Anda di halaman 1dari 12

Teks Hikayat

Oleh:
Carissa Siallagan
X MIA 3
Hikayat Sri Rama Mencari Sita Dewi

Sita Dewi yang merupakan istri dari Sri Rama menghilang tidak tahu dimana dan kemana. Dan
sebagai seorang suami, ia pun pasti merasa kebingungan. Kemudian Sri Rama memutuskan untuk
berjalan dan berkelana untuk mencari istrinya dengan dibantu seorang pengawal. Dan kemudian
keduanya pun mencari Sita sampai ke dalam hutan.

Didalam hutan, mereka bertemu seekor burung jantan yang sangat sombong dan memiliki 4 istri. Ia
pun berbicara dapat menjaga keempat istrinya, dan sedangkan Sri Rama yang menjada 1 orang istri saja
tak mampu. Sri Rama merasa tersinggung ketika mendengar hal tersebut, kemudian ia berdoa ke
Dewata agar burung itu tak dapat melihat istrinya. Tak lama kemudian, seekor burung itu menjadi buta.

Kemudain, Sri Rama dan juga pengawalnya berkelana lagi dan kemudian bertemu dengan hewa
yaitu seekor bangau yang tengah minum tepat ditepi danau. Sri Rama pun kemudian bertanya ke
bangau tersebut apakah ia melihat istrinya.
Dan bangau itu pun kemudian menjawab bahwasanya ia melihat bayang dari seorang wanita dibawa
terbang oleh Maharaja Rawana. Dan Sri Rama pun merasa senang akhirnya ia bisa mendapatkan suatu
petunjuk sampai ia mengabulkan permintaan seekor bangau itu yaitu dapat memanjangkan lehernya
agar mudah saat minum.

Ditengah perjalanannya, Rama pun merasa haus. Dan ia melepaskan suatu anak panah yang dapat
memandu pengawalnya untuk menemukan mata air. pengawal itu membawakannya ait yang setelah
diminum ternyata tak enak dan airnya berbau busuk. Dan kemudian mereka menyusuri sepanjang aliran
mata air tersebut dan bertemu seekor burung yang besar dan sedang sekarat, burung tersebut bernama
Jentayu.

Rama kemudian bertanya kepadanya apa yang sudah terjadi. Jentayu menceritakan mengenai
pertarungannya bersama Rawana, selanjutnya ia memberikan sebuah cincin milik Sita Dewi yang
dilempar kepadanya sebelum jatuh ke bumi. Dikarenakan keadaannya yang sangat lemah, jentayu
memberikan pesan keapda Rama untuk dapat membakarkan mayatnya ditempat yang tak dihuni oleh
manusia. Dan tak lama kemudian, burung itu pun mati.

Rama pun menyuruh pengawalnya untuk mencari suatu tempat yang tak dihuni oleh manusia.
Tetapi sayangnya, ia tak menemukan tempatnya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk membakar
burung tersebut ditempat itu dan kemudian nyalalah api yang begitu besar. Karena kesaktiannya
tersebut, Rama tak terluka sedikitpun. Setelah api tersebut padam, Rama dan juga pengawalnya kembali
untuk melanjutkan mencari istrinya.
Hikayat Pengembara Yang Lapar

Tersebutlah kisah tiga orang sahabat, Kendi, Buyung dan Awang yang sedang mengembara. Mereka
membawa bekalan makanan seperti beras, daging, susu dan buah-buahan. Apabila penat berjalan
mereka berhenti dan memasak makanan. Jika bertemu kampung, mereka akan singgah membeli
makanan untuk dibuat bekal dalam perjalanan.

Pada suatu hari, mereka tiba di kawasan hutan tebal. Di kawasan itu mereka tidak bertemu dusun
atau kampung. Mereka berhenti dan berehat di bawah sebatang pokok ara yang rendang. Bekalan
makanan pula telah habis. Ketiga-tiga sahabat ini berasa sangat lapar,

“Hai, kalau ada nasi sekawah, aku akan habiskan seorang,” tiba-tiba Kendi mengeluh. Dia mengurut-
ngurut perutnya yang lapar. Badannya disandarkan ke perdu pokok ara.

