Anda di halaman 1dari 46

COVER

CERITA RAKYAT NUSANTARA: 38 PROVINSI

SISKA TRIYANDA
&
PUTRI RAMADHANI
CERITA RAKYAT NUSANTARA: 38 PROVINSI
Siska Triyanda & Putri Ramadhani

Hak Cipta Dilindungi Undang-


Undang. Dilarang memperbanyak
atau memindahkan sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis
dari penerbit

Diterbitkan oleh:

Didistribusikan oleh:

Penulis: Siska Triyanda & Putri Ramadhani


Editor:
Desain Isi: Siska Triyanda
Desain Cover: Putri Ramadhani
Pemeriksa Aksara:
Cetakan 1:
Cetakan 2:
DAFTAR ISI

1. Nanggroe Aceh Darussalam


2. Sumatera Utara
3. Sumatera Selatan
4. Sumatera Barat
5. Bengkulu
6. Riau
7. Kepulauan Riau
8. Jambi
9. Lampung
10. Bangka Belitung
11. Kalimantan Barat
12. Kalimantan Timur
13. Kalimantan Selatan
14. Kalimantan Tengah
15. Kalimantan Utara
16. Banten
17. DKI Jakarta
18. Jawa Barat
19. Jawa Tengah
20. Daerah Istimewa Yogyakarta
21. Jawa Timur
22. Bali
23. Nusa Tenggara Timur
24. Nusa Tenggara Barat
25. Gorontalo
26. Sulawesi Barat
27. Sulawesi Tengah
28. Sulawesi Utara
29. Sulawesi Tenggara
30. Sulawesi Selatan
31. Maluku Utara
32. Maluku
33. Papua Barat
34. Papua
35. Papua Tengah
36. Papua Pegunungan
37. Papua Selatan
38. Papua Barat Daya
Nanggroe Aceh Darussalam (Putri Niwerigading)
Di negeri Alas yang termasuk wilayah Nangroe
Aceh Darussalam, dahulu hidup seorang raja bijaksana
yang sangat dicintai rakyatnya. Ia memerintah dengan
adil dan bijaksana. Namun sayangnya, kehidupan raja
tidak berjalan mulus karena ia tidak kunjung dikaruniai
seorang putera. Meski begitu, raja tidak putus asa. Ia
masih teta berdoa sambil berpuasa hingga suatu hari,
permaisuri mengandung.
Setelah sembilan bulan kemudian, permaisuri
pun melahirkan seorang putera yang diberi nama Amat
Mude. Hanya saja belum genap umur setahun, sang raja
meninggal dunia. Karena Amat Mude yang bakal
meneruskan tahta sang ayah masih bayi, adik raja yang
akhirnya meneruskan tahta sang raja untuk sementara.
Adik raja tersebut bernama Raja Muda. Hanya
saja setelah diangkat menjadi raja, Raja Muda bertindak
semena – mena bahkan terhadap Amat Mude dan ibunya.
Mereka diasingkan. Hal tersebut dilakukan Raja Muda
lantaran ia berambisi menjadi raja selamanya tanpa
digeser oleh Amat Mude kelak ketika Amat Mude
dewasa Meski mendapat perlakuan seperti itu, ibu Amat
Mude berusaha tegar dan sabar. Ia membesarkan Amat
Mude dengan penuh kasih sayang dan perhatian hingga
Amat Mude pun tumbuh menjadi pria yang cerdas dan
tampan.
Amat Mude suka memancing ikan di sungai.
Suatu hari, Amat Mude dan ibunya pergi ke sebuah desa
di pinggir hutan untuk menjual ikan hasil tangkapannya.
Tak disangka, ia bertemu saudagar kaya. Saudagar
tersebut ternyata masih mengenali ibu Amat Mude.
Ia pun bertanya, “Mengapa Tuan Putri dan Putra
Mahkota berada di tempat ini?”. Akhirnya ibu Amat
Mude yang dulunya merupakan seorang permaisuri raja
ini menceritakan semua kisahnya. Mendengar hal
tersebut, sang saudagar kaya mengajak mereka ke
rumahnya dan saudagar tersebut pun membeli semua
ikan yang dijual oleh Amat Mude dan ibunya.
Sesampainya di rumah saudagar, saudagar
tersebut menyuruh istrinya memasak ikan. Namun ketika
ikan sedang dimasak, ia kaget karena ketika ikan
dipotong di bagian perut dari sana muncul telur ikan
berupa emas dalam jumlah banyak Istri saudagar pun
menjual emas tersebut ke pasar dan mendapatkan uang
dalam jumlah banyak yang kemudian uangnya
digunakan membangun rumah untuk Amat Mude dan
ibunya. Akhirnya Amat Mude dan ibunya pun memiliki
rumah yang layak dan hidup berkecukupan.
Cerita tentang Amat Mude dan ibunya yang
sekarang sudah mapan dan kaya sampai juga di telinga
Raja Muda. Suatu hari, Raja Muda memanggil Amat
Mude ke istana. Ia memerintahkan Amat Mude untuk
memetik kelapa gading dimana kelapa gading tersebut
akan digunakan mengobati penyakit istri Raja Muda.
Hanya saja kelapa gading tersebut harus diambil
di sebuah pulau yang dihuni banyak binatang buas. Jika
tidak berhasil, Amat Mude akan mati. Itulah yang juga
diucapkan oleh Raja Muda kepada Amat Mude. Namun
karena niat hatinya untuk membantu, Amat Mude pun
tak gentar.
Setibanya di pantai, Amat Mude duduk
termenung. Tiba – tiba muncul seekor ikan besar
dihadapannya yang mengaku bernama Si Lenggang
Raye. Ikan tersebut didampingi raja buaya dan seekor
naga besar.
Ternyata ikan tersebut berniat membantu. Berkat
bantuan mereka, Amat Mude pun menemukan pohon
kelapa gading yang akan dipakai mengobati istri Raja
Muda. Ia pun memanjat pohon tersebut. Namun tiba –
tiba terdengar seorang perempuan berkata “Siapa pun
yang berhasil memetik buah kelapa gading itu, dia akan
menjadi suamiku ”. Amat Mude terkaget. Ia pun
bertanya, “Siapakah Engkau?” Aku Puteri Niwerigading
” ungkapnya.
Amat Mude pun cepat – cepat memetik kelapa
gading. Setelah turun dari atas, ia pun bertatap muka
dengan Puteri Niwerigading dan sangat takjub dengan
kecantikannya. Amat Mude pun pulang dan mengajak
sang puteri pulang untuk mempersuntingnya.
Setelah menikah, Amat Mude beserta sang istri
dan ibunya berangkat ke istana untuk memberikan buah
kelapa gading kepada sang paman, Raja Muda. Raja
Muda sangat heran dengan kedatangan Amat Mude
dengan selamat. Akhirnya Raja Muda pun meminta maaf
dan sekaligus berterima kasih karena Amat Mude masih
mau membantunya.
Raja Muda yang sadar dengan kesalahannya pun,
berusaha menebus kesalahan dan dosanya dengan
menobatkan Amat Mude sebagai Raja Negeri Alas,
pengganti dirinya.
Sumatra Utara (Sibottar Mudar)
Seperti yang kita ketahui bahwa Raja Simamora
memiliki 3 anak, yaitu Purba, Manalu dan Debataraja.
