Anda di halaman 1dari 24

Kisah Putra Mahkota Amat Mude

Alkisah, di Negeri Alas, Nanggroe Aceh Darussalam, ada sebuah kerajaan yang
diperintah oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Seluruh rakyatnya selalu patuh dan
setia kepadanya. Negeri Alas pun senantiasa aman dan damai. Namun satu hal yang
membuat sang Raja selalu bersedih, karena belum dikaruniai seorang anak. Sang Raja ingin
sekali seperti adiknya yang sudah memiliki seorang anak.

Pada suatu hari, sang Raja duduk termenung seorang diri di serambi istana. Tanpa
disadarinya, tiba-tiba permaisurinya telah duduk di sampingnya.

“Apa yang sedang Kanda pikirkan?” tanya permaisuri pelan.

“Dindaku tercinta! Kita sudah tua, tapi sampai saat ini kita belum mempunyai seorang putra
yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan ini,” ungkap sang Raja.

“Dinda mengerti perasaan Kanda. Dinda juga sangat merindukan seorang buah hati belaian
jiwa. Kita telah mendatangkan tabib dari berbagai negeri dan mencoba segala macam obat,
namun belum juga membuahkan hasil. Kita harus bersabar dan banyak berdoa kepada Tuhan
Yang Mahakuasa,” kata permaisuri menenangkan hati suaminya.

Alangkah sejuknya hati sang Raja mendengar kata-kata permaisurinya. Ia sangat


beruntung mempunyai seorang permaisuri yang penuh pengertian dan perhatian kepadanya.

“Terima kasih, Dinda! Kanda sangat bahagia mempunyai permaisuri seperti Dinda yang
pandai menenangkan hati Kanda,” ucap sang Raja memuji permaisurinya.

Sejak itu, sang Raja dan permaisuri semakin giat berdoa dengan harapan keinginan mereka
dapat terkabulkan. Pada suatu malam, sang Raja yang didampingi permaisurinya berdoa
dengan penuh khusyuk.

“Ya Tuhan! Karuniakanlah kepada kami seorang putra yang kelak akan meneruskan tahta
kerajaan ini. Hamba rela tidak merasakan sebagai seorang ayah, asalkan kami dikaruniai
seorang putra,” pinta sang Raja.

Sebulan kemudian, permaisuri pun mengandung. Alangkah senang hati sang Raja
mengetahui hal itu. Kabar tentang kehamilan permaisuri pun tersebar ke seluruh penjuru
negeri. Rakyat negeri itu sangat gembira, karena raja mereka tidak lama lagi akan memiliki
keturunan yang kelak akan mewarisi tahtanya.

Waktu terus berjalan. Usia kandungan permaisuri sudah genap sembilan bulan. Pada
suatu sore, permaisuri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan.
Permaisuri tampak tersenyum bahagia sambil menimang-nimang putranya. Begitupula sang
Raja senantiasa bersyukur telah memperoleh keturunan anak laki-laki yang selama ini ia
idam-idamkan.
“Terima kasih Tuhan! Engkau telah mengabulkan doa kami,” sang Raja berucap syukur.

Seminggu kemudian, sang Raja pun mengadakan pesta dan upacara turun mani, yakni
upacara pemberian nama. Pesta dan upacara tersebut diadakan selama tujuh hari tujuh
malam. Tamu yang diundang bukan hanya rakyat negeri Alas, melainkan juga seluruh
binatang dan makhluk halus yang ada di laut maupun di darat. Seluruh tamu undangan
tampak gembira dan bersuka ria. Dalam upacara turun mani tersebut ditetapkan nama putra
Raja, yakni Amat Mude.

Beberapa bulan setelah upacara dilaksanakan, sang Raja pun mulai sakit-sakitan.
Seluruh badannya terasa lemah dan letih.

“Dinda! Mungkin ini pertanda waktuku sudah dekat. Dinda tentu masih ingat doa Kanda
dulu sebelum kita mempunyai anak,” ungkap sang Raja.

Mendengar ungkapan sang Raja, hati permaisuri menjadi sedih. Meskipun menyadari
hal itu, permaisuri tetap berharap agar sang Raja dapat sembuh dan dipanjangkan umurnya.
Semua tabib diundang ke istana untuk mengobati penyakit sang Raja. Namun, tak seorang
pun yang berhasil menyembuhkannya. Bahkan penyakit sang Raja semakin hari bertambah
parah. Akhirnya, raja yang arif dan bijaksana itu pun wafat. Seluruh keluarga istana dan
rakyat Negeri Alas berkabung.

Oleh karena Amat Mude sebagai pewaris tunggal Kerajaan Negeri Alas masih kecil
dan belum sanggup melakukan tugas-tugas kerajaan, maka diangkatlah Pakcik Amat Mude
yang bernama Raja Muda menjadi raja sementara Negeri Alas. Sebagai seorang raja, apapun
perintahnya pasti dipatuhi. Hal itulah yang membuatnya enggan digantikan kedudukannya
sebagai raja oleh Amat Mude. Berbagai tipu muslihat pun ia lakukan. Mulanya, sang Raja
memindahkan Amat Mude dan ibunya ke ruang belakang yang semula tinggal di ruang
tengah. Alasannya, Amat Mude yang masih kecil sering menangis, sehingga mengganggu
setiap acara penting di istana.

Tipu muslihat Raja Muda semakin hari semakin menjadi-jadi. Pada suatu hari, ia
mengumpulkan beberapa orang pengawalnya di ruang sidang istana.

“Wahai, Pengawal! Besok pagi-pagi sekali, buang permaisuri dan anak ingusan itu ke
tengah hutan!” titah Raja Muda.

“Apa maksud Baginda?” tanya seorang pengawal heran.

“Sudahlah! Tidak usah banyak tanya. Aku kira kalian sudah tahu semua maksudku,” jawab
Raja Muda.

“Ampun, Baginda! Hamba benar-benar tidak tahu maksud Baginda hendak membuang
permaisuri dan putra mahkota ke tengah hutan,” kata seorang pengawal yang lain.

“Ketahuilah! Aku tidak ingin suatu hari kelak Amat Mude akan merebut kekuasaan ini dari
tanganku,” ungkap Raja Muda.

“Tapi, Baginda. Bukankah Putra Mahkota Amat Mude pewaris tahta kerajaan ini,” ungkap
pengawal yang lain.
“Hei, kalian tidak usah banyak bicara. Laksanakan saja perintahku! Jika tidak, kalian akan
menanggung akibatnya!” bentak Raja Muda.

Mendengar ancaman itu, tak seorang pun pengawal yang berani lagi angkat bicara,
karena jika berani membantah dan menolak perintah tersebut, mereka akan mendapat
hukuman berat.

Keesokan harinya, berangkatlah para pengawal tersebut mengantar permaisuri dan


Amat Mude ke tengah hutan. Keduanya pun ditinggalkan di tengah hutan dengan bekal
seadanya. Untuk melindungi diri dari panasnya matahari dan dinginnya udara malam, ibu
dan anak itu pun membuat sebuah gubuk kecil di bawah sebuah pohon rindang. Untuk
bertahan hidup, mereka memanfaatkan hasil-hasil hutan yang banyak tersedia di sekitar
mereka.

Waktu terus berjalan. Tak terasa Amat Mude telah berumur 8 tahun. Ia tumbuh
menjadi anak yang cerdas dan tampan. Pada suatu hari, ketika sedang bermain-main,
Amat Mude menemukan cucuk sanggul ibunya. Diambilnya cucuk sanggul itu dan
dibuatnya mata pancing.

Keesokan harinya, Amat Mude pergi memancing di sebuah sungai yang di dalamnya
terdapat banyak ikan. Dalam waktu sekejap, ia telah memperoleh lima ekor ikan yang
hampir sama besarnya dan segera membawanya pulang. Alangkah gembiranya hati ibunya.

“Waaah, kamu pandai sekali memancing, Putraku!” ucap ibunya memuji.

“Iya, Ibu! Sungai itu banyak sekali ikannya,” kata Amat Mude.

Lima ekor ikan besar tersebut tentu tidak bisa mereka habiskan. Maka timbul pikiran
permaisuri untuk menjualnya sebagian ke sebuah desa yang terletak tidak jauh dari tempat
tinggal mereka. Dengan mengajak Amat Mude, permaisuri pun pergi ke desa itu. Ketika
akan menawarkan ikan itu kepada penduduk, tiba-tiba ia bertemu dengan saudagar kaya dan
pemurah. Ia adalah bekas sahabat suaminya dulu.

