Anda di halaman 1dari 10

THOTOK KEROT

"Duh, Gusti, malang sekali nasib hamba. Apa salah hamba? Apa kurangnya
hamba? Niat hati ingin segera diperistri, tapi jodoh tak kunjung tiba. Karma apa
yang harus hamba tanggung, Gusti?" batin Sang Putri.

Sedari siang, Sang Putri hanya melamun. Dia duduk di atas bongkahan karang di
tepi pantai. Tatap matanya kosong. Raut wajahnya pucat lesu. Tak ada satu pun
pengiring Sang Putri yang berani menegurnya.

Siang hampir berganti petang. Langit biru di atas Pantai Serang itu semakin
menguning kemerahan. Hembusan angin terus menyibak rambut Sang Putri hingga
menjatuhkan bunga kamboja yang terselip di atas daun telinga kanan Sang putri.
Cuaca yang awalnya panas perlahan menjadi dingin. Namun, Sang Putri tetap saja
duduk termenung bagai tak berdaya. Menangislah Sang Putri dalam hanyut
sedihnya.

"Nduk, mari pulang ke istana. Hari sudah beranjak petang. Jangan terhanyut dalam
kesedihan, Nduk. Raja dan Ratu pasti sedang cemas menanti kepulangan Tuan
Putri," sapa inang.

Inang terus menenangkannya. Para pengiring yang lain bergegas menyiapkan


pedati untuk pulang ke istana. Dengan kesedihan yang masih terbendung, Sang
Putri akhirnya menerima ajakan pulang inangnya. Pedati telah siap, payung telah
terkembang, barisan pengiring pun telah rapat untuk mengawal Sang Putri.

"Mbok, bolehkah kita mampir sebentar ke Candi Bacem? Saya ingin sembahyang
dulu, Mbok,"

"Iya, Nduk, nanti kita mampir sebentar di Candi Bacem,"

Pedati terus melaju dari ujung selatan daratan Lodaya ke arah utara menuju istana.
Di tengah perjalanan, rombongan Sang Putri berhenti sejenak di Candi Bacem.
Sang Putri rupanya ingin bersembahyang, memanjatkan doanya kepada Dewata
Agung. Kerbau yang menarik pedati Sang Putri pun berhenti tepat di depan pintu
masuk Candi Bacem.

Sang Putri lekas turun dari pedatinya dan segera naik ke tempat persembahyangan.
Ia memejamkan matanya seraya memanjatkankan doa kepada Dewata Agung. Di
depannya tampak beberapa tembikar berisi sesaji dan dupa yang ditinggalkan oleh
orang-orang yang datang sebelumnya. Usai berdoa, Sang Putri menggandeng
tangan inang untuk diajaknya mengelilingi candi. Mereka terhenti di depan guci
besar dengan ukiran indah yang berisi kisah pengadukan Samudramanthana oleh
para Dewa dan Asura.

"Mbok, kenapa para Dewa dan Asura beramai-ramai mengaduk


Samudramanthana?" tanya Sang Putri.

"Karena mereka merebutkan air amerta yang ada di bawah Samudramanthana,


Nduk," jawab inang.

"Apa istimewanya air amerta itu, Mbok?"

"Konon, air amerta itu adalah air keabadian, Nduk. Air itu suci sehingga patut
untuk diperebutkan,"

"Apakah aku tidak pantas untuk diperebutkan juga, Mbok? Aku juga ingin seperti
air amerta yang diperebutkan dan didambakan oleh banyak orang. Apa salahku,
Mbok? Bahkan seorang pun tiada yang datang meminangku," tutur Sang Putri
dengan terisak tangis.

Inang menjawab pertanyaan Sang Putri dengan memeluknya dan berjalan kembali
ke pedati. "Bersabarlah, Nduk, Dewata Agung pasti segera mengirimkan jodoh
yang terbaik," begitulah katanya sambil menenangkan Sang Putri. Para rombongan
pun segera melanjutkan perlajalanannya menuju istana.