Sedangkan Debataraja sendiri juga memiliki 3 orang
anak, yaitu Sampe tua, Babiat Nainggol, dan Marbulang
serta 1 orang putri (boru) yaitu Siboru Namotung
(Sibottar Mudar).
Pada awalnya, mereka tinggal di Samosir, namun
karena kemiskinnya (hapogoson) mereka pergi ke
Bakkara, disana Siboru Namotung bertemu dan disukai
oleh Hamang (sejenis begu) tanpa wujud dan hanya pada
malam hari kelihatan. Lalu Hamang pun melamarnya
dan minta izin kepada ketiga saudaranya itu, ternyata
mereka setuju untuk menikahkan asalkan Hamang
bersedia membuat pesta besar untuk pernikahan itu.
Alhasil, dibuatlah pesta yang sangat besar, namun
memang terasa ada keanehan, karena sebagian orang
tidak terlihat di pesta itu.
Setelah sekian lama, ada seorang Raja Barus
bermarga Pasaribu hendak mencarikan seorang menantu
untuk anaknya, maka sang rajapun menerbangkan
sebuah layang-layang dan bersabda "barang siapa yang
menemukan layang-layang itu bila perempuan akan
kujadikan menantu dan bila lelaki akan kujadikan anak".
Setelah layang-layang diterbangkan maka sang rajapun
menyuruh bawahannya untuk melacak siapa gerangan
yang akan menemukannya. Sekian lama pencarian
kemana arah terbangnya layang-layang tersebut dan
siapa yang menemukannya, ternyata layang-layang itu
secara tidak sengaja ditemukan oleh Siboru Namotung
(br Simamora). Maka sesuai dengan janji dan sabda Raja
Barus itu, iapun berencana untuk menikahkan anaknya
dengan boru simamora tersebut dan berangkatlah raja
tersebut ke Bakkara untuk menjumpai keluarga boru
simamora itu untuk melamarnya dan menjadikannya
menantu.
Setelah Raja Barus (Pasaribu) berjumpa dengan
ketiga saudara Siboru Namotung, iapun menyampaikan
niatnya itu, namun tidak seperti yang diharapkannya
ternyata Siboru Simamora itu sudah menikah
Pada saat pembicaraan itu Si Marbulang tidak
setuju atau merasa keberatan kalau saudarinya itu
dinikahkan lagi karena ia tahu saudarinya (itonya) itu
sudah menikah dengan Hamang, sedangkan Sampe tua
merasa tiada guna bersaudara dengan makhluk yang
tidak kelihatan yang tidak jelas wujud dan rimbanya
sedangkan Babiat Nainggol masih merasa ragu akan
pilihannya. Pada akhirnya Raja Barus memaksakan
untuk melamarnya dan siboru namotungpun dibawa ke
Barus untuk dinikahkan dengan anaknya.
Mendengar kabar itu Hamang marah dan pergi
mengejar Raja Pasaribu itu untuk mengambil kembali
istrinya. Merekapun bertemu pada saat hendak
menyeberangi sungai dan di sungai itu mereka
bertengkar memperebutkan siboru namotung ( boru
simamora) itu. Mereka saling unjuk kemampuan dan
laga ilmu, maka sang Hamangpun mengeluarkan
kemampuannya dan berkata "kalau bisa kau angkat
istriku itu dari air ini silahkan bawa tetapi kalau tidak
bisa silahkan tinggalkan tempat ini!" , Raja Barus
mencoba untuk menariknya namun ternyata siboru
simamora tidak bisa lagi digerakkan sama sekali, tanpa
panjang pikir Raja Barus itu mengeluarkan pedangnya
dan memenggal kepala siboru namotung hingga putus
konon katanya darah yang keluar dari leher siboru
simamora itu berwarna putih itu sebabnya ia digelari
Siboru Namotung atau Sibottar Mudar, dan ia pun
membawa kepala tersebut kembali ke kampungnya di
Barus.
Melihat kejadian itu Hamangpun merasa kecewa
dan sedih setelah melihat istrinya telah meninggal dibuat
Raja Barus tersebut dan membiarkan sisa potongan
tubuhnya terhanyut di sungai itu. Hamang dengan
amarahnya menjumpai ketiga saudara boru simamora itu
dan mengutuknya bahwa ketiga saudara itu akan susah
punya keturunan sesuai dengan tingkatan kesalahan yang
mereka perbuat kepada Hamang.
Setelah Raja Pasaribu sampai di kampungnya, ia
pun menyuruh anak buahnya untuk mencari sisa
potongan tubuh boru simamora itu ke sungai itu. dan
ternyata mereka menemukannya masih terhanyut
disungai dan membawakannya kembali ke raja tersebut.
Potongan tubuh boru simamora itu yang sudah berhari-
hari mati disatukannya kembali dan disemayamkan
dalam sebuah ruangan khusus. Menurut ceritanya tubuh
boru simamora itu dapat bersatu dan kembali hidup.
itulah sebabnya ada sebahagian marga pasaribu (marga
pasaribu yang dari Barus) memanggil Tulang kepada
marga Simamora Debataraja.
Sumatra Selatan (Pulau Kemaro)
Dahulu, di Kerajaan Sriwijaya ada seorang putri
yang cantik dan baik hati bernama Siti Fatimah.
Kecantikan dan kebaikan budinya terdengar ke mana-
mana. Tak seorang pun pemuda berani datang melamar
sang Putri, karena Raja menginginkan putrinya menikah
dengan laki-laki keturunan raja. Suatu saat, datanglah
seorang pemuda bernama Tan Bun Ann. Pemuda
tersebut datang dari kerajaan di negeri Cina untuk
berniaga di Kerajaan Sriwijaya. la lalu menghadap
Paduka Raja.
“Paduka Raja, kedatangan hamba ke sini adalah
untuk berdagang. Untuk itu, hamba mohon agar Paduka
memberikan izin kepada hamba untuk tinggal dan
berdagang di kerajaan ini” ujar Tan Bun Ann.
Raja memberikan izin kepada Tan Bun Ann
dengan syarat pemuda itu harus memberikan sebagian
keuntungannya kepada kerajaan. Tan Bun Ann pun
menyanggupi syarat yang diberikan Raja.
Pemuda dari kerajaan di negeri Cina itu pun
mulai berdagang dan tinggal di Kerajaan Sriwijaya.
Secara teratur, ia datang ke Kerajaan Sriwijaya untuk
menyetorkan sebagian keuntungan dagangnya kepada
kerajaan. Suatu kali, ia bertemu dengan Putri Siti
Fatimah, kemudian Tan Bun Ann jatuh hati.
Ternyata, Siti Fatimah juga mempunyai perasaan
yang sama dengan Tan Bun Ann. Mereka lalu menjalin
hubungan kasih. Kemudian, Tan Bun Ann menghadap
Raja untuk minta restu.
“Paduka, kedatangan hamba menghadap, karena
hamba ingin mengutarakan keinginan untuk meminang
