Anda di halaman 1dari 36

HAKEKAT PERANG BARATAYUDHA

Dalam dunia pewayangan kita kenal cerita Baratayudha, yaitu peperangan antara
Pandawa dengan Kurawa di medan perang yang dinamakan Padang Kurusetra. Perang
jihad antara kekuatan napsu positif (Pandawa Lima) melawan napsu negatif (Kurawa
dengan 100 pasukan) di arena perang kalbu (Padang Kurusetra). Ini merupakan
peperangan yang maha berat dan merupakan sejatinya perang (jihad fi sabillillah) atau
perang di jalan kebenaran.

Hakekat dari peperangan tersebut adalah merupakan pertarungan sengit antara napsu
positif melawan nafsu negatif (setan). Bilamana napsu positif memenangkan niscaya
kedamaian, ketentraman, kasih sayang akan diperolehnya, sebaliknya bilamana napsu
negatif yang unggul maka muncullah keserakahan, katamakan, kebencian, kehancuran
dan lain sebagainya. Terjadinya perang di Palestina merupakan salah satu bukti napsu
negatip memegang kendali.

Salah satu cara untuk memenangkan pertarungan tersebut, tradisi budaya jawa
mengajarkan laku tapa prihatin (puasa) guna memperoleh kemenangan dengan melalui
tahapan seperti yang dikiaskan kedalam nada suara/bunyi instrument Gamelan Jawa.
Kita mengenal diantara beberapa perangkat gamelan ada yang dinamakan Kempul,
Kenong dan Bonang yang dapat menimbulkan bunyi, NENG, NING, NUNG, NANG.

Setelah mencapai tahapan Nang yang artinya menang, kemenangan yang berupa
anugerah, kenikmatan dalam segala bentuknya serta meraih kehidupan sejati,
kehidupan yang dapat memberi manfaat (rahmat) untuk seluruh makhluk dan alam
semesta. Wilujeng dan rahayu widodo menjadi idaman setiap insan manusia,
Neng adalah syariatnya, Ning adalah tarekatnya, Nung adalah hakekatnya, Nang
adalah makrifatnya. Ujung dari empat tahap tersebut adalah kodrat (Sastrajendra
hayuningrat pangruwating diyu).
Peperangan identik dengan kekerasan, namun dalam Hakikat Bratayudha arti perang
disini akan tetap berhubungan dengan makna Kematian, karena arti kematian tersebut
tidak bisa dipisahkan dari proses Peperangan…

Bratayuda yang mempunyai maksud dan makna yaitu ‘ Sakratul maut’, Kurawa mask
kedalam Pandawa. Dan wilayah sebenarnya adalah Badan dan Sukma, dan inilah yang
menyebabkan Kesempurnaan harus diusahakan, badan dan sukma, keluar masuknya
nafas, lebur luluh masuk kedalam bandarullah…

Suyudana beserta seluruh balatentara mati, kemudian Sang Harjuna masuk ke negeri
Ngastina berperang sebagai raja, namun sebenarnya Raden Pamadi hanya sebagai
pelindung. Sesungguhnya yang menjadi Raja adalah Prabu Parikesit, yang abadi
selamanya di negeriNgastina. Adapun maksud parikesit adalah seluruh nafas yang
tanpa henti, menjadi sukmana …

Kesempurnaan badan dan sukma identik dengan kesempurnaan keluar masuknya


nafas, karena nafas adalah titik hubung penting antara “diri” dengan tubuh, dan
pengaturan nafas dapat membersihkan urat2 syaraf dan memeberikan daya kekuatan
pada pusat tubuh yang halus…

Pada pengaturan nafas berhasil maka seseorang akan tenggelam akan tujuannya yaitu
Tuhan…..Harjuna sebagai lambang Pengetahuan yan benar menghantarkan kesadaran
diri berubah pada kesadaran akan Tuhan dalam nuansa Keabadian yang disebut
Suksmana dan ini menjadi syarat kemunculan Insan Kamil karena merupakan Tujuan
dari manusia dalam pendekatannya pada Tuhan…..

Baratayudha Dan Hakikat Hidup

Kisah Baratayudha mungkin tidak asing ditelinga kita namun adakah pelajaran yang
kiranya dapat kita ambil dari peristiwa yang melegenda tersebut. Mahakarya itu begitu
luar biasa dan pakem-pakem ceritanya ada dalam pementasan wayang kulit.
Baratayudha tidak saja diyakini sebagai perang antara kebajikan melawan kemunkaran.
Pandawa dari keluarga Pandu perlambang kebajikan dan Kurawa sebagi perlambang
kejahatan di muka bumi. Intisari cerita juga penuh gambaran makna bahwa sejatinya
perang saling membunuh dan membenci hanyalah mencelakai saudara sendiri sesama
makhluk ciptaan-Nya. Pada akhirnya kebajikan pun yang akhirnya menuai kemenangan
sejati, yaitu kemenangan bukan untuk menindas maupun menghina tetapi kemenangan
yang benar-benar menyadarkan untuk selalu berani dalam berbuat kebaikan.

Perang Baratayuda juga mencerminkan ketetapan nasib dan kodrat sudah ditentukan
sedari masa lalu, baik yang secara eksplisit ditorehkan dalam kitab Jitabsara maupun
yang secara implisit hanya akan diketahui pada detik-detik berlangsungnya perang
Baratayudha di Padang Kurusetra. Dikisahkan Prabu Krisna sebagai penasihat
keluarga Pandawa berusaha melihat kitab Jitabsara untuk mengetahui nasib Pandawa
dalam Baratayudha. Prabu Krisna melakukan meditasi untuk menembus khayangan
Suralaya tempat bersemayam para dewa untuk melihat isi Kitab Jitabsara. Tujuan
terbesarnya ingin membawa Kitab Jitabsara tetapi ia juga menyimpan misi lain untuk
sedikit mengubah jalan cerita dalam kitab. Ia berubah menjadi kumbang dan
menumpahkan tinta ketika Batara Narada akan menuliskan nasib Antareja dan
Baladewa. Dalam beberapa versi diceritakan gelagat Krisna di kayangan tercium yang
mengaku sebagai Sukma Wicara sehingga hampir mendapat hukuman.

Kitab itu berisi nama-nama ksatria dalam kubu kurawa dan pandawa yang gugur di
medan perang. Dengan pengetahuan itu Prabu Krisna sebagai penasihat pandawa
akan lebih mudah mengatur siasat perang. Setelah berhasil membawa Kitab Jitabsara
Prabu Krisna sebenarnya sudah berusaha mengajak pihak kurawa untuk membatalkan
Baratayudha. Tetapi itu semua juga tidak berhasil karena semua juga sudah tertulis
dalam Kitab Jitabsara. Perang tetap akan terjadi, kemenangan juga sudah dipastikan
dari pihak Pandawa. Kemenangan sudah didapatkan tetapi kodrat dan nasib harus
tetap dijalani untuk menuju kemenangan tersebut.

Dalam kehidupan kita ini ada kiranya perlu menyadari bahwa kodrat kita termasuk nasib
sejatinya juga sudah dituliskan sebelum manusia memiliki jasmani hadir di rahim
ibundanya. Diri manusia sebelumnya telah bersumpah dan bersaksi sebagaimana Q.S.
Al-Araf: 172, 
Dan ingatlah ketika Tuhan-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman),”Bukankah Aku ini Tuhanmu?” “Benar! Dan kami bersaksi. Tepatnya di baitul
ma’mur (rumah sebagai tempat keinginan) manusia bersumpah untuk setuju menjadi
wakil Allah di muka bumi.
Baitul ma’mur juga digunakan sang diri teken kontrak tentang kehidupan yang akan
dialami di dunia ini. Mereka menyadari semua yang akan diembannya, kontrak hidup
sengsara adapula kontrak menjalani hidup bahagia. Semua disetujui saja karena belum
ada beban jasmani maupun hawa nafsu yang mempengaruhi. Lah, enggak enak dong
yang dapet sengsara? Perlu disadari teken kontrak ini merupakan perjalanan kehidupan
kita yang panjang. Perjalanan dengan mengemban tugas kita ini nantinya juga kembali
kepada Tuhan Yang Maha Esa “Inna lillahi wa inna ilayhi rojiun” Kita ini asal usulnya
dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Di bumi kita menggunakan pakaian raga
jasmani yang juga sudah ditentukan untuk bisa menjalani kehidupan sebaik-baiknya.
Sengsara ataupaun bahagia jika tetap senantiasa mengingat Tuhan, menjalani semua
ini lebih tenang.

Orang Jawa bilang “manungsa iku mung sakdermo nglakoni” ya seperti pandawa dan
kurawa mereka harus menjalani Baratayuda di Padang Kurusetra ibarat perang kita di
dunia untuk selalu berbuat baik dalam kondisi apapun. Selain itu ada kutipan “urip ki
ming mampir ngombe” maka di bumi ini kita sedang mencari bekal untuk kehidupan
berikutnya yang kekal. Dimana itu surga atau neraka? Bukan disana tempat yang kekal
karena tidak mungkin ada yang melebihi kekalnya Sang Pencipta. Kehidupan kekal
tentu saja yang “wa inna ilayhi rajiun”. Perkara surga dan neraka itu adalah hak
prerogatif Allah. Dalam mencari bekal haruslah menjalani kodrat dengan sebaik-
baiknya. Loh, bukannya nasib kita bisa berubah? Ya sangat bisa, kalau kita sudah
menjalani kehidupan ini dengan baik, usaha maksimal dan mencari ridho Allah. Dalam
Al-Fathihah “Iyya ka nabudu wa iyya ka nasta in” tentu masalah perubahan itu mudah
bagi Allah kalu kita sudah beribadah dan memohon pertolongan hanya pada Allah, dan
dengan “kun faya kun” semua kehendak-Nya terwujud seketika. Allah mengetahui
segala sesuatu bahkan sebelum segala sesuatu itupun terjadi, bukankah Allah Maha
Mengetahui.

Tugas kita sederhana, kita dahulu membuat rancangannya. Karena kita sendiri yang
teken kontrak berdasarkan kesepakatan yang telah kita buat, maka kita diingatkan oleh
Tuhan untuk tidak berlarut sedih apabila tidak berhasil dalam mengejar cita-cita,
mengalami kegagalan, atau merasa sengsara dan sebaliknya untuk tidak terlalu
bergembira menerima kebahagiaan.

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Law Mahfuz) sebelum Kami menciptakanya.
Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-
Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membangga-banggakan diri. (Q.S. Al-Hadid: 22-23)
Nah sudah semakin jelas, termasuk dalam terjemahan ayat di atas ada kalimat bahwa
telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptkannya. Kalimatnya bukan berbunyi
sebelum Aku menciptakannya. Kata “Aku” tentu hanya menunjuk kepada Tuhan tetapi
ayat ini dalam bentuk “Kami”. Jadi jelas Allah melibatkan ciptaan-ciptaan lainnya agar
yang tercatat itu terwujud dan sebelumnya sudah tercatat berdasarkan kesepakatan
bersama. 

Ada orang yang mendapat bencana atau musibah dan ada yang beruntung tetapi kita
semua juga harus mengerti petunjuk Allah ditegaskan dalam firman-Nya bahwa,
“Allah tidak membebani suatu jiwa diluar kesanggupannya. Sekarang ini ia hanya
mendapatkan imbalan dari apa yang pernah ia usahakan, dan mendapatka siksaan dari
kejahatan yang telah dilakukannya. (Q.S.Al-Baqarah: 286)”
“Kami tiada membebani seseorang kecuali sebatas kesanggupannya, dan pada sisi
Kami ada Kitab yang berbicara tentang kebenaran, dan mereka tidak dizalimi“ (Q.S. Al-
Muminun: 62)
Semuanya semakin jelas tidak ada yang dirugikan, kita saat ini sedang menjalankan
hasil dari kontrak itu sendiri. Kita sekarang juga diberi kesempatan untuk berlomba-
lomba dalam berbuat kebaikan untuk bekal masa depan kita. Banyak yang terkadang
tidak sadar telah mengkambinghitamkan Tuhan. Loh? Iya kalau hal itu baik tentu tidak
masalah karena memang Tuhan kita maha segala kebaikan dan wajib bagi kita untuk
selalu bersyukur. Lah kalau jelek ya jangan menyalahkan Tuhan, seharusnya kan
begitu. Sering tanpa kita sadari menganggap datangnya musibah, bencana, dan ujian
dari Tuhan. Tuhan kok disalah-salahkan, untung Tuhan kita maha pengasih,
penyayang, lagi pengampun sehingga kita tetap bisa hidup dengan kasih dan
lindungan-Nya.

