Anda di halaman 1dari 12

Hikayat Putri Gading Cempaka

Hikayat Putri Gading Cempaka berasal dari cerita rakyat daerah Bengkulu Utara. Putri Gading
Cempaka adalah anak bungsu dari Raja Ratu Agung. Raja Ratu Agung sendiri berasal dari Kerajaan
Majapahit. Berdasarkan cerita, Putri Gading Cempaka merupakan leluhur dari raja-raja yang pernah
memerintah di Kerajaan Sungai Lemau, Bengkulu Utara.

Alkisah pada zaman dahulu, di daerah Bengkulu Tinggi, pernah berdiri sebuah kerajaan bernama
Kerajaan Sungai Serut. Ratu Agung, seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit, merupakan pendiri
sekaligus raja pertama Kerajaan Sungai Serut. Konon, ia merupakan penjelmaan dewa dari Gunung
Bungkuk yang bertugas mengatur kehidupan di bumi.

Ratu Agung memerintah Kerajaan Sungai Serut dengan arif bijaksana. Ia sangat disegani oleh
rakyatnya, meskipun rakyat yang dipimpinnya adalah bangsa Rejang Sawah yang memiliki perawakan
tinggi besar.

Ratu Agung mempunyai enam orang putra dan seorang putri. Keenam putra Ratu Agung adalah
Kelamba Api atau Raden Cili, Manuk Mincur, Lemang Batu, Tajuk Rompong, Rindang Papan, Anak
Dalam, dan yang paling bungsu adalah seorang putri bernama Putri Gading Cempaka.

Menurut cerita, kerajaan Sungai Serut menjadi terkenal hingga ke berbagai negeri bukan saja karena
kepemimpinan Ratu Agung, tetapi juga oleh kecantikan Putri Gading Cempaka. Meski usia Putri
Gading Cempaka baru beranjak remaja, namun kecantikan wajahnya sudah terlihat nampak
mempesona bagai bidadari. Sudah banyak pangeran datang untuk meminangnya, namun Ratu Agung
menolak semuanya karena sang Putri masih belum cukup umur.

Raja Ratu Agung Wafat


Seiring berjalannya waktu, Putri Gading Cempaka tumbuh menjadi gadis dewasa. Demikian pula Ratu
Agung yang kian menua usianya. Suatu hari, Ratu Agung mengalami sakit keras. Ia mendapat firasat
bahwa usianya sudah tidak akan lama lagi. Maka, sang Raja pun mengumpulkan ketujuh putra-
putrinya untuk menyampaikan wasiat kepada mereka.

“Wahai, anak-anakku. Sepertinya Ayahanda takkan lama lagi hidup di dunia. Oleh karenanya,
Ayahanda menitipkan dua wasiat kepada kalian,” kata Ratu Agung kepada putra-putrinya.

Mendengar perkataan ayahandanya, wajah putra-putrinya menjadi sedih, terutama Putri Gading
Cempaka. Ia tak bisa menahan perasaan sedihnya mendengar ucapan sang Ayah. Perlahan-lahan air
matanya pun menetes membasahi pipinya.

“Ayah jangan berkata begitu. Kami tidak ingin kehilangan Ayah.” Putri Gading Cempaka menangis
terisak-isak seraya merangkul ayahandanya.

“Putriku tersayang, ajal kita semua ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita tidak akan mampu
menahan jika ajal telah tiba.” ujar Raja Ratu Agung berusaha menenangkan hati putrinya.

Ayahanda mereka kemudian menyampaikan wasiatnya, “Demi menjunjung tinggi rasa keadilan,
kedamaian, dan ketenteraman di negeri ini, Ayah menyerahkan tahta Kerajaan Sungai Serut kepada
putraku Anak Dalam. Ayah berharap kalian semua tetap bersatu baik dalam suka maupun duka. Dan
seandainya suatu saat nanti Kerajaan Sungai Serut ditimpa musibah besar, Ayah minta kalian
menyingkirlah ke Gunung Bungkuk. Kelak di Gunung Bungkuk akan datang seorang raja yang
berjodoh dengan anak gadisku tercinta, Putri Gading Cempaka.“

Penyerahan tahta Kerajaan Sungai Serut kepada Anak Dalam dapat diterima oleh putra-putrinya
dengan baik. Kelima saudara tuanya sama sekali tidak memiliki rasa iri hati. Bahkan, mereka sangat
mendukung dipilihnya Anak Dalam sebagai pewaris tahta.

Beberapa hari kemudian, Raja Ratu Agung menghembuskan nafas terakhirnya. Seluruh negeri pun
berduka-cita. Hati Putri Gading Cempaka hancur berkeping-keping tidak rela melepas kepergian
ayahandanya. Namun, sang Putri hanya bisa pasrah dan berdoa agar ayahandanya mendapat
ketenangan di alam kubur.