Dalam perjalanannya pulang, rumah-rumah warga sudah terlihat sepi. Obor


penerang jalan sudah banyak yang menyala. Kelelawar mulai berterbangan dari
persembunyiannya. Suara jangkrik dan kodok lamat-lamat terdengar bersautan
bagai ikut mengiringi perjalanan pulang Sang Putri. Rombongan pun akhirnya tiba
di istana sebelum hari benar-benar gelap gulita. Raja dan Ratu tampak cemas
menanti kepulangan Sang Putri. Mereka menjemput Sang Putri dari pedati yang
dinaikinya.

Melihat kesedihan putrinya, Ratu lekas memeluk Sang Putri dan mengajaknya
masuk ke istana. Tidak terdengar sepatah kata pun dari bibir Ratu karena tak tega
melihat kondisi putrinya. Ratu menyuruh inang untuk menyiapkan peralatan mandi
Sang Putri. Inang pun dengan sigap langsung mengerjakan titah Sang Ratu.

Sembari Sang Putri membersihkan dirinya, Raja dan Ratu menanti kedatangannya
di ruang makan istana. Raja dan Ratu tampak sabar menanti kehadiran putrinya.
Mereka pun turut bersedih atas keadaan putrinya akhir-akhir ini. Raja telah
berusaha memerintahkan patih dan juru istana lainnya untuk mencarikan seorang
lelaki yang bersedia menikahi putrinya. Namun, seratus hari berlalu tetap belum
membuahkan hasil yang melegakan hati Raja. Rakyat dan seluruh isi istana turut
bimbang. Bagaimana bisa putri tunggal nan cantik jelita ini belum juga ada yang
meminang?

Sang Putri terlihat anggun berjalan menuju ruang makan didampingi inang dan
dayang-dayangnya. Raja dan Ratu tersenyum menyambut kehadiran Sang Putri.
Tanpa berlama-lama, mereka segera menyantap hidangan yang telah disediakan.
Rupanya, ayam goreng dan minuman jahe mampu menyejukkan suasana hati Sang
Putri.

Usai menyantap hidangan, Sang Putri memohon izin kepada Raja dan Ratu. Sang
Putri ingin berjalan-jalan ke luar wilayah kerajaan esok pagi. Raja mengizinkan
kepergian Sang Putri dengan syarat harus sudah kembali ke istana sebelum tengah
hari. Sang Putri pun menyetujui syarat dari Raja. "Iya, Ayahanda. Saya hanya ingin
pergi sebentar, melihat-lihat desa di seberang sungai Brantas," begitulah ucap Sang
Putri.

***

Pagi ini, kerajaan Lodaya terlihat lebih ramai dari biasanya. Para prajurit istana
sibuk menyiapkan pedati untuk digunakan Sang Putri pergi ke luar wilayah
kerajaan. Sang Putri ingin melihat-lihat desa di seberang Sungai Brantas. Desa itu
sudah masuk wilayah kerajaan Kediri. Konon, kerajaan itu dipimpin oleh seorang
raja yang arif bijaksana. Jayabaya namanya.

Sang putri turun dari pendapa istana menuju ke pedati diiringi oleh inang dan
dayang-dayangnya. Ia tampak cantik dengan balutan kain batik bermotif sulur
bunga-bunga. Rambutnya terurai panjang dengan mahkota kecil menghiasi
kepalanya. Para prajurit istana pun takjub melihat kecantikan Sang Putri.

"Kakang, mari berangkat sekarang agar kita bisa kembali pulang sebelum matahari
berada tepat di atas kita," begitulah ujar Sang Putri kepada para prajurit yang akan
mengawalnya. 