“Kalau lapar begini, ayam panggang sepuluh ekor pun sanggup aku habiskan,” kata Buyung pula.

“Janganlah kamu berdua tamak sangat dan bercakap besar pula. Aku pun lapar juga. Bagi aku, kalau ada
nasi sepinggan sudah cukup,” Awang bersuara.

Kendi dan Buyung tertawa mendengar kata-kata Awang.

“Dengan nasi sepinggan, mana boleh kenyang? Perut kita tersangatlah lapar!” ejek Kendi. Buyung
mengangguk tanda bersetuju dengan pendapat Kendi.

Perbualan mereka didengar oleh pokok ara. Pokok itu bersimpati apabila mendengar keluhan ketiga-tiga
pengembara tersebut lalu menggugurkan tiga helai daun.

Bubb! Kendi, Buyung dan Awang terdengar bunyi seperti benda terjatuh. Mereka segera mencari benda
tersebut dicelah-celah semak. Masing-masing menuju ke arah yang berlainan.

“Eh,ada nasi sekawah!” Kendi menjerit kehairanan. Dia menghadap sekawah nasi yang masih berwap.
Tanpa berfikir panjang lalu dia menyuap nasi itu dengan lahapnya.
“Ayam panggang sepuluh ekor! Wah, sedapnya!” tiba-tiba Buyung pula melaung dari arah timur. Serta-
merta meleleh air liurnya. Seleranya terbuka. Dengan pantas dia mengambil ayam yang paling besar lalu
makan dengan gelojoh.

Melihatkan Kendi dan Buyung telah mendapat makanan, Awang semakin pantas meredah semak.
Ketika Awang menyelak daun kelembak, dia ternampak sepinggan nasi berlauk yang terhidang. Awang
tersenyum dan mengucapkan syukur kerana mendapat rezeki. Dia makan dengan tenang.

Selepas makan, Awang rasa segar. Dia berehat semula di bawah pokok ara sambil memerhatikan Kendi
dan Buyung yang sedang meratah makanannya.

“Urgh!” Kendi sendawa. Perutnya amat kenyang. Nasi di dalam kawah masih banyak. Dia tidak mampu
menghabiskan nasi itu. “Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba nasi di dalam kawah itu bertanya
kepada Kendi.

“Aku sudah kenyang,” jawab Kendi.

“Bukankah kamu telah berjanji akan menghabiskan kami sekawah?” Tanya nasi itu lagi.

"api perut aku sudah kenyang,” jawab Kendi.

Tiba-tiba nasi itu berkumpul dan mengejar Kendi. Kawah itu menyerkup kepala Kendi dan nasi-nasi itu
menggigit tubuh Kendi. Kendi menjerit meminta tolong.

Buyung juga kekenyangan. Dia cuma dapat menghabiskan seekor ayam sahaja. Sembilan ekor ayam lagi
terbiar di tempat pemanggang. Oleh kerana terlalu banyak makan, tekaknya berasa loya. Melihat baki
ayam-ayam panggang itu, dia berasa muak dan hendak muntah. Buyung segera mencampakkan ayam-
ayam itu ke dalam semak.

“Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba tanya ayam-ayam panggang itu.

“Aku sudah kenyang,” kata Buyung. “Makan sekor pun perut aku sudah muak,” katanya lagi.

Tiba-tiba muncul sembilan ekor ayam jantan dari celah-celah semak di kawasan itu. Mereka meluru ke
arah Buyung.

Ayam-ayam itu mematuk dan menggeletek tubuh Buyung. Buyung melompat-lompat sambil meminta
tolong.

Awang bagaikan bermimpi melihat gelagat rakan-rakannya. Kendi terpekik dan terlolong. Buyung pula
melompat-lompat dan berguling-guling di atas tanah. Awang tidak dapat berbuat apa-apa. Dia seperti
terpukau melihat kejadian itu.

Akhirnya Kendi dan Buyung mati. Tinggallah Awang seorang diri. Dia meneruskan semula perjalanannya.

