Anda di halaman 1dari 31

Lagenda Batang Tuaka di Indragiri Provinsi riau Riau

Batang Tuaka merupakan salah satu cerita rakyat yang cukup terkenal di daerah Indragiri.
Batang Tuaka merupakan nama sebuah sungai (batang) yang konon menurut cerita rakyat
setempat berasal dari tangisan seorang anak durhaka yang memohon ampun kepada
ibunya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini ringkasan dari cerita rakyat asal Indragiri tersebut.
Pada masa dahulu, di tanah Indragiri hiduplah seorang wanita bersama dengan anaknya
seorang laki-laki bernama Tuaka. Mereka berdua hidup di sebuah gubuk tua yang berada di
daerah muara sungai. Ayah Tuaka telah lama meninggal, dan kedua anak dan ibu tersebut
saling menyayangi. Tuaka selalu membantu ibunya untuk menghidupi keluarga. Mereka
kerap pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan kemudian dijual di kota.
Pada suatu ketika, saat pulang dari hutan untuk mencari kayu bakar, Tuaka dan ibunya
melihat dua ekor ular yang besar sedang berkelahi. Mereka pun cepat berlindung untuk
bersembunyi. Setelah diamati, rupanya perkelahian antara dua ekor ular tersebut sedang
memperebutkan sebutir permata. Akhirnya, salah seekor dari ular tersebut mati terbunuh.
Sementara seorang yang masih hidup tubuhnya penuh dengan luka-luka. Tuaka dan ibunya
kemudian membawa ular yang masih hidup tersebut dan merawat lukanya untuk
disembuhkan.
Beberapa hari kemudian, ular tersebut pun sembuh dan menghilang begitu saja dari rumah
Tuaka. Ia meninggalkan sebutir permata di dalam keranjang. Tuaka dan ibunya terheran-
heran menyaksikan keindahan dari permata yang ditinggalkan tersebut.
Mengapa ular itu meninggalkan permatanya ya, Mak? tanya Tuaka kepada ibunya.
Mungkin ia ingin mengucapkan terimakasih kepada kita. Sebaiknya uang itu kita jual saja
dan hasilnya kita gunakan untuk mengembangkan perdagangan. Sahut Ibu Tuaka penuh rasa
syukur. Akhirnya Tuaka pun menjual permata tersebut. Ia menjual permata itu kepada
seorang saudagar dengah harga yang sangat tinggi. Sampai-sampai uang saudagar tersebut
tidak cukup untuk membayarnya secara lunas. Akhirnya, Tuaka pun diajak ke Temasik untuk
menjemput semua uang dari hasil penjualan permata tersebut. Setelah berpamitan dengan
ibunya, Tuaka pun ikut saudagar tersebut ke daerah Temasik (Singapura).
Setibanya di Temasik, saudagar tersebut pun membayarkan uang penjualan permata tersebut
kepada Tuaka. Uang yang diperoleh sangat banyak dan berlimpah, sampai-sampai Tuaka
lupa untuk kembali pulang ke kampung menemui ibunya. Ia pun berdagang di Temasik
sampai kemudian ia berhasil mengembangkan usahanya dan menjadi seorang pengusaha kaya
raya. Rumahnya sangat megah, ia memiliki banyak kapal dan banyak pula istrinya. Ia sudah
melupakan ibunya yang miskin dan tinggal di kampung halaman.
Pada suatu ketika, Tuaka mengajak istrinya berlayar menggunakan kapal yang megah ke
suatu tempat. Sampai kemudian ia tiba dikampung halamannya. Akan tetapi, Tuaka tidak
menceritakan kepada istrinya mengenai kondisinya yang sebenarnya di kampung halaman. Ia
malu dengan keadaan ibunya yang sudah tua dan miskin. Kabar kedatangan Tuaka ke
kampung halamannya tersebut pun terdengar oleh sang ibu. Ibunya bergegas ingin menemui
Tuaka. Ia mengayuh sampan dan mendekati kapal besar milik Tuaka.
Tuaka anakku. Emak merindukanmu, nak, teriak emak dari sampan.
Siapa gerangan wanita tua itu, tanya istri Tuaka. Tuaka yang malu mengetahui emaknya
yang tua dan miskin datang ke kapal megahnya, pura-pura tidak mengenalinya.
Hei penjaga, jauhkan wanita tua miskin itu dari kapalku. Dasar orang gila tak tahu diri!
Beraninya dia mengaku sebagai emakku, teriak Tuaka.
Emak Tuaka pun pergi menjauh dengan sedih. Oh Tuhan... ampunilah dosa Tuaka karena
telah durhaka kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya, ratap Emak
Tuaka. Rupanya Tuhan mendengar ratapan emak Tuaka. Tiba-tiba Tuaka berubah menjadi
seekor elang dan istrinya menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka terkejut dan juga sedih
melihat anaknya berubah menjadi burung elang, karena emak pun masih menyayangi
anaknya tersebut. Burung elang dan burung punai itu pun terus berputar-putar sambil
menangis di atas emak Tuaka. Air mata kedua burung itu terus menetes dan membentuk
sungai kecil yang semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai
Tuaka (Batang Tuaka).


Putri Tujuh, Asal Mula Nama Kota Dumai
Dulu, Dumai hanyalah sebuah dusun nelayan yang sepi, berada di pesisir Timur Propinsi
Riau, Indonesia. Kini, Dumai yang kaya dengan minyak bumi itu, menjelma menjadi kota
pelabuhan minyak yang sangat ramai sejak tahun 1999. Kapal-kapal tangki minyak raksasa
setiap hari singgah dan merapat di pelabuhan ini. Kilang-kilang minyak yang tumbuh
menjamur di sekitar pelabuhan menjadikan Kota Dumai pada malam hari gemerlapan bak
permata berkilauan. Kekayaan Kota Dumai yang lain adalah keanekaragaman tradisi. Ada
dua tradisi yang sejak lama berkembang di kalangan masyarakat kota Dumai yaitu tradisi
tulisan dan lisan. Salah satu tradisi lisan yang sangat populer di daerah ini adalah cerita-cerita
rakyat yang dituturkan secara turun-temurun. Sampai saat ini, Kota Dumai masih menyimpan
sejumlah cerita rakyat yang digemari dan memiliki fungsi moral yang amat penting bagi
kehidupan masyarakat, misalnya sebagai alat pendidikan, pengajaran moral, hiburan, dan
sebagainya. Salah satu cerita rakyat yang masih berkembang di Dumai adalah Legenda Putri
Tujuh. Cerita legenda ini mengisahkan tentang asal-mula nama Kota Dumai.
Konon, pada zaman dahulu kala, di daerah Dumai berdiri sebuah kerajaan bernama Seri
Bunga Tanjung. Kerajaan ini diperintah oleh seorang Ratu yang bernama Cik Sima. Ratu ini
memiliki tujuh orang putri yang elok nan rupawan, yang dikenal dengan Putri Tujuh. Dari
ketujuh putri tersebut, putri bungsulah yang paling cantik, namanya Mayang Sari. Putri
Mayang Sari memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra,
wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alisnya bagai
semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Karena itu, sang Putri
juga dikenal dengan sebutan Mayang Mengurai.
Pada suatu hari, ketujuh putri itu sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Karena asyik
berendam dan bersendau gurau, ketujuh putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang mata
yang sedang mengamati mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para
pengawalnya yang kebetulan lewat di daerah itu. Mereka mengamati ketujuh putri tersebut
dari balik semak-semak. Secara diam-diam, sang Pangeran terpesona melihat kecantikan
salah satu putri yang tak lain adalah Putri Mayang Sari. Tanpa disadari, Pangeran Empang
Kuala bergumam lirih, Gadis cantik di lubuk Umai....cantik di Umai. Ya,
ya.....dumai...dumai.... Kata-kata itu terus terucap dalam hati Pangeran Empang Kuala.
Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta kepada sang Putri. Karena itu, sang Pangeran berniat
untuk meminangnya.
Beberapa hari kemudian, sang Pangeran mengirim utusan untuk meminang putri itu yang
diketahuinya bernama Mayang Mengurai. Utusan tersebut mengantarkan tepak sirih sebagai
pinangan adat kebesaran raja kepada Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu
pun disambut oleh Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri
Bunga Tanjung. Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima pun
menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada combol paling besar
di antara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak itu. Enam buah combol lainnya sengaja
tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini melambangkan bahwa putri tertualah yang
berhak menerima pinangan terlebih dahulu.
Mengetahui pinangan Pangerannya ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada sang
Pangeran. Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan. Keluarga
Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk
memperistrikan Putri Mayang Mengurai. Mendengar laporan itu, sang Raja pun naik pitam
karena rasa malu yang amat sangat. Sang Pangeran tak lagi peduli dengan adat yang berlaku
di negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa dikendalikan lagi.