Kembali ke apa yang dikisahkan dalam baratyudha, Prabu Krisna sangat berkeinginan
mengetahui isi Kitab Jitabsara. Namun dari sana kita dapat belajar bahwa manusia tak
perlu tahu apa yang telah kita tuliskan di masa yang lalu cukup melakoni hidup ini
dengan usaha yang baik dan maksimal apabila ingin mengingat kembalilah kepada
Kitab Suci Al-Quran. Al-Quran dan Hadist memberikan pegangan hidup kita di dunia
untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Hal lain yang perlu diingat cobaan, musibah berupa bencana atau hal lain yang berupa
kerusakan kehancuran tentu bukan dari Tuhan karena sudah jelas Tuhan tidak mungkin
merusak atau bersifat tidak baik. Hanya saja itu merupakan ketetapan-ketetapan Allah
apabila ada ketidakadilan dan suatu ketimpangan. Bukankah Allah Tuhanmu memiliki
99 nama “asmaul husna” dan kesemuanya nama-nama yang paling baik. Mengenai
pernyataan yang sering kita dengar bahwa Tuhan sedang menguji kita, sebenarnya bila
kita menyadari keagungan Tuhan tidak dengan ujian pun Tuhan sudah lebih tahu
sampai sebatas mana kemampuan ciptaan-Nya.
Baratayudha dalam pewayangan apabila kita pahami tentu juga berhubungan dengan
petuah-petuah. Dahulu wali khususnya Sunan Kalijaga menggunakan media wayang
untuk berdakwah tujuannya menyesuaikan dengan budaya juga karena wayang
memang cara penyampaian yang tepat bagi penduduk di Jawa. Hakikat kehidupan
diajarkan agar kita dapat selalu sadar dalam menjalani kehidupan ini. Dengan
kesadaran tentu manusia akan selalu “eling lan waspada”. Ada nasihat orang Jawa
berbunyi “Trima Mawi Pasrah, Suwung Pamrih Tebih Ajrih; Langgeng Tan Ana Susah,
Tan Ana Seneng, Anteng, Mantheng, Sugeng Jeneng.” Artinya, menerima dengan
tawakkal, tiada pamrih, jauh dari takut; abadi tiada duka, tiada suka, tenang memusat,
nama pun selamat. Ini merupakan ajaran dari R.M. Sosrokartono yang populer di Jawa.

Trima mawi pasrah bermakna menerima apa saja dengan pasrah dan tawakal. Untuk
mengehilangkan rasa takut dan was-was, orang diminta untuk ikhlas tanpa pamrih
apapun. Langgeng tan ana susah, tan ana seneng dapat diartikan sudah mencapai
ketenangan batin yang abadi tanpa banyak dipengaruhi rasa senang maupun susah.
Kesenangan maupun kesusahan ditekan sekecil mungkin sehingga tidak berpengaruh
terhadap kehidupan. Anteng Mantheng, sugeng jeneng mengarah pada kehidupan
yang tenang mampu memusatkan perhatian pada kebutuhan dengan baik jauh dari
pengaruh nafsu duniawi yang berlebihan. Sehingga orang memiliki ketentraman hidup
bisa tahan terhadap godaan yang datang setiap waktu serta tetap bekerja dengan baik
dalam keadaan apapun.

Kresna, sang arsitek kemenangan Pandawa

Kresna sang raja Dwarawati dalam kisah pewayangan adalah titisan Dewa Wisnu yang
bertugas melindungi Pandawa yang mana di dholimi pihak Kurawa dan
memenangkannya dalam perang Baratayuda. Sebelum perang dimulai Kresna tampil
sebagai duta Pandawa ke Astina dalam rangka menyelesaikan konflik perebutan
kerajaan Astina. 

Misi yang diemban Kresna adalah agar tidak terjadi perang. Pandawa minta setengah
wilayah Astina kepada kurawa, andaikata tidak diberikan Pandawa rela hanya
menerima lima wilayah pedesaan yaitu Awisthala, Wrekashala, Waranawata, Makandi,
dan Awasana. Bagaimanapun Pandawa tetap menempuh jalan damai. Namun
Duryadana menolak mentah-mentah permintaan Kresna, bahkan dengan seluruh
kekuatan Kurawa berusaha membinasakan Kresna. Dalam keadaan terdesak Kresna
berubah menjadi raksasa dan akan menghancurkan Kurawa, namun Batara Narada
mencegahnya dan menjelaskan bahwa menurut Serat Jitabsara perang Baratayuda
harus terjadi. Akhirnya Kresna mengurungkan niatnya tersebut.

Sadar perang Baratayuda akan terjadi, dengan kepintarannya Kresna berusaha sedkit
demi sedikit melemahkan posisi Kurawa antara lain dengan meminta Karna memihak
Pandawa, namun merasa sadar bahwa dirinya berhutang budi kepada Kurawa dan
lebih mementingkan Astina sekalipun Kurawa dipihak yang salah, Karna menolak
permintaan Kresna tersebut. 

Demikian pula terhadap Baladewa kakaknya sendiri yang sebenarnya bersikap netral.
Sadar sang kakak akan memihak Kurawa Kresna memohon Baladewa untuk bertapa di
Grojogan sewu yang dijaga Setiyaki. Baladewa sendiri adalah satria yang senang
melakukan tapa brata, dia tidak bisa menyaksikan keseluruhan berlangsungnya perang
Baratayuda dan baru muncul disaat diakhir episode perang tersebut ketika Bima
bertarung melawan Duryudana.

Dalam perang Baratayuda, Kresna memihak Pandawa. Ia dipilih Arjuna sebagai


penasehat yang mana Kresna tidak diperbolehkan mengeluarkan senjata untuk
berperang langsung dengan pihak Kurawa, sementara pasukannya yang berjumlah
besar dipilih Duryudana menjadi bagian dari pasukan Kurawa. 

Pilihan yang dijatuhkan Duryudana membuat Sengkuni marah kepada Duryudana


baginya apalah arti pasukan yang besar jika tidak melibatkan pengatur strategi yang
ulung sekaliber Kresna. Kresna pada waktu perang memposisikan diri sebagai kusir
kereta Arjuna. Kresna juga memantapkan hari Arjuna yang masih ragu-ragu melihat
orang-orang yang dihormatinya seperti Bisma dan Durna berada dipihak Kurawa.
Arjuna mendapatkan lawan yang sepadan yaitu Karna yang tak lain kakak tertuanya
sendiri. Kereta Karna dikemudikan mertuanya sendiri yaitu Prabu Salya. 

Prabu Salya sebenarnya tidak ingin Baratayuda terjadi sehingga dalam mengemudikan
kereta Karna ia setengah hati sampai pada suatu ketika roda kereta Karna terjerembab
dalam tanah. Mengetahui hal tersebut Kresna menyuruh Arjuna segera melepaskan
senjata Pasopati. Pada awalnya Arjuna tidak mau karena hal tersebut bukan tindakan
ksatria. Namun Kresna menjelaskan bahwa Karna salah satu orang yang membunuh
Abimanyu, putra Arjuna, maka Arjuna segera melepaskan anak panah Pasopati
mengenai leher Karna yang mengakibatkan kematian Karna. Arjuna sebenarnya
menyesali tindakannya tersebut. Prabu Salya sendiri tewas ditangan Puntadewa. Ketika
Prabu Salya maju ke medan perang, Pandawa kewalahan menghadapi Candrabirawa
ilmu Prabu Salya berupa kemampuan memanggil raksasa yang apabila terluka oleh
musuhnya jumlah bertambah banyak. 
Kresna yang tahu bahwa ilmu itu hanya bisa dihadapi orang suci hati dan sabar seperti
Puntadewa maka ia segera menyuruh Puntadewa menghadapinya. Puntadewa sendiri
sebenarnya tidak mau karena dalam Baratayuda ia tidak akan turun gelanggang. Pada
saat itu arwah Resi Bagaspati masuk ke tubuh Puntadewa bermaksud mengambil
Candrabirawa miliknya. Puntadewa yang telah dirasuki kemudian melempar Jimat
Kalimasada dan mengenai dada Prabu Salya. Prabu Salya akhirnya gugur.

Tindakan Kresna meskipun terkesan kejam namun demi kemenangan Pandawa, ia


lakukan yaitu ketika melihat Antasena anak Bima. Antasena mempunyai kesaktian yang
luar biasa, ia bisa membunuh seseorang dengan cara menjilat bekas telapak kakinya di
tanah. Tentunya Kresna melihat apabila hal tersebut dilakukan Antasena dalam
mengalahkan lawannya akan berbahaya, bisa jadi yang dijilatnya tersebut bekas
telapak kaki pihak Pandawa sendiri. Kresna kemudian menyuruh Antasena menjilat
sebuah bekas telapak kaki. Namun Antasena tidak sadar kalau yang dijilatnya bekas
telapak kakinya sendiri. Akhirnya Antasena mati dengan cara tersebut.

Duryudana juga terpedaya kepintaran Kresna. Hampir selesainya perang Dewi Gandari,
ibu para Kurawa sedih mendengar hampir seluruh anaknya tewas dan hanya tersisa
Duryudana. Dewi Gandari yang selama menjadi ibu para Kurawa selalu menutup
matanya, bisa memberikan kekuatan yang dahsyat kepada Duryudana. Kekuatan
tersebut berasal dari kedua matanya yang ia tutup. 

Jika kekuatan tersebut dilimpahkan kepada tubuh Duryudana, maka ia akan kebal
terhadap berbagai macam serangan. Ia menyuruh Duryudana agar mandi dan
menghadapnya dalam keadaan telanjang. Ketika Duryudana ingin menghadap ibunya,
ia berpapasan dengan Kresna . Kresna mencela dan mengejek Duryodana yang mau
datang ke hadapan ibunya sendiri dalam keadaan telanjang. Karena malu, Duryudana
menutupi bagian bawah perutnya, termasuk bagian pahanya. Begitu membuka
matanya, Dewi Gandari hanya bisa memberikan kekuatannya ke bagian tubuh
Duryudana yang tidak tertutup.

Dipenghujung perang Baratayuda terjadilah pertarungan bersenjatakan gada yang


hebat antara Bima dan Duryudana. Pertarungan berlangsung imbang tidak ada yang
kelihatan kalah sedikitpun. Melihat hal tersebut Kresna yang tahu titik lemah Duryudana
segera memberi tahu kepada Arjuna tentang hal tersebut. Kemudian Arjuna
mengisyaratkan agar Bima memukul bagian paha sebelah kiri. Mendapat isyarat
tersebut Bima segera memukul paha sebelah kiri Duryudana. 

Duryudana langsung terkapar tak berdaya dan menjadi bulan-bulanan Bima. Pada saat
itu Baladewa yang selama Baratayuda disembunyikan Kresna muncul dan marah
terhadap Bima yang dianggap tidak tahu aturan bertarung dengan gada bahkan berniat
menghabisi Bima dengan Nenggala senjatanya. Melihat hal itu Kresna bertindak
meredakan amarah kakaknya dan menjelaskan meskipun Bima dianggap melanggar
aturan main namun supaya diingat bagaimana perlakuan Kurawa terhadap Pandawa
yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap Pandawa dan juga hak singgasana
Hastinapura yang tidak diberikan meskipun satu jengkal tanahpun. 
Akhirnya kemarahan Baladewa mereda dan dia pulang. Sementara itu Duryudana yang
sedang sekarat bersumpah serapah terhadap Kresna yang dianggap biang kekalahan
Kurawa. Kresna menjawab bahwa itu semua akibat ulah Kurawa sendiri. Akhirnya
Duryudana tewas dan berakhirlah perang Baratayuda.

Kematian Angkawijaya

Adalah putra Raden Parta, maksuda nama angka berarti akal, jaya adalah
kemenangan…angka wijaya dibunuh oleh Jayajatra. Akalnya yang baik hilang terlebih
dahulu, jika sudah mengerti tentang akal, Jayajatra adalah ‘kepastian’ atau
kemenangan(yang membunuh akal ).

Kerajaan jayajatrayang bernama Sindu Kalangan adalah sesuatu yang menyebarkan


nafas ke seluruh tubuh, dalam konteks ini penyebaran ini dilakukan oleh darah dengan
dorongan denyut nadi dari jantung. Dan sebagai tujuannya adalah memfungsikan
organ2 diseluruh tubuh, denyut yang yang mendorong darah ini membawa zat yang
ada dalm udara yang dihirup daam nafas setelah terlebih dahulu diolah.