Sebelum berangkat, Awang mengambil pinggan nasi yang telah bersih. Sebutir nasi pun tidak berbaki di
dalam pinggan itu.
“Pinggan ini akan mengingatkan aku supaya jangan sombong dan tamak. Makan biarlah berpada-pada
dan tidak membazir,” kata Awang lalu beredar meninggalkan tempat itu.

Hikayat Panji

Semirang

Alkisah pada zaman dahulu hiduplah seorang raja di Tanah Jawa yang merupakan empat bersaudara.
Yang tua menjadi raja di Kuripan, yang muda menjadi raja di Daha, yang tengah menjadi raja di
Gegelang, dan yang bungsu menjadi raja di Singasari. Empat orang bersaudara itu sangat menyayangi
satu sama lain. Negeri tempat mereka tinggal sangat ramai dan termasyur. Banyak pedagang asing yang
masuk untuk berniaga di dalam negeri itu.

Raja Daha mempunyai dua orang putri. Dengan permaisurinya ia berputtra seorang bernama Galuh
Candra Kirana, seorang putri yang cantik, dan lemah-lembut tutur katanya membuat orang tertarik
kepadanya. Seorang putri lagi bernama Galuh Ajeng, keturunan yang diperoleh atas perkawinan dengan
selirnya bernama Paduka Liku. Tabiat Galuh Ajeng tidak baik dan selalu iri hati terhadap kakak tirinya,
Galuh Candra Kirana. Dayang-dayang dan orang-orang istana tidak senang kepadanya.
Baginda raja mempunyai beberapa orang saudara. Seorang menjadi raja di Kahuripan dan seorang
menjadi raja Gagelang, seorang lagi wanita, menjadi pertapa di Gunung Wilis dengan gelar Gandasan.
Raja Kahuripan mempunyai seorang putra yang tampan dan baik perangainya, bernama Raden Inu
Kertapati. Raja Kahuripan ingin supaya putranya menikah dengan putri layaknya sebagai menantu raja.
Pilihan jatuh kepada putrid saudaranya yang cantik, yaitu Galuh Candra Kirana.

Dikirimlah utusan ke Daha untuk meminang, dan dengan, senang hati raja dan rakyat menerima
pinangan itu. Paduka Liku sajalah yang tidak senang. Timbul maksud jahatnya menyingkirkan permaisuri
serta Galuh Candra Kirana, agar ia dapat menggantikan kedudukan sebagai permaisuri dan galuh Ajeng
dapat dijodohkan dengan Raden Inu Kertapati.

Pada suatu hari dibuat tapai beracun dan disuruhnya seorang dayang memberikan tapai itu kepada
permaisuri. Permaisuri senang hati menerimanya, karena baru pertama kali itu Paduka Liku
mengirimkan makanan untuk dia. Selain itu Paduka Liku menyuruh adiknya minta azimat (guna-guna)
kepada seorang petapa sakti, agar raja sayang kepadanya.

Ketika sedang duduk santai pada sore, permaisuri teringat kepada tapai pemberian Paduka Liku.
Disuruhnya seorang dayang mengambil tapai itu. Baru saja tapai dimakan, tiba-tiba badan permaisuri
kejang, mata terbelalak dan mulutnya berbusa. Dayang-dayang menjadi panik, menangis dan Candra
Kirana menjerit ketika melihat ibunya dalam keadaan demikian.

Demikian pula Mahadewi, selir baginda satu lagi sangat merasa sedih atas kematian permaisuri.
Tergopoh-gopoh baginda datang dan sangat marah kepada Paduka Liku atas bencana yang
ditimbulkannya. Namun setelah berhadapan dengan Paduka Liku, baginda berubah sikap menjadi
tenang dan tetap ramah kepadanya.