Putri Siti Fatimah menjadi istri hamba” kata Tan Bun
Ann. Raja Sriwijaya berpikir sejenak. la tahu bahwa Tan
Bun Ann adalah putra mahkota dari sebuah kerajaan
besar di negeri Cina, karena itu ia tidak keberatan
putrinya menikah dengan pemuda itu.
“Anak muda, aku tahu kau pemuda yang baik.
Aku tidak keberatan putriku menikah denganmu.
Namun, kau harus menyediakan sembilan guci berisi
emas.” Tan Bun Ann menyanggupi syarat yang diajukan
Raja. la lalu menghubungi orangtuanya di negeri Cina.
Orangtua Tan Bun Ann memberikan restu kepada
mereka. Namun sayang, orangtua Tan Bun Ann tidak
bisa menghadiri pernikahan anaknya dengan Putri Siti
Fatimah. Lalu, mereka mengirimkan utusan kerajaan
untuk mengantarkan sembilan guci berisi emas ke
Kerajaan Sriwijaya. Utusan Kerajaan Cina segera
berangkat menuju Kerajaan Sriwijaya dengan membawa
guci-guci berisi emas di dalam kapal. Untuk melindungi
emas-emas itu dari perompak, di bagian atas guci-guci
itu diletakkan sayur sawi, sehingga guci-guci itu terlihat
berisi penuh dengan sayur sawi. Sesampainya di
Pelabuhan Sriwijaya, Tan Bun Ann menyambut utusan
dari orangtuanya itu untuk mengambil emas-emas yang
rnereka bawa.
“Di mana kalian Ietakkan guci-guci berisi emas
itu?” “Di dalam kamar di dalam kapal, Tuan” Tan Bun
Ann masuk ke dalam kapal, ia menemukan sembilan
guci berisi penuh sayur sawi yang telah membusuk.
Sumatera Barat (Danau Kembar)
Dahulu kala ketika pulau Sumatera masih dikenal
sebagai Andalas, hidup seorang kakek tua yang
dipanggil Inyik Gadang. Ia sangat terkenal di kalangan
penduduk setempat. Perawakannya besar dan tegap.
Inyik Gadang juga terkenal memiliki kapak yang
besarnya hampir sama dengan besar tubuhnya. Inyik
Gadang sudah cukup berumur, namun meski demikian ia
tetap bisa melakukan berbagai aktivitas yang biasanya
dilakukan oleh anak muda termasuk menebang pohon
menggunakan kapaknya hanya dengan sekali tebasan
saja.
Meski terlihat cukup menakutkan, Inyik Gadang
bukan orang jahat. Ia bahkan terkenal sebagai pribadi
yang ramah dan suka membantu. Di sisi lain tepatnya di
bagian ujung kampung, hidup seorang nenek tua yang
tinggal sebatang kara.
Suatu hari ketika Inyik Gadang lewat, nenek
tersebut tiba – tiba saja terhuyung. Beruntungnya, Inyik
Gadang sigap menangkapnya sehingga si nenek tidak
jatuh. Namun ketika ditanya perihal apa yang
membuatnya jatuh, si nenek berkata bahwa dirinya
terjatuh karena langkah kaki Inyik Gadang yang
menggetarkan tubuhnya.
Meski demikian, si nenek tidak menyalahkan
Inyik Gadang. Si nenek juga sadar bahwa bentuk tubuh
yang seperti itu adalah pemberian Tuhan. Si nenek lantas
berterima kasih karena Inyik Gadang sudah
membantunya sehingga ia tidak terjatuh.
Sebelum mengakhiri pertemuan itu, si nenek juga
bertanya kemana Inyik Gadang akan pergi. Inyik Gadang
berkata bahwa ia akan pergi ke hutan untuk menebang
kayu. Namun, sang nenek yang tahu beberapa hari ini
ada suara dengkuran dari dalam hutan mencegah Inyik
Gadang. Nenek khawatir Inyik Gadang yang baik itu
terluka di hutan.
“Urungkan saja niatmu. Aku mendengar suara
dengkuran keras dari dalam hutan. Pohon – pohon juga
banyak yang tumbang. Aku khawatir kamu akan celaka
jika memaksa pergi ke sana”, kata nenek tua itu. Namun
Inyik Gadang meyakinkan bahwa dirinya akan baik –
baik saja. Ia pun pamit pergi. Hanya saja semakin
dirinya masuk ke dalam hutan, apa yang tadi diucapkan
si nenek terlintas semakin jelas di kepalanya. Terlebih ia
juga menyaksikan sendiri pemandangan tak biasa.
Banyak pohon tumbang dan dahan berserakan di
sepanjang jalur hutan yang ia lalui. Masih menggenggam
kapaknya, ia pun memutar badan untuk pergi dari hutan.
Hanya saja, belum sejengkal ia melangkah di depannya
ada seekor naga besar yang menghalangi jalan Inyik
Gadang. Inyik mencoba tenang dan berusaha berbicara
dengan sang naga. “Aku, minta maaf naga yang baik.
Aku akan segera pulang. Mohon izinkan aku untuk
pulang”.
Namun sang naga tersebut terlihat marah dan
berkata, “Kau sudah mengganggu daerah kekuasaanku.”
Naga tersebut juga menyemburkan apinya ke arah Inyik
Gadang. Sang naga juga menegaskan bahwa siapapun
yang masuk ke hutan ini akan ia binasakan.
Meski begitu, Inyik Gadang masih mencoba
bernegosiasi. “Naga, kau adalah makhluk Tuhan yang
sangat baik. Jika kau membiarkan aku pergi, aku berjanji
akan mengabarkan kepada semua penduduk desa untuk
tidak datang ke hutan ini.” Hanya saja naga tersebut
tidak punya niat baik. Ia sudah terlanjur marah dan terus
menerus menyemburkan api. Sebagian hutan pun sudah
terbakar dengan semburan apinya. Inyik Gadang yang
terdesak juga masih mencoba berpikir bagaimana cara
untuk membuat naga tersebut tak lagi menyerangnya.
“Naga, kau lapar? Jika kau lapar, jangan buang
tenagamu. Aku akan memberi tahu kamu bagaimana
cara yang tepat untuk membuat perutmu kenyang dan
bisa bertempur dengan tenaga penuh.” Mendengar
perkataan itu, sang naga mulai menghentikan
serangannya. Sepertinya sang naga tertarik dengan apa
yang diucapkan Inyik Gadang tadi. Melihat sang naga
mulai tenang, Inyik Gadang berkata “Di ujung barat
hutan ini ada lembah berisi banyak hewan ternak. Hewan
ternak di sana juga gemuk – gemuk. Kalau kau pergi ke
sana, kau bisa makan sepuasnya. Setelah kau sudah
kenyang, baru kamu bisa melanjutkan pertarungan ini
kembali jika kau mau”.
Sang naga yang tertarik dengan apa yang
diucapkan Inyik Gadang pun segera pergi ke lembah
yang ditunjukkannya. Hanya saja karena sudah terlalu
sore, sang naga hanya menemukan satu saja sapi di
lembah itu karena semua ternak sudah dibawa pulang
penggembalanya.

