Anda di halaman 1dari 7

Perempuan

dan Ilusinya
Adhyra Pratama

Naskah untuk Teater Petass


Sinopsis :

Aini (35 tahun) seorang wanita yang ‘terlalu’ tegar. Ditinggal mati suaminya ketika usia
pernikahan baru berusia seminggu, kemudian bersumpah didepan makam suaminya tak akan
pernah mencari pengganti. Sudah sepuluh tahun berjalan, sedang Aini harus hidup sendiri, benar-
benar sendiri.

Aini begitu memimpikan seorang anak, seorang anak lelaki yang tambun tubuhnya, tembem
pipinya, besar dan tinggi. Impian itulah yang menyeretnya masuk kedalam ilusi yang
diciptakannya sendiri. Setidaknya, rindunya akan hadirnya keluarga yang sempat diimpikan,
dapat dirasakannya sendiri. Aini, menjadi perempuan yang hidup bersama ilusinya.

Unsur :

- Aini
- Anak Khayalannya
- Khayalan antagonis
- Bayangan

Setting :

Siang hari, panggung menggambarkan sebuah ruang makan. Meja kayu berada di sebelah kanan
panggung, kemudian dua buah kursi. Mangkuk besar tempat nasi, serta beberapa mangkuk kecil
untuk sayur-mayur berada diatas meja. Sebuah meja kecil lafi didekat meja makan, dihiasi
dengan foto seorang wanita sendirian, foto berdua dengan laki-laki dan sebuah vas bunga. Aini
(A) sedang duduk seperti menunggu diatas meja. Satu bar pertama lagu ‘Whispering a Prayer’
milik Steve Vai dimainkan berulang, dengan sedikit delay tanpa distorsi, diiringi string panjang
dan menggema. Aini semakin terlihat gelisah, pandangannya terus beralih dari jam dinding,
berdiri kearah jendela dan menatap keluar sesaat, kembali ke tempat duduk, menatap nasi dan
sayur. Alunan ‘Whispering a Prayer’ perlahan berhenti. Seorang lelaki, berbadan tambun tinggi
besar masuk keruangan dan langsung duduk.

Adegan :

Aini (A) : Darimana saja, nak! Ibu tidak bisa makan kalau kau belum datang!

Anak Khayalan (AK) : Ibu bisa makan duluan, sesuap- dua suap, kudengar ibu terkena penyakit
maag, kan? (menatap Aini dengan tajam)

A: Mana bisa ibu makan?

AK: Kenapa? Karena aku belum datang?

Naskah untuk Teater Petass


A: Kurang lebih seperti itu. (memalingkan wajah, mengambil nasi dan meletakkan keatas piring
AK)

AK : Bu, aku sudah dua puluh satu tahun.

A: Jadi kalau sudah dua puluh satu tahun sudah bisa mengambil nasi sendiri? (tetap mengambil
nasi)

AK: Bukan! (menggoyang-goyangkan telapak tangan yang dihadapkan kepada A)

A: lantas!

AK : Ibu jangan selalu menungguku untuk sekedar makan, kesehatan ibu itu lebih …

A: Lebih penting begitu! (memotong, namun dengan nada halus dan lambat)

AK: Kurang lebih (tersenyum simpul)

A: (Menghentikan mengambil nasi, perlahan-lahan menggeleng-gelengkan kepala) Karena kau


sudah berumur dua puluh satu itulah, nak.

AK : Ada yang salah dengan dua puluh satu?

A: Kau terlalu cepat meninggalkan ibu nak!

AK: maksud Ibu, aku akan menikah dengan seorang wanita, hidup bahagia dan meninggalkan
ibu disini?

A: (hanya diam, memalingkan wajah)

AK: ibu, (pause) hanya ibu dan Tuhan sajalah yang tahu keberadaanku didunia ini, mana ada
wanita lain yang tahu tentang aku. Bahkan, yang bisa bercakap-cakap dengan aku hanya ibu!
Ketakutanmu terlalu aneh dan absurd, kan bu? (Perlahan ‘bayangan’ dengan kain hitam yang
lebar mendekat kearah AK dan membawanya keluar dari ruangan, saat itu A dalam posisi statis)

A: (berbalik badan, seperti ingin mengungkapkan sesuatu, namun hanya terpana melihat AK
sudah menghilang)

Perlahan, perkusi dengan tempo semakin cepat dan iringan distorsi namun dengan volume
sedang. Terdengar suara tertawa terbahak. Setelah hilang, perlahan masuk bayangan Antagonis
(BA) keruangan. Tawa dan music terhenti.