“Ampun, Tuan Putri! Kenapa Tuan Putri dan Putra Mahkota berada di tempat ini?” tanya
saudagar itu heran.

Permaisuri pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya sampai ia dan
putranya berada di desa itu. Mengetahui keadaan permaisuri dan putranya yang sangat
memprihatinkan tersebut, saudagar itu pun mengajak mereka mampir ke rumahnya dan
membeli semua ikan jualan mereka.

Sesampainya di rumah, saudagar itu menyuruh istrinya agar segera memasak ikan
tersebut untuk menjamu permaisuri dan Amat Mude. Ketika sedang memotong ikan
tersebut, sang Istri menemukan suatu keanehan. Ia kesulitan memotong perut ikan tersebut
dengan pisaunya.

“Hei, benda apa di dalam perut ikan ini? Kenapa keras sekali?” tanya istri saudagar itu
dalam hati dengan penuh keheranan.
Setelah berkali-kali istri saudagar itu menggesek-gesekkan pisaunya, akhirnya perut
ikan itu pun terbelah. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat telur ikan berwarna kuning
emas, tapi keras. Ia pun segera memanggil suaminya untuk memeriksa benda tersebut.
Setelah diamati dengan seksama, ternyata butiran-butiran yang berwarna kuning tersebut
adalah emas murni.

“Dik! Usai memasak dan menjamu tamu kehormatan kita, segeralah kamu jual emas itu!”
pinta saudagar itu kepada istrinya.

“Untuk apa Bang?” tanya sang Istri heran.

“Uang hasil penjualan emas itu akan digunakan untuk membangun rumah yang bagus
sebagai tempat kediaman permaisuri dan putranya. Abang ingin membalas budi baik sang
Raja yang dulu semasa hidupnya telah banyak membantu kita,” ujar saudagar itu kepada
istrinya.

“Baik, Bang!” jawab sang Istri.

Kemudian saudagar itu menyampaikan berita gembira tersebut kepada permaisuri dan
putranya bahwa mereka akan dibuatkan sebuah rumah yang bagus. Mendengar kabar itu,
permaisuri sangat terharu. Ia benar-benar tidak menyangka jika mantan sahabat suaminya itu
sangat baik kepada mereka.

“Terima kasih atas semua perhatiannya kepada kami,” ucap permaisuri.

“Ampun, Tuan Putri! Bantuan kami ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan
bantuan Baginda Raja semasa hidupnya kepada kami,” kata saudagar itu sambil memberi
hormat kepada permaisuri dan Amat Mude.

Menjelang sore hari, permaisuri dan Amat Mude pun mohon diri untuk kembali ke
gubuknya. Saudagar itu pun memberikan pakaian yang bagus-bagus dan membekali mereka
makanan yang lezat-lezat.

Beberapa lama kemudian, rumah permaisuri pun selesai dibangun. Kini permaisuri
dan Amat Mude menempati rumah bagus dan bersih. Untuk memenuhi kebutuhan mereka
sehari-hari mereka, Amat Mude pergi ke sungai setiap hari untuk memancing. Ikan-ikan
yang diperolehnya untuk dimakan sehari-hari dan selebihnya dijual ke penduduk sekitar. Di
antara ikan-ikan yang diperolehnya ada yang bertelur emas. Telur emas tersebut sedikit demi
sedikit mereka simpan, sehingga lama-kelamaan mereka pun menjadi kaya raya dan terkenal
sampai ke seluruh penjuru negeri.

Berita tentang kekayaan permaisuri dan putranya itu pun sampai ke telinga Pakcik
Amat Mude. Mendengar kabar itu, ia pun berniat untuk mencelakakan Amat Mude, karena
tidak ingin melepaskan kekuasaannya.

Pada suatu hari, Raja Muda yang serakah itu memanggil Amat Mude untuk
menghadap ke istana. Ketika Amat Mude sampai di istana, alangkah terkejutnya Raja Muda
saat melihat seorang pemuda gagah dan tampan memberi hormat di hadapannya. Dalam
hatinya berkata, “pemuda ini benar-benar menjadi ancaman bagi kedudukanku sebagai raja”.
Maka ia pun memerintahkan Amat Mude untuk pergi memetik buah kelapa gading di sebuah
pulau yang terletak di tengah laut. Buah kelapa gading itu diperlukan untuk mengobati
penyakit istri Raja Muda. Konon, lautan yang dilalui menuju ke pulau itu dihuni oleh
binatang-binatang buas. Siapa pun yang melewati lautan itu, maka akan celaka.

“Hei, Amat Mude! Jika kamu tidak berhasil mendapatkan buah kelapa gading itu, maka
kamu akan dihukum mati,” ancam Raja Muda.

Oleh karena berniat ingin menolong istri Raja Muda, Amat Mude pun segera
melaksanakan perintah itu. Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Amat Mude di sebuah
pantai. Ia pun mulai kebingungan mencari cara untuk mencapai pulau itu. Pada saat ia
sedang duduk termenung berpikir, tiba-tiba muncul di hadapannya seekor ikan besar
bernama Silenggang Raye yang didampingi oleh Raja Buaya dan seekor Naga Besar. Amat
Mude pun menjadi ketakutan.

“Hei, Anak Muda! Kamu siapa dan hendak ke mana?” tanya Ikan Silenggang Raye.

“Sa… saya Amat Mude,” jawab Amat Mude dengan gugup, lalu menceritakan asal-asul dan
maksud perjalanannya.

Mendengar cerita Amat Mude tersebut, Ikan Silenggang Raye, Raja Buaya dan Naga
itu langsung memberi hormat kepadanya. Amat Mude pun terheran-heran melihat sikap
ketiga binatang raksasa itu.

“Kenapa kalian hormat kepadaku?” tanya Amat Mude heran.

“Ampun, Tuan! Almarhum Ayahandamu adalah raja yang baik. Dulu, kami semua diundang
pada pesta pemberian nama Tuan!” jawab Raja Buaya.

“Benar, Tuan! Tuan tidak perlu takut. Kami akan mengantar Tuan ke pulau itu,” sambung
Naga besar itu.

“Terima kasih, Sobat!” ucap Amat Mude.

Akhirnya, Amat Mude pun diantar oleh ketiga binatang raksasa tersebut menuju ke
pulau yang dimaksud. Tidak berapa lama, sampailah mereka di pulau itu. Sebelum Amat
Mude naik ke darat, si Naga besar memberikan sebuah cincin ajaib kepada Amat Mude.
Dengan memakai cincin ajaib itu, maka semua permintaan akan dikabulkan.

Setelah itu, Amat Mude pun segera mencari pohon kelapa gading. Tidak berapa lama
mencari, ia pun menemukannya. Rupanya, pohon kelapa gading itu sangat tinggi dan hanya
memiliki sebutir buah kelapa. Setelah menyampaikan niatnya kepada cincin ajaib yang
melingkar di jari tangannya, Amat Mude pun dapat memanjat dengan mudah dan cepat
sampai ke atas pohon. Ketika ia sedang memetik buah kelapa gading itu, tiba-tiba terdengar
suara seorang perempuan yang sangat lembut menegurnya, “Siapapun yang berhasil
memetik buah kelapa gading itu, maka dia akan menjadi suamiku.”

“Siapakah Engkau ini?” tanya Amat Mude.

“Aku adalah Putri Niwer Gading,” jawabnya.


Ketika Amat Mude baru saja turun dari atas pohon sambil menenteng sebutir kelapa
gading, tiba-tiba seorang putri cantik jelita berdiri di belakangnya. Alangkah takjubnya
ketika ia melihat kecantikan Putri Niwer Gading. Akhirnya, Amat Mude pun mengajak sang
Putri pulang ke rumah untuk menikah. Pesta perkawinan mereka pun dirayakan dengan
ramai di kediaman Amat Mude.

Usai pesta, Amat Mude ditemani istri dan ibunya segera menyerahkan buah kelapa
gading yang diperolehnya kepada Pakciknya. Maka selamatlah ia dari ancaman hukuman
mati. Bahkan, berkat ketabahan dan kebaikan hatinya, Raja Muda tiba-tiba menjadi sadar
akan kecurangan dan perbuatan jahatnya. Ia juga menyadari bahwa Amat Mude-lah yang
berhak menduduki tahta kerajaan Negeri Alas. Akhirnya, atas permintaan Raja Muda, Amat
Mude pun dinobatkan menjadi Raja Negeri Alas.

