2. Sumatera Utara 3. Sumatera Selatan 4. Sumatera Barat 5. Bengkulu 6. Riau 7. Kepulauan Riau 8. Jambi 9. Lampung 10. Bangka Belitung 11. Kalimantan Barat 12. Kalimantan Timur 13. Kalimantan Selatan 14. Kalimantan Tengah 15. Kalimantan Utara 16. Banten 17. DKI Jakarta 18. Jawa Barat 19. Jawa Tengah 20. Daerah Istimewa Yogyakarta 21. Jawa Timur 22. Bali 23. Nusa Tenggara Timur 24. Nusa Tenggara Barat 25. Gorontalo 26. Sulawesi Barat 27. Sulawesi Tengah 28. Sulawesi Utara 29. Sulawesi Tenggara 30. Sulawesi Selatan 31. Maluku Utara 32. Maluku 33. Papua Barat 34. Papua 35. Papua Tengah 36. Papua Pegunungan 37. Papua Selatan 38. Papua Barat Daya Nanggroe Aceh Darussalam (Putri Niwerigading) Di negeri Alas yang termasuk wilayah Nangroe Aceh Darussalam, dahulu hidup seorang raja bijaksana yang sangat dicintai rakyatnya. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana. Namun sayangnya, kehidupan raja tidak berjalan mulus karena ia tidak kunjung dikaruniai seorang putera. Meski begitu, raja tidak putus asa. Ia masih teta berdoa sambil berpuasa hingga suatu hari, permaisuri mengandung. Setelah sembilan bulan kemudian, permaisuri pun melahirkan seorang putera yang diberi nama Amat Mude. Hanya saja belum genap umur setahun, sang raja meninggal dunia. Karena Amat Mude yang bakal meneruskan tahta sang ayah masih bayi, adik raja yang akhirnya meneruskan tahta sang raja untuk sementara. Adik raja tersebut bernama Raja Muda. Hanya saja setelah diangkat menjadi raja, Raja Muda bertindak semena – mena bahkan terhadap Amat Mude dan ibunya. Mereka diasingkan. Hal tersebut dilakukan Raja Muda lantaran ia berambisi menjadi raja selamanya tanpa digeser oleh Amat Mude kelak ketika Amat Mude dewasa Meski mendapat perlakuan seperti itu, ibu Amat Mude berusaha tegar dan sabar. Ia membesarkan Amat Mude dengan penuh kasih sayang dan perhatian hingga Amat Mude pun tumbuh menjadi pria yang cerdas dan tampan. Amat Mude suka memancing ikan di sungai. Suatu hari, Amat Mude dan ibunya pergi ke sebuah desa di pinggir hutan untuk menjual ikan hasil tangkapannya. Tak disangka, ia bertemu saudagar kaya. Saudagar tersebut ternyata masih mengenali ibu Amat Mude. Ia pun bertanya, “Mengapa Tuan Putri dan Putra Mahkota berada di tempat ini?”. Akhirnya ibu Amat Mude yang dulunya merupakan seorang permaisuri raja ini menceritakan semua kisahnya. Mendengar hal tersebut, sang saudagar kaya mengajak mereka ke rumahnya dan saudagar tersebut pun membeli semua ikan yang dijual oleh Amat Mude dan ibunya. Sesampainya di rumah saudagar, saudagar tersebut menyuruh istrinya memasak ikan. Namun ketika ikan sedang dimasak, ia kaget karena ketika ikan dipotong di bagian perut dari sana muncul telur ikan berupa emas dalam jumlah banyak Istri saudagar pun menjual emas tersebut ke pasar dan mendapatkan uang dalam jumlah banyak yang kemudian uangnya digunakan membangun rumah untuk Amat Mude dan ibunya. Akhirnya Amat Mude dan ibunya pun memiliki rumah yang layak dan hidup berkecukupan. Cerita tentang Amat Mude dan ibunya yang sekarang sudah mapan dan kaya sampai juga di telinga Raja Muda. Suatu hari, Raja Muda memanggil Amat Mude ke istana. Ia memerintahkan Amat Mude untuk memetik kelapa gading dimana kelapa gading tersebut akan digunakan mengobati penyakit istri Raja Muda. Hanya saja kelapa gading tersebut harus diambil di sebuah pulau yang dihuni banyak binatang buas. Jika tidak berhasil, Amat Mude akan mati. Itulah yang juga diucapkan oleh Raja Muda kepada Amat Mude. Namun karena niat hatinya untuk membantu, Amat Mude pun tak gentar. Setibanya di pantai, Amat Mude duduk termenung. Tiba – tiba muncul seekor ikan besar dihadapannya yang mengaku bernama Si Lenggang Raye. Ikan tersebut didampingi raja buaya dan seekor naga besar. Ternyata ikan tersebut berniat membantu. Berkat bantuan mereka, Amat Mude pun menemukan pohon kelapa gading yang akan dipakai mengobati istri Raja Muda. Ia pun memanjat pohon tersebut. Namun tiba – tiba terdengar seorang perempuan berkata “Siapa pun yang berhasil memetik buah kelapa gading itu, dia akan menjadi suamiku ”. Amat Mude terkaget. Ia pun bertanya, “Siapakah Engkau?” Aku Puteri Niwerigading ” ungkapnya. Amat Mude pun cepat – cepat memetik kelapa gading. Setelah turun dari atas, ia pun bertatap muka dengan Puteri Niwerigading dan sangat takjub dengan kecantikannya. Amat Mude pun pulang dan mengajak sang puteri pulang untuk mempersuntingnya. Setelah menikah, Amat Mude beserta sang istri dan ibunya berangkat ke istana untuk