Pangeran Anak Dalam Menjadi Raja Kerajaan Sungai Serut


Anak Dalam kemudian dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya. Seperti ayahnya, Raja Anak
Dalam adalah seorang pemimpin adil bijaksana. Ia beserta keenam saudaranya senantiasa hidup
rukun damai. Dalam waktu singkat, kemasyhurannya pun tersebar ke berbagai negeri. Selain itu,
kecantikan Putri Gading Campaka semakin membuat Kerajaan Sungai Serut kian dikenal. Sudah
banyak bangsawan maupun pangeran datang meminangnya, namun belum satu pun pinangan yang
diterima.

Suatu hari, datanglah seorang putra mahkota dari Kerajaan Aceh bernama Pangeran Raja Muda Aceh
hendak meminang Putri Gading Cempaka. Sang Pangeran datang bersama pasukannya menggunakan
kapal layar. Setiba di pelabuhan Bangkahulu, sang Pangeran mengutus beberapa penasehatnya ke
istana Kerajaan Sungai Serut untuk menyampaikan pinangannya kepada Raja Anak Dalam.

“Mohon ampun, Baginda Raja Anak Dalam. Kami adalah utusan Pangeran Raja Muda Aceh dari
Kerajaan Aceh. Saat ini beliau tengah menunggu di atas kapal yang sedang bersandar di dermaga,”
kata salah seorang utusan seraya memberi hormat.

“Apa yang bisa saya bantu untuk Pangeran kalian?” tanya Raja Anak Dalam.

“Sebenarnya maksud kedatangan kami ke mari adalah untuk menyampaikan pinangan Pangeran Raja
Muda Aceh kepada Putri Gading Cempaka.” jawab sang utusan.

Raja Anak dalam tidak mau mengambil keputusan sendiri. Ia mengajak saudara-saudaranya untuk
membicarakan masalah tersebut. Sementara itu, para utusan diminta untuk menunggu sejenak. Tak
berapa lama kemudian, mereka pun kembali menemui para utusan Pangeran Raja Muda untuk
menyampaikan hasil mufakat yang telah mereka putuskan.

“Maafkan kami, wahai utusan Pangeran Raja Muda Aceh. Kami memutuskan untuk tidak menerima
pinangan Pangeran Raja Muda Aceh.” kata Raja Anak Dalam.

Jawaban Raja Anak Dalam membuat para para utusan Pangeran Aceh terkejut. Dengan perasaan
kecewa, mereka segera kembali ke dermaga untuk melapor kepada Raja Muda Aceh. Betapa
murkanya Pangeran dari Tanah Rencong itu saat mendengar laporan tersebut.

“Sungguh keterlaluan! Mereka berani menolak pinanganku?!” kata Raja Muda Aceh geram.
Perang Antara Kerajaan Aceh Dengan Kerajaan Sungai Serut
Merasa dikecewakan, Pangeran Muda Aceh menjadi marah. Ia lantas menantang Raja Anak Dalam
untuk berperang. Perang besar antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Sungai Serut akhirnya tak
terhindarkan. Perang akhirnya berlangsung hingga berhari-hari dengan memakan banyak korban jiwa
dari kedua belah pihak. Perang terus berkecamuk. Mayat-mayat yang sudah berhari-hari
bergelimpangan tanpa terurus mulai membusuk. Menurut cerita rakyat, perang ini menjadi asal usul
nama Bengkulu.

Raja Anak Dalam beserta seluruh pasukannya merasa sudah tidak tahan lagi dengan peperangan
tersebut. Mereka juga sudah tak sanggup menahan bau busuk mayat para prajurit yang telah gugur.
Saat itulah, sang Raja teringat pada wasiat ayahandanya.

“Wahai saudara-saudaraku! Sesuai dengan pesan ayahanda bahwa jika Kerajaan Sungai Serut sudah
tidak aman, kita disarankan untuk menyingkir ke Gunung Bungkuk,” kata Raja Anak Dalam.

Akhirnya, Raja Anak Dalam beserta keenam saudaranya segera menarik diri menuju Gunung
Bungkuk. Sementara itu, Pangeran Raja Muda Aceh bersama pasukannya yang masih hidup kembali
ke Tanah Rencong tanpa membawa hasil.

Sepeninggal Raja Anak Dalam Ke Gunung Bungkuk, Kerajaan Sungai Serut menjadi kacau.
Mendengar kabar kekosongan kekuasaan di Kerajaan Sungai Serut, datanglah empat bangsawan
Lebong Balik Bukit untuk menjadi raja di sana. Namun, setelah berhasil menguasai negeri tersebut,
mereka malah saling bertikai karena memperebutkan wilayah kekuasaan. Menurut cerita, pertikaian
keempat bangsawan tersebut didamaikan oleh Maharaja Sakti, seorang pengelana dari Kerajaan
Pagaruyung. Ia adalah seorang utusan Kerajaan Pagaruyung, kerajaan di Minangkabau yang
diperintah oleh Seri Maharaja Diraja.

Akhirnya, keempat bangsawan tersebut segera menghadap Sultan Pagaruyung untuk memohon agar
Maharaja Sakti yang adil dan bijaksana itu diangkat menjadi raja di Kerajaan Sungai Serut.
Permohonan mereka dikambulkan. Upacara penobatan Maharaja Sakti pun dilaksanakan di balairung
Kerajaan Pagaruyung. Sejak saat itu Kerajaan Sungai Serut berganti nama menjadi Kerajaan
Bangkahulu.

