Setting :
a. tempat :
tepi sungai : Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya.
Sungai : turunlah perempuanitu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu
b. Suasana :
menegangkan: Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga.
Mengecewakan: Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah aku mati.Setelah
itu maka terjunlah
ia ke dalam sungai itu.
Membingungkan: Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka
gemparlah.
c. Waktu : tidak diketahui
Eksposisi :
Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit
maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-
tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri
berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai.
Complication :
.serta dilihatnyaperempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah,
dan berkata di dalam hatinya, Untunglah sekali ini!
Rising action :
Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada
perempuan itu, Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka
tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang
bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri hamba.
Turning point :
Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka
disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah
dengan perempuan itu. Masyhudulhakk, Baik kepada seorang-seorang aku bertanya,
supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
Ending :
Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu
dan kebenaran orang tua itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian
juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta
dengan perempuan celaka itu seratus kali.
Poin of View :
orang ke-3 : Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
Amanat :
1. Jangan berbohong karena berbohong itu tidak baik, merupakan dosa, dan hanya akan
menimbulkan kerugian pada diri kita sendiri
2. Bantulah dengan ikhlas orang yang membutuhkan bantuan
3. Syukurilah jodoh yang telah diberikan Tuhan, yakini bahwa jodoh itu baik untuk kita
4. Jangan mengambil keputusan sesaat yang belum dipikirkan dampaknya
5. Jadilah orang yang bijaksana dalam mengatasi suatu masalah
Unsur ekstrinsik :
Nilai religiusitas : kita harus selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh
Allah. Jangan pernah merasa iri dengan apa yang tidak kita miliki karena apa
yang te;ah diberikan Allah kepada kita adalah sesuatu yang memang terbaik
untuk kita. Janagn seperti yang ada pada hikayat mashudulhakk.
Nilai moral :
Janganlah sekali-kali kita memutar balikkan fakta, mengatakan bahwa yang
salah itu benar dansebaliknya, karena bagaimanapun juga kebenaran akan
mengalahkan ketidak benaran.
2. IBNU HASAN
Syahdan, zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan, bernama Syekh Hasan, banyak harta
banyak uang, terkenal kesetiap negeri, merupakan orang terkaya, bertempat tinggal du negeri
Bagdad, yang terkenal kemana-mana, sebagai kota yang paling ramai saat itu.
Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi yang kekurangan, menasehati
yang berikiran sempit, mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu yang baik, walaupun harus
mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu banyak pengikutnya.
Syekh Hasan saudagar yang kaya raya, memiliki seorang anak, laki-laki yang sangat tampan,
pendiam, dan baik budi, berusia sekitar tujuh tahun. Ibnu Hasan namanya.
Ibnu Hasan sedang lucu-lucuya, semua orang senang melihatnya, apalagi orang tuanya, namun
demikian anak itu, tidak sombong, perilakunya kalem, walaupun hidupnya dimanjakan, tidak
kekurangan sandang, namun Ibnu Hasan sama suka bersolek, karena itulah kedua orang tuanya
sangat menyayanginya.
Ayahnya berfikir,Alangkah salahnya aku, menyayangi diluar batas, tanpa pertimbangan, bagaimana
kalau akhirnya, dimirkai Allah Yang Agung, aku pasti durhaka, tak dapat mendidik anak, mengkaji
ilmu yang bermanfaat.
Dipanggilnya putranya. Anak itu segera mendatanginya, diusap-usapnya putranya sambil dinasihati,
bahwa Ia harus mengaji, katanya Sekarang saatnya anakku, sebenarnya aku kuatir, tapi, pergilah
ke Mesir, carilah jalan menuju keutamaan.
Ibnu Hasan menjawab,Ayah jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju kemuliaan, jalan
kematianpun hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak akan ku tolak,
siang malam hanya perintah Ayah Ibu yang hamba nantikan.
Singkat cerita, Ibnu Hasan yang akan berangkat kepesantren, berpisah dengan kedua orangtuanya,
hatinya sangat sedih, ibunya tidak tahan menangis terisak-isak, harus berpisah dengan putranya,
yang masih sangat kecil, belum cukup usia.