Bengkulu (Gajah Merik)


Ampun Baginda, “Pangeran Gajah Meram dan
istrinya hilang di Danau Tes” lapor pengawal pada Raja
Bikao Bermano. “Bagaimana hal itu bisa terjadi? Cepat,
kerahkan seluruh pengawal untuk mencari mereka!”
teriak Raja panik. Para pengawal kembali tanpa hasil.
Lalu Raja mengumpulkan semua menteri, panglima, dan
pengawal. “Bagaimana cara menemukan anak dan
menantuku?” tanya Raja Bikau Bermano risau.

“Ampun Raja, yang hamba tahu, ada ular


berkepala tujuh yang menjaga Danau Tes. Apakah
mungkin Pangeran Gajah Meram dan istrinya diculik
oleh ular itu?” kata seorang panglima. “Benar, katanya
ular itu sungguh kejam dan licik. Tak mudah untuk
mengalahkannya!” kata panglima yang lain. “Lalu kita
harus bagaimana?” tanya Raja Bikau Bermano. Suasana
menjadi hening. Mereka tak tahu harus berbuat apa.
Tiba-tiba, Gajah Merik, putra bungsu Raja Bikau
Bermano, angkat bicara, “Jika Ayah mengizinkan, aku
akan menghadapi ular itu!” katanya mantap.

“Gajah Merik, ular itu sangat besar. Kepalanya


saja tujuh. Kau bisa binasa karenanya, ” kata Paman
Menteri. “Ampun Ayah, maaf Paman Menteri. Bolehkah
aku menyampaikan sesuatu?” jawab Gajah Merik. “Apa
yang hendak kau sampaikan?” tanya Raja. “Begini Ayah,
selama ini aku sering bermimpi didatangi oleh seorang
kakek tua yang sakti. Ia memberiku ilmu untuk
mengalahkan ular berkepaIa tujuh itu. Jadi, aku tahu cara
menghadapinya, ” jawab Gajah Merik.