Maharaja Sakti Menjadi Raja Kerajaan Bangkahulu


Setelah dinobatkan menjadi Raja Bangkahulu, Baginda Maharaja Sakti berangkat menuju ke
Bangkahulu, diiringi oleh ratusan pengawal. Keempat bangsawan yang tadinya bertikai juga ikut
mengiringi sang Raja. Setiba di sana, upacara penobatan sebagai raja di Kerajaan Bangkahulu pun
telah disiapkan. Namun, ketika upacara akan dimulai, tiba-tiba langit berubah menjadi gelap, lalu
turunlah hujan sangat deras diiringi angin kencang. Atas kesepakatan bersama, upacara penobatan
akhirnya ditunda hingga cuaca kembali cerah. Namun, hingga malam hari, hujan dan badai tak
kunjung berhenti.

Malam harinya, Baginda Maharaja Sakti bermimpi melihat seorang bidadari sedang menari-nari di
tengah hujan badai. Ajaibnya, tak sedikit pun tubuh sang bidadari basah terkena air hujan. Sang
Bidadari kemudian pergi menuju ke Gunung Bungkuk. Keesokan harinya, Baginda Maharaja Sakti
menceritakan perihal mimpinya kepada keempat bangsawan. Para bangsawan kemudian meminta
seorang peramal untuk menafsirkan mimpi tersebut.

“Ampun, Baginda. Ternyata, bidadari cantik yang ada di dalam mimpi Baginda adalah Putri Gading
Cempaka, putri penguasa wilayah ini di masa lalu. Kini, ia tinggal di Gunung Bungkuk bersama
keenam saudaranya. Jika Baginda bisa membawa Sang Putri kembali kemari, maka Baginda akan
membawa kerajaan ini kembali menjadi sebuah kerajaan yang kuat. Menurut ramalan hamba, Putri
Gading Cempaka kelak akan menurunkan raja-raja di negeri ini,” ungkap si peramal.

Mendengar penjelasan si peramal, sang Baginda pun berhasrat meminang Putri Gading Cempaka. Ia
lalu mengutus keempat bangsawan beserta beberapa pengawalnya untuk menjemput Putri Gading
Cempaka di Gunung Bungkuk. Setiba di sana, mereka menghadap Raja Anak Dalam.

Maharaja Sakti Menikahi Putri Gading Cempaka


“Ampun, Baginda! Kami adalah utusan dari Tuanku Baginda Maharaja Sakti. Beliau adalah
penguasa Kerajaan Bangkahulu yang dahulunya merupakan Kerajaan Sungai Serut. Atas titah
beliau, hamba diminta untuk menjemput Tuanku Putri Gading Cempaka beserta tuan-tuan sekalian.
Baginda Maharaja Sakti bermaksud mengangkat Tuanku Putri Gading Cempaka menjadi permaisuri
di Negeri Bangkahulu,” ungkap para utusan.

Raja Anak Dalam bersama saudara-saudaranya pun menerima pinangan Maharaja Sakti sesuai
dengan wasiat ayah mereka. Akhirnya, pesta pernikahan Putri Gading Cempaka dengan Maharaja
Sakti pun dilangsungkan di Bangkahulu. Pesta berlangsung meriah karena bersamaan dengan
upacara penobatan Maharaja Sakti menjadi raja di Negeri Bangkahulu.

Setelah menikah, dibangunlah istana baru yang megah sebagai pusat pemerintahan. Oleh karena
letak istana itu berada di Kuala Sungai Lemau, maka kerajaan itu pun berganti nama menjadi
Kerajaan Sungai Lemau. Baginda Maharaja Sakti memimpin kerajaan Sungai Lemau dengan arif
bijaksana. Ia beserta permaisurinya, Putri Gading Cempaka, hidup bahagia.
Legenda Putri Serindang Bulan

Alkisah, di daerah Bengkulu, hiduplah seorang raja yang bernama Raja Mawang yang berkedudukan
di Lebong. Raja Mawang mempunyai enam putra, dan seorang putri. Mereka adalah Ki Gete, Ki Tago,
Ki Ain, Ki Jenain, Ki Geeting, Ki Karang Nio, dan Putri Serindang Bulan. Saat berusia senja dan tidak
dapat lagi melaksanakan tugas-tugas kerajaan, Raja Mawang menunjuk putra keenamnya, Ki Karang
Nio yang bergelar Sultan Abdullah, untuk menggantikan kedudukannya. Tidak beberapa lama setelah
Ki Karang Nio menjabat sebagai raja, Raja Mawang pun wafat.