Ada dua pedati yang telah disiapkan. Pedati pertama tampak megah berwarna
keemasan. Pedati itu dinaiki oleh Sang Putri dan Inang. Sedangkan, pedati kedua
terlihat lebih sederhana dan kecil. Pedati itu dinaiki oleh keempat dayang Sang
Putri. Masing-masing pedati itu ditarik oleh dua kerbau yang dikendalikan oleh
seorang prajurit. Prajurit yang lainnya berjalan kaki di barisan depan untuk
membuka jalan dan memastikan keamanan rombongan Sang Putri.
Keluar dari gerbang istana, mereka disambut dengan senyum dan sapaan hangat
dari rakyat. Rakyat di kerajaan Lodaya sangat mencintai Raja, Ratu, dan Sang
Putri. Raja Lodaya terkenal bijaksana dan adil. Meskipun wilayah kerajaan itu
kecil, tapi segala kebutuhan hidup rakyatnya dapat terpenuhi dengan baik. Hasil
pertanian dan perkebunan di wilayah Lodaya sangatlah unggul. Banyak pedagang
dari kerajaan lain yang membeli hasil pertanian dan perkebunan Lodaya. Biasanya,
rakyat Lodaya dan para pedagang dari luar itu bertemu di Sungai Brantas.

Sang Putri sangat menikmati perjalanannya ini. Ia senang melihat rakyatnya yang
hidup rukun dan saling tolong menolong. Ia tersenyum melihat anak-anak kecil
yang sedang asik bermain di tanah lapang. Ada yang bermain lomba lari, ada yang
bermain tepuk tangan, ada juga yang menari sambil diiringi bunyi-bunyian dari
bambu. Mereka tampak bahagia sekali. Sang Putri pun merindukan masa kecilnya
yang penuh tawa dan bahagia.

Tidak terasa, perjalanan mereka hampir sampai di Sungai Brantas. Dari kejauhan
sudah terdengar riuh keramaian di dermaga sungai itu. Dermaga itu bernama
Darungan. Ukurannya cukup luas. Banyak perahu berukuran kecil dan perahu
berukuran sedang yang singgah di dermaga itu.

"Kakang, saya ingin turun sebentar di Dermaga Darungan," ujar Sang Putri.

"Baik, Tuan Putri," jawab pengawal.

Para prajurit yang baris di depan segera membukakan jalan untuk pedati Sang
Putri. Rakyat di dermaga itu tampak bersemangat ingin melihat rombongan dari
istana. Mereka yang tadinya sibuk dengan aktivitas perdagangan, sejenak mereka
berdiri dam memberi salam hormat untuk menyambut Sang Putri. Sang Putri pun
turun dari pedatinya. Ia berjalan melihat aneka dagangan di Dermaga Darungan. 

Para pedagang di dermaga ini hanya bisa tersenyum dan tersipu malu ketika
dagangannya dilihat oleh Sang Putri. Di dermaga ini ada menjual sayur-mayur,
buah-buahan, kain, pernak-pernik, hingga gerabah dan keramik. Barang-barang itu
tidak hanya berasal dari Lodaya dan sekitarnya. Namun, banyak barang yang
asalnya dari Tiongkok dan Persia. Para pendatang ini sangatlah ramah. Banyak di
antara mereka yang memilih menetap di Lodaya dan sekitarnya.

Setelah melihat aneka dagangan di Dermaga Darungan, Sang Putri kembali pedati
dengan membawa keranjang berisikan buah-buahan. Sang Putri sangat menyukai
buah karena dapat menyehatkan tubuhnya. Sang Putri percaya, buah-buahan dapat
menghindarkan dirinya dari berbagai macam jenis penyakit. Sang Putri pun segera
mengutus pengawalnya untuk melanjutkan perjalanan menyeberangi Sungai
Brantas.