Dalam konteks akal dapat dijabarkan sebagai otak, yang didalamnya terdapat
perlengkapan2 untuk berintuisi maupun berpikir sehingga disebut berakal, dan ini yang
disebut kinerja akal, tetapi sehebat apapu akal tidak akan bisa berfungsi, tanpa adanya
zat2 yang menopang keberadaannya yang disalurkan oleh darah dengan dorongan
denyut nadi….pengertian kepastian adalah dipastikan bahwa Akal sangat akan
bergantung pada denyut Jantung…

Kematian Jayajatra

Kerajaannya adalah Sindu Kalangan, yang bermakna ” Menang “, inilah yang


menyebarkan nafas ke seluruh tubuh. Terbunuhnya adipati ( angkawijaya ) oleh
jayajatra menyebabkan Parta marah. Hilang nafasnya jika sudah muncul insan kamil
yaitu sejenis ‘sabda’ yang ada dalam manusia…inilah kematian jayajatra…diibaratkan
nafas yang masih berhubungan erat dengan denyut yanbg menyalurkannya, nafas tidak
akan sampai pada seluruh organ tubuh tanpa perantara darah dengan denyut nadi dan
denyutpun di hidupkan oleh nafas ini…

Kematian Gatotkaca

Nama lainnya adalah Arimbatmaja, dibunuh oleh raja Ngawangga yang disebabkan
oleh senjata panah ( kunta )…yang dalam bahasa arab artinya ‘Alif’, yang artinya “jadi”,
sira adalah ‘sir’, kemudian berkumpul menjadi satu…Arti Gatotkaca adalah sesuatu
yang ada di angkasa. Pada waktu yang akan datang, saat manusia mati, sesuatu
( mardum = ma’dum / tiada) yang jatuh diangkasa tersebut jatuh ke martabat
keempat…menunjukkan keberadaan sesuatu hal yang jika dibandingkan keberadaan
mutlak harus ada ( Tuhan ), barang ini tidak ada. Suatu barang itu ada karena
keberadaannya diciptakan…seseorang yang menyampaikan pendapat kepada orang
lain secara lisan dalam prosesnya harus melalui resonansi diudara ( gelombang
rambat) sehingga sampai pada pendengar, jadi gatotkaca diistilahkan sebagai mandum
kang aneng tawang adalah ucapan-ucapan…sedangkan senjata Kunta milik Karna…
Kun bermakna jadilah dan ta adalah kamu ( jawa kuno ) …Kata kun adalah merupakan
sabda Tuhan yang menandakan adanya Dunia Perintah dan Dunia Penciptaan. Ruh
manusia ada karena diperintah dan dicitakan dengan sabda Kun.

Ruh itu benar2 sederhana dan tidak dapat dibagi menjadi bagian2, sehingga ia dimiliki
oleh Dunia Perintah. Badan merupakan campuran dan dapat dibagi2, ia dimiliki dunia
penciptaan. Kata Kun menyiratkan ketetapan Tuhan sedangkan sir berarti “landasan
jiwa”…Kunta dapat diinterprestasikan sebagai “ketetapan Tuhan sebagai landasan jiwa”
atau perintah Sang Hyang Suksma…sehingga gatotkaca sebagai makhluk harus
tunduk pada perintah Tuhan, sehingga kematian membawa dia kembali kemartabat
keempat, kealam arwah yang termasuk dalam martabat penciptaan….yang termasuk
didalamnya adalah alam arwah, misal(alam ide), ajsam( alam kebendaan )…
merupakan martabat terendah tetapi sekaligus juga paling tinggi diantara martabat2
berujud akal, yang mengandung manifestasi absolut. Martabat tersebut adalah Insan…
Inilah ketetapan Tuhan sebagai landasan jiwa, mendasari dan menentukan
penguasaan atau penerimaan dan penyerapan ucapan ( gatotkaca) orang lain yang
didengar melalui telinga ( karna ).

Kematian Karna

Kematian Raja Ngawangga ( Karna ) disebabkan oleh Raden Pamadi dengan


menggunakan panah Pasopati, pasopati bermakna tanda kematian yang berarti
hilangnya pendengaran telinga. Karna mati langsung diambil oleh yang punya. Dan
raden pamadi adalah merupakan simbol dari kematian karna…

Sebagai alat pendengaran karna tidak lebih hanya penghalang bagi pendengaran raja
( sukma luhur ), da kita melihat raja suyudana adalah sukma luhur…dan ini
mengandung makna bahwa sukma luhur atau ruh yang harus terbebaskan dari
pengaruh keduniawian, termasuk teling yang harus mendukung tugas ruh yaitu harus
mendengarkan hal-hal yang bersifat mendukung demi kebebasan ruh.

Kematian Prabu Salya

Kematian Raja Mandaraka diakibatkan oleh senjata kalimasada, yang bermakna


hilangnya pikiran, sehingga mati pula alam insan (manusia). Prabu salya dapat
digambarkan sebagai sukma purba yang menjadi pikiran, berkuasa di mandaraka yang
sebenarnya adalah hati

Dalam konteks hati ada 2 makna….pertama disebut jantung, dan kedua adalah bersifat
spiritual, yaitu wadah untuk menerima rahmat Tuhan, dan ini memiliki persepsi sebagai
pengetahuan, ma’rifah. Dan didalam hati ini bersemayam Rahsa, yang berbeda dengan
rasa biasa( perasaan dalam badan ). Dibagian paling rahasia(halus) dalam hati
manusia dinamakan Sirr, dalam konteks mistik islam adalah merupakan tempat
penyatuan mistik, dan disebut juga Tahta Kesadaran

Dan simbol pikiran mengingatkan kembali pada Akal yang membedakan adalah bahwa
akal berhubungan dengan otak dan pikiran berhubungan dengan hati sebagai
kesadaran

Kematian Prabu Salya dimaknai sebagai musnahnya kesadaranyang berarti pula


musnahnya alam insan (manusia)…Inilah yang merupaka sebuah posisi pentingnya
kesadaran, karena ketika kesadaran hilang artinya sifast sebagai manusiapun lenyap.

Kematian Dursasana

Dursasana mati sebabnya adalah Pancanaka, makna Dursasana adalah penyebaran


kekuatan, sedangkan pancanaka adalah kelima yag sejati dan kuku yang tajam, tajam
tidak mengenal tempat, empat mata angin tersebari, jika usnah gerakan dunia akan
terhenti

Kiblat papat ( 4 mata angin ) atau s45p/ empat arah mata angin dan kelima satu titik
pusat yang akhirnya melahirkan pasaran lima yaitu Legi, Pahing, Pon, Kliwon, Wage
yang masing2 dihubungkan dengan fungsi,warna dan sifat…..dan warna2 inilah itulah
adalah saudara ( inilah yang akan keliatan dalam jagat walikan/ dunia yang baka )…
saudara2 itu adalah benda yang keluar bersama dirinya, yaitu air ketuban ( kakang
kawah), plasenta (ari2), darah dan talipusat…dan dalam sosok Bima ini dilambangkan
menjadi pola kainnya, poleng bang bintulu sehingga untuk mempertebal kekuatannya
karena selalu disertai sedulur papatnya. Ada konsep juga yang menyebutnya sebagai,
4 nafsu yaitu lawammah, amarah, sufiah, muthmainah…..dan ini semuanya yang
membuat manusia memiliki keinginan dan bertindak demi keinginan itu dan nafsu itu
dihidupi oleh ruh

Ruh menyuburkan jiwa (nafs), dan jiwa melahirkan aktivitas2 badaniah didunia yang
terlihatr. Ruha dianggap sebagai dimensi yang paling bercahaya dari manusia yang
paling dekat pada Tuhan, disebut juga akal, dan salah satu sifat kenabian adalah
memberi petunjuk, dalam mikrokosmos petunjuk melekat pada akal, maka akal adalah
analog mikrokosmik nabi

Dan dari sini sisi terang dari simbol rasul yaitu adalah nabi yang disebut juga akal, ruh,
atau cahaya…yang bisa menerangi ke segala arah, tajam dan meyilaukan, dapat dilihat
dari tempat manapun, cahaya ini menghidupi jiwa2, nafsu2 yang digambarka di 4 arah
mata angin dari pancer…bila jiwa2 yang sebagai dasar lahirnya akitivitas badaniah ini
musnahmaka pergerakan dunia ( mikro/badan) akan berhenti, artinya aktivitas badan
/tenaga tubuh sangat tergantung dari jiwa /nafsu yang dihidupi oleh ruh ( pancanaka )

Kematian Wiku Dahyang Durna

Maknanya adalah nafsu ‘muthmainah’. Bertahta di negeri Ngatas Angin. Daerah


kekuasaannya adalah kemunculan nafas di hidun. Pembunuhnya adalah Dhustajumena
berasal dari dhusta, artinya ‘pencuri’ (dan) jumena artinya ‘menurut pada kalbu’. Hilang
kekhawatiranmu. Jika sudah tumbuh (kemantapan itu maka) akan menjadi habis
kekhawatiranmu.

Nafsu sendiri merupakan angkara, khusus nafsu muthmainah bisa menimbulkan watak
loba, misal berpuasa tanpa batas kemampuan, tetapi ini berbeda dengan kultur sufisme
di dunia arab yang menjelaskan bahwa muthmainah harus dipelihara karena bermakna
‘jiwa yag tentram’ …..sebetulnya kalo di jawa memang penjelasannya lebih terperinci
bahwa muthmainah merupakan martabat langit ke 4 sedangkan yang perlu digapai
adalah langit ke 7 mi’raj…

Kematian Sengkuni

Sengkuni di Plasajenar, bima satya yang membunuhnya, dan kematiannya disebabkan


oleh senjata Pancanaka. Arti Sengkuni adalah ‘ucapan kata2 kotor yang disengaja
ketika mengumpat’. Suaranya hilang masuk kedalam wilayah Ilahi…

Pancanaka adalah memiliki arti 4 nafsu dan 1 ruh. Ruh yang menguasai nafsu inilah
yang menhubungkan dimensi Tuhan dan manusia dengan perantara Sirr. Kata2 kotor
yang disengaja adalah ungkapan kekecewaan atau kemarahan seseorang karena
keadaan tidak sesuai dengan yang diinginkan…dan keadaan perasaan yang tidak
menentu ini terjadi dalam hati dan diistilahkan sebaga ‘Hawa’…

Tokoh Bima sendiri memberikan simbol tersendiri pada masyarakat jawa dengan
ilustrasi2 sebagai figur kasar, perkasa, penolong dan guru tanpa guru atau bahkan
sebagai penolong dan pengruwat.

Seluruh gejala dari tubuh adalah tanda aktivitas nafsu, termasuk ungkapan kekecewaan
itu, dan nafsu itu dikuasai ruh, dan ruh merupakan perantara bagi manusia untuk masuk
kedalam wilayah Ilahi dengan demikian kematian Sengkuni bermakna musnahnya
aktivitas ungkapan kekecewaan yang akan memalingkan hati dari ketetapan Ilahi.

Kematian Seta, Untara, Wrasangka

Ini dibunuh oleh Resi Bisma, arti ketiganya adalah sbb; Seta adalah ‘ nafsu yang tak
muncul’, Untara adalah ‘ keingina di hati’, Wrasangka adalah ‘ keingina untuk
berusaha’…arti wrasangka adalah berawal dari Muhkamat yang muncul, kemudian
sirna jika sudah muncul Amatdiyah

Ketiga tokoh ini melambangkan ke 3 nafsu selain muthmainah. Kemunculan nafsu2 ini
di hubungkan dengan Amatdiyah, Dalam penjabarannya dapat di babarkan bahwa
Hyang sukma- Ruh idlafi – Ilapat atau Allah- Nur Muhammad-sirr…dan disinilah istilah
Nur Muhammad menunjukkan sebagi ruh penghubung, yang menghubungkan kesatuan
mutlak dengan segala sesuatu yang ada menjadi satu kesatuan. Keempat nafsu yang
diwakili wrasangka dihidupi oleh ruh. Ini menandakan sifat ketergantungan nafsu dari
ruh, sehingga kemunculannya diawali oleh munculnya ‘Muhammad’ sebagai ruh idhafi.
Dan menunjukkan Bisma memiliki fungsi yang sama dengan Dhusthajumena yaitu
membunuh atau menguasai nafsu…

Kematian Resi Bisma

Adapun Resi Bisma, Srikandhi yang membunuhnya…sesungguhnya sirmu


menerangkan bahwa kamu telah ditolong oleh guru sejatimu. Peristiwa ini sepertinya sir
mengadu kepada Nur Muhammad yang menjadi awal mula kehidupan. Musnahlah
seluruh bala tentara Kurawa.
Hati atau rasa memiliki objek ruh, ruh berhubungan dengan Tuhan, bertempat di lokus
bernama sirr, ada didalam hati, disebut ruh muhammad. Dalam prosesnya penciptaan
dunia dikenal adanya istilah ” Hakikat Muhammad ” disebut juga “Nur Muhammad” yaitu
Cahaya pra-Penciptaan yang merupakan awal penciptaan. Ruha dalam dunia sastra
suluk jawa adalah objek ‘rahsa’ atau rahasia’ dan inilah sarana berkontak dengan
Tuhan, dan merupakan ruh kehidupan yang mengalir dari Tuhan tanpa dipisahkan
darinya.