Legenda Putri Serindang Bulan

Sepeninggal Raja Mawang, terjadilah prahara di antara putra-putrinya akibat penyakit kusta yang
diderita oleh Putri Serindang Bulan. Penyakit itu muncul setiap kali ada raja yang datang melamarnya.
Akibatnya, pertunangan pun selalu batal. Anehnya, jika pertunangan itu batal, penyakit kusta itu pun
hilang. Peristiwa tersebut tidak hanya sekali terjadi, tetapi berulang hingga sembilan kali. Peristiwa
tersebut menjadi aib bagi keluarga istana. Oleh karena itu, keenam kakak Putri Serindang Bulan
mengadakan pertemuan untuk mencari cara agar dapat menghapus aib tersebut.

“Jika hal ini dibiarkan terus terjadi, nama baik keluarga kita akan semakin jelek di mata para raja. Apa
yang harus kita lakukan untuk mengatasi masalah ini?” tanya Ki Gete membuka pembicaraan.

Mendengar pertanyaan itu, kelima saudaranya hanya terdiam. Sejenak, suasana sidang menjadi
hening. Di tengah keheningan itu, tiba-tiba Ki Karang Nio angkat bicara.

“Bagaimana kalau Putri Serindang Bulan kita asingkan saja ke tempat yang jauh dari keramaian,” usul
Ki Karang Nio.

“Apakah ada yang setuju dengan usulan Ki Karang Nio?” tanya Ki Gete.

Tak seorang pun peserta sidang yang menjawab. Rupanya, mereka tidak sepakat dengan usulan Ki
Karang Nio.

“Kalau menurutku, sebaiknya Putri Serindang Bulan kita bunuh saja,” sahut Ki Tago.

Mendengar usulan Ki Tago, para putra Raja Mawang tersebut langsung sepakat, kecuali Ki Karang
Nio. Meskipun ia seorang raja, Ki Karang Nio harus menerima keputusan itu, karena ia kalah suara
oleh kakak-kakaknya. Dalam pertemuan itu juga diputuskan bahwa Ki Karang Nio-lah yang harus
melaksanakan tugas itu. Untuk membuktikan bahwa ia telah melaksanakan tugasnya, ia harus
membawa pulang setabung darah Putri Serindang Bulan.

Setelah pertemuan selesai, Ki Karang Nio segera menemui Putri Serindang Bulan. Betapa
sedihnya hati putri yang malang itu mendengar keputusan kakak-kakaknya. Namun, ia tidak dapat
berbuat apa-apa. Ia hanya bisa pasrah dan menyerahkan nasibnya kepada Tuhan Yang
Mahakuasa Kuasa.
“Ya, Tuhan! Lindungilah hambamu yang tidak berdaya ini!” ucap Putri Serindang Bulan dengan air
mata bercucuran membasahi pipinya yang berwarna kemerah-merahan.

“Maafkan aku, Dik! Aku juga tidak berdaya menghadapi mereka,” ucap Ki Karang Nio seraya
menghapus air mata adiknya.

Pada hari yang telah ditentukan, Ki Karang Nio pun bersiap-siap untuk membawa adiknya ke sebuah
hutan yang sangat lebat untuk dibunuh. Sebelum mereka berangkat, Putri Serindang Bulan
mengajukan satu permohonan kepada Ki Karang Nio.

“Kak, bolehkah Adik membawa bakoa (tempat daun sirih) dan ayam hirik peliharaanku?” pinta Putri
Serindang Bulan.

“Untuk apa, Adikku?” tanya Ki Karang Nio.

“Jika Adik telah mati, kuburkanlah bakoa dan ayam hirik ini bersama jasad Adik. Hanya itulah yang
Adik miliki selain Kakak,” jawab Putri Serindang Bulan.

Setelah berpamitan kepada kakak-kakaknya, Ki Karang Nio dan Putri Serindang Bulan pun berangkat
menuju ke hutan. Di sepanjang perjalanan, kedua kakak-beradik tersebut tidak pernah saling
menyapa. Hati Putri Serindang Bulan diselimuti perasaan sedih, sedangkan Ki Karang Nio berpikir
mencari cara agar adiknya bisa selamat. Setelah berpikir keras, akhirnya ia pun menemukan cara
untuk mengelabui kakaknya. Setibanya di tengah hutan, mereka pun berhenti di tepi Sungai Air
Ketahun.

“Adikku, sepertinya kita sudah terlalu jauh berjalan. Sebaiknya kita berhenti di sini saja!” Seru Ki
Karang Nio.

“Baiklah, Kak! Silahkan laksanakan tugas Kakak!” seru Puri Serindang Bulan.

“Tidak, Adikku! Aku tidak akan sampai hati membunuh adik kandungku sendiri,” kata Ki Karang Nio.

“Lakukanlah, Kak! Adik rela mati demi keselamatan Kakak. Jika Kakak tidak membunuh Adik, nyawa
Kakak akan terancam. Saudara-saudara kita di istana pasti akan membunuh Kakak,” desak Putri
Serindang Bulan.

Akhirnya, Ki Karang Nio memberitahukan rencananya kepada Putri Serindang Bulan bahwa ia akan
mengelabui kakak-kakaknya.

“Aku tidak akan membunuhmu, Adikku! Aku akan membuatkanmu sebuah rakit. Dengan rakit itu,
kamu ikuti aliran Sungai Air Ketahun ini. Kakak berharap ada orang yang menolongmu,” ujar Ki
Karang Nio.

