Anda di halaman 1dari 10

Legenda Tanjung Pangga dan Tanjung Dewa

Setelah melewati pesta perkawinan yang sangat meriah dan berlangsung selama empat
puluh hari empat puluh malam, Putri Perak telah resmi menjadi istri dari Raja Sambu Batung.
Sebagai permaisuri dari Raja Sambu Batung, namanya pun diubah menjadi Putri Perak
Intirawan. Semua rakyat dari Kerajaan Pulau Halimun pun bergembira dan bersuka ria. Selama
pesta berlangsung, beragam dari aneka hidangan sampai segala jenis hiburan telah disiapkan.
Kegembiraan dari semua rakyat tersebut dapat dimaklumi, sebab Putri Perak merupakan
putri tunggal dari Panglima Perang Kerajaan Pulau Halimun sendiri, yang bernama Ranggas
Kanibungan. Dengan senjata andalannya, yaitu sebuah kapak besar yang beratnya hampir sama
dengan seekor kerbau jantan, ia amat disegani oleh kawan maupun lawan. Muridnya yang
tersebar dimana-mana, yaitu di dalam maupun di luar kerajaan.
Setelah pesta, dalam sidang di istana Raja Sambu Batung menyampaikan niatnya untuk
melakukan kunjungan kenegaraan ke kerajaan lain. Selain untuk memperkenalkan diri sebagai
raja yang baru di Kerajaan Pulau Halimun, yaitu menggantikan Raja Pakurindang yang
mengundurkan diri untuk bertapa, ia sekaligus nantinya akan berbulan madu.
Selama aku bepergian, pimpinan kerajaan yang sementara akan kuserahkan kepada
adinda Sambu Ranjana, titah dari Raja Sambu Batung. Ayahanda Panglima Ranggas
Kanibungan dan pamanda Jamba Angan menjaga keamanan. Lima puluh prajurit dari kerajaan
akan ikut bersamaku, juga Punggawa Margalap, Punggawa Marbatuan, Punggawa Marsiri dan
Punggawa Mardapan.
Pada keesokan harinya, perahu yang ditumpangi oleh Raja Sambu Batung, Putri Perak
Intirawan dan rombongan, akhirnya berlayar. Perjalanan direncanakan selama tujuh bulan,
dengan tujuan akhir yaitu Kerajaan Kutai Kertanegara. Sebelum tiba di tujuan akhir, rombongan
singgah di pulau-pulau kecil dan di kerajaan-kerajaan yang kecil. Meskipun hanya kerajaan kecil
yang ada pulau kecil, kunjungan itu bukan hanya untuk menghasilkan hubungan perdagangan
antarkerajaan, tapi tentunya juga penting untuk memperkuat tali silaturahmi.
Setelah seminggu berada di Kerajaan Kutai Kertanegara, Raja Sambu Batung memanggil
empat punggawanya untuk membicarakan tentang rencana pulang.
Pamanda punggawa, kita pulang lewat jalan darat saja. Harap diatur bagaimana
caranya, titah dari Raja Sambu Batung kepada empat punggawa yang sedang bersembah sujud
di hadapannya.
Hamba, paduka, jawab Punggawa Margalap. Kalau kami boleh tahu, mengapa? Tanpa
perlu singgah lagi, dengan perahu kita akan sampai hanya dalam hitungan hari.
Permaisuri sedang hamil. Ombak dan gelombang akan membuatnya mabuk laut.
Janinnya mungkin akan terganggu. Alasan lain...
Ya, pamanda, sambung permaisuri. Aku mengidam buah durian.
Durian?
Ya. Tadi malam aku bermimpi makan durian. Sangat lezat sekali. Buahnya besar-besar
dan harum, dagingnya tebal, kelezatannya seakan masih terasa di lidahku...