Kelak, apabila ananda sudah sampai, ketempat merantau, pandai-pandailah menjaga diri, karena
jauh dari orang tua, harus tahu ilmunya hidup, jangan keras kepala, angkuh dan menyombongkan
diri, merasa lebih dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu menghina sesama. Kalau begitu
perbuatanmu, hidupmu tidak akan senangkaena dimusuhi semua orang, tidak akan ada yang mau
menolong, kalau celaka tidak akan diperhatikan, berada dirantau orang, kalau judes akan
mendapatkan kesusahan, hati-hatilah menjaga diri jangan menganggap enteng segala hal.
Ibnu Hasan menjawab dengan takzim,Apa yang Ibu katakan, akan selalu kuingat dan kucatat dalam
hati, doakanah aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh jalan yang salah, pesan Ibu
akan kuperhatikan, siang dan malam.
Singkat cerita Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil, Mairin dan
Mairun,mereka berangkat berjalan kaki, Mairun memikul semua perbekalan dan pakaian, sementara
Mairin mengikuti dari belakang, sesekali menggantikan tugas Mairun.
Perasaan sedih prihatin, kehujanan, kepanasan, selama perjalanan yang makan waktu berhari-hari
namun akhirnya sampai juga dipusat kota Negara Mesir, dengan selamat berkat doa Ayah dan
Ibunda, selanjutnya, segera Ian menemui seorang alim ulama, terus berguru padanya.
Pada suatu hari, saatbada zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu seseorang bernama Saleh,
yang baru pulang dari sekalah, Ibnu Hasan menyapa,Anda pulang dari mana?
Saleh menjawab dengan sopan,Saya pulang sekolah. Ibnu Hasan bertanya lagi, Sekolah itu apa?
Coba jelaskan padaku! yang ditanya menjawab,Apakah anda belum tahu?
sekolah itu tempat ilmu, tepatnya tempat belajar, berhitung, menulis, mengeja, belajar tatakrama,
sopan santun terhadap yang lebih tua dan yang lebih muda, dan terhadap sesama, harus sesuai
dengan aturan.
Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang hatinya, di segera pulang,
menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar disekolah, guna mencari ilmu. Sekarang katakan
padaku apa yang sebenarnya kamu harapkan.
Kyai berkata demikian, tujuan untuk menguji muridnya, apakah betul-betul ingin mencari ilmu atau
hanya alasan supaya mendapat pujian.
Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak malu,Hamba ingin menjelaskan mengapa hamba besusah
payah tanpa mengenal lelah, mencari ilmu.
Memang sangkaan orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak kekurangan uang, ternaknyapun
banyak, hamba tidak usah bekerja, karena tidak akan kekurangan.
Namun, pendapat hamba tidak demikian, akan sangat memalukan seandainya ayah sudah tiada,
sudah menunggal dunia, semua hartanya jatuh ketangan hamba.
Tapi, ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti akhirnya harta itu habis, bukan bertambah.
Distulah terlihat ternyata kalau hamba ini bodoh.
Bukan bertambah mashur, asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh. Begitulah pendapat saya
karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan.
Pangkat anakpun begitu pula, walaupun tidak melebihiorang tua, paling tidak harus sama dengan
orang tua, dan tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih miskin, ibaratnya anak seorang patih.
Maka, yakinlah kyai itu akan bauk muridnya.
UNSUR INSTRINSIK
a. Tema : Bakti seorang anak terhadap orang tuanya
b. Tokoh :
Ibnu Hasan
Syekh Hasan
Ibu Ibnu Hasan
Mairin
Mairun
Saleh
Kyai guru
Penokohan :
Ibnu Hasan = Baik, tidak sombong, kalem, pendiam, penurut
Syekh Hasan = Baik, Bijaksan, Penyayang
Ibu Ibnu Hasan = Baik, Penyayang
Mairin dan Mairum = Setia
Saleh = Sopan
Kyai guru = Baik
c. Plot/Alur : Alur Maju
Latar :
Latar tempat = Negeri Bagdad, Mesir, Pesantren
Latar waktu = Zaman dahulu kala, Saat bada Dzuhur
Latar suasan = Mengahrukan, sedih, Prihatin
d. Sudut pandang : Orang ketiga tunggal
e. Amanat : Patuhlah kepda kedua orangtuamu, berbuat baiklah kesesama manusia dan janganlah
sekali-kali engkau menyombongkan diri.