Jadi Srikandhi dalam arti sirr, merupakan sarana guru sejati untuk menguasai hati, dan
membunuh bisma hanya sebagai sarana bagi sukma Dewi Amba untuk menyatu
kembali dengan bisma untuk pergi bersama ke surga…

Kematian Burisrawa

Beliau dijabarkan sebagai ipar raja Ngastina ( Prabu Suyudana), dan dalam perang
Baratayudha digambarkan Burisrawa berhadapan dengan Wresniwira(Harya Sentyaki),
burisrawa berarti ‘manusia buruk tanpa ilmu’, keadaan samar menyelimuti. Sentyaki
terkungkung kalah dan Raja Dwarawati, Sri Kresna yang merasa iba mengedipkan
mata pada Raden Pamadi yang segera melepaskan panag pasopati dan mengenai
tengkuk burisrawa, patah dan mati dan maknanya adalah Seseorang yang pulang pada
Kegelapan, akhirnya terjadilah kematian.

Digambarkan disini bahwa Burisrawa adalah manusia yang tidak memiliki ‘Ilmu’ yang
dijabarkan sebagai bukan hanya intelektual tetapi lebih kepada ilmupengetahuan yang
ada hubungannya dengan praktek kehidupan, terutama memahami diri sendiri,
kebenaran tentang hidup dan kematian, cara mencari dan menemukan Tuhan dan
hubungan manusia dengan Tuhan….sifat bodoh yang harus diganti dengan sifat
kesempurnaan.

Sehingga dengan memahami keilmuan tersebut kita dapat diharapkan bertindak tanpa
nafsu, dan buahnya adalah Keselamatan Moksa ( bentuk meditasi berjalan )…dan ini
dapat menjauhkan seseorang dari bahaya neraka …dan hanya orang yang taat dan
saleh yang mampu memandang pemeliharaan dunia sebagai sebuah peniruan aktivitas
tanpa nafsu dari Tuhan dapat dengan segera membenarkan aksi keberlanjutan…inilah
atas dasar ketaatan religius. Dalam kejadian Burisrawa yang mati tanpa pengetahuan
yang benar, tidak akan sampaipada paraning dumadi tujuan kehidupan, karena ia tidak
tahu jalan kepulangan kepada Tuhan.
Kematian Sentyaki

Mudah, tertimpa jasad. Jasad keluarga utama yang berarti sesungguhnya adalah
kematian seseorang dengan cara yang tidak tepat. Sanak famililah yang memberikan
teriakan, mengingatkan jalan (agar dapat) lepas bebas karena didunia berguru pada isi
dunia…kalo dalam ragam budaya seperti acara selamat kematian; hari ke1, ke3, ke 7,
40 hari, 1000 hari yang dalam acaranya ada sebuah permintaan maaf atas kesalahan2
dan beban yang belum diselesaikan.

Sentyaki mengisyaratkan kematian yang tidak sempurna, misal akibat kecelakaan dan
hali ini disebabkan oleh kebodohan ( sentyaki terkungkung oleh burisrawa/kebodohan),
dan biasanya memerlukan sanak famili untuk menunjukkan jalan ke arah Tuhan…

Kematian Suyudana…

Berarti ‘Sukma Luhur’, berkerajaan di Ngastina yang bermakna Rumah akhir Jaman
yang direbut oleh Bima dan Parta. Sang Prabu bersahabat dengan kerajaan hitam,
kuning, merah dan putih yang berada disekeliling Ngastina. Pada waktu dulu sang
Prabu sangat marah mengukuhi kerajaan ngastina yang kemudian direbut Pandawa,
artinya bahwa kebanyakan manusia, bukan tanpa halangan jika ingin mati. Ngastina
sebebnarnya rumah akhir jaman bagi Pandawa dengan nama lain Bandarullah. Hanya
tinggal Sri Nara Nata Kurupati yang masih hidup. Ia di bunuh oleh Bayu suta. Sukma
luhur itu sebenarnya sangat lain, yang memerintah dan menerangi kemunculan
Rububiyah. Rumahnya saja sudah bagus maka Pandawa masuk negeri ngastina…

Sukma luhur idebtik dengan ruh, sedangkan seluruh nafsu dihidupi oleh ruh, dan
tergantung adanya ruh. Ruh adalah obyek rasa atau hati, ruh memiliki tempat dihati.
Ngastina identik dengan hati/rasa, pada akhirnya hati di kuasai oleh
pengetahuan/kesadaran tertinggi ( bima dan parta) yaitu ilmu yang menyangkut wilayah
keIlahian. Ketika hati bersih dari segala macam kotoran, ruh menantikan kehadiran
sumber pengetahuan sejati (rububiyah) kuasa ilahi (bima). Setelah ruh benar2
diterangioleh rububiyah kemudian ruh memasuki dunia fana, dan yang menjadi
tujuannya hanyalah Allah semata (bandarullah)

Perang

Pengartian perang dalam baratayudha masih berhubungan dengan makna kematian,


karena arti kematian tidak dapat dipisahkan dari proses peperangan, kadangkala
peperangan identik dengan kekerasan…

Arti bratayudha atau bratapupuh yaitu ‘Sakratul Maut’…yang mengisyaratkan proses


penyatuan badan dan sukma, dan penyatuan ini harus diusahakan sehingga sempurna,
dan kesempurnaan badan dan sukma identik dengan kesempurnaan keluar masuknya
nafas. Nafas adalah titik hubung penting antara diri dengan tubuh, pengaturan nafas
digunakan untuk membersihkan urat2 syaraf dan memeberikan daya kekuatsn pada
pusat tubuh yang halus. Dan bila pernafasan ini sempurna maka seseorang akan dapat
menghantarkan diri pada keadaan kesadaran diri akan Tuhan dalam nuansa keabadian
( sukmana) dan inilah yang menjadi prasyarat munculnya Insan Kamil…artinya kita
kembali pada fitrah kita sebagai manusia pada saat penciptaan, manusia ideal yang di
tetapkan oleh Tuhan…..

ABDI

Pandawa memiliki abdi yang dinamakan Punakawan yang berjumlah 4 dan berfungsi
sebagai penasihat perjalanan. Pandawa tidak akan pernah berhasil tanpa para
penasihat itu…dan Pandawa disebut Bandarullah yang dapat ditafsirkan dengan ‘Allah
sebagai Tujuan’…Allah menyediakan jalan untuk berjalan kearahNya, dan jalan itu
adalah :

SEMAR…( cahaya)

Dalam proses Ketuhanan, cahaya adalah ciptaan pertama yang disebut Nur
Muhammad, dan dari sinilah bibit alam raya muncul dan sbg sumber bibit maka disini
belum ada ukuran. Cahaya ini adalah hakikat alam raya, seseorang tidak mengerti
hakikat dirinya pasti akan sulit menemukan sumbernya, tempat asalnya, dan begitu
pula sebaliknya, maka sebagai tugasnya, hakikat inilah yang menuntun manusia untuk
memiliki tujuan yang jelas bagi hidupnya yaitu ” Ilahi “.

Gareng…(hati yang bersih)

Prilaku adalah hal yang paling menentukan keberhasilan atau usaha dan kewaspadaan
pada hal2 yang akan terjadi disertai perhitungan matang dalam bertindak, ketelitian
menentukan pilihan dan kecermatan menentukan langkah adalah hal2 yang membawa
diri kita pada kemantapan hati. Dengan hati mantap dan bersih ini, diri dapat bertindak
secara tepat dan benar.

Petruk…( ikhlas )

Sifat ikhlas ini ada dalam hati, dan ini menandakan sifat bebas dari perasaan pamrih
dan bersedia melepaskan sikap individualistis dan mencocokan diri dalam keselarasan
agung alam semesta. Arah yang sama juga di tunjukkan dalam sifat rila yaitu
keanggupan untuk melepaskan hak milik, kemampuan dan hasil2 pekerjaan sendiri bila
itu menjadi tuntutan tangging jawab atau nasib. Ikhlas dan rila harus disadari sebagai
kekuatan yang positif, bukan sebagai menyerah kalah karena menyerahkan dalam
penuh pengertian…

Bagong…( tindakan khusus )

Salah satu sikap positif adalah bertindak…dan dari sisi mistik, tindakan khusus yang
meliputi puasa atau tirakat untuk bertujuan mendapatkan sesuatu, dalam hal cita2 batin
yang positi dan orang ini akan mengerahkan segala daya upaya untuk mencapainya.
Orang yang banyak melakukakn tindakan ini akan memiliki pola perilaku yang sama,
walaupun dia tidak melakukan laku. Pola yang terbentuk adalah usaha yang keras,
konsentrasi, kecermatan, atau ketelitian dan kesabaran, dan ini mendorong prilaku
tindakan khusus memiliki keistimewaan yang orang lain tidak banyak memiliki, yaitu
sikap keras berusaha, cermat, teliti, penuh, kepasrahan, dll

Jadi masalah kematian dalam suluk bratayudha adalah menyangkut kematian tokoh
yang menyimbolkan salah satu unsur dari manusia, seperti sbb;

1. Akal/ pikiran ( Angka Wijaya )


2. Kesadaran ( Prabu Salya )
3. Tenaga ( Dursasana )
4. Nafsu ( Dahyang Durna, Seta, Untara dan Wrasangka )
5. Hati ( Dhusthajumena, Bisma )
6. Kekecewaan/ emosi ( Sengkuni )
7. Kebodohan ( Burisrawa )
8. Cara Kematian ( Sentyaki )
9. Ruh dalam hubungannya dengan Kedirian ( Suyudana)
Inilah kira2 gambaran dari Suluk Bratayuda semoga bisa bermanfaat untuk menjadikan
kita sebagai manusia yang lebih baik

MAKNA PERANG BHARATAYUDA DAN PERUBAHAN

Sebagai kelanjutan dari tulisan "DUNIA PEWAYANGAN DAN KEKUASAAN ORDER


BARU" yang mengupas idealisme etika JAWA dalam pewayangan yang berkenaan
dengan masyarakat dan pimpinan ideal maupun kekuasaan, "wayang purwo / kulit"
sebagai pengertian simbolik bagi penulis tetap merupakan sumber yang tidak pernah
kering untuk suatu refleksi kekinian. Kali ini penulis ingin mengajak pembaca mengupas
makna simbolik dari perang Bharatayuda yaitu bagian dari Mahabharata yang
mengisahkan perang saudara antara Pendawa Lima dan Kurawa (mereka adalah
sama-sama cucu dari Bhegawan Abiyasa) untuk mengambil kembali kerajaan
Indraprasta / Amartapura yang dikuasai oleh Hastina-pura dikarenakan kalah judi. 

Pendawa Lima merasa sudah melunasi hukumannya dibuang di hutan selama 12


(duabelas) tahun, dan satu tahun dalam penyamaran, tetapi Kurawa mempertahankan
dan menuduh Pandawa Lima gagal melaksanakan hukumannya. (Dalam "wayang
purwo / kulit" agak sedikit ada kerancuan bahwa penyebab peperangan disebabkan
Pendawa Lima ingin mendapatkan hak Hastina-pura yang dititipkan oleh Panduwinata -
ayah Pendawa Lima, yang pada saat itu raja Hastinapura - kepada kakaknya yang buta
Destrarata - ayah Kurawa).

Dalam episode Bharatayuda, di dalamnya terdapat kisah "Bhagawatgita" yaitu kisah


awal dari Bharatayuda ketika Arjuna merasa sangat tidak bersemangat untuk berperang
melawan Kurawa dikarenakan musuh yang dihadapi masih saudara sendiri bahkan di
antara musuh yang harus dihadapi adalah para sesepuh yang sangat dihormati yaitu
Resi Bisma, Pendita Durna dll. Arjuna merasa kenapa harus berperang untuk
memperebutkan kerajaan, kalau perlu biarlah Kurawa menguasai kerajaan. Sri Kresna
memberikan nasihat kepada Arjuna bahkan terpaksa memperlihatkan wujud Wisnu
yang sebenarnya untuk meyakinkan Arjuna bahwa : Peperangan Bharatayuda bukan
sekedar perang melawan saudara sendiri tapi adalah peperangan suci yang harus
dilaksanakan oleh Ksatria Utama sebagai dharmanya / kewajibannya untuk
melenyapkan keangkaramurkaan dan kebatilan dimuka bumi. 

Sri Kresna kemudian juga mengajarkan kepada Arjuna makna hidup, asal kehidupan,
dan akhir kehidupan yang mengalir dalam perwujudan Wisnu yang sebenarnya yang
dituliskan dalam kisah Bhagawatgita (yang juga menjadi salah satu kitab suci pemeluk
agama Hindu).