Permintaan dari raja dan permaisuri yang sama artinya dengan perintah, empat punggawa
dari Kerajaan Pulau Halimun itu pun tak berani membantah. Apalagi, itu adalah permintaan dari
perempuan hamil yang mengidam. Mereka memahami itu dari pengalaman dari istri mereka
masing-masing.
Supaya perjalanan tetap dalam satu rombongan, perahu layar dihadiahkan kepada Raja
Kutai Kertanegara. Setelah berpamitan, Raja Kutai Kertanegara melepas rombongan dari Raja
Sambu Batung di perbatasan. Supaya rombongan tidak tersesat di hutan, Raja Kutai Kertanegara
mengutus dua warganya yaitu sebagai penunjuk jalan.
Sepanjang pada perjalanan pulang, melalui jalan setapak, hutan dan pegunungan, Putri
Perak Intirawan tidak henti-hentinya mengingatkan kepada punggawa dan prajurit agar
memerhatikan sekitarnya kalau-kalau ada pohon durian yang sedang berbuah.
Saat melewati dusun dan juga perkampungan, para prajurit disebar untuk mencari
informasi dari penduduk setempat. Namun, hasilnya nihil. Padahal, di dalam mimpinya, Putri
Perak Intirawan diharuskan untuk memakan buah durian yang dipetik langsung dari pohonnya.
Pada suatu hari, rombongan dari Kerajaan Pulau Halimun memasuki wilayah Goa
Ranggang (sekarang bernama Garunggang dan duriannya yang terkenal sebagai durian Tanjung
Batu). Medan jalan yang harus dilalui pun sangat sulit sekali. Selain hutan rimba belantara yang
lebat, lorong gunung batu dan terowongan yang ada di dalamnyapun tak dapat dilalui hanya
dengan berdiri tegak. Terowongan tersebut hanya dapat dilewati dengan membungkuk (yang
daerah itu sekarang bernama Bungkukan).
Ketika rombongan memasuki hutan rimba belantara, empat punggawa dengan wajah
yang cemas mengajak Raja Sambu Batung bicara dengan berbisik di balik sebatang pohon besar,
menghindari tatapan dari mata anggota rombongan lainnya. Saat itu, prajurit-prajurit melompat
kegirangan tatkala melihat buah durian yang besar-besar sedang bergantungan di pohonnya.
Dengan sigap, mereka memanjat pohon dan memetiknya.
Maaf ampun, paduka. Kita sedang memasuki daerah yang rawan. Ini daerah kekuasaan
dari Pangga Dewa! Punggawa Margalap menjadi waswas. Matanya yang terlihat jelalatan,
melihat kesana-kemari.
Siapa dia?tanya Raja Sambu Batung.
Raja begal yang terkenal, paduka!sambung Punggawa Marsiri. Ia sakti mandraguna
dan terkenal akan kesadisannya. Kabarnya, tidak ada yang mampu untuk mengalahkannya!
Penduduk dusun harus membayar upeti kepadanya, sambung Punggawa Mardapan. Ia
menyukai perempuan. Istri dan selirnyapun jumlahnya sampai puluhan!
Jeritan dari permaisuri Putri Perak Intirawan dan teriakan dari prajurit pengawalnya
mengejutkan Raja Sambu Batung dan empat punggawa. Serempak mereka melompat dan
bergegas menghampiri. Namun, terlambat. Di sekeliling mereka, yaitu dari balik semak belukar
dan pepohonan, munculah ratusan orang yang bertampang garang!
Raja Sambu Batung dengan sigapnya melindungi Putri Perak Intirawan. Para prajurit,
atas perintah empat punggawa, membuat pagar betis, membentuk lingkaran. Tombak dan perisai
telah disiagakan.
Maaf, siapa saudara-saudara ini? Kenapa mengepung kami? tanya Raja Sambu Batung
kepada pria perawakan tinggi besar bertampang sangar sedang menyeringai, yang tampaknya
merupakan pimpinan mereka. Ratusan anak buahnya mengelu-elukannya.
Kalian rombongan kerajaan, hah?!