Perjalanan pun dilanjutkan. Rakyat di Dermaga Darungan melambaikan tangannya


seraya mengucapkan hati-hati, Tuan Putri! Sang Putri pun membalasnya dengan
senyuman dan juga lambaian tangan. Di tengah perjalanan, Sang Putri menikmati
pemandangan alam sembari memakan buah-buahan yang dibelinya di dermaga.
Buah itu dibersihkan dengan kain lap yang ia bawa dari istana. Buah-buahan itu
menambah rasa sejuk dalam perjalanan Sang Putri.

"Mbok, tolong kupaskan buah ini untuk Kakang Pengawal. Sepertinya dia lelah
mengendalikan kedua kerbau pedati ini," ujar Sang Putri sambil tersenyum simpul.

"Baik, Nduk, sendika dhawuh," jawab inang menuruti pertintah Sang Putri.

Banyak canda gurau menghiasi perjalanan Sang Putri. Sang Putri suka membuat
gelak tawa inang dan pengawal yang berada di dalam pedati. Tidak pernah ada
pembeda status sosial di antara mereka. Sang Putri sangatlah ramah dan
menganggap mereka sebagai saudaranya. Meskipun begitu, inang dan pengawal
tetap menghormati Sang Putri yang elok nan menawan.

Tidak terlalu jauh dari Dermaga Darungan, mereka telah tiba di sebuah desa yang
dibawahi oleh kerajaan Kediri. Tidak jauh dari rombongan Sang Putri berhenti,
tampak para prajurit kerajaan Kediri berlatih perang di sebuah padang rumput yang
luas. Di sana juga tampak Jayabaya yang sedang melihat prajuritnya berlatih
perang.

Jayabaya adalah raja kerajaan Kediri yang masyhur. Namanya dikenal sebagai raja
yang agung, bijaksana, dan gagah berani. Jayabaya sangatlah rupawan dan mampu
menarik hati Sang Putri. Sang Putri pun terkesima oleh karisma Jayabaya. Tanpa
tersadar, pisau yang digunakannya untuk mengupas buah telah menggores kulit
jemarinya hingga terluka.

"Astaga, Nduk!" terkagetlah inang melihat tangan Sang Putri yang terluka.

"Mbok, saya tidak sadar kalau pisau ini telah menggores tangan saya," ucap Sang
Putri sambil menahan rasa perih di jemarinya.

"Kita pulang sekarang ya, Nduk. Jemarimu harus segera diobati," ujar inang.
"Baik, Mbok. Lagipula hari sudah siang. Ayahanda dan Ibunda pasti sudah
menanti kita," jawab Sang Putri sambil membersihkan lukanya dan mengikat
jemarinya dengan sobekan kain.

Rombongan Sang Putri pun segera memutar balik perjalanannya. Perjalanan


pulang ini tampak tergesa-gesa. Para prajurit, inang, dan dayang-dayang
mencemaskan Sang Putri. Meskipun menahan rasa perih, Sang Putri tetap
menunjukkan senyum ramahnya kepada para pengiring perjalanannya. Inang
tampak gelisah karena luka di jemari Sang Putri sangat dalam. Tidak terasa,
perjalanan mereka sudah memasuki gerbang istana Lodaya. Sang Putri rupanya
tertidur dalam pelukan inang selama perjalanan pulang.

***

"Ananda, putriku tercinta, kenapa kamu melukai jemarimu sendiri?" tanya Ratu.

"Tidak tahu, Ibunda. Yang saya ingat, tadi saya melihat Raja Jayabaya yang sedang
mengawasi prajuritnya berlatih perang. Tanpa tersadar, pisau buahku telah
menggores jemariku," jawab Sang Putri.

"Sepertinya, kamu tadi sedang melamun. Mungkin kamu terlalu asik memandangi
prajurit kerajaan Kediri yang sedang berlatih perang," sahut Raja.

"Mungkin begitu, Ayahanda. Mmm, tetapi..." ujar Sang Putri.

"Tetapi apa, Nak?" tanya Raja penasaran.