Dalam interpretasi perang Bharatayuda dalam kisah "wayang purwo/kulit" banyak versi
sesuai dengan peresapan masing-masing penggemar ataupun pengamat "wayang
purwo / kulit" yang pada hakekatnya bisa dikatagorikan dalam simbolik berupa
perubahan yang bersifat micro (dalam diri manusia sendiri) dan perubahan yang
bersikap macro (dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara).

Arti simbolik yang bersifat micro (dalam diri manusia secara individu) Pengertian
simbolik perang Bharatayuda dalam diri manusia adalah peperangan dalam diri
manusia dalam rangka mengatasi dirinya antara perbuatan yang baik dan perbuatan
yang buruk. Adalah peperangan yang tiada henti selama hidup dari seseorang sebagai
individu untuk mencari nilai budi luhur dan melaksanakan dalam tindakan nyata sehari-
hari yang melawan pengaruh buruk yang bersifat kesenangan yang bisa merusak diri
dan lingkungannya.

Bharatayuda sebagai simbol pertarungan / pergulatan etika baik dan buruk dalam diri
manusia: Peperangan dalam diri manusia adalah hakekatnya perang saudara, karena
apabila manusia menginginkan sifat baik yang terpancar dalam kehidupannya dia harus
berani membunuh sifat buruk dalam dirinya yang berarti membunuh sebahagian dari
dirinya. 

Betapa sakitnya seseorang yang harus membunuh sifat dalam dirinya yang bersifat
kesenangan yang merusak seperti "ma-lima" (lima M) yaitu (madon, madat, maling,
main, mabuk yang artinya madon berarti - kesenangan dengan wanita/ sex diluar
pernikahan, madat - kesenangan dengan candu / ganja / ecstacy / heroin / ataupun
sejenisnya, maling - kesenangan memiliki hak / kepunyaan orang lain, main -
kesenangan berjudi, mabuk - kesenangan minum minuman keras). 

Kalau seseorang sudah terlanjur mempunyai kesenangan seperti tadi yang merupakan
sifat buruk dalam dirinya, seseorang memerlukan sikap sebagai Arjuna yang harus
berani melakukan perang Bharatayuda, untuk membunuh sebahagian dari dirinya yang
bersifat buruk, betapa hal itu sangat berat dan terasa menyakitkan. Dan apabila sifat
Ksatria Utama yang memenangkan peperangan dalam diri seseorang,dia mampu
mengatasi dirinya untuk tidak berbuat yang kurang terpuji dan berbudi luhur dalam
perbuatan nyata untuk dirinya maupun untuk masyarakat sekelilingnya. Kemenangan
dalam peperangan ini sebetulnya perubahan yang nyata dari sifat manusia tersebut dari
manusia yang kurang terpuji sifat2-nya menjadi manusia yang terpuji sifat2-nya.

Bharatayuda sebagai simbol cara kematian seseorang sesuai dengan karma/ akibat
perbuatannya: Dalam kehidupan seseorang selalu diuji keberpihakan-nya terhadap
nilai-nilai budi luhur atau kecenderungannya terpengaruh oleh perbuatan buruk. Dalam
masyarakat modern yang makin heterogen dan dengan makin terbukanya pengaruh
berbagai budaya dari luar kadang2 agak sulit untuk mengenali dengan cepat dan
mengambil garis lurus ataupun garis pemisah antara perbuatan etika moral yang terpuji
maupun yang kebalikannya yang kadang agak sulit bagi kita menarik garis hitam putih. 

Tapi kalau kita mengkaji lebih lanjut kisah / lakon dalam "wayang purwo/kulit" hal
tersebut bukan sesuatu yang tidak terdeteksi dalam kisah tokoh- tokohnya yang selalu
bergulat dalam perbuatan yang terpuji maupun kurang terpuji bahkan terhadap tokoh2
yang di-ideal-kan seperti tokoh Pendawa Lima dan Sri Kresna. Hal ini adalah suatu
indikasi alamiah ketidaksempurnaan manusia.

"Wayang purwo/kulit" mengajarkan suatu budaya yang sangat bijaksana berkaitan


dengan ketidak sempurnaan manusia dengan menciptakan tokoh punokawan yaitu
Semar, Petruk, Gareng, Bagong yang selalu memberikan peringatan terhadap
penyimpangan yang dilakukan oleh para raja dan ksatria.

Kalau punokawan ini secara simbolik diartikan sebagai "rakyat" dan inilah secara nyata
sistem demokrasi dimana kelemahan dan ketidaksempurnaan manusia dicoba diatasi
dengan melaksanakan sistem yang saling mengingatkan (check and balance ataupun
social control) antara pihak pimpinan / raja, para ksatria, sistim peradilan, dan
rakyatnya.

Sistem ini menuntut semua pihak rela menerima koreksi / kritik dari pihak yang lain, dan
budaya "wayang purwo/kulit" memberi contoh yang gamblang bahwa Semar maupun
punokawan selalu mengingatkan raja / ksatria yang peringatannya / kritiknya diterima
dan diperhatikan oleh raja dan para ksatria.

Beberapa contoh kisah pewayangan yang menggambarkan ketidak sempurna-an sifat2


dari tokoh yang dianggap sebagai tauladan :
1. Yudistira/Puntodewo yang terkenal kejujurannya dan kebijaksanaannya
sebagai seorang raja ternyata dia mempunyai kelemahan yang sangat fatal yaitu
kesenangannya dengan judi yang kelemahan tersebut dimanfaatkan oleh
Kurawa dengan arsiteknya Patih Sengkuni sehingga membawa kesengsaraan
keluarganya bahkan sampai dengan negaranya, saudara2-nya, bahkan istrinya -
Dewi Drupadi - dipakai sebagai barang taruhan dan sempat sangat dipermalukan
didepan umum oleh Dursasono - salah satu dari Kurawa, dan akhirnya
membawa Pendawa Lima harus menjalani hukuman dibuang ditengah hutan
selama duabelas tahun dan melakukan penyamaran selama satu tahun.
2. Arjuna yang sangat pandai dan sakti ternyata punya kelemahan terhadap
wanita yang membawanya dia terkenal kalau dengan istilah sekarang sebagai
"Don Yuan" (biarpun beberapa pakar pewayangan hal ini diartikan sebagai
simbol kegandrungan Arjuna akan ilmu pengetahuan sehingga dia selalu berguru
kepada Bhegawan dan mengawini anak perempuannya yang diartikan /
disimbolkan sebagai menguasai ilmu dari sang Bhegawan
3. Sri Kresna yang terkenal bijaksana dan dikatakan sebagai titisan Wisnu
ternyata kurang mampu mendidik anaknya dan terlalu memanjakan anaknya
yang akhirnya membawa pada karma kematiannya melalui seorang pemburu
yang tanpa sengaja memanah kakinya - yang anak panahnya berasal dari
perbuatan / kesombongan anaknya Samba (Mohon ber-hati-hati bagi yang
merasa menjadi raja - dan saya tidak yakin kalau beliau membaca Internet, dan
saya yakin bahwa pembantu- pembantu dekatnya pasti ada yang membaca
Internet dan pasti tidak berani mengingatkan sang raja - dan yang memanjakan
anak- anaknya menjadi orang yang serakah dan angkara murka bahkan Sri
Kresna yang titisan dewa tidak bisa lepas dari karma akibatnya).
Contoh-contoh di atas masih bisa diperpanjang dengan tokoh2 seperti Abimanyu (anak
Arjuna) yang membohongi istrinya, Gatutkaca (anak Werkudoro) yang memunuh
pamannya sendiri, Resi Bisma yang membunuh wanita yang mencintainya, Prabu
Salyo yang membunuh mertuanya, dan yang lain2-nya yang pada suatu saat dalam
kehidupannya pernah melakukan perbuatan yang kurang terpuji yang balasan karma
dari perbuatan buruknya terjadi pada perang Bharatayuda dan ini menjadi suatu
interpretasi simbolik lainnya dari makna perang Bharatayuda secara micro (pada
individu) yaitu : peperangan terakhir dari manusia menghadapi karma hidupnya, yaitu
cara kematiannya adalah cermin dari seluruh cara dan perilaku seluruh kehidupannya
baik ataupun buruk.

Arti simbolik yang bersifat macro (dalam kehidupan bermasyarakat dan


bernegara)

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara manusia sebagai individu juga selalu
diuji keberpihakan seseorang terhadap kelompok yang punya nilai-nilai luhur dan
kelompok yang cenderung terpengaruh oleh perbuatan buruk. Dalam masyarakat
modern yang makin heterogen dan dengan makin terbukanya suatu negara dari
pengaruh-pengaruh berbagai budaya dari luar sebagai suatu dampak globalisasi
kadang- kadang agak sulit untuk mengenali dengan cepat dan mengambil garis lurus
ataupun garis pemisah antara kelompok- kelompok yang memperjuangkan suatu etika
moral yang terpuji maupun yang kebalikannya.

Kalau melihat contoh- contoh seperti Yudistira /Puntodewo, Arjuna, dan Sri Kresna
seperti tersebut di atas jelas bahwa sebagai manusia mereka tetap mempunyai sifat
alamiah tentang ketidak-sempurna-an manusia. Walaupun secara umum atau bisa juga
dikatakan bahwa sebagian besar perilaku yang diperbuat bisa dijadikan contoh
walaupun tidak lepas dari cacat dan cela. Dengan segala cacat dan cela sebagai
individu, secara kelompok mereka mempunyai suatu ciri utama yaitu mengemban tugas
Pemimpin maupun Ksatria Utama yang harus selalu menegakkan kebenaran dan
memerangi kelompok yang angkara murka. 

Dan dari zaman ke zaman selalu saja akan muncul seorang Pemimpin yang memimpin
kelompoknya untuk memerangi kezaliman yang merugikan masyarakat/rakyat banyak
ataupun pihak2 yang lemah dan tak berdaya. Dan nyata2 bahwa setiap Pemimpin akan
mengalami dilema seperti Arjuna yang ragu2 untuk menjalankan perannya untuk
menegakkan kebenaran apabila yang dihadapi adalah para Pimpinan bangsanya
sendiri, bahkan diantaranya adalah para tokoh yang dihormati seperti Resi Bisma,
Adipati Karno yang oleh keterikatan historis (walaupun sebetulnya mereka tidak
sependapat dengan kelakuan Duryudono sebagai raja kelompok Kurawa) ataupun
dengan sejuta alasan lainnya berpihak kepada yang tidak benar. 

Dan perang Bharatayuda adalah simbol peperangan yang mungkin bisa timbul didalam
masyarakat apabila muncul kelompok yang menjunjung tinggi etika berbudi luhur yang
melaksanakan perang suci menghadapi kelompok yang zalim dan angkaramurka agar
terjadi perubahan yang nyata menuju suatu tata masyarakat yang lebih baik.

Bahwa pada akhirnya Pendawa Lima memutuskan untuk melaksanakan suatu perang
Bharatayuda bukanlah suatu proses atau keputusan yang mudah, Pendawa Lima
secara nyata telah menjalankan usaha mencegah agar perang Bharatayuda jangan
terjadi dengan misi perdamaian - yang terakhir adalah lakon / cerita "Kresno Duto" yang
mengutus Sri Kresna untuk menyelesaikan masalah secara damai yang akhirnya malah
menimbulkan kemarahan yang sangat dari Sri Kresna yang hampir saja menghancur-
luluhkan seluruh kerajaan Hastinapura. 

Secara simbolik bisa diartikan bahwa kezaliman dan keangkara-murkaan itu semacam
candu/ecstacy, sekali kita didalamnya sulit kita bisa dengan mudah menjadi sadar
dengan sendirinya, harus ada pihak2 yang berani memerangi dan menghancurkannya. 

Diceritakan bahwa perang Bharatayuda adalah perang yang "gegirisi" atau sangat
menakutkan-tidak ada satupun perang yang tidak menakutkan yang akan meminta
banyak korban-dimana akhirnya semua seratus Kurawa dan segala Ksatria yang
membantunya habis terbunuh, juga dari sisi Pendawa Lima tidak ada anak2 Pendawa
Lima yang bisa lolos dari maut. Kemenangan dari Pendawa Lima harus dibayar sangat
mahal walaupun akhirnya Hastinapura bisa menjadi negara yang adil makmur setelah
segala keangkamurkaan Kurawa bisa dimusnahkan. "Jer basuki mawa bea" adalah
suatu pepatah Jawa yang artinya - untuk mencapai suatu tujuan selalu ada biayanya. 