Sang Pangeran pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang
Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Maka, pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat
Malaka itu tak dapat dielakkan lagi.
Di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu Cik Sima segera melarikan ketujuh putrinya
ke dalam hutan dan menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah
dan terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula sang Ratu membekali ketujuh putrinya
makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan untuk
mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala. Sudah 3 bulan berlalu,
namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai. Setelah memasuki bulan
keempat, pasukan Ratu Cik Sima semakin terdesak dan tak berdaya. Akhirnya, Negeri Seri
Bunga Tanjung dihancurkan, rakyatnya banyak yang tewas. Melihat negerinya hancur dan
tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin yang sedang bertapa di bukit Hulu
Sungai Umai.
Pada suatu senja, pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai. Mereka
berlindung di bawah pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi peristiwa yang
sangat mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh dan
menusuk ke badan para pasukan Pangeran Empang Kuala. Tak sampai separuh malam,
pasukan Pangeran Empang Kaula dapat dilumpuhkan. Pada saat pasukan Kerajaan Empang
Kuala tak berdaya, datanglah utusan Ratu Cik Sima menghadap Pangeran Empang Kuala.
Melihat kedatangan utusan tersebut, sang Pangeran yang masih terduduk lemas menahan
sakit langsung bertanya, Hai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ini?.
Sang Utusan menjawab, Hamba datang untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar
Pangeran berkenan menghentikan peperangan ini. Perbuatan kita ini telah merusakkan bumi
sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang datang dengan niat
buruk, malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat baik ke negeri
Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya, kata utusan Ratu Cik Sima menjelaskan.
Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima, sadarlah Pangeran Empang Kuala, bahwa
dirinyalah yang memulai peperangan tersebut. Pangeran langsung memerintahkan
pasukannya agar segera pulang ke Negeri Empang Kuala.
Keesokan harinya, Ratu Cik Sima bergegas mendatangi tempat persembunyian ketujuh
putrinya di dalam hutan. Alangkah terkejutnya Ratu Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah
dalam keadaan tak bernyawa. Mereka mati karena haus dan lapar. Ternyata Ratu Cik Sima
lupa, kalau bekal yang disediakan hanya cukup untuk tiga bulan. Sedangkan perang antara
Ratu Cik Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat bulan.
Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan atas kematian ketujuh putrinya, maka Ratu Cik
Sima pun jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sampai kini, pengorbanan
Putri Tujuh itu tetap dikenang dalam sebuah lirik:
Umbut mari mayang diumbut
Mari diumbut di rumpun buluh
Jemput mari dayang dijemput
Mari dijemput turun bertujuh

Ketujuhnya berkain serong
Ketujuhnya bersubang gading
Ketujuhnya bersanggul sendeng
Ketujuhnya memakai pending

Sejak peristiwa itu, masyarakat Dumai meyakini bahwa nama kota Dumai diambil dari kata
dumai yang selalu diucapkan Pangeran Empang Kuala ketika melihat kecantikan Putri
Mayang Sari atau Mayang Mengurai. Di Dumai juga bisa dijumpai situs bersejarah berupa
pesanggarahan Putri Tujuh yang terletak di dalam komplek kilang minyak PT Pertamina
Dumai. Selain itu, ada beberapa nama tempat di kota Dumai yang diabadikan untuk
mengenang peristiwa itu, di antaranya: kilang minyak milik Pertamina Dumai diberi nama
Putri Tujuh; bukit hulu Sungai Umai tempat pertapaan Jin diberi nama Bukit Jin. Kemudian
lirik Tujuh Putri sampai sekarang dijadikan nyanyian pengiring Tari Pulai dan Asyik Mayang
bagi para tabib saat mengobati orang sakit.


Putri Kaca Mayang, asal mula kota pekanbaru
Alkisah ada sebuah kerajaan yang bernama Gasib. Kerajaan ini dipimpin oleh rajanya
yang bernama raja Gasib. Raja Gasib mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama
Putri Kaca Mayang serta seorang panglima yang tangguh bernama Panglima
Gimpam.Kecantikan putri tersohor sampai ke berbagai negri, tetapi tak ada satu pun yang
berani melamar sang putri, karena Raja Gasib sangat disegani di kalangan raja-raja.
Kecantikan putri Kaca Mayang, terdengar sampai ke telinga Raja Aceh. Raja Aceh pun
berniat meminang sang putri. Maka, dipanggillah dua orang panglimanya untuk
menyampaikan niatnya ke pada sang putri. Wahai panglimaku, kata Raja Aceh, Pergilah
kalian ke kerajaan Gasib, sampaikan niatku yang ingin mempersunting putri Kaca Mayang.
Baik, Banginda Raja, titah Baginda hamba laksanakan.
Maka, berangkatlah dua utusan ini ke kerajaan Gasib. Akhirnya, sampailah mereka di
kerajaan langsung menghadap Raja Gasib. Maaf baginda Raja Gasib yang bijaksana. Hamba
utusan dari Kerajaan Aceh, ingin menyampaikan niat raja kami yang ingin mempersunting
putri tuanku Baginda, Putri Kaca Mayang.
Wahai Panglima Raja Aceh, sampaikan kepada Raja kalian, bahwa saya tidak bisa
menerima pinangan Raja kalian. Putri Kaca Mayang belum bersedia untuk dipersunting siapa
pun. Sampaikan maaf saya kepada raja kalian, sahut Raja Gasib dengan wibawanya.
Berangkatlah pulang dua utusan ini dan menyampaikan semua yang disampaikan Raja Gasib.
Raja Aceh sangat marah dan merasa terhina atas penolakan lamaran ini. Maka, Raja Aceh
yang memiliki sifat yang sombong berniat akan menculik sang putri dan
memporakporandakan Kerajaan Gasib. Pasukan pun dipersiapkan untuk menyerang kerajaan
Gasib.
Raja Gasib yang mengetahui kelicikan dan perangai Raja Aceh juga mempersiapkan
pasukannya. Raja Gasib tahu akan ada penyerangan atas penolakan lamaran itu, dipanggillah
panglima kebanggaannya.
Wahai, Panglimaku Gimpam! Untuk menjaga kemungkinan serangan dari kerajaan Aceh,
kamu saya utuskan menjaga di Kuala Gasib daerah Sungai Siak.
Hamba laksanakan titah Baginda Raja, kata Panglima Gimpam.
Lalu berangkatlah Panglima Gimpan ke daerah Sungai Siak. Rupanya, mata-mata raja Aceh
ada di kerajaan Gasib. Raja Aceh mengetahui bahwa di kerajaan tidak dijaga panglima yang
terkenal sakti itu. Raja Aceh pun mengatur strategi jahatnya.
Karena tidak mengetahui jalan kekerajaan Gasib, raja Aceh menemui seorang warga kerajaan
di jalan. Bertanyalah Raja Aceh,Hai, Anak muda, tahukah kamu jalan menuju kerajaan
Gasib?
Karena melihat pasukan yang ramai berarti ingin menyerang kerajaan Gasib, pemuda inipun
menjawab dengan berbohong, Ampun Tuanku, hamba tidak mengetahui jalan menuju
kerajaan Gasib. Hamba penduduk baru negeri ini.
Raja Aceh tahu kalau pemuda itu berbohong, dipanggillah pengawalnya untuk menghajar
pemuda itu. Karena tak tahan, pemuda itu pun kemudian menunjukkan jalan menuju kerajaan
Gasib.
Raja Aceh kemudian melanjutkan perjalanan menuju perkampungan sekitar kerajaan.
Pasukannya membunuh setiap warga yang ia temui di jalan yang dilaluinya. Sungguh,
perbuatannya teramat kejam. Akhirnya, sampailan mereka di istana. Raja Aceh pun berhasil
menculik Putri Kaca Mayang.
Melihat hal ini, Raja Gasib tidak bisa berbuat apa-apa karena ini semua di luar dugaannya.
Berita ini pun kemudian sampai di telinga Panglima Gimpam. Bukan main marah dan
murkanya panglima Gimpam. Panglima pun segera menuju kerajaan. Betapa sedih dan
dendamnya panglima Gimpam, negerinya dirusak oleh pasukan Raja Aceh. Panglima
Gimpam pun bersumpah akan membalas dendam dan akan membawa sang putri kembali ke
istana.