UNSUR INSTRINSIK
Agama : Menganut agama Islam
Pendidikan : Ibnu Hasan baru saja ingin menuntut ilmu pada kyai guru
Adat istiadat : Sopan, mengasihi yg kekurangan, dll
Status ekonomi : Syekh Hasan sangat kaya raya.
3. SI MISKIN
Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya bibuang dari
keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal sebagai si Miskin.
Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan mencari rezeki
berkeliling di Negeri Antah Berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera Dewa. Ke mana
mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramai dengan disertai
penganiayaan sehingga bengkak-bengkak dan berdarah-darah tubuhnya. Sepanjang perjalanan
menangislah si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu malam tidur di hutan,
siangnya berjalan mencari rezeki. Demikian seterusnya.
Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan makan mangga yang ada di taman raja. Si
Miskin menyatakan keberatannya untuk menuruti keinginan isterinya itu, tetapi istri itu makin
menjadi-jadi menangisnya. Maka berkatalah si Miskin, Diamlah. Tuan jangan menangis. Biar
Kakanda pergi mencari buah mempelam itu. Jikalau dapat, Kakanda berikan kepada tuan.
Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makanan yang lain. Setelah
ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh ketakutan, pergilah si Miskin menghadap
raja memohon mempelam. Setelah diperolehnya setangkai mangga, pulanglah ia segera. Isterinya
menyambut dengan tertawa-tawa dan terus dimakannya mangga itu.
Setelah genap bulannya kandunga itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki bernama Marakarmah
(=anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh kasih sayang.
Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal, didapatnya
sebuah tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk berbelanja sampai kepada anak
cucunya. Dengan takdir Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yang komplet perlengkapannya.
Si Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan Puteri Ratna
Dewi. Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian, lahirlah anaknya yang kedua,
perempuan, bernama Nila Kesuma.
Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyurkan kerajaan Puspa Sari dan
menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah Berantah.
Ketika Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui pertunangan putra-putrinya, dicarinya ahli-ahli
nujum dari Negeri Antah Berantah.
Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli nujum itu dikatakan bahwa Marakarmah
dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan mendatangkan celaka saja bagi orangtuanya.
Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa. Maka, dengan hati
yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya itu.
Tidak lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah terbakar.
Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah pohon beringin.
Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Waktu mencari api ke kampung, karena disangka
mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian dilemparkan ke laut. Nila Kesuma ditemu
oleh Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari Palinggam Cahaya, yang pada akhirnya menjadi
isteri putera mahkota itu dan bernama Mayang Mengurai.
Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan akhirnya terdampar di pangkalan raksasa
yang menawan Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang setelah gemuk akan dimakan. Waktu Cahaya
Chairani berjalanjalan di tepi pantai, dijumpainya Marakarmah dalam keadaan terikat tubuhnya.
Dilepaskan tali-tali dan diajaknya pulang. Marakarmah dan Cahaya Chairani berusaha lari dari
tempat raksasa dengan menumpang sebuah kapal. Timbul birahi nahkoda kapal itu kepada Cahaya
Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke laut, yang seterusnya ditelan oleh ikan nun yang
membuntuti kapal itu menuju ke Palinggam Cahaya. Kemudian, ikan nun terdampar di dekat rumah
Nenek Kebayan yang kemudian terus membelah perut ikan nun itu dengan daun padi karena
mendapat petunjuk dari burung Rajawali, sampai Marakarmah dapat keluar dengan tak bercela.
Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang kehidupannya berjual bunga.
Marakarmah selalu menolak menggubah bunga. Alasannya, gubahan bunga Marakarmah dikenal
oleh Cahaya Chairani, yang menjadi sebab dapat bertemu kembali antara suami-isteri itu.
Karena cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari menemukan seorang puteri di
bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, tahulah Marakarmah bahwa puteri tersebut
adiknya sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda kapal yang jahat itu dibunuhnya.
Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin kembali. Dengan
kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa Sari dengan segala perlengkapannya seperti
dahulu kala.
Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh Raja Bujangga
Indera (saudara Cahaya Chairani).
Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai Kisna di Mercu
Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi raja di Palinggam
Cahaya.