Ya, Punggawa Marbatuan maju selangkah, rombongan dari Kerajaan Pulau Halimun.
Ini adalah Paduka Raja Sambu Batung dan Permaisuri Putri Perak Intirawan. Kami dalam
perjalanan pulang. Engkau yang bernama Pangga Dewa?
Puih! Aku tak punya raja di sini! Di hutan yang besar ini, akulah raja! Akulah dewa!
Dalam satu lompatan, Pangga Dewa telah berdiri di hadapan Raja Sambu Batung dan permaisuri.
Hidungnya bergerak-gerak, mengendus-endus Putri Perak Intirawan.
Saudara, bolehkah aku berbicara? Raja Sambu Batung menghampiri Pangga Dewa, lalu
membujuknya. Terkesan oleh tutur kata yang halus dan sopan, Pangga Dewa mengikuti Raja
Sambu Batung yang mengajaknya bicara empat mata dari balik semak belukar. Raja Sambu
Batung menceritakan riwayat dari perjalanan, permaisuri yang sedang hamil muda dan
mengidam durian.
Mendengar penjelasan dari Raja Sambu Batung, Pangga Dewa pun tersenyum dengan
penuh arti. Ia memperbolehkan permaisuri untuk memakan durian yang tumbuh di daerah
kekuasaannya, tapi dengan satu syarat. Syarat tersebut akan disampaikannya setelah Putri Perak
Intirawan dan anggota rombongan selesai makan durian.
Sementara Putri Perak Intirawan dan prajurit pengawalnya sangat menikmati buah durian
di bawah pohon. Pangga Dewa mengundang Raja Sambu Batung ke kediamannya, yaitu di
sebuah goa yang terpencil, di tempat yang tersembunyi.
Setelah memperkenalkan sebelas istri dan delapan belas orang selirnya, Pangga Dewa
menyampaikan syaratnya. Mendengar syarat tersebut, tubuh dari Raja Sambu Batung dan empat
punggawanya pun langsung bergetar untuk menahan marah.
Kami membawa banyak emas dan permata. Ambilah semuanya, asalkan bukan itu,
sahut Raja Sambu Batung. Ia marah sekali. Tapi, dengan pertimbangan mendalam, ia mampu
untuk mengendalikan diri.
Tidak! Ini sudah harga mati, tak bisa ditawar lagi! Aku tak butuh harta benda! Serahkan
istrimu padaku! Kalau tidak, kalian takkan keluar dari hutan ini dalam keadaan hidup! jawab
Pangga Dewa dengan mata yang melotot.
Gigi Raja Sambu Batung dan empat punggawanya gemeletuk, tapi mereka masih bisa
menahan diri. Lima puluh prajurit dan empat punggawanya pun takkan sanggup melawan
ratusan dari anak buah Pangga Dewa. Dengan alasan harus menyampaikan syarat itu langsung
kepada istrinya, Raja Sambu Batung meminta waktu sejenak.
Esok pagi istrimu harus diantar kemari! Kalau tidak, kalian akan kubunuh! teriak
Pangga Dewa.
Kepada permaisurinya, Raja Sambu Batung menyampaikan syarat yang diajukan Pangga
Dewa, sebagai imbalan atas durian yang telah dimakan. Putri Perak Intirawan menjadi marah
besar. Darah panglima perang yang mengalir di dalam tubuhnya menggelegak. Namun,
mengingat janin dalam perutnya, ia pun berusaha untuk dapat menahan diri.
Bersama dengan empat punggawanya, Raja Sambu Batung mengatur siasat. Tengah
malam, permaisuri dan empat punggawa diam-diam menyelinap dalam kegelapan. Itu setelah
empat punggawa berhasil untuk melumpuhkan para penjaga yang merupakan anak buah dari
Pangga Dewa. Dalam jarak tertentu, Raja Sambu Batung bersama dengan prajuritnya pun
menyusul.