“Nak, ini bukan mimpi. Kau akan menghadapi


ular besar yang ganas. Kakandamu yang telah dewasa
saja tak mampu menghadapinya. Apalagi kau yang baru
berusia 12 tahun”.

Gajah Merik bersikeras, “Sekali ini, percayalah


padaku Ayah. Jika kita terlambat, Kakanda akan binasa
dimangsa ular itu.” Setelah berunding sejenak, akhirnya
Raja Bikau Bermano mengabulkan keinginan Gajah
Merik. “Tapi ada syaratnya. Kau harus ditemani oleh
prajurit-prajurit terbaik kita” kata Raja.

“Baiklah, Ayah. Tapi sebelum ke Danau Tes, aku


harus Iebih dulu bertapa di Tepat Topes. Kakek itu
mengatakan, aku akan mendapat senjata pusaka. Semoga
Ayah merestui ” kata Gajah Merik sambil mencium
tangan ayahnya.

Gajah Merik pergi ke Tepat Topes sendiri. Di


sana ia bertapa selama tujuh hari. Selama itu pula sang
kakek menemuinya untuk mengasah ilmu Gajah Merik.
Tepat pada hari yang ketujuh, Gajah Merik mendapatkan
senjata pusakanya. Sebuah keris dan sehelai selendang.
“Keris ini dapat membuatmu berjalan di dalam air, dan
selendang ini dapat berubah menjadi pedang yang tajam,
” kata kakek itu.

“Terima kasih, Kek. Doakan aku, ya, ” pamitnya.


Gajah Merik kembali ke istana untuk menjemput para
pengawal yang akan menemaninya ke Danau Tes.
Namun, ia lalu berubah pikiran. “Jika aku membawa
banyak pengawal, pasti akan ketahuan. Lagi pula, ular
itu sangat jahat, bisa-bisa nanti banyak yang terbunuh.
Lebih baik aku menghadapinya seorang diri , ” katanya
dalam hati. Gajah Merik berubah haluan dan langsung
menuju Danau Tes sendiri.

Di Danau Tes, Gajah Merik menusukkan


kerisnya ke dalam air. Keajaiban terjadi, ia dapat masuk
ke dalam danau dengan sangat mudah. Ia seperti
layaknya sedang berjalan di darat. Gajah Merik tiba di
sebuah gua yang sangat menyeramkan. Tiba-tiba air
danau bergerak dengan cepat dengan gelmebang besar
menghantam Gajah Merik. Namun tubuh Gajah Menik
kokoh tak bergeming. “Siapa kau, Anak Muda? Mau apa
kau kemari?” tanya seekor ular besar berwarna hitam.
Ular itu dikawal oleh dua ular berwarna hijau dan
cokelat.

Gajah Merik sangat terkejut, tapi ia tidak takut.


“Namaku Gajah Merik. Aku ke sini untuk
menyelamatkan kakakku Gajah Meram dan istrinyan
jawabnya lantang.
“Ha.. ha.. ha.., Iawanlah kami dulu anak kecil, ”
tawa mereka.

“Siapa takut?” jawab Gajah Merik sambil


mengeluarkan selendangnya. Ciaatttt… secepat kilat,
Gajah Merik meloncat sambil mengibaskan
selendangnya. Selendang itu berubah menjadi pedang!
Dalam sekejap, ketiga ular itu terbunuh. Gajah Merik
dengan leluasa memasuki gua.

“Berhenti!” tiba-tiba terdengar teriakan lagi. Kali


ini, ular berkepala tujuhlah yang muncul. “Anak
manusia… siapa kau? Berani sekali kau membunuh
ketiga pengawalku?” tanya ular berkepala tujuh.
“Namaku Gajah Merik. Aku mau membebaskan
kakakku, Pangeran Gajah Meram dan istrinya yang telah
kau culik, ” jawab Gajah Merik

Ular berkepala tujuh menggerak-gerakkan


kepalanya, seolah ingin menerkam Gajah Merik.
“Hmm… baiklah. Aku akan membebaskan mereka, tapi
ada syaratnga, ” katanya. “Pertama-tama, hidupkan
kembali para pengawalku. Dan yang kedua, tentu saja,
kau harus mengalahkan aku, ” Ianjutnya.

Gajah Merik setuju. Dengan ilmu yang diajarkan


kakek tua lewat mimpinya, Gajah Merik menghidupkan
kembali ular-ular itu. “Hebat juga bocah ingusan ini, ”
pikir ular berkepala tujuh. “Ayo ular licik, Iawan aku!”
kata Gajah Merik sambil mengeluarkan selendangnya.
Mereka pun bertarung dengan seru dan seimbang.
Masing-masing mengeluarkan jurus-jurus saktinya untuk
menjatuhkan Iawan.

Sudah tiga hari mereka bertarung. Mereka


kelelahan dan akhirnya menghentikan pertarungan. Ular
berkepala tujuh berkata pada Gajah Merik, “Anak muda,
aku mengakui kehebatanmu. Belum pernah ada orang
yang mampu melawanku sedemikian hebatnya.” Sambil
terengah-engah, Gajah Merik menjawab “Jika begitu,
bebaskan kakakku. Kita tak perlu melanjutkan
pertarungan ini”.