Kabar tentang wafatnya permaisuri Daha sampai ke Kahuripan. Baginda raja Kahuripan merasa kasihan
kepada Candra Kirana atas nasibnya itu. Untuk menghiburnya Baginda ingin mengirimkan bingkisan
kepada calon menantunya. Raden Inu Kertapati disuruh membuat dua buah boneka. Satu dari emas dan
satu lagi dari perak. Boneka Emas dibungkus dengan kain biasa, dan boneka perak dibungkus dengan
sutera yang indah. Setelah bingkisan tiba di Daha, Baginda menyuruh Galuh Ajeng memilih lebih dahulu.
Karena tamaknya diambilnya bungkusan sutera dan yang berbungkus jelek diberikan kepada Candra
Kirana.

Betapa gembira Candra Kirana setelah membuka bungkusan ternyata yang didapatkannya adalah
boneka emas yang berkilau-kilauan. Ditimang-timangnya boneka itu dan selalu dibawanya ke mana ia
pergi. Akhirnya Galuh Ajeng mengetahui bahwa boneka kakaknya jauh lebih bagus dan ia ingin
memilikinya. Atas bujukan Paduka Liku, Baginda menyuruh Candra Kirana agar menukarkan boneka itu
dengan boneka Galuh Ajeng. Karena Candra Kirana tidak mau menyerahkan bonekanya, Baginda
menjadi marah. Candra Kirana diusir dan terhuyung-huyung dituntun Mahadewi ke peraduannya,
bersama para dayang dan pengasuh.

Keesokan harinya, menjelang subuh Candra Kirana dan pengiring-pengiringnya meninggalkan istana
pergi tanpa tujuan. Di perbatasan antara Daha dan Kahuripan, menetaplah mereka, membangun
kerajaan kecil dan dengan persetujuan dayang-dayang dialah yang menjadi rajanya. Untuk itu mereka
harus menyamar sebagai pria dan ia sendiri mengganti nama dengan Panji Semirang. Untuk
memperkuat kerajaan mereka melakukan perampokan dan memaksa semua orang yang ditahan
menetap di tempat itu. Dengan demikian rakyat makin bertambah dan kerajaan makin kuat.

Berita tentang kerajaan Panji Semirang sampailah ke Kahuripan. Pada waktu utusan raja Kahuripan
membawa barang-barang dan uang emas kawin untuk meminang Galuh Candra Kirana, mereka dicegat
dan dirampok tentara Panji Semirang. Barang rampasan dan uang hanya akan dikembalikan apabila
Raden Inu Kertapati datang menghadap Panji Semirang.

Betapa heran dan takjub Raden Inu Kertapati memandang Panji Semirang, seorang raja yang menarik,
simpatik, cantik, dan suaranya lembut merdu. Diadakanlah jamuan di istana Panji Semirang untuk
menyambut kedatangan Raden Inu Kertapati. Keesokan harinya, setelah semua barang dan uang
dikembalikan, berangkatlah Raden Inu Kertapati beserta rombongan meneruskan perjalanan ke Daha
menyerahkan uang jujuran (mas kawin) kepada raja Daha.

Betapa sedih hati Panji Semirang memikirkan kekasihnya akan melangsungkan pernikahan dengan Galuh
Ajeng di Daha. Karena itu ia memutuskan hendak pergi menjumpai bibinya, Biku Gandasari, di Gunung
Wilis dengan berpakaian wanita, untuk minta nasihat. Biku Gandasari sangat terharu mendengar cerita
dan derita kemenakannya itu. la menganjurkan supaya Candra Kirana pergi ke Gagelang ke tempat
pamannya. Karena itu kembali Candra Kirana dan rombongan berpakaian laki-laki dan menyamar
sebagai pemain gambuh (pengamen) dengan nama Gambuh Warga Asmara. Mereka berkeliling dari
kota ke kota sambil ngamen. Sampailah ke Gagelang. Semua orang menyenangi permainan Gambuh
Warga Asmara.

Sejak hari pertama pernikahan Raden Inu Kertapati dengan Galuh Ajeng, ia menjadi pendiam, sedih hati,
karena diketahuinya bahwa istrinya itu bukanlah Galuh Candra Kirana. Ia merasa tertipu oleh Paduka
Liku. Betapa ingin hatinya berjumpa dengan Candra Kirana kekasihnya yang dicintainya. Untuk
menghibur hatinya ia memutuskan berangkat ke kerajaan pamannya di Gagelang. Para pengiringnya
mengatakan bahwa di Gagelang ada rombongan pemain gambuh yang baik penampilannya. Usul itu
dipenuhi karena memang Raden Inu merasa ingin hiburan.

