Hari cerah. Langit biru. Matahari belum lagi tinggi. Mendengung-dengung bunyi canang
kedengaran di alun-alun. Menggema, mengumandang bunyinya sekitar alun-alun
Gagelang. Punggawa istana berhenti menabuh canang, lalu berseru-seru kepada
orang-orang yang lalu lintas, menyampaikan berita dari istana. Kabar penting tentang
Putri Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati yang hendak meninggalkan Gagelang.
Rakyat dianjurkan agar supaya beramai-ramai menghormati keberangkatan kedua
kemenakan Baginda Raja. Ia berhenti bicara, lalu canang ditabuhnya lagi. Berita istana
itu disampaikan orang-orang dari mulut
ke mulut — secara beranting — akhirnya dimaklumi orang sampai ke pelosok-pelosok
negeri. Rakyat Gagelang yang patuh itu pada meninggalkan rumah lalu berdiri di tepi
jalan yang bakal dilalui Cendera Kirana dan para penginngnya.
Di pelataran istana tampak berpuluh-puluh kuda. Kuda tunggang dan kuda beban.
Si Rangga Ringgit kedengaran meringkik-ringkik girang. Senang hatinya, oleh
karena ia hendak pulang kandang ke Kuripan.
Para abdi, para emban, para panakawan dan para prajurit, yang hendak
mengiringkan putri Cendera Kirana tampak girang dan tampak sibuk. Berjalan
mondar-mandir. Mengangkat dan mengangkut barang-barang, pakaian, makanan,
serta perkakas-perkakas yang hendak dibawa.
Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati kedua-duanya kelihatan sedang diselimuti
suasana kasih sayang mesra. Kadang-kadang tampak kedua merpati itu lirik melirik
atau saling melontarkan senyum kasih. Tiada banyak kata-kata yang mereka
ucapkan dengan mulut, selain dalam kalbu.
Kemudian, setelah upacara perpisahan di istana itu selesai, maka Cendera Kirana
dan Raden Inu Kartapati naiklah kuda masing-masing. Bunyi-bunyian ditabuh orang.
Iring-iringan Cendera Kirana didahului oleh barisan berkuda para perwira dan prajuril
Gagelang, yang hendak mengantarkan sampai perbatasan negeri.
Hiruk-pikuk, sorak-sorai rakyat Gagelang mengiringkan Cendera Kirana yang
hendak pulang. Penonton berdesak-desakan oleh karena ingin lebih dekat melihat.
Ingin mengagumi kecantikan putri Cendera Kirana, putri Daha yang beberapa hari
yang lalu dikenal rakyat Gagelang dengan nama samaran Warga Asmara.
Kakek-kakek yang sudah ompong dan berambut putih seperti kapas. yang harus
berdiri bertopangkan tongkat, matanya tanpa kedip memandang kepada putri nan
ayu. Boleh jadi kakek ingat kepada masa jejakanya yang telah lewat ketika ia
dimabuk perasaan rindu kasih kepada si dia, kepada si nenek yang kini berdiri di
sampingnya. Jika kaki kakek masih kuat, maulah ia mengikuti kuda yang ditunggangi
putri cantik itu. Maksud hati hendak mengejar si cantik molek, apa daya jika kaki
mogok jalan. Kakek terpaksa harus mengukur baju diri sendiri, dan menurut nenek
yang menggandeng mengajak pulang.
Para jejaka yang sedang menanggung rindu, pada berlomba jalan cepat mengikuti
iring-iringan putri Daha nan jelita. Terkadang ada yang jatuh terguling-guling, lantaran
kaki terserandung, lantaran mata terus melihat kepada si juita putri, tanpa melihat
jalan.
Ada pula orang-orang yang merasa malu oleh karena merasa pernah tergila-gila
hatinya oleh Cendera Kirana sewaktu putri menyamar menjadi Warga Asmara. Ya,
pendek kata Cendera Kirana meninggalkan banyak kesan pada rakyat Gagelang.
Kuda dilecut agar supaya berlari agak cepat untuk memburu waktu. Jerude, Punta,
Kartala, dan Persanta mengawal iring-iringan. Jerude dan Punta di depan; Kartala
dan Persanta di belakang barisan. Jalan yang ditempuh, melalui hutan rimba, bukit
dan lembah. Kadang kadang mereka pun harus menyeberangi sungai. Malam hari
atau jika hari hujan, maka kemah pun ditegakkan.