“Tapi, bukankah Kakak harus membawa pulang setabung darah Adik untuk dijadikan bukti kepada
mereka?” tanya Putri Serindang Bulan.

“Benar, Adikku! Jika kamu tidak keberatan, bolehkah aku menyayat tanganmu? Aku akan mengambil
sedikit darahmu dan mencampurkannya dengan darah binatang,” pinta Ki Karang Nio.
“Silahkan, Kak! Kakak pun boleh menyembelih ayam hirik ini untuk diambil darahnya!” seru Putri
Serindang Bulan.

Dengan berat hati, Ki Karang Nio pun menyayat tangan Putri Serindang Bulan. Kemudian, darah yang
keluar dari tangan adiknya tersebut ia campurkan dengan darah ayam hirik yang telah disembelih
sebelumnya, lalu ia masukkan ke dalam tabung. Setelah itu, ia menyuruh Serindang Bulan untuk naik
ke rakit yang sudah disiapkan.

“Pergilah, Adikku! Hati-hatilah di jalan! Semoga Tuhan Yang Mahakuasa senatiasa melindungimu!”
seru Ki Karang Nio.

“Terima kasih, Kak! Semoga kita dapat bertemu kembali,” ucap Putri Serindang Bulan sambil
meneteskan air mata.

Ki Karang Nio pun tidak mampu membendung air matanya. Ia tidak tega melihat adik yang sangat
disayanginya itu hanyut terbawa aliran air sungai. Setelah Putri Serindang Bulan hilang dari
pandangannya, Ki Karang Nio pun bergegas kembali ke istana untuk melapor kepada kakak-kakaknya
bahwa ia telah melaksanakan tugasnya. Kakak-kakaknya pun mempercayainya dengan bukti berupa
tabung yang berisi darah tersebut.

Sementara itu, setelah berhari-hari hanyut di sungai, Putri Serindang Bulan akhirnya terdampar di
Pulau Pagai, di lepas pantai muara Air Ketahun. Berkat pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa, ia
ditemukan oleh Raja Indrapura yang sedang berburu di pulau itu.

“Hai, Putri Cantik! Kamu siapa dan kenapa bisa berada di tempat ini?” tanya Raja Indrapura.

Putri Serindang Bulan pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di tempat
itu. Mendengar cerita itu, Raja Indrapura sangat terharu. Akhirnya, ia membawa Putri Serindang
Bulan ke istananya di Negeri Setio Barat. Tak berapa lama kemudian, terdengarlah kabar bahwa Raja
Indrapura akan menikah dengan Putri Serindang Bulan. Berkat kesaktian Raja Indrapura, penyakit
kusta sang Putri tidak pernah kambuh lagi. Berita tentang pernikahan mereka pun sampai ke telinga
kakak-kakaknya di Lebong.

“Apa, Putri Serindang Bulan masih hidup?” celetuk Ki Gete setelah mendengar laporan dari seorang
prajurit istana.

Ki Gete dan keempat adiknya sangat marah kepada Ki Karang Nio, karena telah mengelabui mereka.
Namun, mereka tidak berani membunuh adiknya itu, karena takut mendapat murka dari Raja
Indrapura. Akhirnya, mereka bersepakat untuk menghadiri pesta perkawinan Putri Serindang Bulan
dengan Raja Indrapura di Negeri Setio Barat. Ki Karang Nio tidak lupa membawa perselen, yaitu
semacam emas sebagai uang jujur Putri Serindang Bulan. Setibanya di pesta tersebut, Putri
Serindang Bulan dan Raja Indrapura pun menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Bahkan
ketika mereka akan kembali ke Lebong, Raja Indrapura menghadiahi mereka berbagai perhiasan
emas.

Dalam perjalanan pulang ke Lebong, kapal yang mereka tumpangi diterjang badai dan dihempas
ombak besar hingga pecah. Mereka terdampar di sebuah pulau yang bernama Ipuh. Semua
perhiasan emas pemberian Raja Indrapura tersebut tenggelam di dasar laut, kecuali milik Ki Karang
Nio. Rupanya, kelima kakaknya itu iri hati kepada Ki Karang Nio dan berniat untuk membunuhnya,
lalu mengambil perhiasannya. Mengetahui niat busuk kakak-kakaknya itu, Ki Karang Nio pun
menyampaikan kata-kata bijak kepada mereka.
“Hartoku harto udi, harto udi hartoku, barang udi cigai, uku maglek igai.” Artinya:

“Hartaku harta kalian, harta kalian adalah hartaku, barang kalian hilang, aku memberinya.”

Kata-kata bijak Ki Karang Nio tersebut benar-benar menyentuh perasaan kelima kakaknya. Apalagi
ketika Ki Karang Nio membagikan hartanya kepada mereka dengan jumlah yang sama, hati kelima
kakaknya itu semakin tersentuh karena kemuliaan hati adiknya.

“Adikku! Engkau adalah saudaraku yang arif dan bijaksana. Engkau memang pantas menjadi Raja di
Lebong,” ucap Ki Gete dengan perasaan kagum.