Indikasi masyarakat Indonesia saat ini sangat memprihatinkan yaitu suatu kondisi yang
apabila tidak dicermati ataupun disadari terutama oleh pendukung Orde Baru -
dikarenakan posisinya yang memegang kekuasaan dan kekuasaan apabila berciri
angkaramurka sama dengan ketagihan candu / ecstacy yang punya ciri: sekali kita di
dalamnya sulit kita bisa dengan mudah menjadi sadar dengan sendirinya - yang bisa
menimbulkan suatu situasi radikal para kelompok yang merasa terpanggil untuk
melaksanakan pembaharuan yang bisa mengidentifikasikan ebagai kelompok moralis /
kelompok pro-demokrasi menghadapi pemerintahan yang zalim yang telah
menjalankan Pemilu yang tidak adil, pemerintahan yang penuh korupsi dan kolusi, yang
tentaranya menembaki rakyatnya sendiri, melakukan manipulasi undang2 dan
peraturan yang menguntungkan kelompoknya, yang anak-anak sang pemimpin ikut
campur dalam urusan berusaha dan bernegara seperti layaknya pangeran2 kerajaan
dsb. 

Lambat atau cepat apabila tidak diatasi secara bijaksana bukan sesuatu yang tidak
mungkin bisa terjadi perang Bharatayuda dibumi kita tercinta, walaupun kita semua
tidak menginginkan, dan adalah sangat alami barangkali juga sebagai hukum alam
bahwa selalu akan muncul kelompok moralis yang dengan segala resikonya untuk
memerangi pihak yang dianggap menyimpang dari tindakan yang jujur dan terpuji dari
waktu ke waktu.

Makna Wani Ngalah Dhuwur Wekasane

Terjemahan harafiah dari Wani Ngalah Dhuwur Wekasane adalah Berani Mengalah,
justru Akan Mendapatkan Sesuatu Yang Lebih Sesudahnya. Nilai ini menunjukkan
bahwa mengalah bukan berarti kalah, namun justru dengan mengalah menunjukkan
bahwa seseorang tersebut memiliki kebesaran hati, sebagai sifat dan watak seorang
pemenang.

Gambaran nilai ini tercermin dalam tokoh pewayangan dari kesatria Pandawa,
Yudistira. Yudistira adalah anak pertama dari Puntadewa yang memiliki watak yang
sangat halus. Dari penampakan luar, Yudistira adalah seorang kesatria yang sangat
lugu, serta memiliki sikap untuk mengalah terhadap musuh sekalipun. Yudistira juga
terkesan tidak memiliki kekuatan ataupun kesaktian, sebagaimana halnya tercermin
dalam tokoh Werkudoro, Arjuna, maupun Nakula dan Sadewa.

Namun, dari sisi inilah seorang Yudistira menjadi seorang kesatria pilih tanding dalam
konteks perang Baratayudha, antara Pandawa dan Kurawa. Suatu ketika, di
penghujung akhir perang Baratayudha, setelah hampir semua kesatria Kurawa
meninggal dunia dalam perang, maka ada kesatria sepuh dari Kurawa yang
sebelumnya tak mau berperang dengan para Pandawa, namun karena alasan patriotic,
maka tampillah Prabu Salya. Seorang kesatria yang memiliki kesaktian sangat luar
biasa. Setiap darah prabu Salya keluar, maka akan menjelma prabu-prabu Salya baru
dengan kekuatan yang sama. 

Hampir semua kesatria Pandawa dibuat putus ada, sehingga Kresna membujuk
Yudistira untuk maju berperang untuk menghadapi Prabu Salya. Tatkala bertemu
dengan Prabu Salya, Yudistira tidak tega melepaskan anak panah ke tubuh Prabu
Salya dan justru malah melepaskan anak panah ke arah tanah. Namun justru dengan
anak panah yang menyentuh tanah inilah kemudian Yudistira mampu mengalahkan
Prabu Salya.

Dalam konteks resolusi konflik, proses penyelesaian masalah justru akan bisa digali
manakala ada fihak yang berkonflik mau menurunkan derajat tuntutan atau bahkan
mengalah dengan memberikan konsesi bagi pihak lain untuk mendapat mendapatkan
konsesi yang lebih. Konsep yang demikian dikenal dengan strategi Yielding, di mana
fihak yang berkonflik membuka proses negosiasi dengan memberikan kesempatan
fihak lain mendapatkan konsesi terlebih dahulu, sehingga pada akhirnya pembicaraan
tentang konflik yang sebelum direpresentasikan dengan penggunaan kekerasan
berubah dengan instrument dialog.

Strategi Yielding dalam proses negosiasi sedemikian substantif untuk membuka


kebuntuan konflik. Strategi yielding memang membutuhkan kedewasaan politik dan
budaya, sebab ada kecenderungan yang menafsirkan mengalah sebagai bentuk
negosiasi yang lembek, yang memungkinkan fihak lawan justru semakin menekan dan
meminta konsesi yang tidak proporsional. Seperti halnya pepatah Jawa mengatakan,
“dikhei ati ngrogoh rempelo” (diberi hati namun malah minta lebih, yakni meminta
jantung). Tanpa kedewasaan dan kemampuan berkomunikasi yang baik dengan fihak
internal maupun eksternal, strategi Yielding sering dianggap kontraproduktif.

PERANG BHARATAYUDHA; Nafsu Paling Menghancurkan

PRABU DRUPADA

PRABU DRUPADA yang waktu mudanya bernama Arya Sucitra, adalah putra Arya Dupara dari
Hargajambangan, dan merupakan turunan ke tujuh dari Bathara Brahma. Arya Sucitra
bersaudara sepupu dengan Bambang Kumbayana/Resi Durna dan menjadi saudara seperguruan
sama-sama berguru pada Resi Baratmadya. Untuk mencari pengalaman hidup, Arya Sucitra
pergi meninggalkan Hargajembangan, mengabdikan diri ke negara Astina kehadapan Prabu
Pandudewanata. Arya Sucitra menekuni seluk beluk tata kenegaraan dan tata pemerintahan.
Karena kepatuhan dan kebaktiannya kepada negara, oleh Prabu Pandu ia di jodohkan/dikawinkan
denganDewi Gandawati, putri sulung Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandarini dari negara
Pancala. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra masing-masing bernama;
Dewi Drupadi, Dewi Srikandi dan Arya Drestadyumna. Ketika Prabu Gandabayu mangkat, dan
berputra mahkota Arya Gandamana menolak menjadi raja, Arya Sucitra dinobatkan menjadi raja
Pancala dengan gelar Prabu Drupada. Dalam masa kekuasaanya, Prabu Drupada berselisih
dengan Resi Durna, dan separo dari wilayah negara Pancala direbut secara paksa melalui
peperangan oleh Resi Durna dengan bantuan anak-anak Pandawa dan Kurawa. Di dalam perang
besar Bharatayuda, Prabu Drupada tampil sebagai senapati perang Pandawa. Ia gugur melawan
Resi Durna terkena panah Cundamanik.

RESI DURNA

RESI DURNA yang waktu mudanya bernama Bambang Kumbayana adalah putra Resi
Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini. Resi Durna mempunyai saudara
seayah seibu bernama: Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Resi Durna berwatak; tinggi
hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi kecakapan, kecerdikan, kepandaian
dan kesaktiannnya luar biasa serta sangat mahir dalam siasat perang. Karena kesaktian dan
kemahirannya dalam olah keprajuritan, Resi Durna dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa
dan Kurawa.

Resi Durna mempunyai pusaka sakti berwujud keris bernama Cundamanik dan panah Sangkali
(diberikan kepada Arjuna). Resi Durna menikah dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji, raja
negara Tempuru, dan memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Resi Durna
berhasil mendirikan padepokan Sokalima setelah berhasil merebut hampir setengah wilayah
negara Pancala dari kekuasaan Prabu Drupada. Dalam peran Bharatayuda Resi Durna diangkat
menjadiSenapati Agung Kurawa, setelah gugurnya Resi Bisma.
Resi Durna sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan gelar perang. Resi
Durna gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestajumena, putra Prabu Drupada,
yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Durna akibat dendam Prabu Ekalaya
raja negara Paranggelung yang arwahnya menyatu dalam tubuh Drestajumena.

Pelajaran Berharga ;
1. “Sapa sing nggawe mesthi nganggo”, siapa menanam mengetam “ngundhuh
wohing pakarti”. Perbuatan jahat pada orang lain akan menjadi bumerang, kembali
membuat malapetaka pada diri sendiri. Tampaknya nukilan dari falsafah hidup Kejawen
ini merupakan rumus alam (baca; kodrat alam/kodrat Tuhan). Bagaimanapun Durna
sudah pernah merebut separoh wilayah kekuasaan dan membunuh Prabu Drupada. Maka
kematian Resi Durna berada di tangan sang Drestajumena yakni putra Prabu Drupada
sendiri. Sebenarnya Drestajumena secara kalkulasi tidak akan mungkin mengalahkan
Resi Durna, karena kesaktiannya belum ada apa-apanya jika dibanding Resi Durna.
Namun Hyang Widhi telah memenuhi rumus “sapa nggawe nganggo dan ngunduh
wohing pakarti” apapun jalannya Resi Durna mati di tangan Drestajumena setelah
tubuhnya dirasuki roh Prabu Ekalaya. Sudah menjadi kodrat alam, malapetaka (wohing
pakarti) datang menimpa diri sendiri, tidak mesti dari pihak korban atau orang yang
dijahati, namun bisa datang dari pihak lainnya lagi. 
2. Resi Durna sebagai figur yang memiliki watak dualisme, atau berkepribadian
ganda. Di satu sisi ia membuat huru-hara, di sisi lain mendidik para kesatria Pandawa
dari tlatah kebenaran. Namun ia akhirnya mati “ngunduh wohing pakarti” alias karena
ulahnya sendiri.
3. Ilmu ibarat pisau bermata dua, dapat dimanfaatkan untuk kebaikan maupun
kejahatan tergantung manusianya.
4. Resi Durna dengan Prabu Drupada adalah saudara sepupu yang dahulu bernaung
dalam satu perguruan, namun Prabu Drupada memanfaatkan ilmunya untuk kebaikan
(amr ma’ruf nahi mungkar) sementara Resi Durna lebih banyak memanfaatkannya untuk
keburukan dan membela kekuatan jahat.
5. Dalam peperangan fisik semisal Perang Bharata Yudha, dalam konteks riil ambil
contoh antara Yahudi dan Palestina, merupakan perang saudara yang memperebutkan
wilayah atau daerah kekuasaan sebagaimana dalam cerita perang Baratayudha antara
senopati perang Drupada melawan senopati perang Durna.
6. Sebagai peringatan kepada umat manusia untuk berhati-hati terhadap 3 macam
nafsu negatif paling berbahaya yang dapat menghancurkan hubungan tali persaudaraan
baik dalam hubungan internal keluarga, pertemanan atau pergaulan, berbangsa dan
bernegara yakni ; nafsu cari benarnya sendiri, nafsu keinginan berkuasa, dan nafsu
penguasaan harta (warisan). Terutama terhadap orang-orang terdekat masih saudara
sendiri. Jika terjadi perang (saudara) akan menjadi perang yang sangat keji dan kejam.
Terlebih lagi perang tersebut diwarnai dalih membela kebenaran, antara kekuatan “putih”
dan “hitam. Akibatnya adalah kehancuran dahsyat.
Oleh : : Admin 
Tidak ada komentar:
Sejarah Perang Baratayudha (Perang Pandawa dan
Kurawa)
written by Devita Retno

Perang keluarga Bharata atau Baratayudha adalah puncak dari perseteruan yang terjadi antara
Pandawa dan Kurawa. Semua ini bermula karena pihak Kurawa yang berambisi untuk
menguasai Astinapura secara penuh kemudian melakukan segala cara untuk menyingkirkan
Pandawa yang sebenarnya merupakan saudara mereka. Semua usaha tersebut sebenarnya
menemui kegagalan hingga hari terjadinya perang Baratayudha di padang Kurusetra yang
berlangsung selama 18 hari. Perang ini adalah puncak dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah
dongeng pewayangan terkenal dari India.