"Wahai adinda Cendera Kirana. Kita ke Daha dahulu ataukah terus ke Kuripan?''
Raden Inu Kartapati bertanya.
Cendera Kirana berpikir sejenak, lalu menjawab, "Terus saja ke Kuripan. Daha
sama sekali tak menarik hati adinda. Bagi adinda, Daha merupakan sumber
kesedihan hati dan pangkal hidup sengsara. Selama Paduka Liku dan Galuh Ajeng
ada di sana, Daha merupakan tempat bersarang ular-ular berbisa, tempat yang
sangat berbahaya. Akan tetapi .... "
Cendera Kirana tidak lekas menjawab oleh karena ia sedang berpikir hendak
memancing isi hati Raden Inu Kartapati.
''Ah, rupanya dinda punya rahasia," kata Raden Inu Kartapati sambil
memandang kepada Cendera Kirana.
"Maksud dinda begini. Jika kakanda hendak pulang ke istana Daha karena kakanda
hendak bertemu decgan Galuh Ajeng, istri kakanda silakanlah. Adinda tak hendak
mengalang-halangi kehendak kakanda. Tetapi adinda hendak terus menuju Kuripan."
Demikian kata Cendera Kirana sambil bernapas panjang seolah-olah melepaskan
rasa berat dalam hati.
"Wahai adinda Cendera Kirana, Galuh Ajeng bukan istri kakanda lagi. Dia sudah
kanda cerai. Sebab kanda merasa ditipu. Ibarat orang membeli emas, diberi loyang.
Ccbalah adinda pikir. Adinda bertunangan Cendera Kirana, dinikahkan dengan
Galuh Ajeng, perempuan yang tak tahu adat, yang sekali-kali tak patut disebut putri
raja. Mana dapat kakanda memperistrikan dia. Malam itu, selesai upacara nikah, hati
kakanda sangat kecewa dan marah. Kakanda tak pedulikan Galuh Ajeng.
Sampai larut malam kanda tidak mau tidur. Hati kanda senantiasa mengembara di
tempat jauh, seolah-olah mencari tempat berpantul pada orang yang tak diketahui ke
mana perginya — menghilang tanpa meninggalkan bekas. Di ruang mata kanda
terbayang selalu wajah Raden Panji Semirang yang menurut firasat kanda tentu
seorang putri raja yang kanda rindukan."
Cendera Kirana tersenyum manis sambil menggigit bibir. Teringat kembali olehnya
saat-saat yang mengesankan di masa sedang menyamar menjadi Raden Panji
Semirang Asmarantaka; di saat sedang bertemu muka dengan Raden Inu Kartapati;
di saat tangannya dijamah oleh tunangannya itu. Betapa aneh perasaan hatinya
pada detik-detik itu. Perasaan cintakah itu namanya ? Entah, Cendera Kirana tidak
tahu. Namun nyata bahwa darah bertambah deras mengalir sekujur badan; jantung
berdetak-detak senang. Rasa bahagia, meresap, menyelinap sampai ke dalam
lopak-lopak kecil dalam hati.
"Di malam larut itu, dinda." Raden Inu Kartapati meneruskan. "Tiba-ttiba kanda
dikejutkan oleh suara ingar-bingar di ruang istana bekas pesta nikah. Kanda
dengar ringkik kuda. Suara kuda yang tak asing bagi telinga kanda, namun lupa
kuda siapa gerangan. Kuda itu rupanya dilecut oleh si penunggang, dipaksa
melanda segala perkakas yang ada di ruang bekas pesta itu. Meja, kursi, piring,
mangkuk, lampu, gelas, pendek kata segala barang yang ada di situ, dihancurkan.
Segera kanda ke luar. Terus masuk ruang istana itu. Namun, ah, terlambat! Kanda
hanya melihat perkakas yang rusak binasa dan hanya mendengar derap kuda yang
bertambah jauh mengtulang ditelan sunyi malam. Baik Raja maupun kakanda
menduga, bahwa itu bukan perbuatan orang yang bermaksud jahat, melainkan
perbuatan orang yang panas hati atau cemburu akan pernikahan kanda dengan
Galuh Ajeng. Malam itu kanda tak dapat tidur. Esok harinya kanda meninggalkan
istana Daha. Terus menuju istana Raden Panji Semirang. Maksud kanda tak lain,
hanya hendak menyelidiki benar tidaknya duga persangka kanda kepada Raden
Panji Semirang yang memabukkan benar pikiran dan perasaan kanda. Jika Raden
Panji Semirang benar putri tunangan kanda, hendak segera kanda bawa ke Kuripan
untuk dinikah."
Cendera Kirana geli hatinya. Raden Inu Kartapati meneruskan ceritanya, "Akan
tetapi hati kanda amat kecewa! Kanda tidak bertemu dengan Raden Panji Semirang.
Dia meninggalkan istana di malam larut. Demikian Mahadewi berkata sambil
menangis sedih. Dugaan kanda tidak meleset setelah mendengar keterangan dari
Mahadewi tentang Raden Panji Semirang. Mahadewi kanda antarkan kembali ke
istana Daha. Dengan senang hati Baginda Raja menerima Mahadewi kembali. Ya,
malahan Mahadewi diangkat Baginda menjadi pernaisur. Kanda puji tindakan
Baginda Raja demikian, oleh karena Mahadewi berbudi. Rupanya Baginda Raja
sudah mulai sadar akan kekeliruan-kekeliruan yang telah dibuatnya di masa lalu.
Sadar akan kelemahan hatinya terhadap Paduka Liku dan Galuh Ajeng. Baginda
Raja menyesali diri akan tingkah lakunya yang kejam terhadap Cendera Kirana.
Betapa sedih hati Baginda Raja jika ingat akan nasib buruk mendiang permaisuri
Puspa Ningrat yang menjadi korban kejahatan Paduka Liku."
Air mata meleleh di pipi Cendera Kirana. Hatinya serasa ditusuk-tusuk janun jika
Cendera Kirana ingat akan nasib mendiang ibunda. Hatinya geram, marah kepada
Paduka Liku dan Galuh Ajeng, kedua iblis yang berbadan perempuan-perempuan
cantik itu. Maulah ia me menggal batang leher kedua manusia jahat itu!
Raden Inu Kartapati melanjutkan bicaranya, "Baginda tidak menjadi gusar dan
paham mengapa kanda menceraikan Galuh Ajeng. Kemudian Baginda mendoakan
supaya kanda berhasil menemukan adinda Cendera Kirana. Kanda meninggalkan
Daha dengan maksud hendak berkelana. Hendak mencari buah hati kanda Cendera
Kirana."
“Kalau kanda tak salah lihat, kita sudah hampir sampai di perbatasan kerajaan
Daha. Lihat gunung itu." Raden Inu Kartapati berkata sambil menunjuk ke gunung.
“'Kabarnya di puncak gunung itu berdiam seorang pertapa sakti."
Sementara itu hujan turun. Langit kelihatan kehitam-hitaman karena awan kelabu.
Bunyi guruh bergelombang-gelombang seolah-olah bunyi air samudra yang sedang
mengamuk ditiup badai.
Raden Inu Kartapati dan Cendera Kirana memandang dengan penuh perhatian
kepada tingkah laku orang yang sedang mendaki gunung itu.
Tiba-tiba cahaya tampak melejang di langit dan segera disusul oleh bunyi petir
kemudian disusul pula oleh jerit orang yang mendaki gunung itu. Dan tampaklah
orang itu jatuh, kemudian terguling-guling seperti batu. Anehnya! Hujan berhenti, lalu
langit pun menjadi cerah.
"Ajaib !" kata Raden Inu Kartapati dalam hati. Kemudian ia segera menyuruh Jerude
dan Punta memeriksa orang yang disambar petir itu. Kedua prajurit itu melecut
kudanya masing-masing lalu menuju tempat orang itu.
Oleh karena hujan telah berhenti dan langit terang lagi, maka kemah dibongkar.
Raden Inu Kartapati bermaksud hendak meneruskan perjalanan, setelah Jerude
kembali dari lereng gunung itu.
Derap kuda Jerude dan Punta semakin jelas, semakin mendekat kedengaran. Dan
tampak pulalah kedua utusan itu mengangkut mayat orang yang disambar petir itu.
Persanta dan Kartala menolong kawan-kawannya. Mayat diletakkan di tanah untuk
diperiksa. Sekujur badan mayat itu hangus.
"Ketika hamba tiba di tempat dia menggeletak, dia masih bisa berkata-kata. Dia
mengaku Menteri dari Daha, paman Paduka Liku. Dia disuruh Paduka Liku
mengunjungi tempat pertapa di puncak gunung." Jerude memberi keterangan.
Raden Inu Kartapati dan Cendera Kirana saling memandang. Kedua mereka
menaruh curiga pada maksud Paduka Liku.
"Apa yang sebaiknya kita kerjakan dengan mayat Menteri ?" Raden Inu Kartapati
bertanya. "Kita kubur di sini atau kita serahkan dia kepada Padaka Liku ?"
Cendera Kirana bertambah keras syak wasangkanya, bahwa Paduka Liku tentu
hendak berbuat jahat lagi dan menyuruh Menteri meminta bantuan pertapa sakti.
Jantung Cendera Kirana berdebar-debar. Hatinya mual. Terlintas dalam pikiran
Cendera Kirana semua kejahatan Paduka Liku.
Raden Inu Kartapati segera menyuruh kuburkan mayat Menteri. Setelah selesai
dikerjakan upacara penguburan, kemudian iringan-iringan Cendera Kirana bergerak
maju, meneruskan perjalanan.
Kerajaan Daha dilalui dan sampailah Cendera Kirana di tempat bekas dia dahulu
memulai berkelana. Tersirap darah Cendera Kirana melihat bangunan-bangunan
bekas istana dan bekas rumah-rumah para panakawan dan prajurit-prajuritnya.
Berbagai macam perasaan bersimpang siur dalam hati Cendera Kirana. Perasaan
rindu, sedih, geli saling menjalin. Ken Bayan dan Ken Sanggit pun terkenang kembali
kepada lakon hidupnya dahulu. Kedua emban yang setia dan pemberani itu
tersenyum geli sambil saling memandang.
Iring-iringan Cendera Kirana berhenti berjalan. Cendera Kirana dan Raden Inu
Kartapati turun dari kuda. Maksudnya hendak melepaskan lelah sebentar sambil
mengenangkan kejadian-kejadian di masa lalu.
Tanpa disuruh. Ken Bayan dan Ken Sanggit mengadakan acara hiburan.
Maksudnya untuk sekedar menggembirakan suasana.
Ken Bayan dan Ken Sanggit berbisik-bisik kepada Jerude, Punta, Kartala dan
Persanta. Apa yang mereka percakapkan tak jelas kedengaran. Yang tampak
hanyalah angguk kepala dan senyum-senyum senang.
Ken Bayan dan Ken Sanggit membetulkan pakaian, menyelipkan keris, lalu berdiri di
depan pintu gerbang. Tingkah kedua emban itu seperti ketika mereka menyamar
menjadi Kuda Perwira dan Kuda Peranca dahulu itu. Kartala ica-icanya menjadi
Raden Inu Kartapati dan Persanta memainkan peran sebagai Cendera Kirana. Raden
Wirantaka, Galuh Nawang Cendera dan Nila Wad pun turut main.
Kartala, Punta, Jerude dan Raden Wirantaka naik, kuda hendak melintasi pintu
gerbang. Ditegur oleh Ken Sanggit dengan gaya seperti prajurit yang gagah berani.
"Berenti! Kalian dari mana? Mau pergi ke mana?" Ken Sanggit menegur.
Tangannya pura-pura memelintir kumis.
"Hus ! Jangan sembrono! Aku prajurit pilihan." Ken Sanggit mengusap bibir dan
pura-pura memelintir kumis.
"Siapa pula yang memilih kamu menjadi prajurit ? Apa pula yang Kau pelintir?
Kumis? Ah, kumis-palsumu rupanya ketinggalan di bakul!"
"Kamu buta, hah ! Ini bukan kumis namanya ?" Ken Sanggit suaranya sengau.
"Hacih ! Hacih'" Tiba-tiba ia bersin. Tembakau susurnya meloncat.
"Aih, aih ! Kau ingin kulamar rupanya. Baik, gadisku sayang!" sahut Jerude. "Tapi
nanti kalau sudah menerima gaji. Sekarang tanggung bulan."
"Cis tidak malu ! Lagaknya seperti orang kaya, tapi kantongnya kosong." Ken
Sanggit berkata sambil mencibir dan berjalan berlenggang-lenggok dengan genitnya.
Ken Bayan tampil ke depan. Segera ditegur Jerude. Katanya, "Aduh ayunya! Kau
juga minta kulamar, gadis cantik?"
"E, e! Jangan kurang ajar, ya! Jelek-jeiek aku ini prajurit Daha. Serahkan uang
jujuran itu kepadaku. Jangan dibawa ke Daha," kata Ken Bayan.
"Kau tak tahu. Putri Daha yang hendak dilamar ada di sini. Tuh lihat istananya!"
Ken Bayan menunjuk.
Jerude melihat tercengang kepada Kartala. Lalu katanya, "Betul?"
"Aku tak biasa berbohong. Aku berani sumpah. Biar kepalamu disambar geledek
kalau aku berdusta!"
"Aduh biung, biung! Kepalaku cuma satu. Jangan! Jangan disambar geledek.
Disambar bidadari aku mau!" Jerude meratap sambil memegang-megang kepala.
Persanta tampil ke muka. Disambut oleh Ken Sanggit dan Ken Bayan. Kata Ken
Bayan, "Na, ini putri Daha bakal menantu Raja Kuripan."
Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati geli hatinya. Penonton yang lain tertawa-
tawa gembira.
"Sebaiknya putri kita ajak ke Kuripan saja. Jadi kita tak perlu susah payah pergi ke
Daha," kata Kartala.
"Kakanda, pikir adinda lebih baik bekas istana adinda itu dibakar saja sebelum kita
meneruskan perjalanan ke Kuripan," kata Cendera Kirana.
Raden Inu Kartapati menganggukkan kepala tanda setuju, lalu menyuruh Punta
dan Persanta membakar bekas istana Panji Semirang itu.
Keempat prajurit itu segera melakukan tugasnya masing-masing. Dan api pun
segera berkobar, membakar bekas istana Panji Semirang beserta perumahan para
prajurit. Bergeretak suara bambu dan kayu dimakan api. Asap menjulang ke
angkasa lalu hilang ditiup sang Bayu. Yang tinggal hanyalah reruntuh-reruntuh,
arang hitam dan abu, yang kemudian akan hilang pula dari tempatnya. Istana Panji
Semirang hilang dari pandangan mata, namun kisah asmara yang pernah
berlangsung di sana masih tetap hidup dalam kalbu Cendera Kirana dan Raden Inu
Kartapati. Jika reruntuh-reruntuh istana itu tidak bisu, tetapi bias bicara sendiri,
maka ia kiranya akan sanggup berkisah kepada orang-orang yang lalu lintas ke
tempat itu tentang dua makhluk yang berkelana, berkasih-kasihan, dimabuk
asmara.
Setelah selesai sekaliannya, maka iring-iringan Cendera Kirana itu melanjutkan
perjalanannya menuju Kuripan. Rakyat Kuripan pada ke luar rumah, pada
menyambut kedatangan Raden Inu Kartapati.
Di istana tampak hadir Baginda Raja dan permaisuri serta para temenggung, para
bupati, para menteri, dan demang. Baginda Raja dan permaisuri yang sudah lanjut
usianya itu tampak agak gugup oleh karena hatinya sangat terharu. Mudah
dimengerti, sebab mereka sama sekali tak menduga bahwa Raden Inu Kartapati
masih hidup dan bakal bertemu lagi.
Raden Inu Kartapati dan Cendera Kirana dengan khidmat bersembah sujud di
hadapan Baginda Raja dan permaisuri.
"Ayahanda Raja dan ibunda permaisuri. Sudi apalah kiranya ayahanda dan ibunda
menerima sembah bekti anakanda berdua. Semoga ayahanda dan ibunda sudi
mengampuni dosa anakda berdua dan sudi menganugerahi restu pangestu," sembah
Raden Inu Kartapati.
Baginda Raja dan permaisuri mencium ubun-ubun kepala Raden Inu Kartapati dan
Candera Kirana.
Baginda Raja bersabda, "Sembah bakti kalian berdua ayah terima. Dan terima
pulalah doa salam bahagia ayahanda. Semoga Dewa yang mulia senantiasa
melindungi anakda berdua dari segala azab di dunia dan di akhirat."
Raden Inu Kartapati dipersilakan duduk di samping Baginda Raja dan Cendera
Kirana di samping permaisuri. Kemudian Raden Inu Kartapati memperkenalkan
putra-putra dan putri-putri yang ikut, kepada Baginda Raja. Yaitu: putri-putri Raja
Mentawan, Puspa Juita dan Puspa Sari ; putri Raja Sedayu, Galuh Nawang Cendera
; putri Raja Jaga Raga, Nila Wati; dan akhirnya putra Raja Jaga Raga yang bernama
Raden Wirantaka.
Berpuluh-puluh ekor kambing, beratus-ratus ekor ayam dan itik disembelih. Berbagai
macam sayuran dan buah-buahan didatangkan; berpuluh-puluh gerobak. Laki
perempuan ramai menumbuk padi, membelahi kayu bakar. Sibuk benar perempuan-
perempuan yang masak di dapur; atau menyusun piring-piring, gelas-gelas, baskom-
baskom dan basi-basi. Orang-orang laki yang menghiasi istana dan pintu gerbang
tidak kurang sibuk pula. Masing-masing bekerja menurut tugasnya sendiri-sendiri. Di
luar benteng istana para pedagang mendirikan gubuk untuk tempat berjualan.
Pendek kata rakyat Kuripan sibuk bekerja semua. Semua orang ingin turut
merayakan hari yang mulia itu. Siang malam mereka bekerja keras. Para pendeta
dengan saksama mencari hari yang paling baik ; memanjatkan doa agar supaya tidak
ada alangan apa pun di hari yang akan dirayakan itu.
Kaum kerabat Baginda Raja yang jauh tempat tinggalnya, beberapa hari
sebelumnya, sudah datang. Demikian pula Baginda Raja Daha dengan permaisuri.
Pertemuan kembali antara Raja Daha dengan Cendera Kirana diliputi suasana sedih,
mengingat akan kejadian-kejadian yang serba pahit getir yang menyebabkan keraton
Daha menjadi berantakan. Yang menyebabkan permaisuri menjadi korban guna-
guna Paduka Liku, yang menceraikan ayah dan anak. Ya, kiranya sudah kehendak
Dewa yang mulia, maka Raja Daha harus mengalami hidup sepahit itu — maka
Cendera Kirana harus hidup berkelana dahulu sebelum mencapai kebahagiaan
hidup.
"Ah, alangkah senang hati hamba, jika ibunda masih hidup dan menyaksikan
peristiwa pernikahan hamba." Cendera Kirana berkata seraya terisak-isak sedih.
Air mata permaisuri Daha dan Cendera Kirana membasahi pipi dan haribaan.
"Paduka Liku dan Galuh Ajeng akan hadir, ibunda?" tanya Cendera Kirana.
"Hamba sendiri melihat mayat Menteri. Hangus sekujur badannya," kata Cendera
Kirana.
“Tetapi mengapa orang-orang jahat seperti Paduka Liku dan Galuh Ajeng masih juga
dihidupi oleh Dewa yang mulia?'' tanya Cendera Kirana.
Seminggu lamanya Cendera Kirana dipingit di istana. Ia tak boleh bertemu muka
dengan Raden Inu Kartapati. Hanya beberapa orang emban dan pendeta sajalah
yang boleh bertemu dengan Cendera Kirana. Mereka itulah yang harus mengurus
segala-galanya yang diperlukan oleh Cendera Kirana, bakal pengantin itu. Misalnya
membuatkan jamu-jamu untuk diminum ; membuatkan boreh atau bedak. Dan juru
rias harus mengatur semuanya yang diperlukan untuk mempercantik dan
memperindah pakaian penganten.
Akhirnya, hari yang dinanti-nantikan itu, tibalah. Para tamu dan kaum kerabat, dari
tempat-tempat yang dekat ataupun jauh, sudah hadir semua di ruangan istana.
Dengan khidmat tamu-tamu agung mengikuti gerak gerik pendeta yang melakukan
upacara pernikahan. Selesai nikah, maka Raden Inu Kartapati dinobatkan sekali
menjadi Raja Kuripan.
Dentuman meriam dua puluh satu kali menandakan upacara sudah selesai.
Kemudian kedengaran rakyat bersorak-sorai dengan suka hatinya. Bunyi-bunyian
ditabuh dan pesta pun mulailah. Tujuh hari tujuh malam rakyat Kuripan bersuka-ria.
Berangsur-angsur tamu-tamu dan kaum kerabat Baginda Raja pada pulang ke
tempat masing-masing. Dan akhirnya Baginda Raja Daha beserta permaisuri pun
meninggalkan istana Kuripan.
No :15
Kelas :X.10