Pada pagi harinya, Pangga Dewa mengamuk setelah tahu anak buahnya tewas dan para
tawanan kabur. Dengan marah, ia pun membawa anak buahnya dan mengejar rombongan dari
Kerajaan Pulau Halimun itu. Menjelang tengah hari, mereka berhasil mengejar rombongan Raja
Sambu Batung di pesisir pantai. Saat itu, Putri Perak Intirawan bersama dengan empat punggawa
telah menyeberang ke Kerajaan Pulau Halimun.
Pertempuran pun tak terhindarkan. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit, namun Raja
Sambu Batung dan prajuritnya bertempur dengan gagah berani. Korban berjatuhan di kedua
belah pihak. Kian lama, prajurit Raja Sambu Batung tampak kian terdesak. Semangat tempur
mereka kalah jauh dengan anak buah dari Pangga Dewa yang terbiasa hidup di hutan. Untuk
menghindari lebih banyak lagi prajuritnya yang tewas, Raja Sambu Batung berteriak lantang
untuk menghentikan pertempuran.
Raja Sambu Batung menantang Pangga Dewa untuk bertarung satu lawan satu. Dengan
angkuhnya, Pangga Dewa pun menerima tantangan itu. Perkelahian dan adu kesaktian pun
berlangsung. Mereka bertarung mati-matian selama sehari semalam.
Pada saat Raja Sambu Batung mulai terdesak, tiba-tiba bertiup angin puting beliung.
Angin yang mampu untuk merobohkan ratusan dari anak buah Pangga Dewa, para prajurit dan
pohon-pohon bakau yang tumbuh di pesisir pantai itu menjadi tumbang bersamaan dengan
datangnya Panglima Perang Ranggas Kanibungan. Dengan kemarahan yang meluap-luap, kapak
besarnya diayunkannya ke batu karang. Batu karang pun hancur berkeping-keping.
Dari jarak dua puluh depa, Ranggas Kanibungan mengibaskan tangan ke Pangga Dewa
dan Raja Sambu Batung yang tengah bertarung. Keduanya langsung terjengkang dan terhuyung-
huyung.
Dalam satu lompatan, tubuh Ranggas Kanibungan yang tinggi besar sudah berada di
antara keduanya. Pangga Dewa terkejut bukan kepalang saat menyaksikan kesaktian pendatang
baru yang tidak dikenalinya itu.
Hei, kapak besar! Siapa kamu? Jangan ikut campur! seru Pangga Dewa.
Perbuatanmu yang nista telah mencoreng muka keluargaku. Jadi, aku harus ikut campur!
Sekarang, terimalah hukumanmu!
Sebuah serangan yang telak, cepat dan mematikan pun tak mampu untuk dielakkan
Pangga Dewa. Tubuhnya terlempar jauh dan menghantam sebatang pohon nangka yang seketika
tumbang. Ia tertelungkup di batang pohon nangka. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh
Ranggas Kanibungan. Dalam satu ayunan, kapak besarnya membelah tubuh Pangga Dewa,
sekaligus batang pohon nangka tersebut.
Karena kesaktian yang tinggi dari Pangga Dewa, tubuhnya yang terbelah dua bersamaan
pula dengan pohon nangka, dikuburkan di tempat yang terpisah. Para prajurit khawatir, apabila
dikubur di satu tempat, raja begal tersebut akan bangkit lagi. Dengan cara memisahkannya, hal
itu takkan mungkin terjadi.
Kononnya, dua tempat penguburan jenazah dari Pangga Dewa tersebut menjadi Tanjung
Pangga dan Tanjung Dewa, dan batang pohon nangka yang terbelah dua menjadi Pulau Nangka
Besar dan Pulau Nangka Kecil.

Bahasa Banjar
Legenda Tanjung Pangga dan Tanjung Dewa
Habis maliwati acara bakawinan yang rami banar yang balangsung empat puluh hari
empat puluh malam, Putri Perak sudah dirasmiakan jadi istri matan Raja Sambu Batung. Manjadi
parmaisuri matan Raja Sambu Batung, ngarannya diubah manjadi Putri Perak Intirawan.