Demikian cerita Putra Mahkota Amat Mude dari daerah Nanggroe Aceh Darussalam.
Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat
dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keutamaan sifat tabah
dan giat berusaha. Sifat ini tercermin pada sikap permaisuri dan Amat Mude yang senantiasa
bersikap tabah menghadapi penderitaan dan selalu giat berusaha. Akhirnya mereka menjadi
kaya dan hidup bahagia. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda cahaya mata,


rajin dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya kelak hidupmu sejahtera

Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa jika perbuatan jahat
seseorang dibalas dengan kebaikan, maka suatu saat orang yang berbuat jahat tersebut akan
menyadari perbuatan jahatnya dan akan berbuat baik. Hal ini tergambar pada sikap dan
perilaku Raja Muda yang selalu berniat jahat kepada Amat Mude, namun Amat Mude
senantiasa membalas niat jahatnya tersebut dengan kebaikan. Akhirnya, Raja Muda pun
menyadari perbuatannya dan menobatkan Amat Mude menjadi Raja Negeri Alas.

Nama : Nadine Adieka Puteri Yuniardi


Kelas : IV A
Kisah Asal Mula Pulau Si Kantan

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di tepi sebuah sungai di daerah Labuhan Batu,
Sumatera Utara, hiduplah seorang janda tua bersama seorang anak laki-lakinya bernama si
Kantan. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil yang sudah reot. Ayah si Kantan, sudah lama
meninggal dunia. Sejak itu, ibu si Kantan-lah yang harus bekerja keras untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Si Kantan adalah anak yang rajin dan tekun bekerja. Setiap hari ia
membantu ibunya mencari kayu bakar di hutan untuk dijual ke pasar.

Pada suatu malam, ibu si Kantan bermimpi didatangi oleh seorang kakek tua yang
tidak dikenalnya. Dalam mimpinya, kakek tua itu menyuruhnya pergi menggali tanah di
sebuah tempat di dalam hutan. Pada pagi harinya, ia menceritakan mimpinya tersebut
kepada si Kantan. “Wah, itu mimpi yang bagus, Bu! Sebaiknya kita laksanakan petunjuknya.
Siapa tahu ini bisa mengubah nasib kita,” ujar si Kantan.

Maka, ibu dan anak itu pergi ke hutan dengan membawa linggis. Sesampainya di
hutan, ibu si Kantan berusaha mengingat-ingat petunjuk yang diterima dari kakek tua di
dalam mimpinya. “Benar, Anakku! Tempatnya persis di sini!” seru ibu Kantan dengan
yakinnya. “Baiklah, Bu! Semoga ingatan ibu tidak keliru,” kata si Kantan.

Si Kantan pun mulai menggali tanah di bawah sebuah pohon yang besar dengan penuh
semangat. Setelah menggali sedalam dua kaki, si Kantan pun menemukan sebuah benda
yang terbungkus kain putih yang sudah usang.

“Bu, saya menemukannya!”

“Benda apakah itu, Nak?” tanya sang ibu penasaran.

“Entahlah, Bu!” jawab si Kantan.

Tanpa berpikir panjang, benda panjang yang terbungkus kain itu segera dibukanya.
Ternyata benda itu sebuah tongkat emas yang berhiaskan permata.

“Lihatlah, Bu! Benda ini sangat luar biasa.”

“Benar, Anakku! Barangkali Tuhan ingin mengubah nasib kita yang telah lama menderita
ini.”

Setelah itu, mereka pun pulang dengan membawa tongkat emas itu. Sesampainya di
gubuk, sang ibu menghendaki agar benda itu dijual saja. Hasilnya akan digunakan untuk
membeli rumah baru dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Tapi, Ibu! Siapa yang
sanggup membeli benda yang sangat berharga ini?” tanya si Kantan. “Benar juga katamu,
Nak! Penduduk di desa ini rata-rata hanya petani biasa, yang penghasilannya pas-pasan.
Bagaimana jika kamu jual saja di pulau lain?” usul ibu si Kantan.
Si Kantan menerima usulan ibunya dengan senang hati. Namun, di sisi lain, ia sangat
sedih karena akan meninggalkan ibunya yang sudah tua itu sendirian.

Keesokan harinya, si Kantan pun berpamitan kepada ibunya. “Jaga diri baik-baik, ya
Bu! Setelah benda ini terjual, Kantan akan segera kembali menemui ibu,” ucap si Kantan
kepada ibunya. “Baiklah, Anakku! Berangkatlah dan hati-hati di jalan! Jangan lupa cepat
kembali kalau sudah berhasil,” seru sang ibu. “Baiklah, Bu! Kantan berangkat!” pamit si
Kantan sambil mencium tangan ibunya. Tiba-tiba suasana haru menyelimuti hati ibu dan
anak itu. Tak terasa, sang ibu meneteskan air mata, lalu dipeluknya anak satu-satunya itu
dengan erat-erat. “Nak, Jangan lupakan ibumu di sini. Cepatlah kembali!” pesan sang ibu.
“Iya, Bu! Kantan berjanji kembali secepatnya,” jawab si Kantan membalas pelukan ibunya.

Setelah itu, berangkatlah si Kantan dengan sebuah tongkang menyusuri Sungai


Barumun menuju laut lepas, dan seterusnya pergi ke Malaka. Berhari-hari sudah si Kantan
terombang-ambing oleh gelombang di tengah laut. Meskipun perjalanan itu menguras tenaga
dan membosankan, namun hal itu tidaklah membuat niat si Kantan surut. Ia yakin bahwa
hasil dari penjualan tongkat emas itu akan mengubah nasibnya menjadi lebih baik.

Setibanya di Malaka, ia pun segera menawarkan kepada para pedagang di sana.


Seluruh pedagang di kota itu sudah ia tawari, namun tak seorang pun yang sanggup
membelinya. Ia pun berniat kembali ke kampung halamannya tanpa membawa hasil. Dalam
perjalanan menuju ke pelabuhan, ia bertemu dengan beberapa hulu balang dari Kerajaan
Malaka yang sedang berkeliling ronda di kota itu.

“Hai, Anak Muda! Benda apa yang sedang kamu bawa itu?” tanya salah seorang hulu
balang.

“Tongkat Emas, Tuan!” jawab si Kantan. Lalu ia menceritakan maksud kedatangannya ke


kota itu.

“Bagaimana jika benda itu kamu tawarkan kepada raja kami? Siapa tahu beliau tertarik,”
hulu balang lainnya menawarkan.

Si Kantan menerima tawaran itu. Ia kemudian dibawa untuk menghadap kepada sang
raja. Setibanya di istana, para hulu balang melaporkan kepada raja, bahwa pemuda miskin
itu ingin menjual sebuah benda yang sangat berharga. Sang Raja kemudian mengamati
benda itu. “Aduhai, istimewa sekali benda ini,” gumam Baginda Raja.

Setelah itu, ia berkata kepada si Kantan, “Hai, Anak Muda! Aku sangat tertarik dengan
tongkat emas engkau ini. Tapi, aku tidak ingin membelinya dengan uang. Bagaimana jika
engkau tinggal di istana ini dan aku jadikan menantuku?” sang Raja menawarkan.

“Ampun, Baginda! Jika itu kehendak Baginda, hamba menerima tawaran itu,” jawab si
Kantan sambil memberi hormat.

Seminggu kemudian, si Kantan pun dinikahkan dengan putri raja yang cantik jelita.
Pesta pernikahannya dilangsungkan dengan sangat meriah. Sejak itu, si Kantan resmi
menjadi anggota keluarga istana Kerajaan Malaka. Ia bersama istrinya hidup bahagia di
istana. Kehidupan yang serba mewah membuat si Kantan lupa kepada ibunya yang sudah tua
dan hidup sendirian di kampung. Sementara itu, sang istri selalu mendesak ingin bertemu
mertuanya dan ingin melihat kampung halaman suaminya. “Kanda… ! Kapan Kanda akan
mengajak Dinda untuk menemui ibu di kampung?” tanya sang istri. Mula-mula si Kantan
enggan mengabulkan permintaan istrinya dengan alasan sibuk mengurus istana. Namun,
karena didesak terus oleh istrinya dan direstui oleh Baginda Raja, maka si Kantan pun tidak
bisa mengelak lagi. “Baiklah, Dinda! Besok pagi kita berangkat,” janji si Kantan kepada
istrinya.

Dengan menggunakan kapal pribadinya yang besar dan mewah, si Kantan dan istrinya
beserta puluhan prajurit istana berlayar menuju Pulau Sumatera. Setelah berhari-hari
mengarungi Selat Malaka, akhirnya kapal si Kantan berlabuh di kota kecil, Labuhan Bilik,
yang terletak di muara Sungai Barumun. Penduduk setempat sangat terkejut dengan
kehadiran kapal sebesar itu. Mereka pun berdatangan ke pelabuhan ingin melihatnya dari
dekat.