Sejarah perang Baratayudha ada dua versi, yaitu berasal dari judul sebuah naskah kakawin yang
berbahasa Jawa Kuno. Ditulis oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabaya, Raja Kediri
pada 1157, merupakan simbol dari perang saudara yang terjadi antara Kerajaan Kediri dan
Jenggala yang keduanya masih merupakan keturunan Raja Erlangga. Perang saudara yang terjadi
antara kedua kerajaan itu ditulis dalam kitab dan digambarkan seperti di kisah Mahabharata yang
merupakan karya Vyasa. Versi lainnya yang akan dibahas disini berasal dari kisah Mahabharata
dari India. Ketahuilah mengenai sejarah Kerajaan Kediri, sejarah Candi Dieng yang merupakan
salah satu dari candi Hindu di Indonesia.
Penyebab Perang Baratayudha

Pandu yang merupakan ayah dari para Kurawa pada suatu hari membawa pulang tiga orang putri
yang berasal dari tiga negara berbeda, bernama Kunti, Gendari dan Madri. Salah satu dari ketiga
putri tersebut kemudian diberikan sebagai persembahan kepara Dretarastra, kakak Pandu yang
buta. Putri yang terpilih adalah Gendari, karena Dretarastra yang buta memilih dengan cara
mengangkat satu persatu ketiga putri tersebut, dan Gendarilah yang bobotnya paling berat.
Dengan demikian ia mengasumsikan Gendari akan memiliki banyak anak sesuai keinginannya
sehingga Gendari sakit hati dan bersumpah bahwa keturunannya akan menjadi musuh bebuyutan
dari anak – anak Pandu. Sejak itu Gendari dan adiknya Sengkuni selalu mendidik anak –
anaknya yang jumlahnya seratus orang untuk selalu bermusuhan dengan anak – anak dari Pandu.

Kedua putri yang lain yaitu Kunti dan Madri kemudian dinikahi oleh Pandu. Namun, Pandu
mendapatkan kutukan dari sepasang resi yang dipanahnya ketika sedang berwujud rusa sehingga
tidak dapat berhubungan dengan istri – istrinya. Pandu yang hidup seperti pertapa meyakini jika
ia tidak memiliki anak laki – laki maka ia akan masuk neraka. Kunti kemudian menceritakan
anugerah yang didapatnya dari seorang resi bernama Durvasa di kerajaan ayahnya, yaitu mantra
untuk memanggil para Dewa untuk bisa mendapatkan karunia berupa seorang putra dari para
dewa tersebut. Kunti kemudian memanggil Dewa Dharma, dan lahirlah Yudhistira.Kemudian
Dewa Vayu dan lahirlah Bhimasena, setelahnya Indradewa lalu lahir Arjuna. Mantra tersebut
tidak akan manjur lagi apabila digunakan lebih dari tiga kali, maka Kunti mengajari Madri untuk
melafalkannya demi mendapatkan anak lagi. Madri memanggil Sang Kembar, yang merupakan
tabib para Dewata. Kemudian Nakula dan Sadewa pun lahir.

Setelah Pandu meninggal, anak – anak Pandawa selalu menjadi sasaran dari kejahatan Kurawa.
Yudhistira adalah putra Dinasti Kuru yang tertua, dan ia berhak menjadi Raja sejak kerajaan
Amarta telah diserahkan oleh Dretarastra kepada adiknya karena ia buta. Dretarastra hanya
menggantikan Pandu sebagai kepala pemerintahan sementara hingga Yudistira dewasa, namun
anak – anak Kurawa berpendapat lain karena sumpah ibunya tersebut. Duryudana berambisi
untuk menjadi raja dan menguasai takhta Dinasti Kuru, kemudian mengusahakan segala cara
termasuk mencoba membunuh Yushistira bersama saudara – saudaranya namun selalu gagal
karena mereka dilindungi oleh Widura dan Kresna.

Pemicu perang Baratayudha terjadi ketika Pandawa kalah dalam permainan dadu dengan
Kurawa, yang mengakibatkan Kerajaan Amarta diambil alih Kurawa dan Pandawa menjalani
hukuman dengan diasingkan di Hutan Kamiyaka selama 12 tahun, dan setahun penyamaran
sebagai rakyat jelata di Kerajaan Wirata. Setelah masa hukuman berakhir, Kurawa tetap tidak
mau menyerahkan kembali wilayah Amarta walaupun Pandawa hanya menuntut bagiannya
sebanyak lima wilayah desa. Ketahuilah juga mengenai beberapa candi peninggalan agama
Hindu di Indonesia, antara lain sejarah candi arjuna, sejarah candi jago, dan sejarah candi jiwa.
Berlangsungnya Perang Baratayudha

Sejarah perang Baratayudha berlangsung di Padang Kurusetra, yang dianggap sebagai tempat
suci bagi penganut agama Hindu. Arti dari Kurusetra sendiri adalah ‘daratan Kuru’ yang disebut
dengan nama lain Dharmakshetra atau ‘daratan keadilan’. Konon karena kesuciannya maka dosa
– dosa apapun yang dilakukan di padang ini pasti akan terampuni. Pertempuran yang
berlangsung selama 18 hari ini dimulai saat matahari terbit dan harus segera diakhiri saat
matahari terbenam. Pertempuran tersebut adalah peperangan sampai mati, maka ksatria yang
berhasil mempertahankan nyawanya adalah pemenang. Aturan perang Baratayudha yang disebut
sebagai Dharmayuddha ditetapkan kedua belah pihak adalah:

 Pertempuran dimulai saat matahari terbit dan berhenti saat matahari terbenam.
 Pertempuran harus dilakukan satu lawan satu, tidak boleh mengeroyok prajurit yang sendirian.
 Dua ksatria diizinkan bertempur secara pribadi jika memiliki senjata atau kendaraan yang sama,
misal kuda, gajah atau kereta.
 Prajurit yang menyerahkan diri tidak boleh dibunuh,
 Prajurit yang menyerahkan diri harus menjadi tawanan perang atau budak
 Tidak boleh melukai atau membunuh ksatria yang tidak bersenjata.
 Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang sedang tidak sadar.
 Tidak boleh melukai atau membunuh orang yang tidak ikut dalam peperangan atau binatang.
 Tidak boleh melukai dari belakang atau membunuh
 Tidak diizinkan menyerang wanita.
 Ada peraturan khusus untuk setiap jenis senjata, misal dilarang memukul bagian pinggang ke
bawah ketika sedang menggunakan gada.
 Tidak berperang dengan curang.
Aturan dalam sejarah perang Baratayudha ini sayangnya walaupun telah disepakati, tetap saja
dilanggar oleh kedua belah pihak. Awal sejarah perang Baratayudha adalah dengan
pengangkatan pimpinan perang dari kedua pihak. Drestadyumna adalah panglima perang
Pandawa, dan mereka mendapatkan sekutu dari seluruh kerajaan di India Utara. Sedangkan
Bhisma didaulat sebagai panglima perang Kurawa. Bisma setuju dengan harapan bahwa ia dapat
turut melindungi para Pandawa dengan cara tersebut. Pandawa yang memiliki jumlah pasukan
lebih kecil membentuk Formasi Bajra yang memungkinkan pasukan kecil menyerang pasukan
yang lebih besar. Sedangkan Kurawa memiliki sebelas divisi.

Akhir Perang Bharatayudha

Kemenangan dan kekalahan silih berganti dialami oleh Pandawa dan Kurawa selama hari – hari
pertempuran Baratayudha tersebut sampai pada hari kesepuluh ketika Pandawa menyusun
strategi baru untuk mengalahkan Bisma. Srikandi ditempatkan di kereta Arjuna, dan Arjuna akan
menyerang Bisma dari belakangnya. Srikandi adalah seorang wanita yang berubah menjadi pria,
karena itu ia digunakan sebagai tameng karena Bisma akan merasa segan untuk menyerangnya.
Selain itu Srikandi juga merupakan reinkarnasi Dewi Amba, wanita yang meninggal karena
disakiti oleh Bisma dan telah bersumpah akan terlahir kembali sebagai pembunuh Bisma.

Ketika melihat Srikandi, Bisma menyadari bahwa akhirnya sudah dekat dan tidak memberikan
perlawanan berarti. Arjuna memanfaatkan hal itu dengan meluncurkan anak – anak panah yang
menembus zirah Bisma hingga ke dagingnya. Bisma mampu bertahan hidup dengan ratusan
panah yang menancap ke tubuhnya karena ia diberi anugerah untuk menentukan waktu
kematiannya sendiri sehingga ia masih sempat memberi wejangan ke para cucunya yang
berperang hingga menyaksikan kekalahan Kurawa.

Hampir semua prajurit dari kedua belah pihak tewas, dari pihak Pandawa hanya ada tujuh
senopati yang bertahan hidup diantaranya kelima Pandawa, Yuyutsu, dan Satyaki. Sedangkan
dari pihak Kurawa, hanya tersisa tiga senopati yang hidup yaitu Aswatama, Krepa, dan
Kertawarma. Yudhistira pada akhirnya dinobatkan sebagai Raja Hastinapura dan setelah
beberapa lama menyerahkan tahta kepada Parikesit, cucu Arjuna. Ia bersama para Pandawa dan
Drupadi  melakukan perjalanan spiritual dan mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir dari
perjalanan mereka. Drupadi dan keempat Pandawa lainnya meninggal dalam perjalanan tersebut
hingga tersisa Yudhistira yang berhasil mencapai puncak, kemudian dianugerahkan masuk surga
oleh Dewa Dharma.

LEGENDA MAHABHARATAPERANG BHARATAYUDHA

DEVITA RETNO
previous post
Sejarah Berdirinya Bangsa Indonesia Secara Singkat

next post

Sejarah Museum Asia Afrika Di Bandung Terlengkap

YOU MAY ALSO LIKE


Sejarah Danau Toba di Sumatera Utara
November 30, 2016

RINGKESANE CARITA PERANG BARATAYUDA

            Baratayuda saka tembung barata+yuda tegese perange turune barata,yaiku


perange Kurawa karo Pamdhawa sing padha-padha anak turune Barata.
1.      Prabu Suyudana ratu ing Ngastina ora gelem menehake separo negara warisan
Ngastina marang Pandhawa. Kamangka sejatine Pandhawa duwe wewenang separo
negara Ngastina kasebut.
2.      Pandhawa utusan Prabu Kresna supaya ngrembuk njaluk baline separo negara
Ngastina,nanging ora kasil, malah prabu Kresna dipaekan lan dadi perang rame dibantu
Setyaki.
3.      Perang Baratayuda Jayabinangung ora bisa diselaki. Pandhawa dibantu negara
Wiratha, Pancala, Kumbina, Dene Kurawa di bantu negara Mandaraka lan Ngawangga.
4.      Senapatine Kurawa yaiku Resi Bma, Resi Krepa, Adipati Sukarna, Prabu Satya,
Pandhita Duma, lsp. Dene senapatine Pandhawa kaya Resi Seta, Dewi Srikandhi,
Raden Gathutkaca, Janaka, wrekudana. Dene Prabu Kresna dadi botohe Pandhawa
5.      Resi Bisma mungsuh Resi Seta(putra Prabu Matswapati). Seta kalah, mati. Banjur
Srikandhi maju, Bisma kalah, mati.
6.       Prabu Tudhistiira mungsuh Prabu Salya, sing mati Prabu Salya. Werkudara mungsuh
Dursasana, Patih Sangkuni, Prabu Suyudana. Werkudara menang, kabeh mungsuhe
kalah lan mati.
7.      Kabeh putra Pandhawa mati ing palangan kayata Gathutkaca, Abimayu, lsp,
Gathutkaca mati dening Adipati Karna, Abimayu diranjam panah ing ara-ara Tegal
Kurusetra diprawasa dening Raden Jayadrata.
8.      Raden Harjuna mungsuh Adipati Karna. Adipati Karna, kalah, mati. Raden Jayadrata
uga dipateni dening Raden Harjuna.
9.      Pandhita Durma mungsuh Dresthajumna. Pendhita Durma. Kalah, mati.
10.  Perang Baratayuda ora suwe mung 18 dina. Wekasane perang Pandhawa menang.
Pandhawa wutuh 5 lima, bisa ngalahke kurawa sing 100 cacahe, kabeh mati.
11.  Sawise perang rampung Parikesit (putrane Abimayu) umeneg nata jejukuk Prabu
Parikesit.
Diposting oleh agil firmanshah di 23.22 

lsafat Jawa: Gunungan Wayang


- Januari 29, 2019

Kayon Blumbangan

Aku kadang merasa malu karena kehilangan kejawaanku sendiri, malang nasib terlahir di
lingkungan yang boleh disebut 'pranakan jawa' di tanah Parahyangan. Mutlak sudah
kejawaanku hilang sejak mula diciptakan dan membentuk 'neo-jawa' dengan segenap
budaya campur antara Jawa Banyumasan dengan Sunda Parahyangan. Namun begitu
saya merasa diberkati dengan segala keutamaan dari sebuah hasil campuran itu.
Pranakan jawa bisa saja lupa akan tanah leluhurnya jika sudah menjadi bagian yang lain,
tapi tentunya setiap pranakan jawa ingin mengetahui seperti apa budaya totok kejawaanya
baik dari segi bahasa, adat budaya maupun hal yang bersifat keagamaan. Sudah barang
tentu budaya jawa dengan penuh simbol-simbol kehidupan mengantarkan kepada sebuah
ilmu yang disebut Filsafat. Pada filsafat-lah simbol-simbol terurai dengan berbagai
pandangan sebagai bekal menjalani hidup.