Samuaan rakyat matan Kerajaan Pulau Halimun bagambira lawan kahimungan. Pas acara
balangsung, banyak aneka hidangan sampai sagala macam hiburan sudah disiapakan.
Kagambiraan matan samuaan rakyat nangitu dapat dimaklumi aja, sabab Putri Perak itu
marupakan putri tunggal matan Raja Panglima Perang Karajaan Pulau Halimun, nang ngarannya
Ranggas Kanibungan. Lawan sanjata andalannya, yaitu sabuah kapak ganal nang baratnya
handak sama lawan saikor hadangan jantan, inya disegani banar lawan kawannya lawan jua
musunya. Muridnya bahambur dimana-mana, di dalam atau di luar karajaan.
Sahabis baacaraan, pas sidang di istana Raja Sambu Batung manyampaiakan niatnya
gasan kunjungan kanagaraan ke kerajaan nang lain. Salain gasan manganalakan diri sabagai raja
nang hanyar di Karajaan Pulau Halimun, yaitu manggantiakan Raja Pakurindang nang
mangundurakan diri gasan bartapa, inya sakaligus handak babulan madu.
Pas aku tulak, pimpinan karajaan nang samantara ini handak kusarahakan lawan adinda
Sambu Ranjana, titah matan Raja Sambu Batung. Abah Panglima Ranggas Kanibungan lawan
pamanda Jamba Angan manjaga kaamanan. Lima puluh parajurit matan karajaan kena umpat
lawan aku, lawan jua Punggawa Margalap, Punggawa Marbatuan, Punggawa Marsiri lawan
Punggawa Mardapan.
Pas kaisukan harinya, jukung nang dinaiki lawan Raja Sambu Batung, Putri Perak
Intirawan wan rombongan, akhirnya balayar. Parjalanan nang dirancanaakan salama tujuh bulan,
lawan tujuan tarakhir yaitu Karajaan Kutai Kertanegara. Sabalum sampai di tujuan tarakhir,
rombongan singgah di pulau-pulau halus wan di karajaan-karajaan nang halus. Maskipun
karajaan halus aja nang ada di pulau halus, kunjungan nangitu lain gasan manghasilakan
hubungan pardagangan antarkarajaan aja, tapi jua penting gasan mamparkuat tali silaturahmi.
Saminggu taliwati badiam di Karajaan Kuntai Kertanegara, Raja Sambu Batung mangiau
ampat punggawanya gasan bapandiran manganai rancana bulik.
Pamanda punggawa, kita bulik liwat jalan darat haja. Harap diatur kayapa caranya,
titah matan Raja Sambu Batung gasan ampat punggawa nang basambah sujud di hadapannya.
Hamba, paduka, jawab Punggawa Margalap. Kalau kami boleh tahu, mangapa? Kada
parlu singgah lagi, lawan jukung kita ini sampai dalam hitungan hari haja.
Parmaisuri lagi hamil. Umbak wan galumbang kena meulahnya mabuk laut. Janinnya
mungkin kena taganggu. Alasan nang lain
Iih, pamanda, sambung parmaisuri. Aku mangidam buah durian.
Durian?
Iih. Pas tadi malam aku bamimpi makan durian. Nyaman banar. Buahnya nang ganal-
ganal wan harum, dagingnya kandal, kanyamanannya nangkaya masih tarasa di ilatku
Parmintaan matan raja wan parmaisuri nang sama artinya lawan parintah, ampat
punggawa matan Kerajaan Pulau Halimun ngitu kada wani mambantah. Apalagi, ngitu
parmintaan matan binian hamil nang mangidam. Inya samuaan mamahami bahwa matan
pangalaman bini inya masing-masing.