"Begini, Ayah dan Bunda. Lebih tepatnya saya ini sedang jatuh cinta. Saya
terkesima dengan sosok Raja Jayabaya. Saya sangat mencintainya. Bersediakan
Ayah dan Bunda meminang Raja Jayabaya untuk menjadi suamiku?"

Raja dan Ratu sangat terkejut. Raja dan Ratu tidak mungkin mengabulkan
permintaan putrinya. Permintaan Sang Putri adalah hal yang tabu. Sudah
selayaknya, seorang perempuanlah yang dipinang lelaki. Namun, permintaan Sang
Putri adalah kebalikan dari hal itu. Raja dan Ratu berusaha menjelaskan baik-baik
mengenai hal itu. Raja dan Ratu tidak Lelah menasihati Sang Putri agar tetap
bersabar dan menanti jodoh pemberian Dewata Agung.

"Putriku, kamu harus ingat. Ketetapan Dewata Agung itu ada lima hal. Siji pesthi,
loro jodho, telu wahyu, papat kodrat, lima bandha. Artinya, takdir, jodoh, wahyu,
kodrat, dan rezeki adalah hal yang menjadi ketetapan Dewata Agung," nasihat
Ratu.

"Namun, sampai kapan saya harus menunggu jodoh itu datang? Apakah salah
kalau saya berusaha?" Jawab Sang Putri dengan kesal.

Sang Putri lalu menangis dan bergegas menuju kamarnya. Ia sangat kecewa. Ia
sangat marah kepada Raja dan Ratu karena tidak mengabulkan permintaannya. Ia
pun mengunci kamar tidurnya. Dari luar, terdengar guci dan kaca pecah karena
diamuknya. Seluruh isi istana takut karena tidak pernah melihat Sang Putri berbuat
seperti ini sebelumnya.

Inang berusaha mengetuk kamar Sang Putri dan mencoba menenangkannya. Alih-
alih tenang, Sang Putri tetap mengamuk dan mengabaikan inangnya. Inang tetap
bertahan di depan pintu kamar Sang Putri. Ia berharap Sang Putri mau
membukakan pintu untuknya. Benar saja, Sang Putri pun akhirnya membukakan
pintu untuk inang.

"Mbok, siapkan segala hantaran dan seluruh pasukan untuk mengiringiku besok ke
Kediri. Aku akan meminang Raja Jayabaya tanpa restu Raja dan Ratu," perintah
Sang Putri.

"Tapi... Nduk?" tanya inang.

"Kerjakan saja perintahku, Mbok!" tegas Sang Putri.

Inang pun segera melaksanakan perintah Sang Putri. Ia tidak bisa menolaknya.
Seluruh istana sibuk menyiapkan segala antaran dan iring-iringan untuk besok
berangkay ke Kediri. Raja dan Ratu pun belum mengetahui hal ini.

***

Mentari telah terbit dari ufuk timur. Sinarnya pagi ini terasa hangat. Burung-
burung pun berkicau bersahut-sahutan. Di dalam kamarnya, Sang Putri sedang
berhias dan dilayani oleh dayang-dayangnya. Segala hantaran telah perjejer rapi di
pendopo istana. Pasukan pengiring telah bersiap di halaman istana.

Usai berhias, Sang Putri bergegas keluar dari kamarnya dan menuju pendopo. Ia
tengah memastikan segala kelengkapannya. Setelah semua dirasa telah lengkap, ia
segera memberangkatkan rombongannya untuk pergi ke Kediri. Tanpa berpamitan
dengan Raja dan Ratu, rombongan itu pun berangkat. Kali ini, prajurit yang
mengiringi Sang Putri sangatlah banyak. Mereka berbaris rapi dan berjalan
memanjang. Pedati Sang Putri dilengkapi dengan payung yang bersusun tiga.
Kerbau penarik pedati itu pun dihiasi oleh kalung ronce bunga melati. Sungguhlah
megah iring-iringan ini.

