Anda di halaman 1dari 8

Hikayat Panji Semirang

Alkisah pada zaman dahulu hiduplah seorang raja di Tanah Jawa yang
merupakan empat bersaudara. Yang tua menjadi raja di Kuripan, yang
muda menjadi raja di Daha, yang tengah menjadi raja di Gegelang, dan
yang bungsu menjadi raja di Singasari. Empat orang bersaudara itu sangat
menyayangi satu sama lain. Negeri tempat mereka tinggal sangat ramai dan
termasyur. Banyak pedagang asing yang masuk untuk berniaga di dalam
negeri itu.

Raja Daha mempunyai dua orang putri. Dengan permaisurinya ia berputtra


seorang bernama Galuh Candra Kirana, seorang putri yang cantik, dan
lemah-lembut tutur katanya membuat orang tertarik kepadanya. Seorang
putri lagi bernama Galuh Ajeng, keturunan yang diperoleh atas perkawinan
dengan selirnya bernama Paduka Liku. Tabiat Galuh Ajeng tidak baik dan
selalu iri hati terhadap kakak tirinya, Galuh Candra Kirana. Dayang-dayang
dan orang-orang istana tidak senang kepadanya. 
Baginda raja mempunyai beberapa orang saudara. Seorang menjadi raja di
Kahuripan dan seorang menjadi raja Gagelang, seorang lagi wanita, menjadi
pertapa di Gunung Wilis dengan gelar Gandasan.  Raja Kahuripan
mempunyai seorang putra yang tampan dan baik perangainya, bernama
Raden Inu Kertapati. Raja Kahuripan ingin supaya putranya menikah
dengan putri layaknya sebagai menantu raja. Pilihan jatuh kepada putrid
saudaranya yang cantik, yaitu Galuh Candra Kirana.

Dikirimlah utusan ke Daha untuk meminang, dan dengan, senang hati raja
dan rakyat menerima pinangan itu. Paduka Liku sajalah yang tidak senang.
Timbul maksud jahatnya menyingkirkan permaisuri serta Galuh Candra
Kirana, agar ia dapat menggantikan kedudukan sebagai permaisuri dan
galuh Ajeng dapat dijodohkan dengan Raden Inu Kertapati.

Pada suatu hari dibuat tapai beracun dan disuruhnya seorang dayang
memberikan tapai itu kepada permaisuri. Permaisuri senang hati
menerimanya, karena baru pertama kali itu Paduka Liku mengirimkan
makanan untuk dia. Selain itu Paduka Liku menyuruh adiknya minta
azimat (guna-guna) kepada seorang petapa sakti, agar raja sayang
kepadanya.

Ketika sedang duduk santai pada sore, permaisuri teringat kepada tapai
pemberian Paduka Liku. Disuruhnya seorang dayang mengambil tapai itu.
Baru saja tapai dimakan, tiba-tiba badan permaisuri kejang, mata
terbelalak dan mulutnya berbusa. Dayang-dayang menjadi panik, menangis
dan Candra Kirana menjerit ketika melihat ibunya dalam keadaan
demikian.

Demikian pula Mahadewi, selir baginda satu lagi sangat merasa sedih atas
kematian permaisuri. Tergopoh-gopoh baginda datang dan sangat marah
kepada Paduka Liku atas bencana yang ditimbulkannya. Namun setelah
berhadapan dengan Paduka Liku, baginda berubah sikap menjadi tenang
dan tetap ramah kepadanya.

Kabar tentang wafatnya permaisuri Daha sampai ke Kahuripan. Baginda


raja Kahuripan merasa kasihan kepada Candra Kirana atas nasibnya itu.
Untuk menghiburnya Baginda ingin mengirimkan bingkisan kepada calon
menantunya. Raden Inu Kertapati disuruh membuat dua buah boneka.
Satu dari emas dan satu lagi dari perak. Boneka Emas dibungkus dengan
kain biasa, dan boneka perak dibungkus dengan sutera yang indah. Setelah
bingkisan tiba di Daha, Baginda menyuruh Galuh Ajeng memilih lebih
dahulu. Karena tamaknya diambilnya bungkusan sutera dan yang
berbungkus jelek diberikan kepada Candra Kirana.