Berangkatlah panglima Gimpam. Kedatangannya disambut dengan Raja Aceh rupanya
dengan pengawalan dua ekor gajah yang sangat besar. Raja Aceh tidak mengetahui kehebatan
panglima Gimpam yang bisa menundukkan hewan, hingga panglima berhasil masuk ke
kerajaan Aceh,
Wahai raja Aceh kembalikan sang Putri kepada kami atau kerajaan ini akan porak-
poranda!
Baiklah akan saya kembalikan Putri Kaca Mayang!kata Raja Aceh. Kau memang hebat
panglima Gimpam setelah kulihat denganmata kepalaku sendiri.
Raja Aceh yang mengakui juga kehebatan panglima Gimpam, akhirnya menyerahkan sang
putri kepada panglima Gimpam yang dalam keadaan sakit akibat penculikan
itu. Pulanglah panglima Gimpam bersama sang putri dan pasukannya. Dalam perjalanan,
rupanya angin laut sangat kencang membuat Putri Kaca Mayang tidak bisa bernafas. Dari
waktu ke waktu, sakitnya semakin parah. Putri pun berucap kepada panglima Gimpam
sesampai mereka di sungai Kantan. Dengan suara lemahnya putri berkata, Panglima aku
sudah tidak kuat lagi menahan sakit ini sampai menuju istana. Sampaikan maafku pada
ayahanda Gasib dan semua keluarga istana, ucap sang putri dengan suara yang semakin
parau. Belum sempat panglima Gimpam berucap sang putri memejamkan matanya. Putri
Kaca Mayang menghembuskan nafas terakhirnya di perairan Sungai Kuantan.
Betapa sedihnya panglima Gimpam dan merasa bersalah tidak berhasil membawa Putri Kaca
Mayang dalam keadaan hidup. Raja Gasib dan keluarga istana serta seluruh penduduk negri
merasa berduka atas meninggalnya sang putri raja. Sang Putri Kaca Mayang akhirnya
dimakamkan di dekat kerajaan Gasib.
Sejak kehilangan putri tercintanya raja Gasib merasakan kesedihan yang dalam. Akhirnya
raja Gasib memutuskan meninggalkan kerajaan, menyepi di gunung Ledeng, Malaka. Wahai
panglimaku, aku memutuskan akan meninggalkan kerajaan ini untuk mengapus bayang-
bayang terhadap putriku tercinta. Maka aku akan menyepi ke Gunung Ledeng. Jagalah
kerajaan ini dengan bai! begitu titah terakhir sang Raja kepada Panglima Gimpam.
Panglima Gimpam sangat bersedih karena Raja Gasib akan meninggalkan kerajaan. Baginda
raja, kalau itu keputusan Baginda. Hamba akan laksanakan amanah yang Baginda berikan
dan akan hamba jaga dengan baik kerajaan ini, kata Gimpam. Sementara kerajaan dititipkan
kepada panglima kepercayaannya, pergilah raja Gasib menuju penyepiannya. Sekian lama
ditinggalkan raja Gasib yang tak kunjung kembali dan kerajaan juga aman maka Panglima
Gimpam pun mengambil keputusan akan meninggalkan kerajaan juga. Walaupun kerajaan itu
sudah dititpkan padanya, tetapi Panglima tidak mau mengambil kesempatan menguasai
kerajaan. Panglima Gimpam tidak mau bahagia di atas penderitaan orang lain.
Panglima Gimpam membuka lahan baru, di sebuah perkampungan baru, yang dinamainya
Pekanbaru.
Hingga kini nama itu digunakan sebagai salah satu ibukota di Propinsi Riau yaitu kota
Pekanbaru. Sampai akhirnya Panglima Gimpam juga wafat dan makamnya tidak jauh dari
Pekanbaru sekitas 20 meter yang berada di Hulu Sail (daerah Pekanbaru).


Asal Mula Danau Toba
Danau Toba dengan panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer merupakan danau terbesar
di Indonesia. Danau yang di tengahnya terdapat Pulau Samosir ini terletak di Provinsi
Sumatra Utara. Menurut cerita, danau vulkanik ini dahulu merupakan sebuah aliran sungai.
Namun karena terjadisebuah peristiwa yang luar biasa, aliran sungai tersebut berubah
menjadi danau. Peristiwa apakah yang terjadi sehingga aliran sungai itu berubah menjadi
danau? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Danau Toba berikut ini.
Alkisah, di daerah Sumatra Utara, Indonesia, hiduplah seorang pemuda pengembara. Ia
mengembara ke berbagai negeri. Pada suatu hari, sampailah ia di sebuah tempat yang
alamnya indah dan subur. Di sekitar tempat itu terdapat sebuah sungai yang jernih airnya.
Pemuda itu tertarik untuk menetap di tempat itu. Akhirnya, ia pun membangun sebuah rumah
sederhana tidak jauh dari sungai. Rumah itu terdiri dari sebuah kamar tidur dan sebuah ruang
dapur untuk memasak.
Usai mendirikan rumah, pemuda itu segera mencari sebidang tanah yang subur untuk ia
tanami berbagai jenis tanaman seperti umbi-umbian dan sayur-sayuran. Setelah menemukan
tempat yang cocok, ia pun mulai membuka lahan dengan menebangi pohon-pohon besar dan
membabat semaksemak belukar. Setiap kali pulang ke rumahnya, ia selalu membawa kayu
bakar dan menyimpannya di kolong rumahnya untuk digunakan memasak sehari-hari. Selain
berladang, pemuda itu pergi ke sungai untuk memancing ikan untuk dijadikan lauk.
Pada suatu hari, sepulang dari ladangnya, pemuda itu pergi ke sungai memancing ikan.
Sesampainya di sungai, ia pun segera melemparkan pancing ke tengah sungai. Sudah cukup
lama ia memancing, tapi tak seekor ikan pun yang menyentuh umpannya. Berkali-kali ia
mengangkat dan melemparkan kembali pancing ke sungai, namun belum juga ada ikan yang
memakan umpannya. Aneh! Kenapa tidak seekor ikan pun yang menyentuh umpanku?
Padahal biasanya setiap aku melemparkan pancingku ke sungai langsung disambar ikan.
Apakah ikan di sungai ini sudah habis? pikirnya dalam hati.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu mencoba sekali lagi menarik dan melemparkan kembali
pancingnya agak ke tengah sungai. Tetapi, tetap saja belum membuahkan hasil. Akhirnya ia
memutuskan untuk berhenti memancing. Namun, ketika hendak menarik pancingnya, tiba-
tiba seekor ikan menyambarnya. Setelah beberapa saat membiarkan pancingnya ditarik ikan
itu ke sana kemari, ia pun menariknya dengan pelan-pelan.
Aduuuh, berat sekali! Ini pasti ikan besar yang menarik pancingku, pikir pemuda itu.
Ternyata benar. Setelah dengan susah payah pemuda itu menarik pancingnya hingga ke tepi
sungai, tampaklah seekor ikan besar tergantung dan mengelepar-gelepar di ujung tali
pancingnya. Dengan cepat, ia mengangkat pancingnya agak jauh ke darat agar tidak terlepas
ke sungai. Alangkah senang hati pemuda itu, karena baru kali ini ia mendapatkan ikan
sebesar itu. Saat ia melepas mata pancingnya, ikan itu menatapnya dengan penuh arti. Ia
merasa tatapan mata ikan itu bagai tatapan mata seorang gadis yang jatuh hati kepadanya.
Namun, pemuda itu berpikir bahwa tidak mungkin seekor ikan bisa jatuh hati kepadanya.
Dengan perasaan gembira, ia pun segera memasukkan ikan itu ke dalam keranjang ikan.
Setelah itu, ia bergegas pulang ke rumahnya sambil tersenyum membayangkan betapa
lezatnya daging ikan besar itu jika dipanggang.
Sesampainya di rumah, pemuda itu langsung membawa ikan itu ke dapur. Ketika hendak
memanggang ikan itu, ternyata persediaan kayu bakar telah habis. Ia pun segera keluar
mengambil kayu bakar di kolong rumahnya. Alangkah terkejutnya ia setelah kembali ke
dapurnya. Ikan yang tersimpan di keranjangnya sudah tidak ada lagi.
Di mana ikanku? Bukankah tadi dia masih di keranjang ini? gumam pemuda itu dengan
heran.
Ketika memeriksa wadahnya, pemuda itu melihat beberapa keping uang emas. Ia pun
semakin heran dan bingung.
Aneh! Kenapa ada kepingan uang emas di sini? Siapa yang menaruhnya? gumamnya lagi.
Dengan perasaan bingung, pemuda itu mengambil kepingan uang emas itu dan hendak
menyimpannya di kamar. Betapa terkejutnya ia saat membuka pintu kamarnya. Ia melihat
seorang gadis sedang berdiri di depan cermin sambil menyisir rambutnya yang panjang
terurai. Ketika gadis itu membalikkan badan dan memandangnya, darah pemuda itu langsung
tersirap melihat kecantikannya. Selama bertahun-tahun mengembara ke berbagai negeri, baru
kali ini ia melihat gadis secantik dia.