“Benar, Adikku! Kami sangat bangga memiliki adik sepertimu. Kami sangat menyesal karena selalu
bertindak kasar terhadapmu. Kembalilah ke Lebong, Adikku! Kami akan tinggal di pulau ini saja,” seru
Ki Jenain.

Ketika Ki Karang Nio akan berpamitan hendak kembali ke Lebong, salah seorang kakaknya berkata,
”Huo ite sa‘ok, kame cigai belek! (artinya: sekarang ini kita berpisah dan kami tidak akan pulang
lagi!)” Menurut empunya cerita, kata-kata tersebut menjadi terkenal di kalangan masyarakat Lebong,
karena tempat mereka mengucapkan kata-kata tersebut sekarang dinamakan Teluk Sarak.
Kata sarak diambil dari kata sa‘ok, yang berarti berpisah.

Sekembalinya ke Lebong, Ki Karang Nio menikah dengan seorang putri raja dan kemudian dikaruniai
dua orang putra, yaitu Ki Pati dan Ki Pandan. Ia memerintah rakyat Lebong dengan arif dan
bijaksana. Ketika usianya sudah tua, Ki Karang Nio meminta adiknya, Putri Serindang Bulan yang
menjadi permaisuri di kerajaan lain, agar kembali ke Lebong untuk memilih salah seorang putranya
yang akan menggantikannya sebagai raja.

Akhirnya, ketika kembali ke Lebong bersama suaminya, Putri Serindang Bulan menetapkan Ki Pandan
untuk menggantikan ayahnya, Ki Karang Nio. Sementara Ki Pati mendirikan biku di sebuah daerah
yang kini dikenal dengan Somelako.

***

Demikian dongeng Putri Serindang Bulan dari daerah Bengkulu. Menurut cerita, Putri Serindang
Bulan merupakan lambang kebijaksanaan, keadilan, dan kecantikan di Lebong. Oleh masyarakat
setempat, ia juga dijuluki sebei Lebong (nenek Lebong). Ia menjadi lambang kebijaksanaan,
keadilan, dan kecantikan, karena selain berwajah cantik nan rupawan, ia memiliki sifat yang adil dan
bijaksana. Ia juga tidak pernah menaruh dendam kepada kakak-kakaknya yang telah berencana
membunuhnya.

Selain itu, cerita di atas juga memberikan pelajaran bahwa antarsesama saudara harus saling
menyayangi dan melindungi. Hal ini ditunjukkan oleh sifat dan perilaku Ki Karang Nio. Karena sifat
kasih sayangnya, ia selalu melindungi adik kandungnya, Putri Serindang Bulan. Bagi orang Melayu,
dengan berkasih sayang antarsesama, kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera dapat
diwujudkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu (Tenas Effendy: 2006):

kalau hidup berkasih sayang,


banyaklah kumbang datang menyeri
negeri damai, hidup pun tenang
kalau hidup berkasih sayang
hidup tenang makmurlah neger
kalau kuncup sudah mengembang
Kisah Ular N’Daung

Dahulu, di kaki sebuah gunung di daerah Bengkulu, hiduplah seorang janda tua dengan tiga anak
gadisnya. Dari ketiga anak gadis tersebut, si Bungsulah yang paling rajin membantu ibu mereka
bekerja di ladang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Ia juga yang harus memasak
sepulang dari ladang. Sementara itu, kedua kakaknya hanya bermalas-malasan di rumah. Mereka
tidak pernah membantu ibu mereka bekerja di ladang.

Suatu hari, sang Ibu sakit keras, tidak mau makan dan minum. Melihat kondisi ibunya yang parah itu,
cepat-cepatlah si Bungsu memanggil tabib desa. Sang Tabib pun segera memeriksa keadaan
perempuan tua itu.

“Maaf, anak-anakku! Sakit yang diderita ibu kalian sudah sangat parah,” ungkap tabib itu.

“Apakah Ibu kami masih dapat disembuhkan, Tuan Tabib?” tanya si Bungsu dengan cemas.

“Iya, Bungsu. Ibu kalian masih bisa sembuh bila diberi obat khusus,” jawab tabib itu.

“Obat khusus apakah itu, Tuan Tabib?” tanya lagi si Bungsu,“ Barangkali kami dapat
mendapatkannya.”

“Ibu kalian hanya bisa disembuhkan dengan ramuan beberapa daun hutan yang dimasak dengan
bara gaib,” jelas tabib itu, “Tapi maaf, saya tidak dapat membantu kalian untuk mendapatkan bara
gaib itu.”

“Kenapa, Tuan Tabib?” tanya si Sulung.

“Ketahuilah, bara gaib itu hanya terdapat di gua yang berada di puncak gunung. Namun, gua itu
dijaga oleh seekor ular raksasa yang menyeramkan bernama Ular N’Daung. Ular itu amat ganas dan
buas. Ia akan memangsa setiap orang yang mendekati gua itu,” jelas sang Tabib.

Mendengar keterangan tabib itu, kedua kakak si Bungsu menjadi ketakutan.