“Waaah, megah sekali kapal itu! Tapi, siapa pemiliknya?” kata seorang penduduk
penasaran.

“Hai, lihat itu!” seru penduduk lainnya sambil menunjuk ke arah seorang laki-laki gagah
bersama seorang wanita cantik berdiri di anjungan kapal.

“Bukankah laki-laki itu si Kantan?” tanya seorang penduduk mengenali si Kantan.

“Benar! Ia adalah si Kantan, pemuda yang tinggal di gubuk di tepi sungai itu,” kata seorang
penduduk yang juga mengenal si Kantan.

Maka tersiarlah kabar bahwa si Kantan telah menjadi kaya-raya, bagai seorang raja
dengan kapalnya yang besar dan megah. Akhirnya, kabar kedatangan si Kantan pun
terdengar oleh ibunya. Perempuan tua itu sangat gembira, karena anak yang ditunggu-
tunggunya selama bertahun-tahun telah kembali. Saat menerima berita itu, ia memutuskan
untuk menunggu anaknya dengan sabar di gubuk reotnya. Namun, setelah beberapa lama
menunggu, anak yang dirindukannya tak kunjung datang. Akhirnya, ibu tua itu memutuskan
untuk menyusul anaknya di pelabuhan.

Dengan menggunakan sampan, janda tua itu menyusuri Sungai Barumun menuju
pelabuhan tempat kapal si Kantan berlabuh. Ia sudah tidak sabar lagi ingin memeluk anak
yang sangat disayanginya itu. Dengan sekuat tenaga, ia mengayuh sampannya lebih cepat
lagi. Akhirnya, tampaklah dari kejauhan sebuah kapal besar sedang bersandar di
pelabuhan. “Jika benar kata orang-orang, kapal itu pasti milik si Kantan anakku,” pikir janda
tua itu. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia terus mengayuh sampannya mendekati kapal
megah itu.

Ketika sampan yang dinaiki sudah semakin dekat dengan kapal besar itu, ia segera
memanggil anaknya. “Kantaaan… !!! Kantaaan… !!! Kantan anakkuuuuu… !!!”
Mendengar suara teriakan dari luar kapal, istri si Kantan pun bertanya kepada si Kantan,

“Kanda! Suara siapakah yang memanggil-manggil nama Kanda?”

“Ah, itu hanya orang gila,” jawab si Kantan pura-pura tidak peduli, walaupun sebenarnya ia
sangat mengenal bahwa suara itu adalah suara ibunya. Namun, ia malu memperkenalkan
istrinya dengan ibunya yang miskin lagi tua itu.

Panggilan si ibu kembali terdengar semakin dekat.

“Kantan, Anakku!!! Kamu di mana… ?”

“Ini ibumu datang, Nak!” teriak sang ibu.

Maka semakin yakinlah istri si Kantan, kalau yang memanggil suaminya itu adalah
mertuanya. Ia semakin penasaran ingin melihat ibu mertuanya yang sudah lama ia rindukan.
Ia pun segera lari keluar kapal, tapi disusul oleh si Kantan. Dari anjungan kapal, tampaklah
oleh mereka seorang perempuan tua yang sedang mendayung sampan ke arah kapalnya.

“Kantaaan…Anakku! Aku ini ibumu yang telah kau tinggalkan dulu,” teriak ibu tua itu.

“Hei, perempuan jelek! Enak saja mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu
seburuk kamu!” hardik si Kantan dengan kesal.

“Tenang, Kanda! Siapa tahu wanita itu benar ibu Kanda. Sepertinya ia sangat mengenal
Kanda,” sahut sang istri menenangkan suaminya.

“Tidak, Istriku! Ia bukan ibuku. Ibuku masih muda dan cantik,” bantah si Kantan.

“Hei, orang tua gila! Jangan dekati kapalku. Dasar perempuan pembawa sial!” si Kantan
kembali mencaci-maki ibunya.

“Pengawal! Usir dia dari sini!” perintah si Kantan.

Setelah beberapa pengawal mengusir perempuan tua itu, si Kantan kembali memerintahkan
pengawalnya untuk memutar haluan kapal dan kembali ke Malaka.

Sementera itu, perempuan tua itu bagai disambar petir melihat perilaku anak
kesayangannya, yang sungguh di luar dugaan. Dadanya terasa sesak, air matanya pun tak
terbendung lagi. Dengan sisa tenaganya, ia mengayuh sampannya kembali ke gubuknya
dengan perasaan hancur-lebur. Ia sangat sedih karena telah diusir oleh anak kandungnya
sendiri. Dengan deraian air mata, ia pun berdoa, “Ya Tuhan, anak itu telah mendurhakai
ibunya yang telah melahirkan dan membesarkannya ini. Berilah ia pelajaran, agar ia menjadi
anak yang tahu berbakti kepada orang tua!”

Baru saja ucapan itu lepas dari mulut sang ibu, tiba-tiba petir menyambar, hujan badai
yang sangat dahsyat pun datang. Tak berapa lama, air Sungai Barumun pun bergulung-
gulung lalu menghantam kapal si Kantan dengan bertubi-tubi. Tak ayal lagi, kapal besar
yang megah itu pun tenggelam ke dasar Sungai Barumun. Seluruh awak kapal tak dapat
menyelamatkan diri, termasuk si Kantan dan istrinya. Setelah kapal itu sudah tak tampak
lagi, suasana kembali tenang seperti semula.

Beberapa hari kemudian, muncullah sebuah pulau kecil di tempat kejadian itu, yaitu
tepatnya di tengah-tengah Sungai Barumun dan berhadapan dengan kota Labuhan Bilik.
Kemudian pulau itu oleh masyarakat setempat diberi nama Pulau Si Kantan.

Cerita di atas termasuk cerita teladan yang berisi pesan-pesan moral. Salah satu pesan
moral yang terkandung di dalamnya adalah akibat buruk dari sikap durhaka kepada orang
tua. Akibat buruk itu dialami si Kantan, karena ia tidak mau mengakui ibu kandungnya
sendiri setelah ia menjadi kaya-raya. Bahkan, ia berani menghardik dan mengusir ibunya.
Maka, Tuhan pun murka kepadanya, dan akhirnya ia ditenggelamkan bersama kapalnya
yang besar dan megah itu ke dasar Sungai Barumun.

Durhaka kepada orang tua merupakan perbuatan yang sangat tercela. Oleh karena itu,
sikap ini sangat dipantangkan dalam kehidupan orang-orang Melayu. Terkait dengan hal ini,
orang tua-tua Melayu banyak menyebutkan dalam untaian pantun mengenai keburukan sikap
ini, di antaranya:

wahai ananda kekasih bunda,


janganlah durhaka kepada ibu bapak
tunjuk ajarnya janganlah lupa
supaya hidup aman sentosa

Nama : Nadine Adieka Puteri Yuniardi


Kelas : IV A
Legenda Asal Mula Nama Bengkulu
Bengkulu (bahasa Inggris: Bencoolen) adalah sebuah provinsi di Indonesia. Ibu
kotanya berada di Kota Bengkulu. Provinsi ini terletak di bagian barat daya Pulau Sumatera.

Di wilayah Bengkulu pernah berdiri kerajaan-kerajaan yang berdasarkan etnis seperti


Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Selebar, Kerajaan Pat Petulai, Kerajaan Balai Buntar,
Kerajaan Sungai Lemau, Kerajaan Sekiris, Kerajaan Gedung Agung, dan Kerajaan Marau
Riang. Di bawah Kesultanan Banten, mereka menjadi vazal.

Menurut cerita rakyat Bengkulu, Legenda asal mula nama Bengkulu berawal saat
terjadi peperangan antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Serut. Pangkal masalahnya
adalah penolakan lamaran Putra Raja Aceh oleh Raja Anak Dalam Muara Bengkulu, Raja
Kerajaan Serut. Peperangan terjadi antara kedua kerajaan tersebut dengan hebatnya tanpa
ada pihak menang maupun pihak kalah.

Alkisah, dahulu kala tersebutlah sebuah kerajaan di Bengkulu bernama Kerajaan Serut
yang dipimpin oleh Ratu Agung. Ratu Agung memiliki tujuh orang anak. Si sulung bernama
Pangeran Anak Dalam Muara Bengkulu, sedang si bungsu bernama Putri Gading Cempaka.

Saat Ratu Agung wafat, Pangeran Anak Dalam Muara Bengkulu dinobatkan sebagai
penggantinya. Ia kemudian memerintah Kerajaan Serut dengan adil bijaksana melanjutkan
keadilan ayahandanya. Di bawah kepemimpinannya, perdagangan Kerajaan Serut menjadi
berkembang pesat.