Supaya parjalanan tatap dalam satu rombongan aja, jukung dihadiahakan gasan Raja
Kutai Kertanegara. Habis bapamitan, Raja Kutai Kertanegara malapas rombongan matan Raja
sambu Batung di parbatasan. Supaya rombongann kada sasat di hutan, Raja Kutai Kertanegara
mangutus dua warganya yaitu sabagai panunjuk jalan.
Sapanjang pas parjalanan bulik, malalui jalan satapak, hutan wan pagunungan, Putri
Perak Intirawan kada habis-habisnya maingatakan lawan punggawa wan parajurit gasan
mamarhatiakan sakitarnya kalau-kalau ada pohon durian nang lagi babuah.
Pas maliwati dusun wan jua parkampungan, para parajurit disabarakan gasan mancari
habar matan panduduk disitu. Tapi, hasilnya sia-sia. Padahal, di dalam mimpinya, Putri Perak
Intirawan diharusakan gasan mamakan buah durian nang diambil langsung matan pohonnya.
Pas suatu hari, rombongan matan Karajaan Pulau Halimun mamasuki wilayah Goa
Ranggang (wahini bangaran Garunggang wan duriannya nang tarkanal sabagai durian Tanjung
Batu). Medan jalan nang harus diliwati ngalih banar, Salain hutan rimba balantara nang labat,
lorong gunung batu wan terowongan nang ada di dalamnya ngitu kada bisa diliwati mun badiri
haja. Terowongan ngitu dapat diliwati lawan awak mambungkuk (nang daerah itu wahini
ngarannya Bungkukan).
Pas rombongan mamasuji hutan rimba balantara, ampat punggawa lawan muha nang
kada kakaruan rasa mambawai Raja Sambu Batung bapandir lawan babisik-bisik di balik
sabatang pohon ganal, manghindari tatapan matan mata anggota rombongan nang lainnya. Pas
itu, parajurit-parajurit baluncat kagirangan pas malihat buah durian ganal-ganal nang
bagantungan di pohonnya. Sehancap-hancapnya, inya samuaan manaiki pohon wan mamatiknya.
Maaf ampun, paduka. Kita ini mamasuki daerah nang rawan. Ini daerah kakuasaan matan
Pangga Dewa! Punggawa Margalap manjadi was-was. Matanya nang talihat jalalatan, malihat
kasana-kamari.
Siapa inya?Raja Sambu Batung batakun.
Raja bigal nang tarkanal, paduka!sambung Punggawa Marsiri. Inya sakti mandraguna
wan tarkanal lawan kasadisannya. Kabarnya, kadada nang mampu gasan mangalahakannya!
Panduduk dusun harus mambayar upeti lawan inya. Sambung Punggawa Mardapan.
Inya katuju binian. Bini wan selirnya jumlahnya sampai puluhan!
Ringisan matan parmaisuri Putri Perak Intirawan wan tariakan matan parajurit
pangawalnya mangujatakan Raja Sambu Batung wan ampat punggawa. Baimbayan inya
samuaan baluncat wan bahancap mamaraki. Tapi, talambat. Di sakaliling inya samuaan, yaitu di
balik samak balukar wan papuhunan, munculah ratusan orang nang bamuha garang!
Raja Sambu Batung wan siapnya malindungi Putri Perak Intirawan. Para parajurit, atas
parintah ampat punggawa, maulah pagar betis, mambantuk lingkaran. Tumbak wan parisai sudah
disiapakan.
Maaf, siapa saudara-saudara ini? Kanapa mahalangi kami? Raja Sambu Batung
batakun lawan lakian nang parawakannya tinggi ganal bamuha sangar nang manyaringai, nang
kalihatannya pimpinan inya samuaan. Ratusan anak buahnya basurak-surak.
Ikam samuaan rombongan karajaan, hah?!