“Iih…, sungguh mengerikan! Aku tidak mau naik ke puncak gunung itu,” kata si Sulung.

“Aku pun tidak berani ke sana. Aku tidak mau mati muda!” sahut kakak si Bungsu yang kedua.

Berbeda dengan kedua kakaknya, si Bungsu justru bertekad ingin ke puncak gunung itu, walaupun
ada rasa takut dalam dirinya. Ia akan melakukan itu demi mendapatkan bara api gaib agar ibunya
dapat segera sembuh.

“Baiklah, Kakak-kakakku. Jika kalian tidak mau ikut, biarlah saya sendiri yang pergi,” kata si Bungsu.
Setelah memohon restu kepada sang Ibunda tercinta yang sedang terbaring lemas, si Bungsu pun
berangkat dengan menyusuri jalan setapak. Jalan menuju ke puncak gunung itu cukup terjal dan
berbatu. Meskipun demikian, si Bungsu tetap semangat dan tak kenal lelah.

Setiba di puncak gunung, terlihat oleh si Bungsu sebuah gua yang hampir tertutupi oleh rimbunan
dedaunan. Hati hadis itu mulai diselimuti rasa takut karena suasana di sekitarnya sepi mencekam.
Namun, karena teringat kepada ibunya yang terbaring lemah, ia pun memberanikan diri untuk
mendekati mulut gua itu. Baru beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari
dalam gua itu.

“Hai, suara apa itu? Apakah suara Ular N’Daung?” gumam si Bungsu seraya mundur selangkah.

Benar perkiraan si Bungsu. Selang beberapa saat kemudian, Ular N’Daung itu tiba-tiba muncul di
mulut gua.

”Hai, gadis cantik! Siapa kamu dan mau apa kamu kemari?” tanya Ular N’Daung.

Alangkah terkejutnya si Bungsu karena ular raksasa itu ternyata dapat berbicara layaknya manusia.

“Ma… maaf, Tuan Ular N’Daung kalau kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan!.” jawab si
Bungsu dengan gugup, “Saya si Bungsu hendak mencari bara gaib untuk mengobati ibu saya yang
sedang sakit keras.”

Ular N’Daung menggeliatkan ekornya lalu berkata kepada si Bungsu.

“Aku akan memberikanmu bara gaib itu, tapi dengan syarat kamu harus menikah denganku,” ujar
Ular N’Daung.

Mendengar pernyataan Ular N’Daung itu, si Bungsu menjadi bingung. Dalam hatinya berkata bahwa
dirinya tidak mungkin menikah dengan seekor ular. Namun, demi kesembuhan sang Ibunda tercinta,
maka ia akhirnya menyanggupi persyaratan tersebut.

“Baiklah, Tuan Ular N’Daung. Saya bersedia menikah dengan Tuan setelah ibu saya sehat kembali,”
kata si Bungsu.

Ular N’Daung segera masuk ke dalam gua dengan perasaan gembira. Tak lama kemudian, ia pun
kembali dengan membawa sebutir bara gaib.

“Bawalah bara gaib ini! Semoga penyakit ibumu cepat sembuh,” ujar Ular N’Daung seraya
menyerahkan bara gaib itu kepada si Bungsu.

“Terima kasih, Tuan Ular N’Daung,” ucap si Bungsu seraya berpamitan.

Si Bungsu segera membawa pulang bara gaib itu. Setiba di rumah, ia pun disambut oleh sang Tabib
dan kedua kakaknya dengan perasaan heran bercampur gembira.

“Hai, Bungsu! Bagaimana caranya kamu bisa selamat dari Ular N’Daung itu?” tanya sang Tabib heran.
Si Bungsu pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya di puncak gunung hingga ia
mendapatkan bara gaib itu. Kedua kakaknya yang mendengar cerita itu bukannya prihatin kepada si
Bungsu melainkan menyindirnya.

“Ah, masa manusia menikah dengan ular?” celetuk si Sulung.

“Sudahlah! Mestinya kalian berterima kasih kepada adikmu yang telah mempertaruhkan dirinya demi
memperoleh bara gaib ini,” ujar sang Tabib.

Setelah itu, sang Tabib segera memasak ramuan daun hutan yang telah disiapkan dengan bara gaib.
Alhasil, janda tua itu sehat kembali setelah meminum ramuan tersebut. Ia merasa amat bahagia
begitu mengetahui bahwa dirinya sembuh berkat pengorbanan si Bungsu.

“Terima kasih, Bungsu! Engkau memang anak yang pandai berbakti kepada orang tua. Engkau telah
mengorbankan segalanya demi kesembuhan Ibu,” puji sang Ibu.

“Sudahlah, Bu. Tidak usahlah memuji seperti itu. Yang penting sekarang Ibu sudah kembali sehat,”
kata si Bungsu merendahkan diri.

Keesokan harinya, si Bungsu pun berpamitan kepada ibu dan kedua kakaknya untuk kembali ke
puncak gunung. Suasana haru pun menyelimuti hati keluarga kecil itu.