Ular berkepala tujuh berpikir sejenak. “Ia benar


juga. Sia-sia saja meIanjutkan pertarungan ini.”
Pangeran Gajah Meram dan istrinya akhirnya dibebaskan
oleh ular kepala Tujuh. Sementara itu, di istana, Raja
Bikau Bermano cemas menanti Gajah Merik. Jadi beliau
mengutus para pengawalnya menyusul ke Tepat Topes.
Namun, Pangeran Gajah Merik tidak ditemukan di Tepat
Topes. Para pengawal bingung dan segera hendak
kembali ke kerajaan untuk melaporkan hal tersbeut
kepada Sri Baginda Raja. Dalam perjalanan pulang
menuju Istana para pengawal itu bertemu dengan Gajah
Merik dan Gajah Meram. “Pangeran telah kembali…
kedua pangeran telah kembali!” teriak para pengawal
bahagia. Raja segera keluar untuk menyambut kedua
putranya. Mereka bersuka cita karena dapat berkumpul
kembali. “Ayah bangga padamu. Maafkan Ayah, jika
sebelumnya meragukanmu” kata sang Raja pada Gajah
Merik.

Beberapa tahun kemudian, Raja Bikau Bermano


bermaksud untuk menyerahkan takhtanya pada Gajah
Meram, namun ia menolak. “Gajah Meriklah yang
pantas menjadi raja, Ayah” kata Gajah Meram kepada
sang Raja. Raja Bikau Bermano menanyakan kesediaan
Gajah Merik.
Riau (Bawang Merah Bawang Putih)

Suatu hari, Bawang Putih diminta untuk


mencucikan baju ibu dan saudara tirinya itu. Bawang
Putih pun berangkat ke sebuah sungai. Tak disangka,
sepotong kain milik ibu tirinya hanyut di sungai.
Bawang Putih yang sadar dengan hal tersebut berusaha
untuk menemukan kain ibu tirinya itu. Terlebih Bawang
Putih takut diusir dari rumah. Ia berjalan menyusuri
sepanjang sungai namun tak kunjung menemukan kain
ibu tirinya yang hanyut. Hingga akhirnya, Bawang Putih
sampai di suatu tempat. Di sana terdapat sebuah goa dan
Bawang Putih melihat ada seseorang di dalam goa
tersebut.

Bawang Putih pun menghampiri goa tersebut


dengan maksud ingin menanyakan apakah orang yang
ada di dalamnya melihat kain ibu tirinya yang hilang
atau tidak. Dengan sopan, Bawang Putih masuk dan
menanyakannya kepada nenek tua di dalam goa. Nenek
tersebut pun mengaku tahu dimana kain tersebut berada
namun memberikan syarat yaitu Bawang Putih harus
bekerja dulu di tempat nenek tua tersebut baru jika
pekerjaannya selesai kain yang dimaksud akan diberikan.

Bawang Putih yang terbiasa bekerja keras tanpa


pikir panjang mengiyakan permintaan nenek tua
tersebut. Ketika pekerjaannya sudah selesai, Bawang
Putih pun berpamitan kepada nenek tua dan nenek tua
pun memberikan kain yang Bawang Putih maksud.

Selain itu, nenek tua juga menawarkan hadiah


labu. Awalnya Bawang Putih menolak. Namun karena
dipaksa akhirnya ia memilih membawa sebuah labu yang
berukuran kecil. Ia pun membawa labunya ke rumah. Di
rumah, ibu tirinya sangat marah karena Bawang Putih
pulang terlambat. Diceritakan oleh Bawang Putih
kejadian yang sebenarnya. Namun ibunya tak mau
percaya. Karena geram dan marah menganggap Bawang
Putih terlalu banyak alasan, ibu tirinya tersebut
membanting buah labu yang Bawang Putih bawa.

Betapa terkejutnya ia karena ternyata dari dalam


labu tersebut terlihat banyak emas yang berkilauan. Ibu
tirinya tersebut pun merasa senang. Mereka kemudian
memiliki rencana. Ibu tirinya meminta Bawang Merah
melakukan apa yang dilakukan Bawang Putih dan
mengambil upah labu yang besar.

Bawang Merah pun memulai aksinya. Namun


ketika tiba di goa tempat nenek tua berada bukannya
membantu sang nenek, Bawang Merah malah dengan
arogan langsung meminta labu berukuran besar seperti
yang diberikan oleh nenek tua kepada Bawang Putih
sebelumnya. Nenek tua pun memberikan labu tersebut
dan labunya dibawa pulang oleh Bawang Merah. Tiba di
rumah, ibunya merasa senang karena labu yang dibawa
Bawang Merah sangat besar. Dibuka labu tersebut
dengan sangat antusias. Hanya saja isi didalamnya
membuat mereka sangat terkejut.

Bukan perhiasan yang tersimpan melainkan ular


yang sangat banyak. Mereka pun mulai sadar dengan apa
yang dilakukan selama ini ternyata salah dan mulai
meminta maaf kepada Bawang Putih.
Jambi (Putri Tangguk)

Hari ini Putri Tangguk akan memanen sawahnya


lagi. Sawahnya tidak besar, tapi hasilnya banyak sekali.
Anehnya lagi, setiap habis dipanen, padinya selalu
muncul dan siap untuk dipanen lagi. Tujuh lumbung
milik Putri Tangguk pun hampir penuh menampung
hasil panen. Putri Tangguk hidup bersama suami dan
ketujuh anaknya. Setiap hari ia dan suaminya pergi ke
sawah untuk memanen padi. Hari ini adalah panen
terakhir. Putri Tangguk mengajak semua anaknya.
Setelah ketujuh Iambungnya penuh, ia bisa beristirahat
untuk beberapa bulan ke depan. Putri Tangguk dan
keluarganya memanen padi di sawah mereka. Hasil
panen itu mereka masukkan ke gerobak besar.

“Nah, selesai sudah panen terakhir kita.


Persediaan padi kita cukup untuk beberapa bulan” kata
Putri Tangguk. Mereka mendorong gerobak bersama-
sama. Mereka senang memiliki sawah yang subur dan
menghasilkan banyak padi.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba Putri Tangguk
terjatuh. “Aduuhh…, ” teriaknya. “Hati-hati Bu,
semalam hujan deras sekali, makanya jalanan jadi licin, ”
kata suaminya sambil membantunya berdiri. “Hujan tak
tahu diri! Gara-garanya jalanan ini jadi licin. Bisa-bisa
aku terjatuh lagi nanti. Bukankah perjalanan ke rumah
masih jauh?” omel Putri Tangguk. Putri Tangguk lalu
mengambil padi yang baru dipanen dan diserakkan di
jalanan. “Apa yang Ibu lakukan? Mengapa padi-padi itu
dibuang?” tanya anak sulungnya.