Iih, Punggawa Marabatuan maju salangkah, rombongan matan Karajaan Pulau
Halimun. Ini adalah Paduka Raja Sambu Batung wan Parmaisuri Putri Perak Intirawan. Kami
dalam parjalanan handak bulik. Ikam nang ngarannya Pangga Dewa?
Puih! Aku kada baisi raja di sini! Di hutan nang ganal ini, aku pang raja! Aku pang
dewa! Dalam satu luncatan, Pangga Dewa sudah badiri di hadapan Raja Sambu Batung wan
parmaisuri. Hidungnya bagarak-garak, mancium-cium aroma Putri Perak Intirawan.
Dingsanak, bolehlah aku bapandir? Raja Sambu Batung mamaraki Pangga Dewa,
imbah tu mambujuknya. Tarkasan lawan tutur kata nang halus wan sopan, Pangga Dewa
meumpati Raja Sambu Batung nang mambawainya bapandir ampat mata matan balik samak
balukar. Raja Sambu Batung mangisahakan riwayat parjalanan, parmaisuri nang lagi hamil anum
wan mangidam durian.
Mandangar panjalasan matan Raja Sambu Batung, Pangga Dewa takurihing nang panuh
arti. Inya mambulihakan parmaisuri gasan mamakan durian nang tumbuh di daerah
kakuasaannya, tapi lawan satu syarat. Syaratnya ngitu kena disampaiakannya imbah Putri Perak
Intirawan wan anggota rombongan habis makan durian.
Samantara Putri Perak Intirwan wan parajurit pangawalnya manikmati banar buah durian
di bawah puhun. Pangga Dewa maundang Raja Sambu Batung ka kadiamannya, yaitu di sabuah
goa nang tarpancil, di wilayah nang tasambunyi.
Sahabis manganalakan sabalas bini wan dalapan balas urang selirnya, Pangga Dewa
manyampaiakan syaratnya. Mandangar syarat ngitu, awak matan Raja Sambu Batung wan ampat
punggawanya langsung bagatar manahan sarik.
Kami mambawa banyak amas wan parmata. Ambil aja samuaannya, asal lain nangitu,
sahut Raja Sambu Batung. Inya sarik banar. Tapi, lawan partimbangan nang mandalam, inya bisa
mangandaliakan diri.
Kada! Ini sudah harga mati, kada bisa ditawar lagi! Aku kada parlu harta benda!
Sarahakan bini ikam lawan aku! Kalau kada, ikam semuaan kada bisa keluar matan hutan ngini
lawan kaadaan masih hidup! jawab Pangga Dewa lawan mata nang menceleng.
Gigi Raja Sambu Batung wan ampat punggawanya dibunyi-bunyiakan, tapi inya samuaan
masih kawa manahan diri. Lima puluh parajurit wan ampat punggawanya kada sanggup
malawan ratusan matan anak buah Pangga Dewa. Lawan alasan harus manyampaiakan syarat
ngitu langsung lawan bininya, Raja Sambu Batung maminta waktu satumat.
Isuk sungsung bini ikam harus diantar kasini! Kalau kada, ikam samuaan kena
kubunuh! kuriak Pangga Dewa
Gasan parmaisurinya, Raja Sambu Batung manyampaiakan syarat nang diajuakan Pangga
Dewa, sabagai imbalan atas durian nang sudah dimakan. Putri Perak Intirawan jadi sarik banar.
Darah panglima perang nang mangalir di dalam awaknya bakubar-kubar. Tapi, maingat janin
dalam parutnya, inya barusaha sabisanya gasan manahan diri.
Basamaan lawan ampat punggawanya, Raja Sambu Batung maatur siasat. Tangah malam,
parmaisuri wan ampat punggawa diam-diam manyalinap dalam kagalapan. Itu sahabis ampat
punggawa barhasil gasan malumpuhakan para panjaga nang marupakan anak buah matan Pangga
Dewa. Dalam jarak tartantu, Raja Sambu Batung basamaan lawan parajuritnya manyusul.
