBI : Saijah seperti gila mula-mula
ADINDA : (Tidak percaya) Saijah gila?
BIBI : Saijah tidak gila, tapi dia sangat bengung seperti orang gila.
Tidak di sangkanya kekajaman terus berlaku di Badur, sehingga
dia tak sampai ketemu dengan Adinda. Kami pelihara dia baik-
baik mula-mula dia suka tertawa keras-keras, aneh. Tapi
kemudian tidak lagi, Cuma saja malam-malam kawan-kawan
selalu mendengarnya dia menyanyi.
(Adinda tunduk menahan air mata)
Penduduk di Badur mengumpulkan uang, membuat sedekah
kepada buaya-buaya di Ciujung, semoga saijah sembuh, tapi
nyatanya dia memang tidak gila benar, pada suatu malam ketika
bulan terang, ditinggalkannya balai-balainya dan diam-diam dia
keluar rumah menuju tempat rumah Adinda dulu. Banyak sekali
sudah rumah yang rubuh. Tapi rupanya rumah Adinda dulu
dikenalnya betul, ketika kami cari, kami dapati dia di atas

17
tumpukan sampah, tangannya memegang segumpal abu bekas
balai-balaimu dan abu itu dibawanya kebibirnya, tiada
dimakannya, tapi dia bernafas, menghirupnya… (tunduk –
Adinda terus menatap bibi mengangkat mukanya lagi) waktu
sampai ke rumah lagi, kami diberinya segumpal uang.
ADINDA : Tidak ada apa-apanya bi?
BIBI : Ada, katanya: belikanlah kerbau dengan uang ini, penuhilah
permintaanku, sebagai permintaan seorang anak yang sudah tak
punya orang tua lagi. Inilah baktiku pada orang tua. Itulah
katanya. Esoknya Saijah tidak ada lagi di Badur.
ADINDA : (Meneteskan air mata) dan bibi belikan kerbau?
BIBI : Benar, gembira kami ada kerbau lagi, tapi belum lama gembira…
ADINDA : (Geram) Kerbau itu di rampas Kanjeng Bupati?
BIBI : (Sedih) Ya.
ADINDA : Cerita lama lagi.
BIBI : Tapi Kanjeng Bupati sekarang bukan yang dulu lagi, Adinda.
ADINDA : Apakah artinya ganti penguasa, kalau keduanya menjalankan
pemerasan, Tapi bi, apakah Saijah ada rencana menuju kemari?
BIBI : Bibi tidak tahu, Adinda. Saijah pergi tidak meninggalkan pesan
kepada siapapun. Pemuda seperti dia sangat lembut hatinya, dia
lebih kenal makna cinta daripada kita, karena cintanya indah
sekali, lebih indah dari bulan purnama.
ADINDA : Hatikupun percaya, bi. Kalau cintanya tak pernah pudar, walau
dilesungku hanya ada tiga puluh dua guritan (Pak Entoh masuk)
ADINDA : Mana pok Lontah, bapak?
PAK ENTOH : Sedang melihat rombongan yang di belakang, beberapa orang
sudah datang.
ADINDA : Tidak adakah mereka yang bertemu dengan Saijah?
PAK ENTOH : Beberapa orang pernah melihat dia di jalanan, dia tidak menuju
kemari, tapi menuju ke tanah Lampung. Di sana terjadi
pemberontakan rakyat. Sak hatiku, darah Saijah mendorongnya

18
menyatukan diri dengan rakyat yang berontak disana, dan
kemudian baru menuju kemari, ke tanah hitam ini, tapi mereka
sudah mencium tempat kita ini. Kuharap saja, ketiga orang itu
mampu memperdayakan hingga patroli menjauh dari sini. Kita
harus segera meninggalkan tempat ini.
(Masuk Pak Lontah – terengah-engah)
PAK LONTAH : Entoh! Patroli Belanda sedang melanda kita, beberapa pengungsi
yang menuju kemari terhenti karena tercegat patroli.
PAK ENTOH : Itu artinya kita dalam bahaya.
PAK LONTAH : Tergantung pada siasat pengungsi, apakah mereka dapat
menyesatkan patroli.
PAK ENTOH : Bila patroli Belanda tiba juga di sini, jangan kita kedapatan
berkumpul seperti ini, atau kita harus mengadakan perlawanan.
Nasib tidak boleh terus-terusan disia-siakan.
(Dari jauh terdengar suara orang lari, teriakan dan tembakan.
Semakin lama semakin dekat, kemudian masuk dua orang
serdadu dengan senjata pedang dan senapan. Terjadi perkelahian
Pak Lontah dan Pak Entoh terbunuh, demikian juga bibi dan
Adinda yang mengadakan perlawanan – serdadu keluar)
(Saijah masuk dengan tergesa-gesa membawa golok terhunus)
SAIJAH : Adinda! Adinda! (sampai pada mayat Adinda) Adinda. Sudah
kusangka kau ada di sini, tapi si jahanam itu lebih dulu kemari.
Pasukannya kami pegat di jalan, kami serang tiba-tiba. (diam
sebentar – dirangkulnya Adinda) kutunggu kau di bawah pohon
ketapang, ini tanda mata dari kota (dikeluarkannya ikat pinggang
berkilat) Adinda, tak sempat kulihat kau memakai. KErbau tak
jadi kubeli karena kerbau akan dirampas Kanjeng Bupati (tempo)
Bapa, begini jadinya, semua kita mendapat giliran, tanah
dirampas kerbau diambil, pada akhirnya jiwa mereka yang
mencabut, nasib kita tani tidak bisa dipisah!
ADINDA : (Lemah) Saijah…

19
SAIJAH : Adinda….
ADINDA : Kau ada melihat lesung berasku di Badur?
SAIJAH : Ya, Adinda.
ADINDA : Cuma tiga puluh dua guritan, tidak sampai tiga kali dan belas
guritan, ketika bulan baru timbul. Tapi… aku tetap… setia
padamu… semua… pada kita semua… (menghela nafay yang
terakhir)
SAIJAH : Adinda! Kita setia semuanya, antara petani dengan petani tiada
boleh ada penghianatan. Biarlah, Adinda… nasib kita tidak bisa
dipisahkan, nasib tani satu, hati tani satu. Mereka boleh
membunuh manusia, tapi tak kan mampu membunuh hati rakyat
tani…
(Di luar ramai. Saijah meletakkan Adinda pelan-pelan berdiri tegak dengan, berdiri tegak
dengan golok, serdadu 1&2 masuk terjadi perkelahian seorang
serdadu mati, Saijah terbunuh)
SAIJAH : Padamu Adinda… padamu kaumku… tanahku… aku tetap setia.
( S.E : … dan agaknya doa sukur naik ke langit dari hati, hati orang-
orang yang saleh di gereja hari minggu atau waktu sembahyang,
ketika mendengar bahwa “Tuhan segala bala tentara” telah ikut
pula berperang di bawah panji-panji Belanda…
“Tapi Tuhan, hiba melihat mala petaka demikian.
Hari itu menolak korban persembahan!)

SELESAI

Diketik ulang oleh Studio Teater PPPG Kesenian Yogyakarta


Februari 2007

20

Anda mungkin juga menyukai