“Ibu bukan membuang padi. Ibu


menyerakkannya supaya jalan ini tidak licin lagi. Padi
ini kuanggap sebagai pengganti pasir.” jawab Putri
Tangguk.

“Istriku… bukankah padi itu untuk kita makan?


Rasanya tidak baik jika kita membuang-buang makanan,
” nasihat suaminya. “Ah… masa bodoh. Bukankah padi
kita sudah banyak? Kau mau aku jatuh lagi dan tulangku
patah?” jawab Putri Tangguk sambil terus menyerakkan
padi-padinya. Suami dan anak-anaknya tak bisa
membantah. Akhirnya padi di gerobak tinggal separuh.
Sejak panen terakhir itu, Putri Tangguk tak pernah lagi
ke sawah. Ia lebih banyak berada di rumah, merawat
anak-anaknya. Suatu malam, ketika Putri Tangguk tidur,
anaknya yang bungsu merengek karena lapar. Putri
Tangguk pergi ke dapur untuk mengambil nasi di panci.

“Aneh, kenapa panci ini kosong? Bukankah tadi


masih ada sedikit nasi di sini?” katanya dalam hati.
Karena si bungsu terus merengek, Putri Tangguk
memutuskan untuk menanak nasi lagi. Putri Tangguk
kembali terkejut. Beras yang disimpannya di kaleng juga
lenyap tak berbekas. Ia ingat betul, sebelumnya di kaleng
itu masih banyak beras. “Ke mana perginya beras itu?
Jangan-jangan ada orang yang mencurinya.” Putri
Tangguk tak bisa berpikir panjang. Ia sangat mengantuk.
Dibujuknya si bungsu untuk tidur. Besok, ia akan
mengambil padi di lumbung clan menumbuknya menjadi
beras.

Pagi pun tiba, ketika ia mendengar teriakan


suaminga. “Istriku.., istriku… cepat kemari!” Putri
Tangguk segera Iari keluar menemui suaminga yang
sedang berdiri di depan pintu lumbung. Lumbung itu
kosong melompong! Putri Tangguk menghampiri
suaminya. “Apa gang terjadi, Bang?” tanganya cemas.
“Aku tak tahu. Lumbung ini sudah kosong saat aku
membukanya, ” jawab suaminya. Putri Tangguk dan
suaminya segera memeriksa lumbung yang lain. Mereka
berdua terkulai lemas, karena mendapati semua lumbung
telah kosong. Tak tersisa sebutir padi pun.

Putri Tangguk menangis “Apa gang terjadi


padaku? Sejak semalam sudah terjadi keanehan. Nasi di
panci hilang. Beras di kaleng hilang. Sekarang padi di
lumbung pun hilang.” Suaminya berusaha untuk
menghibur, “Jangan cemas istriku. Bukankah kita masih
memiliki sawah? Ayo kita tengok, siapa tahu padinya
telah menguning” Dengan perasaan cemas, Putri
Tangguk pun mengikuti suaminga ke sawah.

Tangis Putri Tangguk semakin keras saat melihat


sawahnya. Sawah itu telah hilang dan berubah menjadi
tumbuhan semak belukar. Putri Tangguk duduk
bersimpuh di tanah, “Apa maksud semua ini? Apa
salahku?” ratapnya. Seharian itu Putri Tangguk
menangis. Ia tak mau pulang. Ia mencemaskan anak-
anaknya yang belum makan. Ia bersikeras untuk
menunggui sawahnya dan berharap keajaiban terjadi.
Suaminya mengalah dan pulang ke rumah untuk
menjaga anakanaknya. Karena kelelahan, Putri Tangguk
tertidur di sawah. Dalam mimpi, ia didatangi oleh
segerombolan padi yang bisa berbicara. “Hai Putri
Tangguk, inilah buah kesombonganmu. Masih ingatkah
kau ketika membuang kami begitu saja di jalanan?”
tanya mereka. Putri Tangguk terkejut mendengar
perkataan padi itu. Ia kemudian teringat perbuatannya.
“Kau telah menghina kami karena menjadikan kami
pasir untuk alas jalanmu. Kami ini dipanen untuk
dimakan, bukan untuk diinjak. Dengan membuang kami,
berarti kau tak membutuhkan kami untuk makananmu”
kata padi-padi itu lagi.

Putri Tangguk diam tak menjawab. Ia menyesali


kebodohannya membuang-buang padi di jalan. “Tidak
bisakah kalian memaafkanku?” tanya Putri Tangguk.
“Memaaafkan itu perkara yang mudah. Tapi kami tak
bisa lagi seperti dulu, tumbuh dengan mudah di
sawahmu. Sekarang kau dan keluargamu harus bekerja
keras untuk mendapatkan kami. Bersihkan tanah ini dari
semak-semak, bajaklah, dan tanamlah kami. Setelah tiga
bulan, kau baru akan memanen kami. Demikian
seterusnya, ” jawab padi-padi itu. Putri Tangguk hendak
menjawab ketika kemudian ia tersentak bangun dari
tidurnya.