Hai, siapa kamu? Kenapa bisa berada di dalam kamarku? tanya pemuda itu heran. Gadis itu
bukannya menjawab pertanyaan si pemuda, tetapi ia malah mengajaknya agar menemaninya
ke dapur. Tanpa berkata sedikitpun, pemuda itu menuruti pemintaan sang Gadis.Sesampainya
di ruang dapur, gadis itu langsung mengambil beras untuk dimasak. Sambil menunggu nasi
matang, gadis itu pun bercerita kepada si pemuda. Maaf Tuan, jika kehadiran hamba di sini
telah mengusik ketenangan Tuan. Sebenarnya hamba adalah penjelmaan dari ikan yang Tuan
bawa dari sungai tadi. Sedangkan kepingan uang emas yang ada di wadah itu adalah
penjelmaan sisik hamba, kata gadis itu.
Sang Pemuda seakan-akan tidak percaya dengan perkataan gadis itu. Tetapi apa yang
dihadapinya itu adalah kenyataan, bukan hanya mimpi belaka. Belum sempat ia berkata apa-
apa, si gadis kembali angkat bicara.
Jika Tuan berkenan, bolehkah hamba tinggal bersama Tuan di sini? pinta gadis itu.
Dengan senang hati, Putri! jawab pemuda itu.
Akhirnya, gadis itu pun tinggal di rumahnya. Setelah beberapa minggu hidup bersama,
pemuda itu melamarnya untuk dijadikan istri.
Baiklah, Tuan! Hamba menerima lamaran Tuan, tapi Tuan harus memenuhi satu permintaan
hamba, kata gadis itu.Apakah permintaanmu itu, Putri? tanya pemuda itu.
Tuan harus berjanji untuk tidak menceritakan asal usul hamba sebagai penjelmaan ikan
kepada siapa pun, pinta gadis itu.
Baiklah, saya terima permintaanmu. Saya bersumpah tidak akan pernah mengungkit asul-
usul, Putri, kata pemuda itu.
Setelah pemuda itu mengucapkan sumpah, keduanya pun menikah. Setahun kemudian,
mereka pun dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan. Mereka merawat dan
membesarkan anak itu dengan perhatian dan kasih sayang. Namun karena kasih sayang yang
berlebihan, anak itu menjadi anak yang manja dan pemalas.Ketika anak itu beranjak remaja,
ibunya sering menyuruhnya mengantarkan makanan dan minuman untuk ayahnya yang
sedang bekerja di ladang. Namun anak itu selalu menolak perintah ibunya, sehingga
terpaksalah ibunya yang harus mengantar makanan itu.
Pada suatu hari, sang Ibu sedang merasa tidak enak badan. Ia pun menyuruh anaknya agar
mengantarkan bungkusan yang berisi nasi dan ikan panggang untuk ayahnya. Mulanya anak
itu menolak, namun karena sang Ibu terus memaksanya, akhirnya dengan perasaan kesal anak
itu mengantar makanan itu. Di tengah perjalanan, tiba-tiba anak itu merasa lapar. Ia pun
berhenti dan membuka bungkusan itu. Dengan lahapnya, ia memakan sebagian nasi dan
lauknya hingga yang tersisa hanya sedikit nasi dan daging ikan yang menempel di tulang.
Setelah kenyang, ia pun membungkus kembali makanan itu dan melanjutkan perjalanan
menuju ke ladang. Sesampainya di ladang, ia segera menyerahkan bungkusan itu kepada
ayahnya.
Wah, kamu memang anak yang rajin, Anakku! puji sang sambil tersenyum. Sang Ayah
yang sudah kelaparan segera membuka bungkusan itu. Alangkah terkejutnya ia saat melihat
isi bungkusan itu yang hanya sisa-sisa. Hatinya yang semula senang dan gembira, tiba-tiba
berubah menjadi kesal dan marah.
Hai, kenapa isi bungkusan ini hanya sisa-sisa? tanya sang Ayah dengan wajah memerah.
Maaf, Ayah! Di perjalanan tadi saya sangat lapar, jadi saya makan sebagian isi bungkusan
itu, jawab sang Anak.
Mendengar jawaban itu, kemarahan sang Ayah pun semakin memuncak. Ia pun memukul
anaknya sambil berkata, Dasar anak tidak tahu diuntung! Kamu memang benar-benar anak
keturuan ikan!
Sambil menahan rasa sakit dipukuli, anak itu bertanya kepada ayahnya, Apa maksud Ayah?
Kenapa mengatakan aku anak keturunan ikan?
Asal kamu tahu saja, ibumu adalah penjelmaan seekor ikan, jawab Ayahnya Mendengar
jawaban ayahnya, anak itu segera berlari pulang ke rumahnya sambil menangis.Sesampainya
di rumah, ia pun langsung mengadu kepada ibunya.
Ibu..., Ibu...! Ayah memukulku dan mengatakan aku anak keturunan ikan, kata anak itu.
Sang Ibu sangat sedih mendengar pengaduan anaknya itu, karena suaminya telah melanggar
sumpahnya dengan kata-kata cercaan yang mengungkit asal asulnya. Seketika itu pula ia
menyuruh anaknya agar naik ke puncak bukit.
Anakku! Naiklah ke puncak bukit itu dan panjatlah pohon yang paling tinggi! seru sang Ibu
sambil meneteskan air mata. Tanpa banyak tanya lagi, anak itu pun segera berlari ke atas
bukit yang tidak jauh dari rumah mereka. Ketika anak itu sampai di lereng bukit, sang Ibu
pun segera berlari menuju ke sungai. Saat ia berada di tepi sungai, cuaca yang semula cerah,
tiba-tiba berubah menjadi gelap gulita. Langit bergemuruh disusul petir menyambar-nyambar
yang disertai dengan hujan yang sangat deras.
Pada saat itulah, sang Ibu segera melompat ke dalam sungai dan tiba-tiba berubah menjadi
seekor ikan besar. Tak berapa lama kemudian, sungai itu banjir dan airnya meluap ke mana-
mana,sehingga tergenanglah lembah tempat sungai itu mengalir. Lama kelamaan, genangan
air itu semakin meluas dan akhirnya berubah menjadi sebuah danau yang sangat besar. Oleh
masyarakat setempat, danau itu dinamakan Danau Toba.
Demikian cerita Asal Mula Danau Toba dari daerah Sumatra Utara, Indonesia. Cerita di atas
termasuk kategori legenda yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman
dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua nilai moral yang dapat dipetik dari cerita di
atas, yaitu akibat buruk sifat terlalu memanjakan anak dan sifat tidak pandai menjaga
amanah.
Pertama, akibat buruk karena terlalu memanjakan anak, sebagaimana tampak pada sikap si
Pengembara dan istrinya yang terlalu memanjakan anaknya dengan mencurahkan perhatian
dan kasih sayang secara berlebihan. Akibatnya, anaknya pun menjadi pemalas.
Kedua, akibat buruk tidak pandai memelihara amanah Orang yang tidak pandai memelihara
amanah adalah orang yang tidak dapat dipercaya. Hal inilah yang terjadi pada si Pengembara
yang telah mengingkari janji dan sumpahnya dengan mengungkit-ungkit asal-usul istrinya di
depan anak mereka. Akibatnya, istrinya pun pergi meninggalkannya dan kembali menjelma
menjadi seekor ikan besar.

Asal Usul Danau Maninjau
Danau Maninjau adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya,
Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau dengan luas sekitar 99,5 km2
dengan kedalaman mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia,
dan terluas kedua di Sumatra Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya
merupakan gunung berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh karena
ulah manusia, gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah danau yang luas. Apa
gerangan yang menyebabkan gunung berapi itu meletus dan berubah menjadi danau?
Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul
Danau Maninjau berikut ini!
Alkisah, di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi
bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya
terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka
sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur,
karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung.
Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara
yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil
mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun,
Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak.
Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani,
akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban
sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya.
Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka.
Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan
kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah
dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman
mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku.
Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang
bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk
mendidik dan memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya
tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk
mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula
Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.
Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah
Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya,
kedua pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk
bertemu di sebuah ladang
di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada
Sani.
Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang
Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar
Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik

Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau
menjadi kekasih Abang? tanya Giran.
Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada
Giran.
Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.
Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur
Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan

Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia
karena cintahnya bersambut.
Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat
untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan
fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing.
Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karena hal
tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan
Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu
Bujang Sembilan bekerja di sawah.
Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang melimpah.
Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat
untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda
kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera
mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut
ambil bagian dalam acara tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak
sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat
kemudian, panitia segera memukul gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban
mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak
keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun
yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata,
Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk
ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang
mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran.
Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimban.
Hai, Giran! Majulah kalau berani! tantang Kukuban.
Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku! jawab Giran dan langsung
menyerang Kukuban.
Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan
serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan
oleh Kukubun.
Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus
menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan
kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah
tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar,
terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.
Aduh, sakit...! Kakiku patah! pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil
menjerit kesakitan.
Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi
melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu,
Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di
depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.
Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya
terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi
perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke
rumah Bujang Sembilan. Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka
cara bercocok tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran
kepada Sani.
Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat
hubungan kekeluargaan kita, ungkap Datuk Limbatang.
Apa maksud, Engku? tanya si Kudun bingung.
Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja? sambung
Kaciak.
Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku, jawab Datuk Limbatang yang sudah
menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.
Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami
bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani, ungkap Datuk
Limbatang.
Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran
menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin, sambut si Kudun.
Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan
yang sangat keras dari Kukuban.
Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran, seru Kukuban
dengan wajah memerah.
Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi
suami Sani, tambahnya.
Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah
menyinggung perasaanmu? tanya Datuk Limbatang dengan tenang.
Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa
bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada
bekasnya, jawab Kukuban sambil menyingsingkan celana panjangnya untuk
memperlihatkan bekas kakinya yang patah.
Oooh, itu! jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.
Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa.
Memang begitu kalau bertarung, ujar Datuk Limbatang.
Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak, sambut
Kukuban.
Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri, kata Datuk
Limbatang.
Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai
pemimpin adat? bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai.
Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang
berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang,
yang terlihat tenang.
Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan
harus didasarkan pada kebenaran, ujar Datuk Limbatang.
Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng
mukaku di tengah keramaian?
Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu
sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis
oleh Giran.Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis
serangan ituperbuatan curang dan salah? tanya Datuk Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui
bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah
diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.
Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku
tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku, kata Kukuban dengan ketus.
Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari
nanti keputusan ini dapat berubah, kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke
rumah bersama istrinya.
Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia
sangat bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami
yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir
setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya.
Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu
berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat
bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan
masalah yang sedang mereka hadapi.
Apa yang harus kita lakukan, Dik? tanya Giran.
Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga
Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,
jawab Sani sambil menghela nafas panjang.
Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan
keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong
ranting berduri tersangkut pada sarungnya.
Aduh, sarungku sobek! teriak Sani kaget.
Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!
ujar Giran.
Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia
membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah,
tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya.
Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga lainnya.
Hei, rupanya kalian di sini! seru Kukuban.
Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka
jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.
Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat! perintah Kukuban.
Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang
terkena duri, kata Giran.
Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku! bentak
Kukuban.
Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat
untuk dihukum, sambung seorang warga.
Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban
bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa
mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun
Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun
persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di
kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai
hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut
terhindar dari malapetaka.
Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau.
Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di
belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum
hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.
Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun.
Karena itu, kami yakin tidak bersalah, ucap Giran.
Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar bersalah,
hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami
tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!
Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun
tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh
rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka
mereka semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan.
Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras.
Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan
dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan
diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu
luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.
Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon,
letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi
danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau,
yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu
diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun,
Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.


Asal Mula Nama Nagari Minangkabau
Minangkabau termasuk salah satu nagari (desa) yang berada di wilayah Kecamatan
Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat. Nagari ini dulunya masih
berupa tanah lapang. Namun, tersebab oleh sebuah peristiwa, daerah itu dinamakan Nagari
Minangkabau. Peristiwa apakah itu? Berikut kisahnya dalam cerita Asal Mula Nama Nagari
Minangkabau.
Dahulu, di Sumatera Barat, tersebutlah sebuah kerajaan bernama Kerajaan Pagaruyung.
Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Rakyatnya senantiasa hidup
aman, damai, dan tenteram. Suatu ketika, ketenteraman negeri itu terusik oleh adanya kabar
buruk bahwa Kerajaan Majapahit dari Pulau Jawa akan menyerang mereka. Situasi tersebut
tidak membuat para punggawa Kerajaan Pagaruyung gentar.
Musuh pantang dicari, datang pantang ditolak. Kalau bisa dihindari, tapi kalau terdesak kita
hadapi, demikian semboyan para pemimpin Kerajaan Pagaruyung.Suatu hari, pasukan
Kerajaan Majapahit tiba di Kiliran Jao, sebuah daerah di dekat perbatasan Kerajaan
Pagaruyung. Di tempat itu pasukan Kerajaan Majapahit mendirikan tenda-tenda sembari
mengatur strategi penyerangan ke Kerajaan Pagaruyung. Menghadapi situasi genting itu, para
pemimpin Pagaruyung pun segera mengadakan sidang.
Negeri kita sedang terancam bahaya. Pasukan musuh sudah di depan mata. Bagaimana
pendapat kalian? tanya sang Raja yang memimpin sidang tersebut.
Ampun, Paduka Raja. Kalau boleh hamba usul, sebaiknya kita hadapi mereka dengan
pasukan berkuda dan pasukan gajah, usul panglima perang kerajaan.
Tunggu dulu! Kita tidak boleh gegabah, sanggah Penasehat Raja, Jika kita serang mereka
dengan pasukan besar, pertempuran sengit pasti akan terjadi. Tentu saja peperangan ini akan
menyengsarakan rakyat.
Suasana sidang mulai memanas. Sang Raja yang bijaksana itu pun segera menenangkannya.
Tenang, saudara-saudara! ujar sang Raja, Saya sepakat dengan pendapat Paman
Penasehat.
Tapi, apa usulan Paman agar peperangan ini tidak menelan korban jiwa?
Pertanyaan sang Raja itu membuat seluruh peserta sidang terdiam. Suasana pun menjadi
hening. Semua perhatian tertuju kepada Penasehat Raja itu, mereka tidak sabar lagi ingin
mendengar pendapatnya. Beberapa saat kemudian, Penasehat Raja itu pun angkat bicara.
Ampun, Paduka Raja. Untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah, alangkah baiknya
jika musuh kita ajak berunding. Kita sambut mereka di perbatasan kemudian berunding
dengan mereka. Jika mereka menolak, barulah kita tantang mereka adu kerbau, ungkap
Penasehat Raja.
Hmmm... ide yang bagus, kata sang Raja, Bagaimana pendapat kalian semua?
Setuju, Paduka Raja, jawab seluruh peserta sidang serentak.
Selanjutnya, sang Raja bersama punggawanya pun menyusun strategi untuk mengalahkan
musuh tanpa pertumpahan darah. Sang Raja segera memerintahkan kepada putri Datuk
Tantejo Garhano untuk menghiasi anak-anak gadisnya dan dayang-dayang istana yang cantik
dengan pakaian yang indah. Datuk Tantejo Garhano adalah seorang putri yang memiliki tata
krama dan kelembutan. Sifat-sifat itu telah diajarkan oleh Datuk Tantejo Garhano kepada
anak-anak gadisnya serta para dayang istana.
Setelah semua siap, Datuk Tantejo Garhano bersama anak-anak gadisnya serta dayang-
dayang istana menuju ke perbatasan untuk menyambut kedatangan pasukan musuh. Mereka
pun membawa berbagai macam makanan lezat untuk menjamu pasukan Majapahit.
Sementara itu, dari kejauhan, pasukan Pagaruyung terlihat sedang berjaga-jaga untuk
menjaga segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Tak berapa lama setelah rombongan Datuk Tantejo Garhano tiba di perbatasan, pasukan
musuh dari Majapahit pun sampai di tempat itu.
Selamat datang, Tuan-Tuan yang budiman, sambut Datuk Tantejo Garhano dengan sopan
dan lembut. Kami adalah utusan dari Kerajaan Pagaruyung. Raja kami sangat senang dengan
kedatangan Tuan-Tuan di istana. Tapi sebelumnya, silakan dicicipi dulu hidangan yang telah
kami sediakan! Tuan-Tuan tentu merasa lapar dan lelah setelah menempuh perjalanan jauh.
Melihat perlakuan para wanita cantik itu, pasukan Majapahit menjadi terheran-heran. Mereka
sebelumnya mengira bahwa kedatangan mereka akan disambut oleh pasukan bersenjata.