Pangeran Kerajaan Aceh Ingin Melamar Putri Gading Cempaka.


Seiring berjalannya waktu, adik bungsu Raja Anak Dalam Muara Bengkulu, yaitu
Putri Gading Cempaka, tumbuh menjadi seorang gadis cantik jelita. Telah banyak para
pangeran juga saudagar kaya ingin mempersuntingnya.

Kecantikan Putri Gading Cempaka diketahui pula oleh seorang Pangeran dari
Kerajaan Aceh. Sang Pangeran segera mengirim utusan ke Kerajaan Serut untuk
menyampaikan keinginan Pangeran Aceh melamar Putri Gading Cempaka. Keinginan Sang
Pangeran untuk melamar ditolak halus oleh Raja Anak Dalam Muara Bengkulu.

Setelah mengetahui keinginannya melamar ditolak oleh Raja Anak Dalam, Sang
Pangeran Aceh merasa sangat tersinggung. Ia marah bukan main. Ia kemudian meminta
Kerajaan Aceh untuk menyerang Kerajaan Serut. Tak lama kemudian Kerajaan Aceh
mengirimkan pasukan secara besar-besaran menggunakan kapal-kapal perang.

Perang Kerajaan Aceh Dengan Kerajaan Serut.


Raja Anak Dalam Muara Bengkulu mengetahui rencana penyerangan tersebut. Ia
segera menyiapkan siasat khusus untuk menghadapi pasukan Kerajaan Aceh. Ia mengetahui
bahwa Kerajaan Aceh memiliki pasukan kuat. Kerajaan Aceh terkenal sulit untuk
dikalahkan. Ia memerintahkan pasukannya untuk menebang pohon-pohon. Batang-batang
kayu pohon tersebut kemudian dilemparkan ke sungai agar bisa menghalangi gerak kapal
pasukan Kerajaan Aceh.

Pasukan Kerajaan Serut segera bekerja keras menebangi pohon, kemudian


menghanyutkan batang-batang pohon tersebut ke sungai. Sementara sebagian pasukan lain
berjaga-jaga untuk menghadapi serangan pasukan Kerajaan Aceh. Sudah tak terhitung
berapa banyaknya kayu-kayu pohon hanyut hingga memenuhi sungai.

Saat pasukan Kerajaan Aceh tiba disungai untuk menuju Kerajaan Serut, mereka
terkejut mendapati banyaknya batang-batang pohon hanyut dari arah hulu sungai
menghalangi kapal-kapal mereka. Susah payah mereka berusaha menghindari kayu-kayu
yang sangat menghambat perjalanan mereka. Untuk menghindari kayu-kayu tersebut,
beberapa prajurit berteriak, “Empang ka hulu! Empang ka hulu!”. Akhirnya setelah bekerja
keras, kapal-kapal pasukan Kerajaan Aceh berhasil melaju. Mereka mendarat di sebuah kaki
bukit.

Para prajurit Kerajaan Aceh melompat ke daratan dari kapal-kapal mereka. Para
prajurit Aceh segera disambut oleh serangan pasukan Kerajaan Serut yang memang telah
menunggu. Maka terjadilah peperangan hebat antara kedua pasukan. Dengan siasat cerdik
Raja Anak Dalam Muara Bengkulu, kehebatan pasukan Kerajaan Aceh, mampu diimbangi
oleh pasukan Kerajaan Serut. Cukup lama peperangan tersebut berlangsung tanpa ada tanda-
tanda pasukan mana akan unggul dan pasukan mana akan kalah. Sudah banyak korban
berjatuhan dari kedua belah pihak namun, kedua kekuatan tampak seimbang.

Melihat peperangan tidak berkesudahan tersebut, Raja Anak Dalam Muara Bengkulu
merasa sedih. Ia tidak sanggup melihat begitu banyak korban berjatuhan. Akhirnya dengan
diiringi oleh keenam adiknya, kerabat keluarga kerajaan, dan beberapa pengikut setianya,
Raja Anak Dalam Muara Bengkulu kemudian pergi ke Gunung Bungkuk. Mereka tinggal di
gunung tersebut hingga peperangan berakhir.

Empang Ka Hulu Asal Mula Nama Bengkulu.


Karena tidak ada tanda-tanda pasukan mana akan menang, akhirnya peperangan itupun
berakhir sendirinya. Kedua belah pihak sepakat untuk berdamai, tidak melanjutkan
peperangan. Meskipun peperangan telah berakhir, namun Raja Anak Dalam beserta keenam
adik dan pengikut setianya tetap tinggal di Gunung Bungkuk.

Sejak peperangan dahsyat tersebut, wilayah Kerajaan Serut kemudian berubah


penyebutan namanya. Mulai dari teriakan para prajurit Kerajaan Aceh, Empang Ka Hulu,
berubah menjadi Pangkahulu, berubah lagi menjadi Bangkahulu dan akhirnya seiring
berjalannya waktu, kini kita mengenalnya dengan nama Bengkulu.

Nama : Nadine Adieka Puteri Yuniardi


Kelas : IV A
Kisah Raden Alit dan Dayang Bulan
Raja Tanjung Kemuning, Sumatera Selatan, memiliki seorang putra yang bernama
Raden Alit dan putri Dayang Bulan. Suatu ketika, kakak perempuannya, Dayang Bulan
diculik oleh Malim Hitam, putra Ratu Ageng dari Negeri Salek Alam. Mengapa Malim
Hitam menculik Dayang Bulan? Lalu, berhasilkah Raden Alit menyelamatkan Dayang
Bulan? Berikut kisahnya dalam cerita Raden Alit dan Dayang Bulan.* * *

Alkisah, di Negeri Tanjung Kemuning, Sumatera Selatan, tersebutlah seorang raja


bernama Ratu Ageng yang menikah dengan seorang Dewa Kahyangan. Mereka tinggal di
langit dan telah dikaruniai dua orang putra, yaitu Raden Kuning dan Raden Alit, serta
seorang putri bernama Dayang Bulan. Ketiga anak raja tersebut saling menyayangi satu
sama lain. Raden Kuning dan Raden Alit adalah orang yang sakti mandraguna. Sejak kecil
hingga dewasa, mereka berguru berbagai macam ilmu kesaktian kepada Nenek Dewi Langit.
Setelah hampir dua puluh tahun menjalani kehidupan di Langit, Ratu Ageng merasa
rindu ingin kembali ke Bumi. Oleh karena itu, ia bermaksud mengajak seluruh keluarganya
pindah ke Bumi.

“Wahai, permaisuri dan anak-anakku! Entah kenapa, tiba-tiba Ayah merasa rindu pada tanah
kelahiran Ayah. Ayah ingin sekali kembali ke bumi dan hidup di sana. Apakah kalian
merasa keberatan jika Ayah mengajak kalian turut serta ke Bumi?” tanya Ratu Ageng.

“Tentu tidak, Ayah! Aku akan ikut bersama Ayah ke Bumi. Bukankah kami semua anak-
anak Ayah belum pernah melihat tempat kelahiran Ayah?” kata Raden Alit.

“Benar, Ayah! Kami juga ikut!” sahut Raden Kuning dan Dayang Bulan serentak.

Ratu Ageng tersenyum gembira mendengar jawaban putra-putrinya. Ia sangat


memahami perasaan mereka karena ketiga anaknya tersebut dilahirkan di Langit sehingga
sejak kecil mereka tidak mengetahui tentang kehidupan di bumi.

“Baiklah kalau begitu! Besok pagi-pagi sekali kita berangkat ke Bumi,” ujar Ratu Agung.

Keesokan harinya, berangkatlah Ratu Ageng bersama keluarga serta sejumlah


pengawalnya ke Bumi. Di Bumi, mereka membangun sebuah istana yang tidak begitu
megah sebagai tempat tinggal mereka. Ratu Ageng beserta keluarga dan para pengikutnya
hidup layaknya manusia bumi pada umumnya.

Selang beberapa tahun tinggal di Bumi, malapetaka menimpa keluarga Ratu Ageng.
Putrinya Dayang Bulan meninggal dunia lantaran digigit ular lidi. Kematian putrinya itu
membawa duka yang dalam bagi Ratu Ageng dan permaisurinya. Namun, Raden Kuning
dan Raden Alit tidak dapat menerima kematian saudara perempuan mereka itu. Mereka
yakin bahwa Dayang Bulan belum saatnya meninggal. Oleh karena itu, keduanya memohon
izin kepada sang ayahanda untuk pergi mencari Dayang Bulan.
“Ampun, Ayah! Kami yakin Dayang Bulan belum meninggal, Ayah! Izinkanlah Ananda dan
Raden Kuning untuk pergi mencarinya!” pinta Raden Alit.