Pas sung-sung harinya, Pangga Dewa bahamuk sahabis tahu anak buahnya matian wan
para tawanan kabur. Lawan sariknya, inya mambawa anak buahnya wan mengejar rombongan
matan Kerajaan Pulau Halimun ngitu. Manjalang tangah hari, Pangga Dewa wan anak buahnya
barhasil mengejar rombongan Raja Sambu Batung di pasisir pantai. Pas itu, Putri Perak
Intirawan basamaan lawan ampat punggawa sudah manyabarang ka Karajaan Pulau Halimun.
Pertempuran ngitu kada tahindarakan lago. Maskipun jumlah anak buah Raja Sambu
Batung labih sadikit, tapi Raja Sambu Batung wan parajuritnya bertempur lawan gagah berani.
Korban baguguran di kedua belah pihak. Lawas kalawasan, parajurit Raja Sambu Batung
kalihatannya samakin tadasak. Samangat tempur parajurit Raja Sambu Batung kalah jauh lawan
anak buah matan Pangga Dewa nang tabiasa hidup di hutan.Gasan mahindari labih banyak lagi
parajuritnya nang mati, Raja Sambu Batung bakuciak nyaring gasan maampihakan pertempuran.
Raja Sambu Batung manantang Pangga Dewa gasan batarung satu lawan satu. Lawan
angkuhnya, Pangga Dewa manarima tantangan ngitu. Parkalahian wan adu kesaktian pun
balangsung. Inya badua batarung mati-matian sahari samalaman.
Pas Raja Sambu Batung mulai tadasak, langsung batiup angin puting baliung. Angin nang
kawa gasan marubuhakan ratusan anak buah Pangga Dewa, para parajurit wan pohon-pohon
bakau nang tumbuh di pasisir pantai ngitu jadi tumbang basamaan lawan datangnya Pangliman
Perang Ranggas Kanibungan. Lawan kasarikan nang maluap-luap, kapak ganalnya
diayunakannya ka batu karang. Batu karang ngitu hancur bakaping-kaping.
Matan jarak dua puluh depa, Ranggas Kanibungan mangibasakan tangan ka Pangga
Dewa wan Raja Sambu Batung nang tangah batarung. Kaduanya langsung tajungkang wan
tahuyung-huyung.
Dalam satu luncatan, awak Ranggas Kanibungan nang tinggi ganal sudah ada di tangah-
tangah kaduanya. Pangga Dewa takajut banar pas manyaksiakan kasaktian pandatang hanyar
nang kada dikenalnya ngitu.
Hei, kapak ganal! Siapa ikam? Jangan umpat campur! jar Pangga Dewa
Parbuatan ikam nang nista sudah mancuring muha kaluargaku. Jadi, aku harus umpat
campur! Wahinian, terima hukuman ikam!
Sabuah serangan nang telak, laju wan mamatiakan kada kawa ditahan Pangga Dewa.
Awaknya tahampas jauh wan mahantam sabatang puhun nangka nang langsung tumbang. Inya
tatilungkup di batang puhun nangka. Kesempatan nangitu kada disia-siaakan Ranggas
Kanibungan. Dalam satu ayunan, kapak ganalnya mambalah awak Pangga Dewa, sakaligus
batang puhun nangka ngitu.
Karena kasaktiannya nang tinggi matan Pangga Dewa, awaknya nang tabalah dua
basamaan jua lawan puhun nangka, dikuburakan di wadah nang tapisah. Para parajurit abut,
kalau-kalau dikubur di satu wadah, raja bigal ngitu kena bangkit lagi. Lawan cara
mamisahakannya, hal ngitu kada mungkin tarjadi.
Kononnya, dua wadah panguburan jenazah Pangga Dewa ngitu manjadi Tanjung Pangga
wan Tanjung Dewa, wan batang puhun nangka nang tabalah dua manjadi Pulau Nangka Besar
wan Pulau Nangka Kecil.

Anda mungkin juga menyukai