Namun, di luar dugaan, ternyata mereka disambut oleh puluhan wanita-wanita cantik yang
membawa hidangan lezat. Dengan kelembutan para wanita cantik tersebut, pasukan
Majapahit pun mulai goyah untuk melancarkan serangan hingga akhirnya menerima tawaran
itu. Setelah pasukan Majapahit selesai menikmati hidangan dan beristirahat sejenak, Datuk
Tantejo Garhano segera mengajak pemimpin mereka ke istana untuk menemui sang Raja.
Mari, Tuan! Raja kami sedang menunggu Tuan di istana! bujuk Datuk Tantejo Garhano
dengan santun.
Baiklah, saya akan segera menemui Raja kalian, jawab pemimpin pasukan itu.
Setiba di istana, Datuk Tantejo Garhano langsung mengantar pemimpin pasukan itu masuk ke
ruang sidang. Di sana, sang Raja bersama punggawanya terlihat sedang duduk menunggu.
Selamat datang, Tuan, sambut sang Raja, Mari, silakan duduk!
Terima kasih, Paduka, ucap pemimpin itu.
Ada apa gerangan Tuan kemari? tanya sang Raja pura-pura tidak tahu.
Kami diutus oleh Raja Majapahit untuk menaklukkan Pagaruyung. Kami pun harus kembali
membawa kemenangan, jawab pemimpin itu.
Oh, begitu, jawab sang Raja sambil tersenyum, Kami memahami tugas Tuan. Tapi,
bagaimana kalau peperangan ini kita ganti dengan adu kerbau. Tujuannya adalah untuk
menghindari pertumpahan darah di antara pasukan kita.
Pemimpin pasukan Majapahit itu terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun
menyetujui usulan sang Raja.
Baiklah, Paduka Raja. Kami menerima tawaran Paduka, jawab pemimpin itu.
Akhirnya, kedua belah pihak bersepakat untuk beradu kerbau. Jika kerbau milik sang Raja
kalah, maka Kerajaan Pagaruyung dinyatakan takluk. Tapi, jika kerbau milik Majapahit
kalah, mereka akan dibiarkan kembali ke Pulau Jawa dengan damai.
Dalam kesepakatan tersebut tidak ditentukan jenis maupun ukuran kerbau yang akan
dijadikan aduan. Oleh karena ingin memenangi pertandingan tersebut, pasukan Majapahit
pun memilih seekor kerbau yang paling besar, kuat, dan tangguh. Sementara itu, sang Raja
memilih seekor anak kerbau yang masih menyusu. Namun, pada mulut anak kerbau itu
dipasang besi runcing yang berbentuk kerucut. Sehari sebelum pertandingan itu dihelat, anak
kerbau itu sengaja dibuat lapar dengan cara dipisahkan dari induknya.
Keesokan harinya, kedua kerbau aduan segera dibawa ke gelanggang di sebuah padang yang
luas. Para penonton dari kedua belah pihak pun sedang berkumpul di pinggir arena untuk
menyaksikan pertandingan yang akan berlangsung sengit tersebut. Kedua belah pihak pun
bersorak-sorak untuk memberi dukungan pada kerbau aduan masing-masing.
Ayo, kerbau kecil. Kalahkan kerbau besar itu! teriak penonton dari pihak Pagaruyung.
Dukungan dari pihak pasukan Majapahit pun tak mau kalah.
Ayo, kerbau besar. Cincang saja anak kerbau ingusan itu!
Suasana di tanah lapang itu pun semakin ramai. Kedua kerbau aduan telah dibawa masuk ke
dalam arena. Suasana pun berubah menjadi hening. Penonton dari kedua belah pihak terlihat
tegang.Begitu kedua kerbau tersebut dilepas, kerbau milik Majapahit terlihat beringas dan
liar. Sementara itu, anak kerbau milik Pagaruyung segera memburu hendak menyusu pada
kerbau besar itu karena mengira induknya.
Tak ayal, perut kerbau milik Majapahit pun terluka terkena tusukan besi runcing yang
terpasang di mulut anak kerbau milik Pagaruyung. Setelah beberapa kali tusukan, kerbau
milik pasukan Majapahit akhirnya roboh dan terkapar di tanah. Melihat kejadian itu,
penonton dari pihak Pagaruyung pun bersorak-sorak gembira.
Manang kabau..., Manang kabau..., demikian teriak mereka.
Akhirnya, pasukan Majapahit dinyatakan kalah dalam pertandingan tersebut. Mereka pun
diizinkan kembali ke Majapahit dengan damai. Sementara itu, berita tentang kemenangan
kerbau Pagarayung tersebar ke seluruh pelosok negeri. Kata manang kabau yang berarti
menang kerbau pun menjadi pembicaraan di mana-mana. Lama-kelamaan, pengucapan kata
manang berubah menjadi kata minang. Sejak itulah, tempat itu dinamakan Nagari
Minangkabau, yaitu sebuah nagari (desa) yang bernama Minangkabau.
Sebagai upaya untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk negeri Pagaruyung merancang
sebuah rumah rangkiang (loteng) yang atapnya menyerupai bentuk tanduk kerbau. Konon,
rumah itu dibangun di perbatasan, tempat pasukan Majapahit dijamu oleh para wanita-wanita
cantik Pagaruyung.
Demikian cerita Asal Mula Nama Nagari Minangkabau dari Sumatra Barat. Cerita di atas
hanyalah sebuah legenda yang tidak mesti sesuai dengan fakta sejarah. Terlepas dari benar
atau salah cerita di atas, yang penting adalah pesan moral yang terkandung di baliknya. Salah
satu pesan moral yang dapat dipetik adalah bahwa penyelesaian sebuah masalah tidak harus
selalu diakhiri dengan kekerasan. Masih banyak jalan lain yang bisa ditempuh, salah satunya
adalah jalan perundingan.


Legenda Pulau Senua Kepulauan Riau Indonesia
Pulau Senua terletak di ujung Tanjung Senubing Bunguran Timur, Natuna, Provinsi
Kepulauan Riau, Indonesia. Kata senua dalam bahasa setempat berarti satu tubuh berbadan
dua. Menurut cerita, pulau yang terkenal sebagai sarang burung layang-layang putih ini
merupakan penjelmaan dari seorang perempuan yang sedang berbadan dua (hamil) bernama
Mai Lamah. Mengapa Mai Lamah menjelma menjadi pulau? Ikuti kisahnya dalam cerita
Legenda Pulau Senua berikut ini!
Alkisah, di sebuah daerah di Natuna, Kepulauan Riau, hiduplah sepasang suami-istri miskin.
Sang suami bernama Baitusen, sedangkan istrinya bernama Mai Lamah. Suatu ketika, mereka
memutuskan merantau ke Pulau Bunguran untuk mengadu nasib. Mereka memilih Pulau
Bunguran karena daerah tersebut terkenal memiliki banyak kekayaan laut, terutama kerang
dan siput.
Ketika pertama kali tinggal di Pulau Bunguran, Baitusen bekerja sebagai nelayan
sebagaimana umumnya warga yang tinggal di pulau tersebut. Setiap hari, ia pergi ke laut
mencari siput-lolak (kerang-kerangan yang kulitnya dapat dibuat perhiasan), kelekuk-kulai
(siput mutiara), dan beragam jenis kerang-lokan. Sedangkan istrinya, Mai Lamah, membantu
suaminya membuka kulit kerang untuk dibuat perhiasan.
Baitusen dan istrinya pun merasa senang dan betah tinggal di Pulau Bunguran, karena warga
pulau tersebut menunjukkan sikap yang ramah dan penuh persaudaraan. Kebetulan rumah
mereka bersebelahan dengan rumah Mak Semah, seorang bidan kampung yang miskin, tapi
baik hati. pesan Mak Semah kepada Mai Lamah, tetangga barunya itu.
Terima kasih, Mak! ucap Mai Lamah dengan senang hati.
Begitu pula warga Bunguran lainnya, mereka senantiasa bersikap baik terhadap Baitusen dan
istrinya, sehingga hanya dalam waktu beberapa bulan tinggal di daerah itu, mereka sudah
merasa menjadi penduduk setempat.
Bang! Sejak berada di kampung ini, Adik tidak pernah merasa sebagai pendatang. Semua
penduduk di sini menganggap kita sebagai saudara sendiri, kata Mai Lamah kepada
suaminya.
Begitulah kalau kita pandai membawa diri di kampung halaman orang, pungkas Baitusen.
Waktu terus berjalan. Baitusen semakin rajin pergi ke laut mencari kerang dan siput. Ia
berangkat ke laut sebelum matahari terbit di ufuk timur dan baru pulang saat matahari mulai
terbenam.
Daerah pencariannya pun semakin jauh hingga ke daerah pesisir Pulau Bunguran Timur.