memberikan buah kelapa gading kepada sang paman, Raja Muda. Raja Muda sangat heran dengan kedatangan Amat Mude dengan selamat. Akhirnya Raja Muda pun meminta maaf dan sekaligus berterima kasih karena Amat Mude masih mau membantunya. Raja Muda yang sadar dengan kesalahannya pun, berusaha menebus kesalahan dan dosanya dengan menobatkan Amat Mude sebagai Raja Negeri Alas, pengganti dirinya. Sumatra Utara (Sibottar Mudar) Seperti yang kita ketahui bahwa Raja Simamora memiliki 3 anak, yaitu Purba, Manalu dan Debataraja. Sedangkan Debataraja sendiri juga memiliki 3 orang anak, yaitu Sampe tua, Babiat Nainggol, dan Marbulang serta 1 orang putri (boru) yaitu Siboru Namotung (Sibottar Mudar). Pada awalnya, mereka tinggal di Samosir, namun karena kemiskinnya (hapogoson) mereka pergi ke Bakkara, disana Siboru Namotung bertemu dan disukai oleh Hamang (sejenis begu) tanpa wujud dan hanya pada malam hari kelihatan. Lalu Hamang pun melamarnya dan minta izin kepada ketiga saudaranya itu, ternyata mereka setuju untuk menikahkan asalkan Hamang bersedia membuat pesta besar untuk pernikahan itu. Alhasil, dibuatlah pesta yang sangat besar, namun memang terasa ada keanehan, karena sebagian orang tidak terlihat di pesta itu. Setelah sekian lama, ada seorang Raja Barus bermarga Pasaribu hendak mencarikan seorang menantu untuk anaknya, maka sang rajapun menerbangkan sebuah layang-layang dan bersabda "barang siapa yang menemukan layang-layang itu bila perempuan akan kujadikan menantu dan bila lelaki akan kujadikan anak". Setelah layang-layang diterbangkan maka sang rajapun menyuruh bawahannya untuk melacak siapa gerangan yang akan menemukannya. Sekian lama pencarian kemana arah terbangnya layang-layang tersebut dan siapa yang menemukannya, ternyata layang-layang itu secara tidak sengaja ditemukan oleh Siboru Namotung (br Simamora). Maka sesuai dengan janji dan sabda Raja Barus itu, iapun berencana untuk menikahkan anaknya dengan boru simamora tersebut dan berangkatlah raja tersebut ke Bakkara untuk menjumpai keluarga boru simamora itu untuk melamarnya dan menjadikannya menantu. Setelah Raja Barus (Pasaribu) berjumpa dengan ketiga saudara Siboru Namotung, iapun menyampaikan niatnya itu, namun tidak seperti yang diharapkannya ternyata Siboru Simamora itu sudah menikah Pada saat pembicaraan itu Si Marbulang tidak setuju atau merasa keberatan kalau saudarinya itu dinikahkan lagi karena ia tahu saudarinya (itonya) itu sudah menikah dengan Hamang, sedangkan Sampe tua merasa tiada guna bersaudara dengan makhluk yang tidak kelihatan yang tidak jelas wujud dan rimbanya sedangkan Babiat Nainggol masih merasa ragu akan pilihannya. Pada akhirnya Raja Barus memaksakan untuk melamarnya dan siboru namotungpun dibawa ke Barus untuk dinikahkan dengan anaknya. Mendengar kabar itu Hamang marah dan pergi mengejar Raja Pasaribu itu untuk mengambil kembali istrinya. Merekapun bertemu pada saat hendak menyeberangi sungai dan di sungai itu mereka bertengkar memperebutkan siboru namotung ( boru simamora) itu. Mereka saling unjuk kemampuan dan laga ilmu, maka sang Hamangpun mengeluarkan kemampuannya dan berkata "kalau bisa kau angkat istriku itu dari air ini silahkan bawa tetapi kalau tidak bisa silahkan tinggalkan tempat ini!" , Raja Barus mencoba untuk menariknya namun ternyata siboru simamora tidak bisa lagi digerakkan sama sekali, tanpa panjang pikir Raja Barus itu mengeluarkan pedangnya dan memenggal kepala siboru namotung hingga putus konon katanya darah yang keluar dari leher siboru simamora itu berwarna putih itu sebabnya ia digelari Siboru Namotung atau Sibottar Mudar, dan ia pun membawa kepala tersebut kembali ke kampungnya di Barus. Melihat kejadian itu Hamangpun merasa kecewa dan sedih setelah melihat istrinya telah meninggal dibuat Raja Barus tersebut dan membiarkan sisa potongan tubuhnya terhanyut di sungai itu. Hamang dengan amarahnya menjumpai ketiga saudara boru simamora itu dan mengutuknya bahwa ketiga saudara itu akan susah punya keturunan sesuai dengan tingkatan kesalahan yang mereka perbuat kepada Hamang. Setelah Raja Pasaribu sampai di kampungnya, ia pun menyuruh anak buahnya untuk mencari sisa potongan tubuh boru simamora itu ke sungai itu. dan ternyata mereka menemukannya masih terhanyut disungai dan membawakannya kembali ke raja tersebut. Potongan tubuh boru simamora itu yang sudah berhari- hari mati disatukannya kembali dan disemayamkan dalam sebuah ruangan khusus. Menurut ceritanya tubuh boru simamora itu dapat bersatu dan kembali