“Maafkan aku, Bu. Aku harus kembali ke puncak gunung untuk menepati janji pada Ular N’Daung.
Mohon doa restunya, ya Bu!” pinta si Bungsu.

“Iya, Anakku. Ibu merestui. Tapi, Ibu berharap semoga Ular N’Daung itu berubah pikiran,” harap
sang Ibu sambil meneteskan air mata.

“Iya, Bu. Bungsu pun berharap begitu. Tapi, kalau tidak, barangkali itu memang sudah menjadi nasib
Bungsu harus menikah dengan ular,” kata si Bungsu.

Akhirnya, si Bungsu kembali ke puncak gunung untuk menemui Ular N’Daung dan tinggal di gua itu.
Pada malam harinya, si Bungsu dikejutkan oleh sebuah peristiwa ajaib. Ia menyaksikan Ular N’Daung
berubah wujud menjadi seorang kesatria yang tampan dan gagah perkasa.

“Hai, bagaimana hal ini bisa terjadi?” tanya si Bungsu dengan heran, “Siapa sebenarnya Kanda?”

“Maaf, Dinda. Kanda adalah seorang pangeran dari sebuah kerajaan di negeri ini. Nama saya
Pangeran Abdul Rahman Almsjah,” ungkap Ular N’Daung yang telah berubah wujud seorang
pangeran itu.

Pangeran itu kemudian menceritakan bahwa dirinya disihir menjadi seekor ular oleh pamannya
karena menginginkan kedudukannya sebagai calon raja. Ia juga berjanji baru akan menikahi si
Bungsu setelah sihir itu sirna dari tubuhnya.

“Kelak jika sihir ini telah hilang pada diri Kanda, barulah Kanda akan menikahimu,” kata sang
Pangeran, “Kamu tetaplah tinggal bersamaku di gua ini hingga sihir itu hilang.”
“Baik, Kanda,” kata si Bungsu.

Sementara itu, ibu dan kakak-kakak si Bungsu penasaran ingin mengetahui keadaan si Bungsu.
Mereka pun kemudian naik ke puncak gunung dan tiba di sana saat hari sudah gelap. Alangkah
terkejutnya mereka saat melihat suami si Bungsu seorang lelaki tampan dan perkasa. Apalagi ketika
mereka mengetahui bahwa suami si Bungsu adalah seorang pangeran.

Mengetahui hal tersebut, maka timbullah perasaan iri hati pada diri kedua kakak si Bungsu. Mereka
pun berniat jahat untuk menfitnah adiknya itu dengan cara membakar kulit Ular N’Daung. Dengan
begitu, pangeran itu akan murka kepada si Bungsu dan mengusirnya.

Saat si Bungsu dan pangeran itu terlelap, kedua kakak si Bungsu segera menjalankan niat jahat
mereka. Keduanya diam-diam mencuri kulit Ular N’Daung lalu membakarnya. Setelah itu, abu bekas
pembakaran itu mereka letakkan di samping si Bungsu lalu kembali tidur.

Ketika hari menjelang pagi, Pangeran Abdul Rahman Alamsjah pun bangun hendak mengenakan kulit
ularnya. Alangkah senangnya hati pangeran itu saat melihat kulit ularnya terbakar. Ia pun segera
membangunkan si Bungsu.

“Dinda, ayo cepat bangun!” seru sang Pangeran.

“Apa yang terjadi, Kanda?” tanya si Bungsu dengan panik.

“Lihatlah, ada orang yang telah membakar kulit ularku,” jawab pangeran itu, “Apakah Dinda yang
melakukannya?”

“Bukan, Kanda,” jawab si Bungsu.

“Ya, syukurlah kalau begitu. Berarti Kanda benar-benar terbebas dari sihir itu,” kata Pangeran
Alamsjah dengan gembira, “Jika ada orang yang membakar kulit ularku secara sukarela, maka sihir
yang melekat pada diri Kanda akan sirna,” ungkap Pangeran.

Si Bungsu pun segera menyampaikan berita gembira itu kepada ibu dan kedua kakaknya. Mendengar
kabar tersebut, kedua kakaknya merasa amat menyesal dan mengakui bahwa merekalah yang
melakukan pembakaran kulit ular itu. Akhirnya, Ular N’Daung yang kini telah kembali menjadi
pangeran bermaksud memboyong si Bungsu dan keluarganya. Namun, kedua kakaknya menolak ikut
serta karena merasa malu dengan perbuatan mereka.

Setiba di istana, Pangeran Abdul Rahman Alamsjah segera mengusir pamannya dari istana. Setelah
dinobatkan menjadi raja, ia pun menikahi si Bungsu dengan pesta yang amat meriah. Mereka pun
hidup berbahagia.

***

Demikian cerita Kisah Ular N’Daung dari daerah Bengkulu. Sedikitnya ada tiga pesan moral yang
dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keutamaan sifat rajin dan berbakti kepada kedua orang tua
seperti halnya si Bungsu, serta akibat buruk dari sifat iri hati seperti halnya kedua kakak si Bungsu.

Anda mungkin juga menyukai