Betapa gembira Candra Kirana setelah membuka bungkusan ternyata yang


didapatkannya adalah boneka emas yang berkilau-kilauan. Ditimang-
timangnya boneka itu dan selalu dibawanya ke mana ia pergi. Akhirnya
Galuh Ajeng mengetahui bahwa boneka kakaknya jauh lebih bagus dan ia
ingin memilikinya. Atas bujukan Paduka Liku, Baginda menyuruh Candra
Kirana agar menukarkan boneka itu dengan boneka Galuh Ajeng. Karena
Candra Kirana tidak mau menyerahkan bonekanya, Baginda menjadi
marah. Candra Kirana diusir dan terhuyung-huyung dituntun Mahadewi ke
peraduannya, bersama para dayang dan pengasuh.

Keesokan harinya, menjelang subuh Candra Kirana dan pengiring-


pengiringnya meninggalkan istana pergi tanpa tujuan. Di perbatasan antara
Daha dan Kahuripan, menetaplah mereka, membangun kerajaan kecil dan
dengan persetujuan dayang-dayang dialah yang menjadi rajanya. Untuk itu
mereka harus menyamar sebagai pria dan ia sendiri mengganti nama
dengan Panji Semirang. Untuk memperkuat kerajaan mereka melakukan
perampokan dan memaksa semua orang yang ditahan menetap di tempat
itu. Dengan demikian rakyat makin bertambah dan kerajaan makin kuat.

Berita tentang kerajaan Panji Semirang sampailah ke Kahuripan. Pada


waktu utusan raja Kahuripan membawa barang-barang dan uang emas
kawin untuk meminang Galuh Candra Kirana, mereka dicegat dan
dirampok tentara Panji Semirang. Barang rampasan dan uang hanya akan
dikembalikan apabila Raden Inu Kertapati datang menghadap Panji
Semirang.

Betapa heran dan takjub Raden Inu Kertapati memandang Panji Semirang,
seorang raja yang menarik, simpatik, cantik, dan suaranya lembut merdu.
Diadakanlah jamuan di istana Panji Semirang untuk menyambut
kedatangan Raden Inu Kertapati. Keesokan harinya, setelah semua barang
dan uang dikembalikan, berangkatlah Raden Inu Kertapati beserta
rombongan meneruskan perjalanan ke Daha menyerahkan uang jujuran
(mas kawin) kepada raja Daha.

Betapa sedih hati Panji Semirang memikirkan kekasihnya akan


melangsungkan pernikahan dengan Galuh Ajeng di Daha. Karena itu ia
memutuskan hendak pergi menjumpai bibinya, Biku Gandasari, di Gunung
Wilis dengan berpakaian wanita, untuk minta nasihat. Biku Gandasari
sangat terharu mendengar cerita dan derita kemenakannya itu. la
menganjurkan supaya Candra Kirana pergi ke Gagelang ke tempat
pamannya. Karena itu kembali Candra Kirana dan rombongan berpakaian
laki-laki dan menyamar sebagai pemain gambuh (pengamen) dengan nama
Gambuh Warga Asmara. Mereka berkeliling dari kota ke kota sambil
ngamen. Sampailah ke Gagelang. Semua orang menyenangi permainan
Gambuh Warga Asmara.

Sejak hari pertama pernikahan Raden Inu Kertapati dengan Galuh Ajeng, ia
menjadi pendiam, sedih hati, karena diketahuinya bahwa istrinya itu
bukanlah Galuh Candra Kirana. Ia merasa tertipu oleh Paduka Liku.
Betapa ingin hatinya berjumpa dengan Candra Kirana kekasihnya yang
dicintainya. Untuk menghibur hatinya ia memutuskan berangkat ke
kerajaan pamannya di Gagelang. Para pengiringnya mengatakan bahwa di
Gagelang ada rombongan pemain gambuh yang baik penampilannya. Usul
itu dipenuhi karena memang Raden Inu merasa ingin hiburan.

Betapa menarik dan mengharukan permainan gambuh itu dan Inu


Kertapati curiga melihat gerak-gerik para pemain gambuh yang luwes bagai
wanita. Bahkan ia merasa telah pernah melihat wajah-wajah mereka.
Karena hari telah larut malam, maka rombongan itu disuruh menginap di
dalam kraton di puri pesantren. Di tempat peristirahatannya Candra Kirana
mengenakan pakaian wanita karena rindu kepada kekasihnya, ditimang-
timangnya boneka emasnya sambil menyanyikan lagu yang merawankan
hati.

Raden Inu Ketapati ingin sekali mengetahui anggota Gambuh Warga


Asmara yang sebenamya, dengan mengintip di tempat peristirahatan
mereka. Alangkah terkejutnya ia setelah melihat seorang putri menimang-
nimang boneka emas yang pemah diberikannya kepada Candra Kirana.
Tanpa ragu lagi ia memastikan bahwa sebenamya wanita itulah Candra
Kirana yang sedang dicarinya. Dengan hati yang tak sabar lagi pintu kamar
dibukanya dan bertemulah keduanya melepaskan rasa rindu, kasih, dan
mesra yang telah lama terpendam.