hidup. itulah sebabnya ada sebahagian marga pasaribu (marga pasaribu yang dari Barus) memanggil Tulang kepada marga Simamora Debataraja. Sumatra Selatan (Pulau Kemaro) Dahulu, di Kerajaan Sriwijaya ada seorang putri yang cantik dan baik hati bernama Siti Fatimah. Kecantikan dan kebaikan budinya terdengar ke mana- mana. Tak seorang pun pemuda berani datang melamar sang Putri, karena Raja menginginkan putrinya menikah dengan laki-laki keturunan raja. Suatu saat, datanglah seorang pemuda bernama Tan Bun Ann. Pemuda tersebut datang dari kerajaan di negeri Cina untuk berniaga di Kerajaan Sriwijaya. la lalu menghadap Paduka Raja. “Paduka Raja, kedatangan hamba ke sini adalah untuk berdagang. Untuk itu, hamba mohon agar Paduka memberikan izin kepada hamba untuk tinggal dan berdagang di kerajaan ini” ujar Tan Bun Ann. Raja memberikan izin kepada Tan Bun Ann dengan syarat pemuda itu harus memberikan sebagian keuntungannya kepada kerajaan. Tan Bun Ann pun menyanggupi syarat yang diberikan Raja. Pemuda dari kerajaan di negeri Cina itu pun mulai berdagang dan tinggal di Kerajaan Sriwijaya. Secara teratur, ia datang ke Kerajaan Sriwijaya untuk menyetorkan sebagian keuntungan dagangnya kepada kerajaan. Suatu kali, ia bertemu dengan Putri Siti Fatimah, kemudian Tan Bun Ann jatuh hati. Ternyata, Siti Fatimah juga mempunyai perasaan yang sama dengan Tan Bun Ann. Mereka lalu menjalin hubungan kasih. Kemudian, Tan Bun Ann menghadap Raja untuk minta restu. “Paduka, kedatangan hamba menghadap, karena hamba ingin mengutarakan keinginan untuk meminang Putri Siti Fatimah menjadi istri hamba” kata Tan Bun Ann. Raja Sriwijaya berpikir sejenak. la tahu bahwa Tan Bun Ann adalah putra mahkota dari sebuah kerajaan besar di negeri Cina, karena itu ia tidak keberatan putrinya menikah dengan pemuda itu. “Anak muda, aku tahu kau pemuda yang baik. Aku tidak keberatan putriku menikah denganmu. Namun, kau harus menyediakan sembilan guci berisi emas.” Tan Bun Ann menyanggupi syarat yang diajukan Raja. la lalu menghubungi orangtuanya di negeri Cina. Orangtua Tan Bun Ann memberikan restu kepada mereka. Namun sayang, orangtua Tan Bun Ann tidak bisa menghadiri pernikahan anaknya dengan Putri Siti Fatimah. Lalu, mereka mengirimkan utusan kerajaan untuk mengantarkan sembilan guci berisi emas ke Kerajaan Sriwijaya. Utusan Kerajaan Cina segera berangkat menuju Kerajaan Sriwijaya dengan membawa guci-guci berisi emas di dalam kapal. Untuk melindungi emas-emas itu dari perompak, di bagian atas guci-guci itu diletakkan sayur sawi, sehingga guci-guci itu terlihat berisi penuh dengan sayur sawi. Sesampainya di Pelabuhan Sriwijaya, Tan Bun Ann menyambut utusan dari orangtuanya itu untuk mengambil emas-emas yang rnereka bawa. “Di mana kalian Ietakkan guci-guci berisi emas itu?” “Di dalam kamar di dalam kapal, Tuan” Tan Bun Ann masuk ke dalam kapal, ia menemukan sembilan guci berisi penuh sayur sawi yang telah membusuk. Sumatera Barat (Danau Kembar) Dahulu kala ketika pulau Sumatera masih dikenal sebagai Andalas, hidup seorang kakek tua yang dipanggil Inyik Gadang. Ia sangat terkenal di kalangan penduduk setempat. Perawakannya besar dan tegap. Inyik Gadang juga terkenal memiliki kapak yang besarnya hampir sama dengan besar tubuhnya. Inyik Gadang sudah cukup berumur, namun meski demikian ia tetap bisa melakukan berbagai aktivitas yang biasanya dilakukan oleh anak muda termasuk menebang pohon menggunakan kapaknya hanya dengan sekali tebasan saja. Meski terlihat cukup menakutkan, Inyik Gadang bukan orang jahat. Ia bahkan terkenal sebagai pribadi yang ramah dan suka membantu. Di sisi lain tepatnya di bagian ujung kampung, hidup seorang nenek tua yang tinggal sebatang kara. Suatu hari ketika Inyik Gadang lewat, nenek tersebut tiba – tiba saja terhuyung. Beruntungnya, Inyik Gadang sigap menangkapnya sehingga si nenek tidak jatuh. Namun ketika ditanya perihal apa yang membuatnya jatuh, si nenek berkata bahwa dirinya terjatuh karena langkah kaki Inyik Gadang yang menggetarkan tubuhnya. Meski demikian, si nenek tidak menyalahkan Inyik Gadang. Si nenek juga sadar bahwa bentuk tubuh yang seperti itu adalah pemberian Tuhan. Si nenek lantas berterima kasih karena Inyik Gadang sudah membantunya sehingga ia tidak terjatuh. Sebelum mengakhiri pertemuan itu, si nenek juga bertanya kemana Inyik Gadang akan pergi. Inyik Gadang berkata bahwa ia akan pergi ke hutan untuk menebang kayu. Namun, sang nenek yang tahu beberapa hari ini ada suara dengkuran dari dalam hutan mencegah Inyik