“Wahai, Anakku! Bukankah kalian menyaksikan sendiri bahwa Dayang Bulan telah
meninggal dan dimakamkan di kebun bunga?” ujar Ratu Ageng.

“Benar, Ayah! Tapi kami yakin bahwa yang dimakankan pada saat itu hanya bayangannya
saja. Wujud aslinya telah diculik oleh seseorang yang sakti mandraguna,” sahut Raden
Kuning.

Pada mulanya, Ratu Ageng tidak begitu yakin dengan apa yang dikatakan oleh kedua
putranya itu. Namun, karena Raden Kuning dan Raden Alit terus mendesaknya, akhirnya
Ratu Ageng mengizinkan mereka untuk mencari Dayang Bulan.

Setelah berpamitan kepada kedua orangtuanya, berangkatlah Raden Kuning dan


Raden Alit mencari Dayang Bulan. Mereka berjalan selama berbulan-bulan tanpa tentu arah.
Begitu mereka tiba di sebuah pantai, terlihatlah sebuah rejung, yaitu kapal besar dan megah,
yang sedang berlabuh. Seketika itu pula mereka langsung melompat ke atas rejung itu
karena mengira Dayang Bulan berada di dalamnya. Namun, setelah memeriksa seluruh
ruangan di kapal itu mereka hanya menemukan dua orang laki-laki sedang tidur di dalam
sebuah kamar. Raden Kuning pun membangunkan kedua orang itu seraya bertanya kepada
mereka.

“Wahai sahabat, siapakah kalian ini! Mengapa rejung kalian berhenti di pantai ini?”

“Maaf, sahabat! Kami tertidur karena kelelahan setelah cukup lama dalam perjalanan
mencari saudara perempuan kami yang bernama Dayang Ayu,” jawab salah seorang pemilik
kapal yang bernama si Ulung Tanggal.

“Kalau kami boleh tahu, bagaimana saudara perempuan kalian bisa hilang?” tanya Raden
Alit.

“Begini, sahabat,” sahut adik si pemilik kapal yang bernama Serincung Dabung. “Saudara
perempuan kami telah meninggal karena digigit ular lidi. Namun, kami yakin bahwa dia
sebenarnya tidak meninggal. Ia diculik oleh putra raja Negeri Salek Alam yang bernama
Malim Putih.”

“Hai, sahabat! Bagaimana kamu bisa tahu kalau putra raja itu yang menculik saudara
perempuan kalian?” tanya Raden Kuning penasaran.

Rupanya, Serincung Dabung adalah seorang ahli nujum. Raden Kuning dan Raden
Alit pun meminta bantuan kepadanya untuk mencari tahu keberadaan Dayang Bulan. Setelah
Serincung Dabung melakukan nujum, akhirnya diketahui bahwa Dayang Bulan juga diculik
oleh putra raja Negeri Salek Alam yang bernama Malim Hitam.

Keempat orang tersebut ternyata memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari saudara
perempuan mereka yang diculik oleh kedua putra Raja Negeri Salek Alam. Namun, karena
Serincung Dabung tidak dapat menerawang letak Negeri Salek, akhirnya mereka pun
berpencar. Si Ulung Tunggul berjalan di atas Kahyangan, Raden Kuning terbang di angkasa
bagai burung, dan Serincung Dabung berjalan di dalam air.

Sementara itu, Raden Alit berjalan di daratan dengan menyusuri hutan belantara serta
menaiki dan menuruni bukit. Dalam perjalanannya, Raden Alit bertemu dengan seorang
nenek yang berpakaian sangat rapi.

“Nenek hendak pergi ke mana?” tanya Raden Alit.

“Ke pesta pernikahan, Cucuku!” jawab nenek itu.

“Siapa yang akan menikah, Nek?” tanya Raden Alit ingin tahu.

“Putra Raja Negeri Salek Alam, Malim Hitam dan Malim Putih,” jawab nenek itu.

“Maaf, Nek! Kalau boleh saya tahu, mereka menikah dengan siapa?” tanya Raden Alit
penasaran.

“Malim Hitam akan menikah dengan Dayang Bulan, sedangkan Malim Putih akan menikah
dengan Dayang Ayu,” jawab nenek itu.

Mendengar jawaban nenek itu, Raden Alit pun semakin yakin bahwa Dayang Bulan
dan Dayung Ayu masih hidup. Maka dengan kesaktiannya, ia menyamar menjadi budak
banden, yaitu merubah bentuk wajahnya. Setelah itu, berangkatlah ia ke Negeri Salek Alam.

Setibanya di negeri itu, Raden Alit bertemu dengan Raja Jin dan menceritakan
maksud kedatangannya ke negeri itu. Raja Jin itu sangat baik hati dan dan mempunyai
seorang putri yang cantik jelita bernama Salipuk Jantung Pandan. Raden Alit pun langsung
jatuh hati kepadanya pada saat pandangan pertama. Dalam waktu singkat, mereka langsung
menjalin hubungan kasih dan berjanji akan menikah. Dengan hubungan itu, Raden Alit pun
semakin dekat dengan keluarga Raja Jin. Raden Alit kemudian meminta pertolongan kepada
Raja Jin untuk membebaskan Dayang Bulan dan Dayung Ayu.

Dengan kesaktiannya, Raja Jin merubah bentuk Dayang Bulan dan Dayung Ayu
menjadi dua tangkai bunga sebelum mereka naik ke pelaminan. Kemudian, tanpa
sepengetahuan Malim Hitam dan Malim Putih, Raden Alit berhasil menyelinap masuk ke
dalam kamar Dayang Bulan dan Dayung Ayu. Begitu ia masuk ke dalam kamar tersebut
tampaklah dua tangkai bunga yang tergeletak di lantai. Tanpa berpikir panjang, Raden Alit
segera mengambil kedua tangkai bunga yang merupakan perwujudan Dayang Bulan dan
Dayung Ayu tersebut.

Namun, begitu Raden Alit keluar dari kamar, tiba-tiba Malim Hitam dan Malim
Putih datang menghadangnya.

“Hai, siapa kamu dan mau dibawa ke mana calon istri kami!” seru Malim Hitam dengan
wajah memerah.
“Serahkan kedua tangkai bunga itu! Atau kami akan menghajarmu!” tambah Malim Putih
dengan geramnya.

“Tidak! Aku tidak akan menyerahkan kedua tangkai bunga ini. Kalian telah menculik
saudara perempuan kami,” bantah Raden Alit.

Pertempuran sengit pun tak terelakkan lagi. Pada mulanya, Raden Alit masih mampu
mengimbangimbangi kesaktian kedua putra Raja Negeri Selak Alam tersebut. Namun,
setelah pertempuran tersebut berlangsung selama berhari-hari, akhirnya Raden Alit
kewalahan dan terlempar ke langit. Untungnya, pintu langit ketika itu terbuka sehingga ia
tidak jatuh terhempas ke bumi. Akhirnya, Raden Alit menemui Nenek Dewa Langit untuk
meminta pertolongan.

“Ampun, Nenek Dewa! Tolonglah aku agar bisa mengalahkan kedua musuhku, Malim
Hitam dan Malim Putih, yang ada di Bumi!” pinta Raden Alit.

“Wahai, Cucuku Raden Alit! Kedua musuhmu itu tidak dapat dibunuh. Akan tetapi, kamu
bisa melemparkannya ke langit. Setibanya di langit, aku akan memasukkan mereka ke dalam
sangkar besi,” ujar Nenek Dewa Langit.

“Baiklah, Nek! Izinkanlah aku kembali ke Bumi!” pamit Raden Alit.

Setibanya kembali di Bumi, Raden Alit mengeluarkan seluruh kesaktiannya sehingga


mampu melemparkan kedua musuhnya tersebut ke langit. Begitu mereka tiba di langit,
Nenek Dewa segera memasukkannnya ke dalam sangkar besi yang telah disiapkan
sebelumnya sehingga mereka tidak dapat lagi kembali ke bumi. Sementara itu, Dayang
Bulan dan Dayung Ayu kembali berwujud manusia.

Tak berapa lama kemudian, datanglah Raden Kuning, Si Ulung Tanggal, dan
Serincung Dabung. Raden Alit kemudian menceritakan semua yang telah terjadi.

“Terima kasih, Sahabat! Engkau telah menyelamatkan saudara perempuan kami Dayung
Ayu,” ucap si Ulung Tanggal usai mendengar cerita Raden Alit.