Lagi-lagi saya mendapatkan tuah dari perpustakaan umum Kabupaten Ciamis, beberapa
buku filsafat tersedia salah satunya Filsafat Jawa. Buku ini mempunyai judul Gunungan
Nilai-nilai Filsafat Jawa diproduksi oleh Graha Ilmu dan dikarang oleh Agus Purwoko. Buku
ini tercipta dari hasil skripsinya dan diubah suai untuk kebutuhan penerbitan buku.

Dari buku inilah saya mengatahui sedikit tentang apa itu gunung dalam pewayangan.
Sempat terpikir bahwa gunungan pada pagelaran wayang kulit hanya lah sebuah 'batas'
dari episode cerita, bukan merupakan hal yang terlalu bernilai untuk inti dari pagelaran.
Dugaanku salah besar dan bisa masuk ke dalam sebuah penistaan terhadap budaya dan
filsafat jawa yang adi luhung. Anda sekalian pastinya tahu tentang gunungan wayang baik
pada gambar uang koin Rp 100 pada zaman anak-anak atau melihat langsung pagelaran
wayang kulit. Bisa disebutkan gambar apa saja dalam gunungan itu? Mungkin untuk
menjawabnya Anda mengalami kesulitan yang berarti dan akan membawa korsleting sel-
sel otak. Mudahnya, gambar pada gunungan wayang sangatlah rumit.
Buku Karya Agus Purwoko

Dari buku saya ingin berbagi sedikit tentang apa itu gunungan wayang, bentuk dan
filsafatnya. Agak berat sebenarnya untuk membawa ranah filsafat pada sebuah artikel yang
pendek ini. Tapi mau tidak mau, saya wajib menulisnya untuk bahan penginggat selepas
membaca dan merupakan 'sunah kifayah' kepada kalian semua. Saya ucapkan terima
kasih kepada kalian karena sudah menyerap 'sunah kifayah' itu, syukroon jiddan! 

Wayang merupakan sebuah seni budaya yang terbentuk sejak lama oleh leluhur kita yang
berlatar belakang budaya Sansekerta dan Hindu Budha. Tak dipungkiri budaya India dan
kedua agama besar itu larut pada setiap masyarakat di kerajaan-kerajaan di Asia Timur
maupun Asia Tenggara, berkat pengaruh itulah cerita Ramayana dan Baratayudha populer
di kawasan tersebut dengan perkembangan budaya-budaya lokal sebagai tambahannya.
Sebagai contoh adanya wayang kulit di Thailand dan Kamboja, Bali, Jawa, dan tentunya
wayang khas China yang masih membawa nuansa mitologi Hindu Budha.

Wayang di Indonesia sendiri mempunyai beraneka bentuk, baik berupa boneka maupun
sebuah gambar cetakan dua dimensi. Wayang dua dimensi ini dimiliki oleh beberapa suku
diantaranya Bali dan Jawa. Segambreng tokoh wayang membuat anak muda zaman
sekarang 'kongslet ringan' untuk menginggatnya, tapi ada satu hal yang mungkin sudah
sangat familiar yakni gunungan. Saya sendiri sangat familiar dengan gunungan wayang
karena banyaknya uang receh Rp 100 yang ku punya saat itu, sampai-sampai hafal!
Gunungan wayang tidak hanya populer pada sekeping koin saja melainkan pada poster
budaya, poster pariwisata dan poster-poster lainnya. Kamu yang bukan jawa juga paham,
bukan?! 

Gunungan wayang yang dibahas buku karangan Pak Agus Purwoko ini membahas gunungan wayang
purwa yang sama persis pada gambar gunungan wayang uang koin Rp 100. Saya sendiri mendapatkan
kesulitan untuk mencari definisi tepat dari sebuah gunungan. Definisi sederhananya gunungan wayang
adalah sebuah boneka dua dimensi berbentuk hati (pucuk gunung) terbuat dari kulit kerbau atau sapi,
bergambar aneka hewan, pohon dan benda lainnya sebagai gambaran kehidupan sehingga menjadi
sebuah benda penting sebagai pembuka dan penutup pagelaran wayang.

Gambaran Pembagian Trimurti Dan Unsur


Manusia

Dinamakan Gunungan karena bentuknya yang menyerupai gunung sebagai gambaran


kehidupan bumi. Tokoh wayang tidak akan muncul jika gunungan belum dikeluarkan,
sehingga gunungan disebut sebagai lambang hidup dan penghidupan. Hal ini sama seperti
pada kehidupan semesta, di mana alam tercipta terlebih dahulu sebelum Adam dan Eva
berserta anak-cucunya hidup. Gunungan juga akan ditancapkan kembali saat pagelaran
usai, hal ini sama persis dengan episode manusia yang akan kembali ke alam dan alam
akan tetap ada.
Gunungan juga bisa disebut Kayon atau Kekayon yang berarti kayu, pohon, pohon
kehidupan. Beberapa ahli menafsirkan bahwa Kekayon dari kata dasar Kayu berawal dari
bahasa Arab yang berarti Al Khayu dalam terjemahan bahasa Indonesia disebut
Kehidupan. Juga dalam bahasa Jawa Kuna kata Khayu berarti Kehidupan atau Kehendak.
Maka dari itu dalam gunungan terdapat gambar pohon yang besar sebagai manifestasi
kehidupan dan keinginan manusia, bentuk hati (jantung) juga simbol dari pusat perasaan
dan kehidupan manusia.

Sebelum penjelasan lebih dalam lagi, baiknya mengenal fungsi dari sebuah gunungan.
Gunungan ternyata mempunyai banyak fungsi dalam pagelaran wayang diantaranya:
pembuka dan penutup pagelaran wayang; pembatas tiap adegan-adegan; tanda pergantian
waktu; sebagai aba-aba atau kode; sebagai ganti wayang yang tidak ada misalnya angin,
air, asap dan yang lainnya; dan sebagai pengambaran cerita dalam sebuah pagelaran. 

Simbol-simbol Gunungan
Seperti paragraf di atas gunungan yang berbentuk hati atau jantung mempunyai banyak
simbol-simbol dan juga banyak tafsir yang bermunculan. Salah satu tafsir simbol dari Ki
Dalang Timbul Hadi Prayitno menjelaskan bentuk gunungan dengan pucuk lancip dengan
segenap sudut dibawahnya sebagai lambang sangkan paraning dumadi (asal-usul dan
tujuan hidup). Pucuk lancip sebagai kodrat ilahi, roh dan sukma; Roh muncul karena
adanya persegamaan antara ibu dan bapak. Roh sendiri hidup dengan berbagai bahan
penunjang seperti bumi, air, api dan angin. Pucuk segitiga itu juga menjadi simbol dari
keberadaan, dari ketidakadaan menjadi 'ada' dan begitu sebaliknya.

Dua pendapat berbeda dari Ki Hadi Sutarno dan Ki Hadi Susanto. Tafsir tentang gunungan
hampir sama hanya berbeda konsep saja, menurut mereka gunungan yang berbentuk hati
(segitiga) merupakan gambaran Trimurti. Tiga proses kehidupan yang disebut trimurti ini
berawal dari purwa, mudya dan wusana yang berarti alam fana, alam kubur dan alam akhirat
sebagai wakil dari Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Gunungan Sebagai Lambang Tiga Alam

Simbol tiga kehidupan itu tergambar pada sudut-sudut gunungan: segitiga atau puncak
sebagai simbol akhirat (jagadnduwur), lengkungan tengah sebagai alam kubur (jagad
tengah) dan bagian bawah sebagai dunia fana (jagad ngandap). Sri Raharjo mempunyai
pandangan sedikit berbeda dengan penjelasan di atas. Tafsir ini lebih sedikit agak
mendalam terhadap makna hidup. Dalam penjelasannya, sudut lancip di gunungan
merupakan suatu pencapaian kebenaran sejati yakni Tuhan. Setiap manusia mempunyai
pandangan yang berbeda-beda dalam mencapai kebenaran sejati namun tetap tujuannya
sama. Untuk mencapainya diperlukan Satya (Kebenaran), Santhi (Cinta
Kasih), Dharma (Kewajiban, Pengorbanan dll), Prima (Utama/Mengutamakan)
dan Ahimsa (Menghargai dan saling menjaga).

Terlepas dari bentuk dan filsafat gunungan, sekarang penjelasan yang sedikit rumit yakni
makna simbol-simbol gambar pada sebuah gunungan. Gambar apa saja yang menghiasi
gunungan? Biasanya gunungan bergambar pohon tunggal berdaun lebat, gunung, tanah
tempat tumbuhnya pohon, Bintulu atau kepala raksasa, gapura, kolam dan raksasa,
mustika dan gambar api. Secara garis besar simbol itu dibagikan sebagai benda mati,
benda hidup (tumbuhan dan hewan), manusia. 
Perlambang gunung sebagai cerminan gunung Mahameru, dimana gunung tersebut
sebagai tempat suci, tempat dewa bersemayam dan juga perlambang sebuah kasta
kehidupan manusia, yang dimulai dari kaki gunung, badan gunung hingga puncak gunung.
Gunung pada kebudayaan Jawa maupun India sebagai tempat bertapa, mendapatkan
kesunyian dan kedamian. 

Pohon, kayon sebagai unsur utama dalam kekayon (gunungan) mempunyai arti sebagai
pusat kehidupan, atau tujuan hidup. Ada tafsir lain tentang simbol pohon ini, tafsir ini
menyebutkan pohon sebagai sumber pengayoman, perlindungan dan mempertebal
semangat keyakinan. 

Hewan yang terdapat di gunungan adalah hewan yang dijumpai di pulau Jawa seperti
harimau, banteng, lutung, dan unggas. Gambar hewan-hewan tersebut melengkapi
dinamisme dari sebuah alam yang berisi pepohonan dan hewan. Setiap gunungan tidak
serta merta mempunyai gambar hewan yang sama, namun setiap gunungan mempunyai
gambar hewan yang berbeda-beda sesuai tujuan yang akan digambarkan. Penempatan
hewan sesuai kehidupan nyata dalam alam misalnya gambar lutung yang menggantung di
pohon, rusa di bawah pohon dan yang lainnya. Gambaran sifat hewan juga sangat berarti
untuk penempatan hewan karena berhubungan dengan sifat manusia, misalnya: harimau
(amarah), kera (nafsu suhuffiyah), banteng (nafsu lawammah), dan burung (nafsu
mutmainah).

Unsur tanah digambarkan sebagai guratan bergelombang di bawah pohon. Arti dari bahasa simbol tanah
merupakan gambaran salah satu anasir terjadinya manusia sebagai mahluk yang tercipta dari tanah.
Kekayon Panca Dharma

Makara atau kepala raksasa dengan lidah yang menjulur dan menempel pada pokok
pohon. Simbol mistik yang menakutkan yang terdapat dalam hutan atau sebagai gambaran
Brahma Mula dan masih banyak tafsir lainnya.

Kolam (Beji) digambarkan jelas pada gunungan blumbangan sebagai simbol dari air


sebagai unsur pembentuk manusia. Kolam digambarkan sebagai wadah dan diasosiasikan
dengan seorang perempuan yang mempunyai 'wadah' untuk menanam benih sperma.
Wadah atau rahim ini dianggap sangat suci, sakral karena mempunyai makan utama dari
kehidupan manusia sehingga harus dijaga kehormatannya. Simpelnya kolam (beji) sebagai
lambang dan air sebagai benih (sperma). 

Lar-laran atau Bledhengan, gambar sepasang kepala raksasa bersayap di kiri kanan atap
gapura sebagai manifestasi keagungan dan kesaktian, namun ada juga beranggapan
bahwa Bledhengan sebagai unsur api. 

Gapura Dan Dwarapala sebagai tempat orang melewati tempat yang dituju. Seseorang
yang akan mencapai tujuannya akan melewati gerbang sebagai sebuah ujian hidup. Simbol
lainnya adalah Mustika atau batu berlian sebagai simbol puncak tujuan hidup manusia yang
berharga. Demikian sedikit tafsir simbol-simbol dalam gunungan. Ada satu lagi
pembahasan yang tak kalah menarik yakni cara penancapan gunungan. Penancapan
gunungan seperti yang sepele, tapi sejatinya mempunyai banyak makna yang terkandung. 
Sedemikian rumitnya makna dari penancapan gunungan membuatku meninggalkan sebuah
PR yang harus digarap serius di lain waktu, semoga PR tersebut bisa diwujudkan. Semoga
dengan pembahasan simbol gambar dan bentuk dari sebuah gunungan wayang
memberikan sedikit ilmu maupun makna hidup yang bisa diambil sebagai pedoman.
Rahayu.

buku Review Salin Tempel

Komentar

Anda mungkin juga menyukai