Gadang. Nenek khawatir Inyik Gadang yang baik itu terluka di hutan. “Urungkan saja niatmu. Aku mendengar suara dengkuran keras dari dalam hutan. Pohon – pohon juga banyak yang tumbang. Aku khawatir kamu akan celaka jika memaksa pergi ke sana”, kata nenek tua itu. Namun Inyik Gadang meyakinkan bahwa dirinya akan baik – baik saja. Ia pun pamit pergi. Hanya saja semakin dirinya masuk ke dalam hutan, apa yang tadi diucapkan si nenek terlintas semakin jelas di kepalanya. Terlebih ia juga menyaksikan sendiri pemandangan tak biasa. Banyak pohon tumbang dan dahan berserakan di sepanjang jalur hutan yang ia lalui. Masih menggenggam kapaknya, ia pun memutar badan untuk pergi dari hutan. Hanya saja, belum sejengkal ia melangkah di depannya ada seekor naga besar yang menghalangi jalan Inyik Gadang. Inyik mencoba tenang dan berusaha berbicara dengan sang naga. “Aku, minta maaf naga yang baik. Aku akan segera pulang. Mohon izinkan aku untuk pulang”. Namun sang naga tersebut terlihat marah dan berkata, “Kau sudah mengganggu daerah kekuasaanku.” Naga tersebut juga menyemburkan apinya ke arah Inyik Gadang. Sang naga juga menegaskan bahwa siapapun yang masuk ke hutan ini akan ia binasakan. Meski begitu, Inyik Gadang masih mencoba bernegosiasi. “Naga, kau adalah makhluk Tuhan yang sangat baik. Jika kau membiarkan aku pergi, aku berjanji akan mengabarkan kepada semua penduduk desa untuk tidak datang ke hutan ini.” Hanya saja naga tersebut tidak punya niat baik. Ia sudah terlanjur marah dan terus menerus menyemburkan api. Sebagian hutan pun sudah terbakar dengan semburan apinya. Inyik Gadang yang terdesak juga masih mencoba berpikir bagaimana cara untuk membuat naga tersebut tak lagi menyerangnya. “Naga, kau lapar? Jika kau lapar, jangan buang tenagamu. Aku akan memberi tahu kamu bagaimana cara yang tepat untuk membuat perutmu kenyang dan bisa bertempur dengan tenaga penuh.” Mendengar perkataan itu, sang naga mulai menghentikan serangannya. Sepertinya sang naga tertarik dengan apa yang diucapkan Inyik Gadang tadi. Melihat sang naga mulai tenang, Inyik Gadang berkata “Di ujung barat hutan ini ada lembah berisi banyak hewan ternak. Hewan ternak di sana juga gemuk – gemuk. Kalau kau pergi ke sana, kau bisa makan sepuasnya. Setelah kau sudah kenyang, baru kamu bisa melanjutkan pertarungan ini kembali jika kau mau”. Sang naga yang tertarik dengan apa yang diucapkan Inyik Gadang pun segera pergi ke lembah yang ditunjukkannya. Hanya saja karena sudah terlalu sore, sang naga hanya menemukan satu saja sapi di lembah itu karena semua ternak sudah dibawa pulang penggembalanya.
Bengkulu (Gajah Merik)
Ampun Baginda, “Pangeran Gajah Meram dan istrinya hilang di Danau Tes” lapor pengawal pada Raja Bikao Bermano. “Bagaimana hal itu bisa terjadi? Cepat, kerahkan seluruh pengawal untuk mencari mereka!” teriak Raja panik. Para pengawal kembali tanpa hasil. Lalu Raja mengumpulkan semua menteri, panglima, dan pengawal. “Bagaimana cara menemukan anak dan menantuku?” tanya Raja Bikau Bermano risau.
“Ampun Raja, yang hamba tahu, ada ular
berkepala tujuh yang menjaga Danau Tes. Apakah mungkin Pangeran Gajah Meram dan istrinya diculik oleh ular itu?” kata seorang panglima. “Benar, katanya ular itu sungguh kejam dan licik. Tak mudah untuk mengalahkannya!” kata panglima yang lain. “Lalu kita harus bagaimana?” tanya Raja Bikau Bermano. Suasana menjadi hening. Mereka tak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba, Gajah Merik, putra bungsu Raja Bikau Bermano, angkat bicara, “Jika Ayah mengizinkan, aku akan menghadapi ular itu!” katanya mantap.
“Gajah Merik, ular itu sangat besar. Kepalanya
saja tujuh. Kau bisa binasa karenanya, ” kata Paman Menteri. “Ampun Ayah, maaf Paman Menteri. Bolehkah aku menyampaikan sesuatu?” jawab Gajah Merik. “Apa yang hendak kau sampaikan?” tanya Raja. “Begini Ayah, selama ini aku sering bermimpi didatangi oleh seorang kakek tua yang sakti. Ia memberiku ilmu untuk mengalahkan ular berkepaIa tujuh itu. Jadi, aku tahu cara menghadapinya, ” jawab Gajah Merik.
“Nak, ini bukan mimpi. Kau akan menghadapi
ular besar yang ganas. Kakandamu yang telah dewasa saja tak mampu menghadapinya. Apalagi kau yang baru berusia 12 tahun”.
Gajah Merik bersikeras, “Sekali ini, percayalah
padaku Ayah. Jika kita terlambat, Kakanda akan binasa dimangsa ular itu.” Setelah berunding sejenak, akhirnya Raja Bikau Bermano mengabulkan keinginan Gajah Merik. “Tapi ada syaratnya. Kau harus ditemani oleh prajurit-prajurit terbaik kita” kata Raja.