BA: (memegang perut, seakan tak kuat menahan tawa) Selamat siang, perempuan yang tak
pernah berfikir panjang.

A: Kau lagi!

Naskah untuk Teater Petass


BA: ada masalah dengan kedatanganku?

A: Tentu, setiap kau datang, anakku pasti menghilang!

BA : Anakmu? Anakmu yang mana, bu?

A: Anakku satu-satunya, Bayu Kencana! Masih ada yang dipertanyakan?

BA: mana dia? Mana? (melihat sekeliling, tatapan mengejek)

A: Lihat foto itu? (menunjuk ke fotonya diatas meja dekat meja makan)

BA: Foto kau dengan mendiang suamimu ini? (menunjuk foto A dengan seorang lelaki)

A: Sebelahnya!

BA: Foto kau sendirian ini!

A: Kau buta! Lihat, aku berdua dengan anakku!

BA: (meledak tawanya, bahkan terus tertawa hingga keluar air matanya) kau yang buta! Ini foto
kau sendirian! Sendirian! Lihat baik-baik!

A: Kau tidak lihat lelaki berbadan besar disebelahnya! Itu anakku!

BA: Kau mengkhayal, perempuan bodoh!

A: Terserah, boleh aku meminta tolong!

BA: hai, mendadak meminta tolong! Baik, apa yang bisa kubantu perempuan malang!

A: Bisa kau pergi dari sini sekarang!

BA: Oh, hanya itu! Baiklah, baiklah! Tapi aku bermaksud baik, jangan sampai kau terus hidup
didalam ilusimu saja. Baiklah, dalam hitungan detik aku akan pergi dari sini.

A: Bisa lebih cepat! Aku sudah … (terdiam, karena BA sudah menghilang dari hadapannya)

Suasana kembali hening, iringan lembut dari piano mengalun dari Am. Kemudian bersama
bayangan hitam yang membawanya pergi tadi, A kembali keruangan.

AK: Kau tidak apa-apa, bu.

A: (membuang muka, tidak ingin AK melihatnya menangis)

AK: Ibu?

A: Kau mungkin memang tak nyata, anakku. Tapi apakah salah bila aku terus hidup bahagia
bersama denganmu, anakku?

Naskah untuk Teater Petass


AK: aku tak mengerti bu?

A: apakah aku salah karena hanya memiliki anak dari khayalanku sendiri!

AK: setidaknya, aku tidak akan mati bahkan tidak akan tua, bu. Sampai khayalanmu sendiri yang
hilang!

A: Aku percaya mukjizar itu nyata, kau akan menjadi nyata juga nantinya. Sama seperti
mukjizat.

AK: Bukannya mukjizat itu hanya untuk nabi, Bu?

A: malaikat juga sepertinya juga diberi mukjizat.

AK : benar, Bu! Kemudian kenapa ibu begitu percaya mukjizat datang pada ibu?

A: Karena kau malaikatku.

AK : (Tersenyum, perlahan mendekat ke ibunya dan menggenggam tangannya. Mulutnya ingin


terbuka seperti ada yang ingin diungkapkannya, namun bayangan hitam kembali datang dan AK
kembali menghilang)

A: (terjerit tertahan, namun kembali diam ketika merasakan BA akan kembali datang) Kenapa
kau datang lagi, saat aku sedang merasakan saat terindah dalam hidupku!

Music sudah perlahan menjadi iringan perkusi cepat dan distorsi. Seperti yang dibayangkan A,
BA kembali berkunjung.

BA: Sudah-sudah! Sudah selesai romantis-romantisnya! Kau kira sedang berada dalam kisah
teenlit di novel-novel, begitu! (kembali tertawa)

A: Kenapa kau begitu menjijikkan!

BA: Waw! Bukannya aku juga lahir dari imajinasimu! Kenapa hanya sigendut itu saja yang kau
angkat menjadi anakmu! (mencibir)

A: Lebih baik aku benar-benar hidup sendiri daripada harus menjadi ibu dari seorang iblis seperti
kau!