Di pedati yang lain, tampak para dayang duduk sambil memangku hantaran. Ada
yang memangku keranjang berisi buah-buahan, ada yang memangku keranjang
berisi keranjang berisi kue-kue istana, bahkan ada juga yang memangku cupu
manik berisikan emas dan permata. Segala hantaran itu tidak lain diperuntukkan
untuk meminang Raja Jayabaya.

Perjalanan yang jauh ini terasa sangat singkat. Tidak terasa, rombongan Sang Putri
sudah melewati Candi Simping dan sebentar lagi akan menyeberangi Sungai
Brantas melalui Dermaga Darungan. Para rakyat yang melihat iring-iringan ini
sangatlah kaget dan takjub. Tidak biasanya keluarga kerajaan Lodaya melakukan
perjalanan dengan iring-iringan yang sangat megah. Hendak kemanakah Sang Putri
dan ada acara apakah ini adalah dua kalimat yang dilontarkan oleh rakyat. Mereka
sangat bingung dan saling bertanya.

Perjalanan terus berlanjut dan mereka telah sampai di sebuah pasar sebelum
memasuki wilayah istana kerajaan Kediri. Penjaga di pintu pasar itu menanyakan
tujuan rombongan Sang Putri. Namun, Sang Putri enggan menjawab pertanyaan
dari para penjaga pintu pasar itu. Ia tidak ingin perjalanannya terhalang oleh para
penjaga pintu pasar.

"Minggirlah atau aku porak-porandakan pasar ini!" begitulah ancam Sang Putri
kepada para penjaga pintu pasar. Tanda berlama-lama, Sang Putri menyuruh
prajuritnya untuk membukakan jalan yang menghalangi Sang Putri. Terjadilah
peperangan di dalam pasar ini. Rakyat menjerit ketakutan. Mereka berlari menuju
persembunyian yang aman. Seluruh isi pasar morat-marit. Para penjaga pintu pasar
kewalahan menghadapi serangan dari prajurit Lodaya. Salah seorang dari penjaga
pintu pasar itu lari menuju istana untuk memberi tahu Raja Jayabaya.

"Sekarang minggirlah kalian semua! Hahahaha!" seru Sang Putri. Para penjaga
pintu pasar telah berhasil dikalahkan. Iring-iringan Sang Putri melanjutkan
perlajanannya untuk masuk ke dalam istana Kediri melalui pintu barat. Mereka
berhenti di depan pintu gerbang istana yang dihiasi oleh lambang Candrakapala. 

Tengkorang bertaring di atas bulan sabit itulah yang disebut sebagai Candrakapala,
simbol dari kerajaan Kediri. Pintu gerbang itu dijaga ketat oleh prajurit yang
membawa tombak dan pedang. Penjaga pintu itu bertubuh tegap. Agaknya, penjaga
pintu gerbang istana itu akan lebih susah dihadapi daripada penjaga pintu pasar
yang telah dikalahkan oleh prajurit Lodaya.

Sang Putri turun dari pedatinya. Ia menyampaikan tujuan kedatangannya dan


meminta untuk dibukakan pintu gerbang istana. Penjaga pintu gerbang istana
mempersilakan Sang Putri untuk menunggu sebentar. Salah seorang penjaga pintu
gerbang istana ingin menyampaikan kedatangannya kepada Raja Jayabaya.
Namun, Sang Putri enggan untuk menunggu. Ia ingin segera dipersilakan masuk ke
dalam istana.

"Saya datang ke sini untuk menemui Rajamu. Biarkan aku masuk ke dalam
istana!" tegas Sang Putri.

"Bersabarlah, Tuan Putri. Hendak saya tanyakan dulu kepada Baginda Raja
Jayabaya," jawab salah satu penjaga gerbang istana.