“Baiklah, Ayah. Tapi sebelum ke Danau Tes, aku
harus Iebih dulu bertapa di Tepat Topes. Kakek itu mengatakan, aku akan mendapat senjata pusaka. Semoga Ayah merestui ” kata Gajah Merik sambil mencium tangan ayahnya.
Gajah Merik pergi ke Tepat Topes sendiri. Di
sana ia bertapa selama tujuh hari. Selama itu pula sang kakek menemuinya untuk mengasah ilmu Gajah Merik. Tepat pada hari yang ketujuh, Gajah Merik mendapatkan senjata pusakanya. Sebuah keris dan sehelai selendang. “Keris ini dapat membuatmu berjalan di dalam air, dan selendang ini dapat berubah menjadi pedang yang tajam, ” kata kakek itu.
“Terima kasih, Kek. Doakan aku, ya, ” pamitnya.
Gajah Merik kembali ke istana untuk menjemput para pengawal yang akan menemaninya ke Danau Tes. Namun, ia lalu berubah pikiran. “Jika aku membawa banyak pengawal, pasti akan ketahuan. Lagi pula, ular itu sangat jahat, bisa-bisa nanti banyak yang terbunuh. Lebih baik aku menghadapinya seorang diri , ” katanya dalam hati. Gajah Merik berubah haluan dan langsung menuju Danau Tes sendiri.
Di Danau Tes, Gajah Merik menusukkan
kerisnya ke dalam air. Keajaiban terjadi, ia dapat masuk ke dalam danau dengan sangat mudah. Ia seperti layaknya sedang berjalan di darat. Gajah Merik tiba di sebuah gua yang sangat menyeramkan. Tiba-tiba air danau bergerak dengan cepat dengan gelmebang besar menghantam Gajah Merik. Namun tubuh Gajah Menik kokoh tak bergeming. “Siapa kau, Anak Muda? Mau apa kau kemari?” tanya seekor ular besar berwarna hitam. Ular itu dikawal oleh dua ular berwarna hijau dan cokelat.
Gajah Merik sangat terkejut, tapi ia tidak takut.
“Namaku Gajah Merik. Aku ke sini untuk menyelamatkan kakakku Gajah Meram dan istrinyan jawabnya lantang. “Ha.. ha.. ha.., Iawanlah kami dulu anak kecil, ” tawa mereka.
“Siapa takut?” jawab Gajah Merik sambil
mengeluarkan selendangnya. Ciaatttt… secepat kilat, Gajah Merik meloncat sambil mengibaskan selendangnya. Selendang itu berubah menjadi pedang! Dalam sekejap, ketiga ular itu terbunuh. Gajah Merik dengan leluasa memasuki gua.
“Berhenti!” tiba-tiba terdengar teriakan lagi. Kali
ini, ular berkepala tujuhlah yang muncul. “Anak manusia… siapa kau? Berani sekali kau membunuh ketiga pengawalku?” tanya ular berkepala tujuh. “Namaku Gajah Merik. Aku mau membebaskan kakakku, Pangeran Gajah Meram dan istrinya yang telah kau culik, ” jawab Gajah Merik
Ular berkepala tujuh menggerak-gerakkan
kepalanya, seolah ingin menerkam Gajah Merik. “Hmm… baiklah. Aku akan membebaskan mereka, tapi ada syaratnga, ” katanya. “Pertama-tama, hidupkan kembali para pengawalku. Dan yang kedua, tentu saja, kau harus mengalahkan aku, ” Ianjutnya.
Gajah Merik setuju. Dengan ilmu yang diajarkan
kakek tua lewat mimpinya, Gajah Merik menghidupkan kembali ular-ular itu. “Hebat juga bocah ingusan ini, ” pikir ular berkepala tujuh. “Ayo ular licik, Iawan aku!” kata Gajah Merik sambil mengeluarkan selendangnya. Mereka pun bertarung dengan seru dan seimbang. Masing-masing mengeluarkan jurus-jurus saktinya untuk menjatuhkan Iawan.
Sudah tiga hari mereka bertarung. Mereka
kelelahan dan akhirnya menghentikan pertarungan. Ular berkepala tujuh berkata pada Gajah Merik, “Anak muda, aku mengakui kehebatanmu. Belum pernah ada orang yang mampu melawanku sedemikian hebatnya.” Sambil terengah-engah, Gajah Merik menjawab “Jika begitu, bebaskan kakakku. Kita tak perlu melanjutkan pertarungan ini”.
Ular berkepala tujuh berpikir sejenak. “Ia benar
juga. Sia-sia saja meIanjutkan pertarungan ini.” Pangeran Gajah Meram dan istrinya akhirnya dibebaskan oleh ular kepala Tujuh. Sementara itu, di istana, Raja Bikau Bermano cemas menanti Gajah Merik. Jadi beliau mengutus para pengawalnya menyusul ke Tepat Topes. Namun, Pangeran Gajah Merik tidak ditemukan di Tepat Topes. Para pengawal bingung dan segera hendak kembali ke kerajaan untuk melaporkan hal tersbeut kepada Sri Baginda Raja. Dalam perjalanan pulang menuju Istana para pengawal itu bertemu dengan Gajah Merik dan Gajah Meram. “Pangeran telah kembali… kedua pangeran telah kembali!” teriak para pengawal bahagia. Raja segera keluar untuk menyambut kedua putranya. Mereka bersuka cita karena dapat berkumpul kembali. “Ayah bangga padamu. Maafkan Ayah, jika sebelumnya meragukanmu” kata sang Raja pada Gajah Merik.