Pada suatu hari, Baitusen menemukan sebuah lubuk teripang, di mana terdapat ribuan ekor
teripang (sejenis binatang laut) di dalamnya. Sejak menemukan lubuk teripang, ia tidak
pernah lagi mencari kerang dan siput. Ia berharap bahwa dengan mencari teripang hidupnya
akan menjadi lebih baik, karena harga teripang kering di bandar Singapura dan di pasar Kwan
Tong di Negeri Cina sangatlah mahal. Ia pun membawa pulang teripang-teripang untuk
dikeringkan lalu dijual ke Negeri Singapura dan Cina.
Akhirnya, hasil penjualan tersebut benar-benar mengubah nasib Baitusen dan istrinya.
Mereka telah menjadi nelayan kaya raya. Para tauke dari negeri seberang lautan pun
berdatangan ke Pulau Bunguran untuk membeli teripang hasil tangkapan Baitusen dengan
menggunakan tongkang wangkang(kapal besar). Setiap enam bulan sekali segala jenis
tongkang-wangkang milik para tauke tersebut berlabuh di pelabuhan Bunguran sebelah timur.
Sejak saat itu, Baitusen terkenal sebagai saudagar teripang. Langganannya pun datang dari
berbagai negeri. Tak heran jika dalam kurun waktu dua tahun saja, pesisir timur Pulau
Bunguran menjadi Bandar yang sangat ramai. Istri Baitusen pun terkenal dengan panggilan
Nyonya May Lam oleh para tauke langganan suaminya itu. Rupanya, gelar tersebut membuat
Mai Lamah lupa daratan dan lupa dengan asal-usulnya. Ia lupa kalau dirinya dulu hanyalah
istri nelayan pencari siput yang miskin dan hidupnya serba kekurangan.
Sejak menjadi istri seorang saudagar kaya, penampilan sehari-hari Mai Lamah berubah. Kini,
ia selalu memakai gincu, bedak, dan wangi-wangian. Bukan hanya penampilannya saja yang
berubah, tetapi sikap dan perilakunya pun berubah. Ia berusaha menjauhkan diri dari
pergaulan, karena jijik bergaul dengan para tetangganya yang miskin, berbau anyir, pedak-
bilis (sejenis pekasam atau ikan asin, makanan khas orang Natuna), dan berbau kelekuk
(siput) busuk. Selain itu, ia juga menjadi pelokek (sangat kikir) dan kedekut (pelit).
Pada suatu hari, Mak Semah datang ke rumahnya hendak meminjam beras kepadanya.
Namun malang bagi Mak Semah, bukannya beras yang ia peroleh dari Mai Lamah,
melainkan cibiran.
Hai, perempuan miskin! Tak punya kebun sekangkang-kera (bidal untuk menentukan luas
tanah ladang/perkebunan), masih saja pinjam terus. Dengan apa kamu akan membayar
hutangmu? Mai Lamah mencemooh Mak Semah.
Mendengar cemoohan itu, Mak Semah hanya terdiam menunduk. Sementara suami Mai
Lamah yang juga hadir di tempat itu, berusaha untuk membujuk istrinya.
Istriku, penuhilah permintaan Mak Semah! Bukankah dia tetangga kita yang baik hati. Dulu
dia telah banyak membantu kita.
Ah, persetan dengan yang dulu-dulu itu! Dulu itu dulu, sekarang ya sekarang! seru Mai
Lamah dengan ketus.
Begitulah sikap dan perlakuan Mai Lamah kepada setiap warga miskin yang datang ke
rumahnya untuk meminta bantuan. Dengan sikapnya itu, para warga pun menjauhinya dan
enggan untuk bergaul dengannya.
Suatu ketika, tiba juga masanya Mai Lamah membutuhkan pertolongan tetanggannya. Ia
hendak melahirkan, sedangkan Mak Bidan dari pulau seberang belum juga datang. Baitusen
telah berkali-kali meminta bantuan Mak Semah dan warga lainnya, namun tak seorang pun
yang bersedia menolong. Mereka sakit hati karena sering dicemooh oleh istrinya, Mai
Lamah.
Ah, buat apa menolong Mai Lamah yang kedekut itu! Biar dia tau rasa dan sadar bahwa budi
baik dan hidup bertegur sapa itu jauh lebih berharga dari pada harta benda, cetus Mak
Saiyah, seorang istri nelayan, tetangga Mai Lamah.
Baitusen yang tidak tega lagi melihat keadaan istrinya itu segera mengajaknya ke pulau
seberang untuk mencari bidan.
Ayo, kita ke pulau seberang saja, Istriku! ajak Baitusen sambil memapah istrinya naik ke
perahu.
Bang! Jangan lupa membawa serta peti emas dan perak kita! Bawa semua naik ke perahu!
seru Mai Lamah sambil menahan rasa sakit.
Baiklah, Istriku! jawab Baitusen.
Setelah mengantar istrinya naik ke atas perahu, Baitusen kembali ke rumahnya untuk
mengambil peti emas dan perak tersebut. Setelah itu, mereka pun berangkat menuju ke pulau
seberang.
Dengan susah payah, saudagar kaya itu mengayuh perahunya melawan arus gelombang laut.
Semakin ke tengah, gelombang laut semakin besar. Percikan air laut pun semakin banyak
yang masuk ke dalam perahu mereka. Lama-kelamaan, perahu itu semakin berat muatannya
dan akhirnya tenggelam bersama seluruh peti emas dan perak ke dasar laut.
Sementara Baitusen dan istrinya berusaha menyelamatkan diri. Mereka berenang menuju ke
pantai Bungurun Timur mengikuti arus gelombang laut. Tubuh Mai Lamah timbul tenggelam
di permukaan air laut, karena keberatan oleh kandungannya dan ditambah pula dengan
gelang-cincin, kalung lokit (liontin emas), dan subang emas yang melilit di tubuhnya.
Untungnya, ia masih bisa berpegang pada tali pinggang suaminya yang terbuat dari kulit kayu
terap yang cukup kuat, sehingga bisa selamat sampai di pantai Bunguran Timur bersama
suaminya. Namun, malang nasib istri saudagar kaya yang kedekut itu, bumi Bunguran tidak
mau lagi menerimanya. Saat itu, angin pun bertiup kencang disertai hujan deras. Petir
menyambar-nyambar disusul suara guntur yang menggelegar.
Tak berapa lama kemudian, tubuh Mai Lamah menjelma menjadi batu besar dalam keadaan
berbadan dua. Lama-kelamaan batu besar itu berubah menjadi sebuah pulau. Oleh
masyarakat setempat, pulau tersebut dinamakan Sanua yang berarti satu tubuh berbadan
dua. Sementara emas dan perak yang melilit tubuh Mai Lamah menjelma menjadi burung
layang-layang putih atau lebih kenal dengan burung walet. Hingga kini, Pulau Bunguran
terkenal sebagai pulau sarang burung layang-layang putih itu.
Demikian cerita Legenda Pulau Senua dari daerah Natuna, Provinsi Kepulauan Riau,
Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral
yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan modal
yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu akibat buruk dari sifat kedekut (pelit), dan tidak
pandai mensyukuri nikmat Tuhan.
Akibat buruk dari sifat kedekut (pelit). Sifat ini ditunjukkan oleh sikap Mai Lamah yang tidak
mau membantu para tetanggannya yang membutuhkan pertolongan. Akibatnya, para warga
pun menjauhinya dan ketika ia membutuhkan pertolongan, para warga pun enggan untuk
menolongnya.


Roro Jonggrang, asal mula Candi Prambanan
Roro Jonggrang adalah putri dari Prabu Baka dari Kerajaan Prambanan, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Indonesia. Roro Jonggrang memiliki paras yang cantik jelita. Suatu ketika, ia
dilamar oleh seorang kesatria yang bernama Bondowoso dari Kerajaan Pengging. Roro
Jonggrang bersedia menerima lamaran itu, asalkan Bondowoso mampu membuatkan seribu
candi dan dua buah sumur dalam waktu semalam. Mampukah Bondowoso memenuhi syarat
yang diajukan oleh Roro Jonggrang tersebut? Ikuti kisahnya dalam cerita Roro Jonggrang
berikut ini!
Alkisah, pada zaman dahulu kala, ada seorang raja yang bernama Prabu Baka yang bertahta
di Prambanan. Ia seorang raksasa yang menakutkan dan memiliki kesaktian yang tinggi.
Wilayah kekuasaannya sangat luas. Kerajaan-kerajaan kecil di sekitar wilayahnya semua
takluk di bawah kekuasaannya. Meskipun seorang raksasa, Prabu Baka mempunyai seorang
putri cantik yang berwujud manusia bernama Roro Jonggrang. Prabu Baka sangat
menyayangi putri tunggalnya itu.