Betapa menarik dan mengharukan permainan gambuh itu dan Inu Kertapati curiga melihat gerak-gerik
para pemain gambuh yang luwes bagai wanita. Bahkan ia merasa telah pernah melihat wajah-wajah
mereka. Karena hari telah larut malam, maka rombongan itu disuruh menginap di dalam kraton di puri
pesantren. Di tempat peristirahatannya Candra Kirana mengenakan pakaian wanita karena rindu kepada
kekasihnya, ditimang-timangnya boneka emasnya sambil menyanyikan lagu yang merawankan hati.

Raden Inu Ketapati ingin sekali mengetahui anggota Gambuh Warga Asmara yang sebenamya, dengan
mengintip di tempat peristirahatan mereka. Alangkah terkejutnya ia setelah melihat seorang putri
menimang-nimang boneka emas yang pemah diberikannya kepada Candra Kirana. Tanpa ragu lagi ia
memastikan bahwa sebenamya wanita itulah Candra Kirana yang sedang dicarinya. Dengan hati yang tak
sabar lagi pintu kamar dibukanya dan bertemulah keduanya melepaskan rasa rindu, kasih, dan mesra
yang telah lama terpendam.
Candra Kirana dibawanya ke istana Kahuripan dan menyampaikan kepada Baginda apa sebenamya yang
telah terjadi. Candra Kirana minta maaf atas kekeliruan yang telah diperbuatnya. Disiapkanlah segala
sesuatu untuk upacara pernikahan resmi antara Raden Inu Kertapati dengan Galuh Candra Kirana.

Paduka Liku menjadi kecut hatinya tatkala mendengar berita itu. Raja Daha pun tak mau
memperhatikannya lagi. Ia menyuruh adiknya untuk minta guna-guna kepada pertapa yang pernah
diminta pertolongannya dahulu. Tetapi sayang di tengah perjalanan adiknya itu disambar petir dan
meninggal dunia. Paduka Liku putus
asa lalu bunuh diri.

Teks Hikayat
Shinta & Raja
Kalangga

Pada suatu hari, ada seorang raja yang kejam bernama Kalanggan. Setiap hari, dia menikahi seorang
wanita hanya untuk dibunuh keesokan harinya. Hal ini terjadi karena sang raja pernah dikhianati oleh
istri pertamanya sehingga melampiaskannya pada wanita-wanita lain.

Hal tersebut membuat gadis-gadis muda yang berada di wilayah kerajaan menjadi ketakutan. Mereka
tidak mau menikah dengan raja jika keesokan harinya harus dibunuh. Namun, di antara banyak gadis itu,
ada seorang gadis berhati mulia bernama Shinta yang berkeinginan untuk menyelamatkan kaumnya.
Perempuan itu kemudian meminta restu ayahnya untuk menikah dengan raja.
Pada awalnya, sang ayah tidak menyetujui hal tersebut. Dia tidak mau kehilangan putri tercintanya.
Akan tetapi, Shinta berhasil meyakinkan ayahnya kalau dia sudah mencari cara agar tidak akan berakhir
mengenaskan seperti para istri raja sebelumnya. Dengan berat hati, sang ayah pun setuju dan
menikahkan putrinya pada hari itu juga.

Malam harinya sebelum tidur, Shinta mengulur waktu agar sang raja tidak membunuhnya dengan
menceritakan sebuah dongeng. Meskipun ada rasa takut akan respon yang diberikan, wanita itu mulai
bercerita kepada raja.

Tak disangka, ternyata raja menyukai kisah yang diceritakan. Saking serunya, raja tidak menyadari
bahwa hari sudah pagi padahal cerita belum selesai. Shinta pun berkata akan melanjutkan ceritanya
besok malam dan laki-laki yang dikenal kejam itu menyetujuinya.