Beberapa tahun kemudian, Raja Bikau Bermano
bermaksud untuk menyerahkan takhtanya pada Gajah Meram, namun ia menolak. “Gajah Meriklah yang pantas menjadi raja, Ayah” kata Gajah Meram kepada sang Raja. Raja Bikau Bermano menanyakan kesediaan Gajah Merik. Riau (Bawang Merah Bawang Putih)
Suatu hari, Bawang Putih diminta untuk
mencucikan baju ibu dan saudara tirinya itu. Bawang Putih pun berangkat ke sebuah sungai. Tak disangka, sepotong kain milik ibu tirinya hanyut di sungai. Bawang Putih yang sadar dengan hal tersebut berusaha untuk menemukan kain ibu tirinya itu. Terlebih Bawang Putih takut diusir dari rumah. Ia berjalan menyusuri sepanjang sungai namun tak kunjung menemukan kain ibu tirinya yang hanyut. Hingga akhirnya, Bawang Putih sampai di suatu tempat. Di sana terdapat sebuah goa dan Bawang Putih melihat ada seseorang di dalam goa tersebut.
Bawang Putih pun menghampiri goa tersebut
dengan maksud ingin menanyakan apakah orang yang ada di dalamnya melihat kain ibu tirinya yang hilang atau tidak. Dengan sopan, Bawang Putih masuk dan menanyakannya kepada nenek tua di dalam goa. Nenek tersebut pun mengaku tahu dimana kain tersebut berada namun memberikan syarat yaitu Bawang Putih harus bekerja dulu di tempat nenek tua tersebut baru jika pekerjaannya selesai kain yang dimaksud akan diberikan.
Bawang Putih yang terbiasa bekerja keras tanpa
pikir panjang mengiyakan permintaan nenek tua tersebut. Ketika pekerjaannya sudah selesai, Bawang Putih pun berpamitan kepada nenek tua dan nenek tua pun memberikan kain yang Bawang Putih maksud.
Selain itu, nenek tua juga menawarkan hadiah
labu. Awalnya Bawang Putih menolak. Namun karena dipaksa akhirnya ia memilih membawa sebuah labu yang berukuran kecil. Ia pun membawa labunya ke rumah. Di rumah, ibu tirinya sangat marah karena Bawang Putih pulang terlambat. Diceritakan oleh Bawang Putih kejadian yang sebenarnya. Namun ibunya tak mau percaya. Karena geram dan marah menganggap Bawang Putih terlalu banyak alasan, ibu tirinya tersebut membanting buah labu yang Bawang Putih bawa.
Betapa terkejutnya ia karena ternyata dari dalam
labu tersebut terlihat banyak emas yang berkilauan. Ibu tirinya tersebut pun merasa senang. Mereka kemudian memiliki rencana. Ibu tirinya meminta Bawang Merah melakukan apa yang dilakukan Bawang Putih dan mengambil upah labu yang besar.
Bawang Merah pun memulai aksinya. Namun
ketika tiba di goa tempat nenek tua berada bukannya membantu sang nenek, Bawang Merah malah dengan arogan langsung meminta labu berukuran besar seperti yang diberikan oleh nenek tua kepada Bawang Putih sebelumnya. Nenek tua pun memberikan labu tersebut dan labunya dibawa pulang oleh Bawang Merah. Tiba di rumah, ibunya merasa senang karena labu yang dibawa Bawang Merah sangat besar. Dibuka labu tersebut dengan sangat antusias. Hanya saja isi didalamnya membuat mereka sangat terkejut.
Bukan perhiasan yang tersimpan melainkan ular
yang sangat banyak. Mereka pun mulai sadar dengan apa yang dilakukan selama ini ternyata salah dan mulai meminta maaf kepada Bawang Putih. Jambi (Putri Tangguk)
Hari ini Putri Tangguk akan memanen sawahnya
lagi. Sawahnya tidak besar, tapi hasilnya banyak sekali. Anehnya lagi, setiap habis dipanen, padinya selalu muncul dan siap untuk dipanen lagi. Tujuh lumbung milik Putri Tangguk pun hampir penuh menampung hasil panen. Putri Tangguk hidup bersama suami dan ketujuh anaknya. Setiap hari ia dan suaminya pergi ke sawah untuk memanen padi. Hari ini adalah panen terakhir. Putri Tangguk mengajak semua anaknya. Setelah ketujuh Iambungnya penuh, ia bisa beristirahat untuk beberapa bulan ke depan. Putri Tangguk dan keluarganya memanen padi di sawah mereka. Hasil panen itu mereka masukkan ke gerobak besar.
“Nah, selesai sudah panen terakhir kita.
Persediaan padi kita cukup untuk beberapa bulan” kata Putri Tangguk. Mereka mendorong gerobak bersama- sama. Mereka senang memiliki sawah yang subur dan menghasilkan banyak padi. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Putri Tangguk terjatuh. “Aduuhh…, ” teriaknya. “Hati-hati Bu, semalam hujan deras sekali, makanya jalanan jadi licin, ” kata suaminya sambil membantunya berdiri. “Hujan tak tahu diri! Gara-garanya jalanan ini jadi licin. Bisa-bisa aku terjatuh lagi nanti. Bukankah perjalanan ke rumah masih jauh?” omel Putri Tangguk. Putri Tangguk lalu mengambil padi yang baru dipanen dan diserakkan di jalanan. “Apa yang Ibu lakukan? Mengapa padi-padi itu dibuang?” tanya anak sulungnya.