BA: Ada panas, ada dingin, ada yin ada yang, ada dosa ada pahala, kenapa kau hanya mau yang
baik saja! Tanpa menerima yang buruk!

A: Aku tak mau!

BA: Hidup itu selalu dua warna, perempuan bodoh!

A: (Berkacak pinggang) jadi kau mau jadi anakku toh!

Naskah untuk Teater Petass


BA: Memiliki ibu seorang pengkhayal, menurutku tidak lebih baik dari pada tidak memiliki ibu
sama sekali.

A: kau benar-benar dianugrahi mulut yang begitu tak santun!

BA: terima kasih banyak.

A: Bahkan, kau juga diberi kelebihan untuk susah berfikir!

BA: benarkah! Aku benar terharu!

A: Kau gila!

BA: hahaha (tertawa dan kembali hilang)

A: Aku mohon dengan sangat kepadamu (setengah menjerit kearah hilangnya BA) jangan
kembali lagi disini, aku begitu bahagia bila kau tidak ada sini!

AK: (Sudah berdiri sejak lama, AK masuk tanpa disadari A yang masih berbicara pada dinding)
dia datang lagi bu!

A; (kaget) nak, kau sudah disini.

AK: dia datang lagi bu?

A: entah kenapa di datang terus untuk menganggu kita. (memegang kepala) kita tadi masih mau
melanjutkan makan. Entah kenapa sial kita hari ini.

AK : (tanpa suara duduk dimeja makan)

A: Kenapa kau tampak murung, anakku?

AK: Benarkah, aku akan menghilang, Bu?

A: Kenapa kau berkata begitu?

AK: Si setan itu tadi malam mendatangiku, memberikan ini (memberikan secarik kertas)

Irama distorsi perlahan dengan tempo rendah dan volume rendah. Semakin lama, tempo
semakin cepat dan volume makin keras.

A; (terlihat cukup terkejut dengan kertas itu) tenang saja anakku, ini tidak benar, bahkan Dokter
yang memeriksa ibu menyatakan ada kesalahan. (terlihat mencoba tegar)

AK: Ibu berbohong kan?

A: Tidak, nak! Benar ibu tidak sakit apapun!

Naskah untuk Teater Petass


AK: Ibu berbohong, ibu terkena kanker otak kan? Semua ilusi ibu akan hilang bila semuanya
menjadi parah! Semua akan hilang! Termasuk aku kan bu! (nada meninggi)

A: tidak! Itu tidak benar (memegang kepala)

AK: (bayangan kembali datang, kain hitam menutupi sebagian tubuhnya) ibu! Kau pasti bisa!
Berjuang bu! Aku tidak mau kehilangan ibu!

A: (bersandar kekursi, badannya tergetar hebat, tangannya keduanya memegang kepala)

AK: (seluruh tubuhnya tertutup kain hitam, kecuali kepala) ibu! Jangan sampai aku menghilang
ibu!

A: (Matanya terpejam, tangannya semakin kuat memegang kepalanya, badannya tergetar


semakin kuat, irama music semakin cepat, akhirnya A menjerit)

AK sudah menghilang seluruhnya dan out.BA masuk.

BA: sayang sekali, cerita indah antara anak dan ibu harus berakhir seperti ini.

A: (tetap begitu kesakitan, menatap BA dengan tatapan benci)

BA: tenang, sayang! Ada hikmah dibalik setiap peristiwa, kali ini kau boleh begitu tertekan
dengan sakitmu dan perpisahanmu dengan anakmu. Berita baiknya, kau juga akan terpisah dari
aku, mimpi burukmu, yang juga lahir dari imajinasimu, ketakutanmu akan kehilangan anakmu.

A: (kembali menjerit) Ahhhhh!

BA perlahan menghilang, selanjutnya music perlahan berhenti hingga berhenti total bergenti
dengan denting piano lembut kembali. Sedangkan A pingsan diatas kursinya, kemudian
terdengar bunyi sirini ambulance dan layar perlahan tertutup.

SELESAI

Naskah untuk Teater Petass

Anda mungkin juga menyukai