Lalu ia pulang ke rumah dan menceritakan


mimpinya pada suaminya. Putri Tangguk sekeluarga
bergotong-royong untuk menanam padi lagi. Dengan
sabar mereka menunggu sampai padi itu siap dipanen.
Sekarang, Putri Tangguk tak pernah menyia-siakan
sebutir padi pun. Ia merawat sawah dan menjaga padinya
dengan baik. Ia tak ingin menyesal untuk kedua kalinya.
Meskipun keadaannya sekarang susah, Putri Tangguk
bersyukur telah mendapat pelajaran berharga.
Lampung (Kota Bumi)

Di wilayah Lampung Utara, seorang raja


bernama Tutur Jimat berkuasa dengan adil dan
bijaksana. Tutur Jimat adalah keturunan Ratu Darah
Putih. Karena usianya yang sudah tua, ia bermaksud
menyerahkan kekuasaannya kepada anak tertuanya
bernama Paniakan Dalem.

Setelah menerima mandat untuk menggantikan


ayahnya, Paniakan Dalem memimpin kerajaan dengan
adil dan bijaksana. Rakyatnya hidup tenteram, damai,
dan sejahtera. Kemudian, Paniakan Dalem menikah dan
dikarunai seorang putra yang diberi nama Muhammad.
Semakin lama, kerajaan semakin berkembang.
Keturunan Ratu Darah Putih juga semakin banyak dan
tersebar di mana-mana. Paniakan Dalem mulai
memikirkan cara agar keturunan kerajaan ini dapat selalu
mengenang leluhur mereka.

Suatu hari, Putra Mahkota datang menghadap


ayahnya. “Ayahanda, saya ingin bertanya, siapakah Kuto
Bumi itu?”
Raja Paniakan Dalem menjawab, “Kuto Bumi
adalah nenek moyang kita. Beliau adalah ratu yang
pernah memimpin daerah ini. Kita semua adalah
keturunan beliau. Dari mana kau dengar nama tersebut?”

“Begini, Ayahanda, aku sedang berburu dan


sampailah di sebuah kampung. Orang di sana
memperkenalkan diri mereka dan mereka bilang bahwa
mereka adalah keturunan Kuto Bumi. Bagaimana kalau
kita namakan saja daerah ini dengan Kuto Bumi, Ayah?
Dengan demikian, semua orang yang berasal dari sini
dapat selalu mengenang leluhur mereka” kata
Muhammad. Paniakan Dalem gembira mendengar kata-
kata putranya. Ia setuju untuk mengubah nama daerah
tersebut menjadi Kota Bumi.

Seiring dengan waktu nama Kota Bumi menjadi


Kotabumi dan kini menjadi ibu kota Lampung Utara.
Bangka Belitung (Sungai Jodoh)

Dahulu kala, hiduplah seorang gadis bernama


Mah Bongsu. la sudah yatim piatu dan bekerja sebagai
pembantu di rumah Mah Piah, seorang perempuan tua
yang sangat serakah dan mempunyai seorang anak
bernama Siti Mayang yang bersifat sangat mirip dengan
ibunya. Pada suatu hari, seperti biasa Mah Bongsu pergi
ke sungai untuk mencuci pakaian. Seekor ular yang
melintas di dekatnya membuat Mah Bongsu sangat
ketakutan. Namun, ular tersebut tidak menyerang Mah
Bongsu, ia berenang di sekitar gadis itu sambil
menunjukkan luka-Iuka di kulitnya.

Merasa kasihan melihat luka ular tersebut, Mah


Bongsu memberanikan diri mendekati ular tersebut dan
mengambilnya. Dibawanya ular tersebut ke rumahnya
dan diletakkan di kamarnya.

Setiap kali kulit sang ular terlepas, Mah Bongsu


memungutnya dan membakarnya. Jika asapnya
mengarah ke Singapura, tiba tiba terdapat tumpukan
emas dan berlian. Jika asapnya mengarah ke kota Bandar
Lampung, akan berdatangan berkodi-kodi kain sutra
Lampung.

Dalam waktu singkat Mah Bongsu menjadi gadis


kaya raya. Penduduk sekitar merasa heran dengan
kekayaaan Mah Bongsu. Namun, Mah Bongsu adalah
orang yang dermawan. la selalu membantu penduduk
sekitar dengan tulus.

Akhirnya, kekayaan Mah Bongsu diketahui oleh


Mah Piah dan Siti Mayang. Mereka pun berusaha
mencari tahu darimana asal kekayaan tersebut. Suatu
waktu, mereka melihat seekor ular yang sudah terkelupas
kulitnya di kamar Mah Bongsu yang diyakini sebagai
hewan ajaib yang mendatangkan harta kekayaan.

Ibu dan anak ini pun pergi ke hutan mencari ular.


Mereka mendapati seekor ular berbisa yang dibawanya
pulang, kemudian dilepaskan di kamar Siti Mayang.
Mereka beranggapan bahwa ular tersebut akan
mendatangkan kekayaan berlimpah. Namun, yang
mereka dapati justru malapetaka. Siti Mayang meninggal
dunia, karena disengat oleh ular berbisa tersebut.
Sementara itu, ular yang dirawat oleh Mah
Bongsu telah sembuh. Suatu hari, ketika Mah Bongsu
akan memberinya makan, ular itu berkata kepada Mah
Bongsu, “Malam ini, tolong antarkan aku ke sungai”.

Mah Bongsu pun membawa ular tersebut ke


sungai. Sesampainya mereka di sungai, sang ular
berkata, “Mah Bongsu, sudah waktunya aku melamarmu
sebagai istriku” Mang Bongsu tercengang.

Seketika ular tersebut berubah wujud menjadi


seorang pemuda yang gagah dan tampan. Sementara itu,
kulitnya menjadi sebuah rumah yang megah dan sangat
indah. Mereka kemudian menikah dan hidup berbahagia.

Konon, karena kejadian tersebut, desa itu


dinamakan Desa Tiban oleh penduduk, yang berarti
ketiban rezeki. Sementara itu, sungai tempat sang
Pangeran melamar Mah Bongsu, dinamakan Sungai
Jodoh, karena dipercaya sebagai tempat bertemu jodoh.
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai