Alkisah pada zaman dahulu hiduplah seorang raja di Tanah Jawa yang
merupakan empat bersaudara. Yang tua menjadi raja di Kuripan, yang
muda menjadi raja di Daha, yang tengah menjadi raja di Gegelang, dan
yang bungsu menjadi raja di Singasari. Empat orang bersaudara itu sangat
menyayangi satu sama lain. Negeri tempat mereka tinggal sangat ramai dan
termasyur. Banyak pedagang asing yang masuk untuk berniaga di dalam
negeri itu.
Dikirimlah utusan ke Daha untuk meminang, dan dengan, senang hati raja
dan rakyat menerima pinangan itu. Paduka Liku sajalah yang tidak senang.
Timbul maksud jahatnya menyingkirkan permaisuri serta Galuh Candra
Kirana, agar ia dapat menggantikan kedudukan sebagai permaisuri dan
galuh Ajeng dapat dijodohkan dengan Raden Inu Kertapati.
Pada suatu hari dibuat tapai beracun dan disuruhnya seorang dayang
memberikan tapai itu kepada permaisuri. Permaisuri senang hati
menerimanya, karena baru pertama kali itu Paduka Liku mengirimkan
makanan untuk dia. Selain itu Paduka Liku menyuruh adiknya minta
azimat (guna-guna) kepada seorang petapa sakti, agar raja sayang
kepadanya.
Ketika sedang duduk santai pada sore, permaisuri teringat kepada tapai
pemberian Paduka Liku. Disuruhnya seorang dayang mengambil tapai itu.
Baru saja tapai dimakan, tiba-tiba badan permaisuri kejang, mata
terbelalak dan mulutnya berbusa. Dayang-dayang menjadi panik, menangis
dan Candra Kirana menjerit ketika melihat ibunya dalam keadaan
demikian.
Demikian pula Mahadewi, selir baginda satu lagi sangat merasa sedih atas
kematian permaisuri. Tergopoh-gopoh baginda datang dan sangat marah
kepada Paduka Liku atas bencana yang ditimbulkannya. Namun setelah
berhadapan dengan Paduka Liku, baginda berubah sikap menjadi tenang
dan tetap ramah kepadanya.
Betapa heran dan takjub Raden Inu Kertapati memandang Panji Semirang,
seorang raja yang menarik, simpatik, cantik, dan suaranya lembut merdu.
Diadakanlah jamuan di istana Panji Semirang untuk menyambut
kedatangan Raden Inu Kertapati. Keesokan harinya, setelah semua barang
dan uang dikembalikan, berangkatlah Raden Inu Kertapati beserta
rombongan meneruskan perjalanan ke Daha menyerahkan uang jujuran
(mas kawin) kepada raja Daha.
Sejak hari pertama pernikahan Raden Inu Kertapati dengan Galuh Ajeng, ia
menjadi pendiam, sedih hati, karena diketahuinya bahwa istrinya itu
bukanlah Galuh Candra Kirana. Ia merasa tertipu oleh Paduka Liku.
Betapa ingin hatinya berjumpa dengan Candra Kirana kekasihnya yang
dicintainya. Untuk menghibur hatinya ia memutuskan berangkat ke
kerajaan pamannya di Gagelang. Para pengiringnya mengatakan bahwa di
Gagelang ada rombongan pemain gambuh yang baik penampilannya. Usul
itu dipenuhi karena memang Raden Inu merasa ingin hiburan.
Paduka Liku menjadi kecut hatinya tatkala mendengar berita itu. Raja
Daha pun tak mau memperhatikannya lagi. Ia menyuruh adiknya untuk
minta guna-guna kepada pertapa yang pernah diminta pertolongannya
dahulu. Tetapi sayang di tengah perjalanan adiknya itu disambar petir dan
meninggal dunia. Paduka Liku putus asa lalu bunuh diri.
Kisah ini mirip dengan kejadian pada masa Nabi Sulaiman ketika masih
muda.
Entah sudah berapa hari kasus seorang bayi yang diakui oleh dua orang
ibu yang sama-sama ingin memiliki anak. Hakim rupanya mengalami
kesulitan memutuskan dan menentukan perempuan yang mana
sebenarnya yang menjadi ibu bayi itu.
Mengingat tak ada cara-cara lain lagi yang bisa diterapkan Baginda
memanggil Abu Nawas. Abu Nawas hadir menggantikan hakim. Abu Nawas
tidak mau menjatuhkan putusan pada hari itu melainkan menunda sampai
hari berikutnya. Semua yang hadir yakin Abu Nawas pasti sedang mencari
akal seperti yang biasa dilakukan. Padahal penundaan itu hanya
disebabkan algojo tidak ada di tempat.
Keesokan hari sidang pengadilan diteruskan lagi. Abu Nawas memanggrl
algojo dengan pedang di tangan. Abu Nawas memerintahkan agar bayi itu
diletakkan di atas meja.
“Apa yang akan kau perbuat terhadap bayi itu?” kata kedua perempuan itu
saling memandang. Kemudian Abu Nawas melanjutkan dialog.
“Sebelum saya mengambil tindakan apakah salah satu dari kalian bersedia
mengalah dan menyerahkan bayi itu kepada yang memang berhak
memilikinya?”
“Tidak, bayi itu adalah anakku.” kata kedua perempuan itu serentak.
“Jangan, tolongjangan dibelah bayi itu. Biarlah aku rela bayi itu seutuhnya
diserahkan kepada perempuan itu.” kata perempuan kedua. Abu Nawas
tersenyum lega. Sekarang topeng mereka sudah terbuka. Abu Nawas segera
mengambil bayi itu dan langsurig menyerahkan kepada perempuan kedua.
"Iya Pak, tidak papa yang penting Bapak sudah berusaha dan memang
selebihnya ini merupakan rejeki dari Tuhan."
Keesokan harinya, sang suami berangkat bekerja lagi dengan membawa
barang dagangannya ke pasar. Di tengah-tengah perjalanan ia bertemu
dengan nenek tua yang terlihat kebingungan pinggir di jalan.
"Ada apa nek?" Tanya pak Tugimin kepada nenek tua tersebut.
"Nak, bolehkah nenek meminta uang? Nenek ingin pulang tapi tidak ada
ongkos." Pinta nenek lirih kepada Pak Tugimin.
"Uangku juga mepet, dagangan saya dari kemarin tidak laku banyak, untuk
makan saja masih kurang, ah tapi tidak apa-apa. Kata pak ustad sedekah
akan melancarkan rejeki, bismillah saja." Gumam pak Tugimin dalam hati.
"Baiklah, Nek, ini ada uang tapi tidak terlalu banyak buat naik bis nenek
sampai tujuan ya. Biar saya antar sampai ke terminal." Ucap Pak Tugimin
sambil mengantar nenek tersebut menuju terminal.
"Terima kasih nak, sudah mau membantu nenek, semoga rejekimu selalu
lancar."
"Aamiin, Nek".
Setelah mengantar nenek tersebut, Pak Tugimin kembali ke pasar
melanjutkan menjual dagangannya. Sesampainya Ia di pasar, ada seorang
pembeli yang hendak memborong dagangannya sampai habis.