“Ibu bukan membuang padi. Ibu
menyerakkannya supaya jalan ini tidak licin lagi. Padi ini kuanggap sebagai pengganti pasir.” jawab Putri Tangguk.
“Istriku… bukankah padi itu untuk kita makan?
Rasanya tidak baik jika kita membuang-buang makanan, ” nasihat suaminya. “Ah… masa bodoh. Bukankah padi kita sudah banyak? Kau mau aku jatuh lagi dan tulangku patah?” jawab Putri Tangguk sambil terus menyerakkan padi-padinya. Suami dan anak-anaknya tak bisa membantah. Akhirnya padi di gerobak tinggal separuh. Sejak panen terakhir itu, Putri Tangguk tak pernah lagi ke sawah. Ia lebih banyak berada di rumah, merawat anak-anaknya. Suatu malam, ketika Putri Tangguk tidur, anaknya yang bungsu merengek karena lapar. Putri Tangguk pergi ke dapur untuk mengambil nasi di panci.
“Aneh, kenapa panci ini kosong? Bukankah tadi
masih ada sedikit nasi di sini?” katanya dalam hati. Karena si bungsu terus merengek, Putri Tangguk memutuskan untuk menanak nasi lagi. Putri Tangguk kembali terkejut. Beras yang disimpannya di kaleng juga lenyap tak berbekas. Ia ingat betul, sebelumnya di kaleng itu masih banyak beras. “Ke mana perginya beras itu? Jangan-jangan ada orang yang mencurinya.” Putri Tangguk tak bisa berpikir panjang. Ia sangat mengantuk. Dibujuknya si bungsu untuk tidur. Besok, ia akan mengambil padi di lumbung clan menumbuknya menjadi beras.
Pagi pun tiba, ketika ia mendengar teriakan
suaminga. “Istriku.., istriku… cepat kemari!” Putri Tangguk segera Iari keluar menemui suaminga yang sedang berdiri di depan pintu lumbung. Lumbung itu kosong melompong! Putri Tangguk menghampiri suaminya. “Apa gang terjadi, Bang?” tanganya cemas. “Aku tak tahu. Lumbung ini sudah kosong saat aku membukanya, ” jawab suaminya. Putri Tangguk dan suaminya segera memeriksa lumbung yang lain. Mereka berdua terkulai lemas, karena mendapati semua lumbung telah kosong. Tak tersisa sebutir padi pun.
Putri Tangguk menangis “Apa gang terjadi
padaku? Sejak semalam sudah terjadi keanehan. Nasi di panci hilang. Beras di kaleng hilang. Sekarang padi di lumbung pun hilang.” Suaminya berusaha untuk menghibur, “Jangan cemas istriku. Bukankah kita masih memiliki sawah? Ayo kita tengok, siapa tahu padinya telah menguning” Dengan perasaan cemas, Putri Tangguk pun mengikuti suaminga ke sawah.
Tangis Putri Tangguk semakin keras saat melihat
sawahnya. Sawah itu telah hilang dan berubah menjadi tumbuhan semak belukar. Putri Tangguk duduk bersimpuh di tanah, “Apa maksud semua ini? Apa salahku?” ratapnya. Seharian itu Putri Tangguk menangis. Ia tak mau pulang. Ia mencemaskan anak- anaknya yang belum makan. Ia bersikeras untuk menunggui sawahnya dan berharap keajaiban terjadi. Suaminya mengalah dan pulang ke rumah untuk menjaga anakanaknya. Karena kelelahan, Putri Tangguk tertidur di sawah. Dalam mimpi, ia didatangi oleh segerombolan padi yang bisa berbicara. “Hai Putri Tangguk, inilah buah kesombonganmu. Masih ingatkah kau ketika membuang kami begitu saja di jalanan?” tanya mereka. Putri Tangguk terkejut mendengar perkataan padi itu. Ia kemudian teringat perbuatannya. “Kau telah menghina kami karena menjadikan kami pasir untuk alas jalanmu. Kami ini dipanen untuk dimakan, bukan untuk diinjak. Dengan membuang kami, berarti kau tak membutuhkan kami untuk makananmu” kata padi-padi itu lagi.
Putri Tangguk diam tak menjawab. Ia menyesali
kebodohannya membuang-buang padi di jalan. “Tidak bisakah kalian memaafkanku?” tanya Putri Tangguk. “Memaaafkan itu perkara yang mudah. Tapi kami tak bisa lagi seperti dulu, tumbuh dengan mudah di sawahmu. Sekarang kau dan keluargamu harus bekerja keras untuk mendapatkan kami. Bersihkan tanah ini dari semak-semak, bajaklah, dan tanamlah kami. Setelah tiga bulan, kau baru akan memanen kami. Demikian seterusnya, ” jawab padi-padi itu. Putri Tangguk hendak menjawab ketika kemudian ia tersentak bangun dari tidurnya.
Lalu ia pulang ke rumah dan menceritakan
mimpinya pada suaminya. Putri Tangguk sekeluarga bergotong-royong untuk menanam padi lagi. Dengan sabar mereka menunggu sampai padi itu siap dipanen. Sekarang, Putri Tangguk tak pernah menyia-siakan sebutir padi pun. Ia merawat sawah dan menjaga padinya dengan baik. Ia tak ingin menyesal untuk kedua kalinya. Meskipun keadaannya sekarang susah, Putri Tangguk bersyukur telah mendapat pelajaran berharga. Lampung (Kota Bumi)
Di wilayah Lampung Utara, seorang raja
bernama Tutur Jimat berkuasa dengan adil dan bijaksana. Tutur Jimat adalah keturunan Ratu Darah Putih. Karena usianya yang sudah tua, ia bermaksud menyerahkan kekuasaannya kepada anak tertuanya bernama Paniakan Dalem.