Candra Kirana dibawanya ke istana Kahuripan dan menyampaikan kepada


Baginda apa sebenamya yang telah terjadi. Candra Kirana minta maaf atas
kekeliruan yang telah diperbuatnya. Disiapkanlah segala sesuatu untuk
upacara pernikahan resmi antara Raden Inu Kertapati dengan Galuh
Candra Kirana.

Paduka Liku menjadi kecut hatinya tatkala mendengar berita itu. Raja
Daha pun tak mau memperhatikannya lagi. Ia menyuruh adiknya untuk
minta guna-guna kepada pertapa yang pernah diminta pertolongannya
dahulu. Tetapi sayang di tengah perjalanan adiknya itu disambar petir dan
meninggal dunia. Paduka Liku putus asa lalu bunuh diri.

Hikayat Abu Nawas – Ibu Sejati

Kisah ini mirip dengan kejadian pada masa Nabi Sulaiman ketika masih
muda.

Entah sudah berapa hari kasus seorang bayi yang diakui oleh dua orang
ibu yang sama-sama ingin memiliki anak. Hakim rupanya mengalami
kesulitan memutuskan dan menentukan perempuan yang mana
sebenarnya yang menjadi ibu bayi itu.

Karena kasus berlarut-larut, maka terpaksa hakim menghadap Baginda


Raja untuk minta bantuan. Baginda pun turun tangan. Baginda memakai
taktik rayuan. Baginda berpendapat mungkin dengan cara-cara yang amat
halus salah satu, wanita itu ada yang mau mengalah. Tetapi kebijaksanaan
Baginda Raja Harun Al Rasyid justru membuat kedua perempuan makin
mati-matian saling mengaku bahwa bayi itu adalah anaknya. Baginda
berputus asa.

Mengingat tak ada cara-cara lain lagi yang bisa diterapkan Baginda
memanggil Abu Nawas. Abu Nawas hadir menggantikan hakim. Abu Nawas
tidak mau menjatuhkan putusan pada hari itu melainkan menunda sampai
hari berikutnya. Semua yang hadir yakin Abu Nawas pasti sedang mencari
akal seperti yang biasa dilakukan. Padahal penundaan itu hanya
disebabkan algojo tidak ada di tempat.
Keesokan hari sidang pengadilan diteruskan lagi. Abu Nawas memanggrl
algojo dengan pedang di tangan. Abu Nawas memerintahkan agar bayi itu
diletakkan di atas meja.

“Apa yang akan kau perbuat terhadap bayi itu?” kata kedua perempuan itu
saling memandang. Kemudian Abu Nawas melanjutkan dialog.

“Sebelum saya mengambil tindakan apakah salah satu dari kalian bersedia
mengalah dan menyerahkan bayi itu kepada yang memang berhak
memilikinya?”

“Tidak, bayi itu adalah anakku.” kata kedua perempuan itu serentak.

“Baiklah, kalau kalian memang sungguh-sungguh sama menginginkan bayi


itu dan tidak ada yang mau mengalah maka saya terpaksa membelah bayi
itu menjadi dua sama rata.” kata Abu Nawas mengancam.

Perempuan pertama girang bukan kepalang, sedangkan perempuan kedua


menjerit-jerit histeris.

“Jangan, tolongjangan dibelah bayi itu. Biarlah aku rela bayi itu seutuhnya
diserahkan kepada perempuan itu.” kata perempuan kedua. Abu Nawas
tersenyum lega. Sekarang topeng mereka sudah terbuka. Abu Nawas segera
mengambil bayi itu dan langsurig menyerahkan kepada perempuan kedua.

Abu Nawas minta agar perempuan pertama dihukum sesuai dengan


perbuatannya. Karena tak ada ibu yang tega menyaksikan anaknya
disembelih. Apalagi di depan mata. Baginda Raja merasa puas terhadap
keputusan Abu Nawas. Dan .sebagai rasa terima kasih, Baginda menawari
Abu Nawas menjadi penasehat hakim kerajaan. Tetapi Abu Nawas menolak.
la lebih senang menjadi rakyat biasa.

Cerpen: Keutamaan Sedekah


"Bu, hari ini barang dagangan tidak habis bahkan hanya sedikit sekali yang
terjual. Hanya segini yang bisa Bapak berikan ke Ibu." Sambil memberikan
uang hasil dagangan kepada istri nya untuk kebutuhan sehari hari.