Sang Putri pun mengancam akan merobohkan pintu gerbang apabila tidak segera
dibukakan pintu. Prajurit Lodaya diperintahkannya untuk melakukan serangan. Hal
ini membuat para prajurit dari dalam istana Kediri keluar dan membalas serangan
prajurit Lodaya. Mereka terlihat saling menyerang. Tanaman yang ada di sekitar
gerbang istana itu pun rusak oleh serangan dari kedua kubu. "Serang! Jangan
sesekali mundur!" seru Sang Putri. Keramaian itu pun akhirnya terdengar sampai
dalam istana. Raja Jayabaya segera keluar untuk melihat keadaan yang ada di luar
istana.

"Hentikan semua ini!" perintah Raja Jayabaya.

"Siapa kamu? Apa tujuanmu datang kemari?" tanya Raja Jayabaya kepada Sang
Putri.

"Aku Putri dari Lodaya. Aku datang kemari untuk meminangmu. Aku telah
membawa hantaran yang indah-indah dari istanaku. Peristrilah aku agar kita hidup
bahagia!" jawab Sang Putri dengan lantangnya.

"Apakah seperti ini caramu bertamu? Tidakkah kamu mengerti tata cara bertamu
yang sopan? Lihatlah hasil perbuatanmu yang telah menghancurkan wilayahku dan
membuat takut rakyatku!" sahut Raja Jayabaya.

Sang Putri tersinggung dengan ucapan Jayabaya. Ia merasa bahwa tujuannya


datang ke Kediri atas nama panggilan cinta. Ia menawarkan sekali lagi kepada Raja
Jayabaya untuk mau memperistrinya. Namun, Raja Jayabaya dengan bulat telah
mengatakan tidak. Sang Putri pun semakin marah dan mengamuk. Ia mengancam
untuk meluluhlantakkan istana kerajaan Kediri.

Raja Jayabaya sangat menyayangkan sikap seorang putri yang cantik jelita ini.
Raja Jayabaya pun berdoa kepada Dewata Agung. Ia tidak ingin melukai Sang
Putri. Ia pasrah terhadap kuasa Dewata Agung.

"Oh, Dewata Agung. Jauhkanlah sang bahaya. Jauhkanlah sang hantu berwujud
raksasa. Jauhkanlah sang manusia berwujud raksasa. Pergilah yang berwujud
bahaya. Pergilah yang berwujud kejahatan. Wahai Sang Putri, aku akui rupamu
sungguh cantik jelita. Namun, cantik parasmu tidak secantik hati dan kelakuanmu.
Cantikmu lebih layak seperti cantiknya seorang raksasa!"

Langit seketika menjadi gelap. Gemuruh petir dan kilat menyambar-nyambar di


atas istana Kediri. Angin berhembus sangat kencang. Banyak daun yang jatuh
berguguran. Seketika, kilat dari langit menyambar tubuh Sang Putri. Suaranya
menggelegar hingga terdengar oleh Raja dan Ratu Lodaya di dalam istananya.
Pada saat itu juga muncullah asap hitam dari tubuh Sang Putri. Tubuh Sang Putri
telah membeku dan berubah wujud menjadi arca raksasa perempuan.

Prajurit Lodaya menangisi nasib Sang Putri. Inang dan para dayang tidak hentinya
memeluk dan mengusap tubuh arca itu. Raja Jayabaya turut prihatin dan
menenangkan para prajurit Lodaya. Raja Jayabaya memerintahkan para
rombongan dari Lodaya untuk kembali ke istananya. Raja Jayabaya pun menamai
arca perwujudan Sang Putri sebagai Totok Kerot. Arca ini dibiarkan tetap berada di
tempat untuk menjaga pintu barat istana Kediri.

Tamat.

Dikarang oleh Priyo Joko Purnomo.

https://www.kompasiana.com/priyojoko/5f3e8f5d73b0873e6f4e8ba2/legenda-
totok-kerot-kediri?page=all

Anda mungkin juga menyukai