“Sama-sama, Sahabat! Keberhasilan ini tidak terlepas dari kerjasama kita dan bantuan Raja
Jin,” kata Raden Alit.

“Hai, siapa Raja Jin itu?” tanya Serincung Dabung.

“Dia adalah Raja Jin di negeri ini dan sangat baik hati,” jawab Raden Alit.

Akhirnya, Raden Alit dan Si Ulung Tanggal bersaudara segera menemui Raja Jin
untuk menyampaikan ucapan terima kasih karena telah membantu mereka mengalahkan
kedua putra Raja Negeri Selak Alam. Setelah itu, mereka berpamitan untuk kembali ke
negeri masing-masing.

Sementara itu, di istana, Ratu Ageng dan permaisurinya sudah berbulan-bulan


diselimuti perasaan cemas menunggu kepulangan anak-anak mereka. Namun, begitu melihat
Raden Kuning dan Raden Alit kembali bersama Dayang Bulan, keduanya tidak sanggup
menahan rasa haru. Untuk menyambut kepulangan ketiga anaknya, Ratu Ageng mengadakan
pesta besar-besaran selama tiga hari tiga malam.

Usai pesta, Raden Alit datang menghadap kepada kedua orangtuanya dan
mengatakan bahwa sebenarnya ia telah mengikat janji untuk menikah dengan putri Raja Jin
yang cantik itu. Akhirnya, Ratu Ageng beserta seluruh keluarganya datang ke tempat Raja
Jin untuk mengadakan pesta perkawinan Raden Alit dengan Salipuk Jantung Pandan.
Selanjutnya, Raden Alit dan istrinya pun hidup bahagia.

Demikian kisah Raden Alit dari daerah Sumatera Selatan. Sedikitnya ada tiga
pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu pertama, sesama saudara harus saling
menyayangi seperti yang ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Raden Alit dan Raden Kuning,
kedua, dengan kerjasama yang baik, maka kejahatan dapat ditumpas dengan mudah, dan
ketiga, orang yang berbuat jahat akan menanggung sendiri akibatnya, seperti Malim Hitam
dan Malim Putih yang mendapat hukuman dari Nenek Dewa karena mereka telah menculik
Dayang Bulan dan Dayung Ayu.

Nama : Nadine Adieka Puteri Yuniardi


Kelas : IV A
Kisah Ratu Melinting dan
Ratu Darah Putih
Ratu Dipugung atau Ratu Galuh mempunyai dua orang anak laki-laki. Anak pertema
bernama Seginder Alam dang yang kedua bernama Gayung Gerunggung. Seginder Alam
mempunyai seorang anak gadis yang bernama Putri Sinar Kaca, sedangkan Gayung
Gerunggung juga mempunai seorang anak gadis yang bernama Putri Sinar Alam.

Kala itu datanglah Sultan Banten ke Lampung, ia melihat cahaya terang yang
memenacar dari bumi ke langit. Sultan mendapat firasat bahwa di Pugung ada seorang putri
yang dapat mengakibatkan hal baik jika menikah dengannya. Ratu Dipugung menunjukkan
cucunya yaitu putri Seginder Alam yang tak lain adalah Putri Sinar Kaca. Dan kemudian
Sultan pun menikahi Putri Sinar Kaca.

Beberapa lama setelah Sultan menikahi Putri Sinar Kaca, Sultan memutuskan untuk
kembali sementara ke Banten tanpa Putri Sinar Kaca. Belum lama Sultan berada di Banten,
ia melihat kembali cahaya terang yang memenacar dari bumi ke langit seperti yang ia lihat
sebelum menikahi Putri Sinar Kaca. Sang Sultan berkata dalam hatinya, “Jika demikian,
tentu putri itu masih ada di Pugung (Lampung). Putri yang kunikahi ternyata bukanlah yang
terlihat sinarnya itu.” Oleh sebab itu, Sultan memutuskan untuk kembali ke Lampung,
tujuannya bukan untuk menemui istrinya “Putri Sinar Kaca” tetapi akan mencari dan
menikahi sesegera mungkin Putri yang terlihat sinarnya tadi.

Setelah tiba di Pugung, ia terus berkata pada kakeknya yaitu Ratu Dipugung,
bahwasanya yang dinikahinya itu bukanlah putri yang terlihat di dalam sinar yang
dilihatnya. Ratu Dipugung lalu menunjukkan cucunya yang lain, putri Gayung Gerunggung
yaitu Putri Sinar Alam. Akhirnya Sultan pun menikahinya. Beberapa lama setelah Sultan
menikahi Putri Sinar Alam, Sultan memutuskan untuk kembali lagi sementara ke Banten
tanpa Putri Sinar Alam.

Beberapa lama sang Sultan berada di Banten, Putri Sinar Kaca melahirkan seorang
putra yang diberi nama Kejalo Bidin. Dan kemudian Putri Sinar Alam pun melahirkan
seorang putra yang bernama Kejalo Ratu. Kejalo Bidin dan Kejali Ratu tumbuh dan besar di
Pugung Lampung. Saat mereka berdua bermain di halamn rumah mereka, mereka melihat
tiga ekor burung perkutut yang hinggap di pelepah pohon kelapa, mereka memandang ketiga
ekor burung perkutut tersebut dan berlari kepada ibu mereka untuk bertanya:

”Mengapa burung perkutut itu ada tiga ekor, biasanya hanya ada sepasang burung
perkutut? Tanya Kejalo Bidin (anak Putri Sinar Kaca). Putri Sinar Kaca pun menjawab
”Yang di sebelah kiri adalah induknya, di tengah adalah anaknya, dan di sebelah kanan
adalah anaknya”. Kejalo Bidin pun kembali melontarkan kata-kata ”berarti kami pun
mempunyai seorang ayah pula, siapa ayah kami Ibu??”

Putri Sinar Kaca pun tidak berkenan menjelaskan kepada keduanya. Dengan bersikeras
mereka berdua selalu memaksa Putri Sinar Kaca untuk menjelaskan kepada mereka yang
akhirnya Putri Sinar Kaca pun menceritakan kepada mereka berdua bahwa ayah mereka
adalah sama yaitu Sultan Banten.

Setelah mereka tumbuh dewasa, mereka berdua pun memutuskan pergi ke Banten
untuk menemui ayah mereka yaitu Sultan Banten. Tiba mereka di Banten dan bertemu
Sultan Banten, Sultan Banten pun tidak langsung percaya pada pernyataan mereka berdua,
dan sang Sultan memutuskan untuk menoreh pedangnya di dahi kedua bersaudara tersebut,
jika darah putih yang keluar dari dahi mereka maka benar mereka berdua adalah putranya.

Sang Sultan pun mencabut pedangnya dan menorehkannya ke dahi kedua bersaudara
itu. Ternyata darah putih bercampur kemerahan keluar dari dahi Kejalo Bidin, sedangkan
darah putih keluar dari dahi Kejalo Ratu. Sang Sultan pun langsung percaya dan yakin
bahwa mereka berdua adalah putra kandungnya.

Sultan pun memberikan gelar kepada kedua putra kandungnya. Kejalo Bidin diberi
gelar ”MINAK KEJALO BIDIN”, sedangkan Kejalo Ratu diberi gelar ”MINAK KEJALO
RATU DARAHPUTIH”.

Mereka berdualah yang menjadi cikal bakal kebuaian Melinting dan kebuaian Ratu
Darahputih. Minak Kejalo Bidin di Melinting dan Minak Kejalo Ratu Darahputih di
Kalianda.

Setelah bertahun-tahun sejak peristiwa itu, Ratu Dipugung meminta dua orang ini
mendirikan keratuan baru di dalam keratuan Ratu Dipugung. Minak Kejalo Bidin diminta
mendirikan keratuan di Melinting (Labuhanmaringgai) dan Minak Kejalo Ratu Darahputih
di Kalianda. Keturunan Ratu Darahputih di Kalianda diantaranya adalah Raden Intan yang
menjadi pahlawan nasional asal Lampung (perkiraannya Raden Intan keturunan yang
ketujuh dari Minak Kejalo Ratu Darahputih).

Nama : Nadine Adieka Puteri Yuniardi


Kelas : IV A
Legenda Buaya Putih
Danau Setu Babakan

Setu Babakan adalah sebuah danau buatan yang awal nya digunakan sebagai tempat
resapan air , namun sekarang juga dijadikan sebagai tempat wisata bagi warga sekitar setelah
diresmikan sebagai pusat pelestarian warisan Budaya Jakarta.