"Iya Pak, tidak papa yang penting Bapak sudah berusaha dan memang
selebihnya ini merupakan rejeki dari Tuhan."
Keesokan harinya, sang suami berangkat bekerja lagi dengan membawa
barang dagangannya ke pasar. Di tengah-tengah perjalanan ia bertemu
dengan nenek tua yang terlihat kebingungan pinggir di jalan.

"Ada apa nek?" Tanya pak Tugimin kepada nenek tua tersebut.

"Nak, bolehkah nenek meminta uang? Nenek ingin pulang tapi tidak ada
ongkos." Pinta nenek lirih kepada Pak Tugimin.
"Uangku juga mepet, dagangan saya dari kemarin tidak laku banyak, untuk
makan saja masih kurang, ah tapi tidak apa-apa. Kata pak ustad sedekah
akan melancarkan rejeki, bismillah saja." Gumam pak Tugimin dalam hati.

"Baiklah, Nek, ini ada uang tapi tidak terlalu banyak buat naik bis nenek
sampai tujuan ya. Biar saya antar sampai ke terminal." Ucap Pak Tugimin
sambil mengantar nenek tersebut menuju terminal.

"Terima kasih nak, sudah mau membantu nenek, semoga rejekimu selalu
lancar."

"Aamiin, Nek".
Setelah mengantar nenek tersebut, Pak Tugimin kembali ke pasar
melanjutkan menjual dagangannya. Sesampainya Ia di pasar, ada seorang
pembeli yang hendak memborong dagangannya sampai habis.

"Alhamdulillah rejeki memang tidak akan tertukar. Memang sedekah akan


melancarkan rejeki." Gumam Pak Tugimin bersyukur.

Cerpen rajin belajar

Hari Senin yang sangat cerah. Setelah anak-anak selesai malaksanakan


upacara bendera, mereka semua menuju kelas nya masing masing untuk
belajar di kelas nya.
Hari ini ada empat mata pelajaran yakni, matematika, Bahasa indonesia,
Bahasa Inggris, dan Sejarah.
Mata pelajaran yang pertama adalah matematika. Bapak guru menyuruh
untuk ,engerjakan halaman 7 sampai 8.
Suasana di dalam kelas nampak hening ketika para siswa sedang
mengerjakan soal yang di berikan oleh bapak guru tersebut.
Setelah selesai, kemudian pak guru berpesan kepada murid-muridnya
untuk mempelajari materi per-kalian dan pembagian dengan soal cerita
karena sewaktu-waktu akan diadakan tes dadakan.
Setelah selesai melaksanakan proses belajar di sekolah, para siswa
kemudian pulang kerumahnya masing-masing.
Dinda, Nuryati, dan Indah pulang bersama, mereka bertiga berjalan kaki
karena memang jarak sekolah kerumah mereka tidak terlalu jauh.
“Setelah makan siang nanti kita bermain bersama ya?. Di rumahku ada
boneka baru yang di belikan ayahku dari Bandung.” Pinta Indah kepada
kedua temanya.
“Asyik.” Ucap Dinda dengan penuh kegembiraan.
“Gimana, Nur, kamu bisa ikut gak?”
“Aku tidak bisa ikut. Aku mau belajar saja, karena tadi kan pak guru
berpesan untuk belajar untuk persiapan karena akan ada tes dadakan.”
Sanjang Nuryati dengan polosnya.
Sesampai di rumahnya, Tika langsung ganti baju, makan siang, kemudian
tidur siang agar malamnya dia bisa belajar dengan tenang dan bisa
konsentrasi.
Sesekali ia bertanya kepada ayahnya jika ada yang kurang paham dengan
materi di buku.
Sedangkan Dinda dan Indah asyik bermain boneka hingga larut sehingga
mereka tidak sempat mempelajari materi. Keesokan harin nya mereka
berangkat bersama, sesampai di kelas, ternyata memang ada tes dadakan.
Dinda dan Indah merasa kesulitan mengerjakan soal-soal yang diberikan
oleh pak guru dan akhirnya mereka mendapat nilai jelek sehingga mereka
harus mengulang tes susulan.
Lain halnya dengan Nuryati. Ia mendapat nilai terbaik di antara teman satu
kelas nya karena dia sudah belajar dengan sungguh-sungguh sesuai
nasihat gurunya. Bapak guru meminta agar Dinda dan Indah belajar
dengan temannya, Nuryati.
“Wah, Nur, selamat ya, kamu mendapa nilai terbaik. Besok kita akan ikut
belajar denganmu ya.” ucap Dinda pada Nuryati.

Anda mungkin juga menyukai