Sebagai wujud kasih sayangnya kepada putrinya, ia mewariskan seluruh kesaktian dan
kepandaian yang dimilikinya. Maka jadilah Roro Jonggrang seorang putri yang cantik jelita
dan sakti mandraguna.
Sementara itu di tempat lain, tersebutlah sebuah kerajaan yang tak kalah besarnya dengan
Prambanan, yakni Kerajaan Pengging. Kerajaan itu memiliki seorang kesatria yang sakti
bernama Bondowoso. Kesaktian Bondowoso terletak pada senjatanya yang bernama
Bandung. Selain itu, Bondowoso juga mempunyai balatentara berupa makhluk-makhluk
halus. Jika membutuhkan bantuan, Bondowoso mampu mendatangkan makhluk-makhluk
halus tersebut dalam waktu sekejap.
Suatu ketika, Raja Pengging bermaksud memperluas wilayah kekuasaannya. Ia pun
memerintahkan Bondowoso dan pasukannya untuk menyerang Prambanan.
Hai, Bondowoso! Siapkan pasukanmu untuk pergi menyerang Prambanan! perintah Raja
Pengging.
Baik, Gusti! Perintah segera hamba laksanakan! jawab Bondowoso sambil memberi
hormat.
Keesokan harinya, berangkatlah Bondowoso bersama pasukannya ke Prambanan. Setibanya
di Prambanan, mereka langsung menyerbu masuk ke dalam istana. Prabu Baka pun tidak
tinggal diam.
Ia segera memerintahkan pasukannya untuk menahan serangan pasukan Bondowoso yang
datang secara tiba-tiba. Pertempuran sengit pun tak terelakkan lagi. Namun karena pasukan
Prabu Baka kurang persiapan dalam pertempuran itu, akhirnya pasukan Bondowoso berhasil
menaklukkan mereka. Prabu Baka sendiri tewas terkena senjata sakti Bandowoso yang
bernama Bandung. Sejak itu, Bondowoso pun dikenal dengan nama Bandung Bondowoso.
Setelah Bandung Bondowoso dan pasukannya memenangkan pertempuran itu, Raja Pengging
pun mengamanatkan Bandung Bondowoso untuk menempati istana Prambanan.
Wahai, Bandung Bondowoso! Sebagai ucapan terima kasihku atas keberhasilanmu
mengalahkan Prabu Baka, aku memberimu amanat untuk mengurus Kerajaan Prambanan dan
segala isinya, termasuk keluarga Prabu Baka, kata Raja Pengging.
Terima kasih, Gusti! Hamba berjanji untuk menjaga amanat Gusti, jawab Bandung
Bondowoso.
Setelah itu, Bandung Bondowoso pun segera menempati istana Prambanan. Pada saat hari
pertama menempati istana Pramabanan, ia langsung terpesona melihat kecantikan Roro
Jonggrang dan berniat untuk menjadikannya sebagai permaisuri.
Pada suatu hari, Bandung Bondowoso menyatakan maksud hatinya kepada Raja Jonggrang.
Wahai, putri Roro Jonggrang! Bersediakah engkau menjadi permaisuriku? tanya Bandung
Bondowoso.
Roro Jonggrang tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia hanya terdiam dan kebingungan.
Sebenarnya, ia amat membenci Bandung Bondowoso karena telah membunuh ayahnya.
Namun, ia takut menolak lamarannya karena bagaimana pun juga ia tidak akan sanggup
mengalahkan kesaktian Bondowoso. Setelah berpikir sejenak, Roro Jonggrang pun
menemukan satu cara untuk menolak lamaran itu dengan cara yang halus.
Baiklah, Bandung Bondowoso! Aku bersedia menerima lamaranmu, tapi kamu harus
memenuhi satu syaratku, jawab Roro Jonggrang.
Apakah syaratmu itu, Roro Jonggrang? tanya Bandung Bondowoso.
Buatkan aku seribu candi dan dua buah sumur dalam waktu semalam, jawab Roro
Jonggrang.
Tanpa berpikir panjang, Bandung Bondowoso pun menyanggupinya, karena ia yakin mampu
memenuhi syarat itu dengan bantuan balantentaranya. Pada malam harinya, Bandung
Bondowoso mengundang balatentaranya yang berupa makhluk halus tersebut. Dalam waktu
sekejap, balatentaranya pun datang dan segera membangun candi dan sumur sebagaimana
permintaan Roro Jonggrang. Mereka bekerja dengan sangat cepat. Pada dua pertiga malam,
mereka hampir menyelesaikan seribu candi. Hanya tinggal tiga buah candi dan sebuah sumur
yang belum mereka selesaikan.
Roro Jonggrang yang ikut menyaksikan pembuatan candi itu mulai khawatir. Ia pun segera
memberitahukan hal itu kepada salah seorang dayang kepercayaannya.
Dayang! Pembangunan seribu candi dan penggalian dua buah sumur tersebut hampir selesai.
Apa yang harus kita lakukan? tanya Roro Jonggrang kepada dayang itu.
Tenanglah, Gusti! Pasti ada jalan keluarnya, hibur dayang itu.
Roro Jonggrang kembali berpikir keras dan ia pun menemukan jalan keluarnya. Ia akan
membuat suasana menjadi seperti pagi, sehingga para makhluk halus tersebut menghentikan
pekerjaannya sebelum menyelesaikan seribu candi.
Dayang! Segera bangunkan teman-temanmu! Suruh mereka membakar jerami dan
menumbuk padi di lesung, serta menaburkan bunga-bunga yang harum baunya! perintah
Roro Jonggrang.
Baik, Gusti! jawab dayang itu seraya bergegas masuk ke dalam istana membangunkan
dayang-dayang lainnya.
Dayang-dayang pun bangun dan segera melaksanakan perintah Roro Jonggrang. Tak berapa
lama, tampaklah cahaya kemerah-merahan dari arah timur akibat dari pemakaran jeramih.
Suara lesung pun terdengar bertalu-talu. Bau harum bunga-bungaan mulai tercium. Beberapa
saat kemudian, suara ayam jantan berkokok mulai terdengar. Para balatentara Bandung
Bondowoso pun segera menghentikan pekerjaannya, karena mengira hari sudah pagi. Mereka
pergi meninggalkan tempat pembuatan candi tersebut, padahal kurang sebuah candi lagi yang
belum mereka selesaikan. Batubatu berukuran besar masih berserakan di tempat itu.
Melihat balatentaranya akan kembali ke alamnya, Bandung Bondowoso berteriak dengan
suara keras.
Teman-teman, kembalilah! Hari belum pagi. Genapkan seribu candi. Tinggal sebuah candi
lagi! teriak Bandung Bondowoso.
Para makhluk halus tersebut tidak menghiraukan teriakannya. Akhirnya, Bandung
Bondowoso berniat meneruskan pembangunan candi itu untuk menggenapi seribu candi.
Namun belum selesai candi itu ia buat, pagi sudah menjelang. Ia pun gagal memenuhi
permintaan Roro Jonggrang.
Mengetahui kegagalan Bondowoso tersebut, Roro Jonggrang segera menemuinya di tempat
pembuatan candi itu.
Bagaimana Bandung Bondowoso? Apakah candiku sudah selesai? tanya Roro Jonggrang
sambil tersenyum.
Betapa marahnya Bandung Bondowoso melihat sikap Roro Jonggrang itu. Apalagi setelah ia
mengetahui bahwa Roro Jonggranglah yang telah menggagalkan usahanya. Ia pun
melampiaskan
kemarahannya dengan mengutuk Roro Jonggrang menjadi arca.
Hai, Roro Jonggrang! Kamu telah menggagalkan usahaku untuk mewujudkan seribu candi
yang kurang satu lagi. Jadilah kau arca dalam candi yang keseribu! teriak Bandung
Bondowoso.
Berkat kesaktian Bandung Bondowoso, seketika itu pula Roro Jonggrang berubah menjadi
arca batu. Wujud arca itu sangat cantik, secantik Roro Jonggrang. Hingga kini, arca itu dapat
disaksikan di dalam ruang candi besar yang bernama Candi Roro Jonggrang yang berada
dalam kompleks Candi Prambanan. Sementara candi-candi yang ada di sekitarnya disebut
dengan Candi Sewu.
Demikian cerita Roro Jonggrang dari Prambanan, Daerah Istimewa Yogyakarta. Cerita di
atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan
pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita atas adalah
akibat yang ditimbulkan dari sifat curang dan licik. Sifat ini tampak pada kelicikan Roro
Jonggrang dalam menggagalkan usaha Bandung Bondowoso membangun seribu candi agar
tidak menikahinya.

Anda mungkin juga menyukai