Danau yang memiliki luas 30 hektare ini memiliki legenda yang berkaitan dengan
penampakan buaya putih oleh mansyarakat setempat dan berikut ini adalah cerita tentang
Legenda Buaya Putih Setu Babakan.

Pada suatu ketika disebuah Desa yang berada di pinggir danau yang oleh warga
sekitar disebut sebagai Setu Babakan hiduplah sepasang remaja yang saling mencinta namun
kisah percintaan mereka tak disetujui oleh bapak si gadis. Sebab si pemuda, yang bernama
Joko itu hanyalah seorang petani miskin.

Pada satu hari, Joko berkata kepada kekasih nya, “Dik Siti, Bapak engkau sangat
menolak hubungan kita berdua”, Pemuda itu menjelaskan, “Mungkin karena aku hanyalah
dari keluarga petani yang tak berada. Agar bapak, merestui hubungan kita, aku harus
menjadi kaya, aku akan pergi merantau ke kota. Mudah-mudah nasib baik berpihak
kepadaku. Dan jika kita memang berjodoh, kelak pasti kita akan dapat bersama lagi”.

“Jika memang itu keputusan Mu, pergilah”. sahut si gadis itu dengan kesedihan sambil
berlinang air mata. “Tetapi jika abang sudah berhasil di rantau, lekaslah pulang”. Dengan
diiringi linangan air mata, pergilah petani miskin itu mencoba peruntungan di negeri orang.

Tiga tahun telah berlalu. Tak ada kabar berita dari pemuda itu. Siti, mulai dilanda
gelisah, apalagi bapak si gadis telah menjodohkannya dengan duda kaya dari kampung
sebelah.

Ketika waktu pernikahannya telah kian dekat, Siti semakin gelisah. Ia terus berdo’a
dan berharap agar pemuda idamannya segera kembali. Namun harapannya tinggal harapan,
setahun lagi telah berlalu, setelah mencoba berbagai cara untuk menunda perkawinannya
dengan Duda kaya, sang pemuda tak kunjung muncul.

Akhirnya gadis itu putus asa. Ia pergi ke Danau (Setu) Babakan. Dengan perasaan
hancur ia menceburkan dirinya ke sana. Para siluman penghuni danau itu menaruh belas
kasihan pada gadis itu. Maka ia tak mati terbenam di danau itu, tetapi menjelma menjadi
buaya putih.
Hingga kini, buaya putih itu masih setia menjaga danau itu. jikalau ada orang berbuat
tak senonoh di sekitar danau, maka orang itu akan menjadi korban buaya putih Setu
Babakan.

Itulah cerita legenda rakyat Jakarta tentang asal muasal adanya buaya putih dikawasan
Setu Babakan yang kini telah menjadi kawasan cagar budaya masyarakat Betawi.

Nama : Nadine Adieka Puteri Yuniardi


Kelas : IV A
Legenda Asal Mula Nama Kota Bandung
Alkisah pada zaman dahulu kala di tanah pasundan, di pinggiran sungai Citarum hidup
lah seorang kakek tua yang terkenal karena memiliki ilmu sakti mandraguna. Disana Ia
tinggal bersama anak perempuannya yang cantik jelita, Sekar.

Selain Sekar, Empu Wisesa memiliki 2 orang murid Jaka dan Wira, Ia menemukan
mereka ketika masih bayi di sebuah desa yang hancur berantakan karena letusan gunung
tangkuban perahu yang hingga saat itu lahar nya masih sering membahayakan area
sekitarnya. Ke dua bayi itu kemudian dibawa pulang, dirawat dan diajarkan ilmu oleh Empu
Wisesa.

Walaupun memiliki guru yang sama, Jaka dan Wira memiliki perangai yang berbeda.
Jaka berparas tampan, Ia senang bermain dan pandai bercakap, walaupun pintar namun
karena sifat nya yang menggampangkan sesuatu ia jauh ketinggalan dari Wira yang rajin
mencari ilmu dan hakikat hidup.

Sifat yang berbeda tersebut tidak membuat mereka berdua berjauhan, mereka seperti
dua orang saudara yang saling tolong dan berbagi rahasia. Namun ada satu hal yang tak
mereka ungkapkan satu sama lain, yaitu tentang perasaan mereka terhadap Sekar, putri guru
mereka.

Jaka terlebih dahulu menyampaikan maksud hati untuk melamar Sekar kepada Empu
Wisesa, karena pandai mengambil hati guru nya, Empu Wisesa tanpa meminta persetujuan
anaknya langsung menyetujui lamaran Jaka. Ia berfikir Sekar pasti juga menyukai Jaka
yang rupawan dan pandai bergaul.

Keesokan hari nya Empu Wisesa memanggil Sekar dan kemudian menyampaikan
keinginannya untuk menikahkan nya dengan Jaka. Sekar adalah anak yang baik dan berbakti
pada orang tua namun baru sekali inilah Sekar membantah orang tuanya, ia menolak
keinginan Empu Wisesa, ia mengatakan bahwa Ia mencintai Wira dan hanya mau menikah
dengan Wira.

Hal itu membuat Empu Wisesa gundah, sebelumnya Ia sudah menjanjikannya pada
Jaka. Agar adil ia kemudian membuat sayembara.

“Baiklah, aku hanya akan menikahkan Sekar dengan orang yang bisa memadamkan
lahar panas Tangkuban Perahu.” kata Empu Wisesa.

Jaka merasa itu adalah hal yang mustahil, tidak mungkin memadamkan lahar panas
yang telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Namun didepan Empu Wisesa dia
menyanggupi nya dan mengaku ingin mengembara mencari ilmu untuk memadamkan lahar.
Ia hanya berfoya-foya dan bahkan bermain wanita.

Sementara itu Wira, berfikir keras mencari tahu bagaimana cara memenangkan
sayembara itu. Dengan tekun setiap hari ia mengitari cekungan luas yang terbentuk oleh
lahar panas tersebut, dia tahu hanya air yang bisa mengalahkan api, tapi dari mana dia bisa
mendapatkan air sebanyak itu. Setahun berlalu namun Ia belum juga menemukan caranya
hingga suatu hari dia melihat berang-berang yang sedang membuat bendungan dari ranting-
ranting pohon.

“Wah, bagaimana kalau aku membendung sungai Citarum sehingga air nya bisa
memadamkan lahar panas” pikir nya dalam hati.

Dengan penuh perhitungan Wira mulai melaksanakan ide nya itu, mula-mula Ia
mengungsikan manusia dan hewan-hewan yang ada di cekungan lahar tersebut agar tidak
tenggelam oleh air. Kemudian berbekal kesaktian dari Empu Wisesa, Ia meruntuhkan
sebuah bukit dengan tangan nya, sehingga tanah dan batuan membendung air sungai.
Lama-kelamaan air mulai menggenang, lahar panas menjadi dingin dan cekungan itu
berubah menjadi danau yang luas, orang-orang menyebut daerah itu “Danau Bandung”.

Setelah berhasil melewati ujian yang di berikan oleh Mpu Wisesa, ia pun kemudian
pulang dan melamar Sekar. Mpu Wisesa sangat senang, murid nya terbukti sangat mencintai
anak semata wayang nya, dan mencegah bencana yang bisa muncul akibat lahar panas itu.

Tak lama kemudian mereka pun mengadakan pesta pernikahan yang meriah, dihadiri
oleh semua penduduk disekitarnya. Jaka tidak ada kabar beritanya lagi.

Setelah bertahun-tahun Wira & Sekar dikaruniai banyak anak dan cucu, sementara itu
bendungan yang dibuat Wira mulai runtuh akibat debit air yang tinggi. Lama-lama air di
danau itu mulai mengering, tanah nya menjadi subur dan gembur. Akhir nya mereka pun
berpindah kesana, tak lupa mengajak penduduk sekitar.

Lama kelamaan daerah itu menjadi ramai ditinggali dan didatangi pengembara, karena
danau nya sudah tidak lagi ada, mereka menyebut nya Bandung. Menurut mitos nya
penduduk asli kota Bandung berasal dari keturunan Wira dan Sekar.

Begitulah Legenda fiktif Asal Mula Nama Kota Bandung, yang berasal dari kata
“bendung” atau “bendungan” yang dibuat oleh Wira untuk memadamkan lahar panas
Tangkuban Perahu.

Menurut sejarah bendungan (Danau Bandung) itu seluas daerah antara Padalarang
hingga Cicalengka (± 30 km) dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu hingga Soreang
(± 50 km)

Nama : Nadine Adieka Puteri Yuniardi


Kelas : IV A

Anda mungkin juga menyukai