Setelah menerima mandat untuk menggantikan
ayahnya, Paniakan Dalem memimpin kerajaan dengan adil dan bijaksana. Rakyatnya hidup tenteram, damai, dan sejahtera. Kemudian, Paniakan Dalem menikah dan dikarunai seorang putra yang diberi nama Muhammad. Semakin lama, kerajaan semakin berkembang. Keturunan Ratu Darah Putih juga semakin banyak dan tersebar di mana-mana. Paniakan Dalem mulai memikirkan cara agar keturunan kerajaan ini dapat selalu mengenang leluhur mereka.
Suatu hari, Putra Mahkota datang menghadap
ayahnya. “Ayahanda, saya ingin bertanya, siapakah Kuto Bumi itu?” Raja Paniakan Dalem menjawab, “Kuto Bumi adalah nenek moyang kita. Beliau adalah ratu yang pernah memimpin daerah ini. Kita semua adalah keturunan beliau. Dari mana kau dengar nama tersebut?”
“Begini, Ayahanda, aku sedang berburu dan
sampailah di sebuah kampung. Orang di sana memperkenalkan diri mereka dan mereka bilang bahwa mereka adalah keturunan Kuto Bumi. Bagaimana kalau kita namakan saja daerah ini dengan Kuto Bumi, Ayah? Dengan demikian, semua orang yang berasal dari sini dapat selalu mengenang leluhur mereka” kata Muhammad. Paniakan Dalem gembira mendengar kata- kata putranya. Ia setuju untuk mengubah nama daerah tersebut menjadi Kota Bumi.
Seiring dengan waktu nama Kota Bumi menjadi
Kotabumi dan kini menjadi ibu kota Lampung Utara. Bangka Belitung (Sungai Jodoh)
Dahulu kala, hiduplah seorang gadis bernama
Mah Bongsu. la sudah yatim piatu dan bekerja sebagai pembantu di rumah Mah Piah, seorang perempuan tua yang sangat serakah dan mempunyai seorang anak bernama Siti Mayang yang bersifat sangat mirip dengan ibunya. Pada suatu hari, seperti biasa Mah Bongsu pergi ke sungai untuk mencuci pakaian. Seekor ular yang melintas di dekatnya membuat Mah Bongsu sangat ketakutan. Namun, ular tersebut tidak menyerang Mah Bongsu, ia berenang di sekitar gadis itu sambil menunjukkan luka-Iuka di kulitnya.
Merasa kasihan melihat luka ular tersebut, Mah
Bongsu memberanikan diri mendekati ular tersebut dan mengambilnya. Dibawanya ular tersebut ke rumahnya dan diletakkan di kamarnya.
Setiap kali kulit sang ular terlepas, Mah Bongsu
memungutnya dan membakarnya. Jika asapnya mengarah ke Singapura, tiba tiba terdapat tumpukan emas dan berlian. Jika asapnya mengarah ke kota Bandar Lampung, akan berdatangan berkodi-kodi kain sutra Lampung.
Dalam waktu singkat Mah Bongsu menjadi gadis
kaya raya. Penduduk sekitar merasa heran dengan kekayaaan Mah Bongsu. Namun, Mah Bongsu adalah orang yang dermawan. la selalu membantu penduduk sekitar dengan tulus.
Akhirnya, kekayaan Mah Bongsu diketahui oleh
Mah Piah dan Siti Mayang. Mereka pun berusaha mencari tahu darimana asal kekayaan tersebut. Suatu waktu, mereka melihat seekor ular yang sudah terkelupas kulitnya di kamar Mah Bongsu yang diyakini sebagai hewan ajaib yang mendatangkan harta kekayaan.
Ibu dan anak ini pun pergi ke hutan mencari ular.
Mereka mendapati seekor ular berbisa yang dibawanya pulang, kemudian dilepaskan di kamar Siti Mayang. Mereka beranggapan bahwa ular tersebut akan mendatangkan kekayaan berlimpah. Namun, yang mereka dapati justru malapetaka. Siti Mayang meninggal dunia, karena disengat oleh ular berbisa tersebut. Sementara itu, ular yang dirawat oleh Mah Bongsu telah sembuh. Suatu hari, ketika Mah Bongsu akan memberinya makan, ular itu berkata kepada Mah Bongsu, “Malam ini, tolong antarkan aku ke sungai”.
Mah Bongsu pun membawa ular tersebut ke
sungai. Sesampainya mereka di sungai, sang ular berkata, “Mah Bongsu, sudah waktunya aku melamarmu sebagai istriku” Mang Bongsu tercengang.
Seketika ular tersebut berubah wujud menjadi
seorang pemuda yang gagah dan tampan. Sementara itu, kulitnya menjadi sebuah rumah yang megah dan sangat indah. Mereka kemudian menikah dan hidup berbahagia.
Konon, karena kejadian tersebut, desa itu
dinamakan Desa Tiban oleh penduduk, yang berarti ketiban rezeki. Sementara itu, sungai tempat sang Pangeran melamar Mah Bongsu, dinamakan Sungai Jodoh, karena dipercaya sebagai tempat bertemu jodoh. Daftar Pustaka