Pada malam berikutnya, Raja Kalanggan dengan antusias mendengarkan kelanjutan cerita yang
belum selesai. Raja terlihat senang sekali dan selalu menyimak apa yang dikatakan oleh Shinta.
Sehingga, keesokan harinya wanita itu pun belum menjalani hukuman untuk dibunuh.

Hal itu juga terjadi pada malam selanjutnya, dan tanpa terasa sudah 30 wanita itu bercerita kepada
raja. Sang raja pun lupa akan hukuman mati yang seharusnya dijatuhkan kepada istri itu. Akhirnya,
keberanian Shinta berbuah manis karena dia bisa menyelamatkan perempuan-perempuan lain di
wilayahnya. Selain itu, dia juga berhasil mengubah raja menjadi orang yang baik dan kembali mencintai
rakyatnya.
Hikayat Malim Deman

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang pemuda yatim piatu bernama Malim Deman. Untuk bertahan
hidup, dia bekerja di ladang milik pamannya yang terletak di pinggir hutan. Tak jauh dari situ, ada
sebuah rumah yang dihuni oleh seorang janda tua bernama Mandeh Rubiah.

Mandeh Rubiah adalah wanita yang baik hati dan akrab dengan Malim. Dia sering mengirimi pemuda itu
makanan saat menjaga ladangnya pada malam hari. Bahkan, dia sudah dianggap anak sendiri oleh janda
itu.
Pada suatu malam, Malim Deman merasa haus saat menjaga ladang. Dia berniat untuk meminta air
minum ke rumah Mandeh Rubiah. Sesampainya di pekarangan, dia mendengar suara beberapa
perempuan yang berasal tak jauh dari kolam yang terletak di belakang pondok wanita tua itu.

Malim mengendap-endap menuju tempat tersebut dan terkejut saat melihat tujuh bidadari sedang
mandi di sana. Pemuda tersebut begitu terpesona saat melihat kecantikan para bidadari.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, tergeletak tujuh selendang milik para bidadari. Tidak ingin menyia-
nyiakan kesempatan, dia mengambil salah satu selendang itu dan disembunyikan di rumah ibu
angkatnya. Ternyata, selendang yang diambil adalah milik bidadari bungsu.

Bidadari bungsu menangis karena tidak bisa kembali ke kayangan. Melihat hal itu, Malim Deman
kemudian mendekati dan mengajaknya untuk tinggal di rumah Mandeh Rubiah. Bidadari itu pun
kemudian diangkat anak oleh Rubiah dan dipanggil Putri Bungsu.

Sejak saat itu, Malim Deman semakin sering pergi ke tempat Mandeh Rubiah dan menjadi akrab dengan
Putri Bungsu. Akibat sering bertemu, kedua muda-mudi tersebut saling jatuh cinta dan memutuskan
untuk menikah tidak lama kemudian. Kebahagiaan pasangan semakin bertambah setelah dikaruniai
seorang putra tampan yang diberi nama Sutan Duano.

Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama karena Malim Deman mulai gemar berjudi. Dia
bahkan sering berhari-hari tidak pulang. Nasihat sang istri untuk tidak berjudi lagi pun tidak
diindahkannya. Melihat kelakuan suaminya, Putri Bungsu yang sudah tidak tahan lagi hanya bisa
menangis dan menjadi rindu dengan rumahnya di kayangan.

Hingga pada suatu hari saat sedang mencari barang, perempuan cantik itu tidak sengaja menemukan
selendangnya. Dia kemudian menyuruh seseorang untuk menyuruh Malim pulang kalau masih ingin
melihat anak dan istrinya di rumah. Namun, setelah ditunggu beberapa lama, laki-laki itu tidak juga
kunjung pulang.

Akhirnya, Putri Bungsu memutuskan untuk pulang ke kayangan dengan membawa serta anak lelakinya
tanpa menunggu sang suami. Sementara itu, Malim kembali ke rumah dengan perasaan sangat
menyesal karena sudah tidak mendapati anak istrinya di rumah.

Anda mungkin juga menyukai