Laksamana Cheng Ho
Penyalin : SAPRIYUN,S.ST.Pi
Suku Dayak Tomun menganggap cerita Sampuraga sebagai cerita yang benar-benar
terjadi di Kalimantan Tengah
Sampuraga versi lainnya dikisahkan sebagai folktale pada banyak keluarga suku Dayak
Tomun di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Seperti halnya kisah Sampuraga dari
Sumatera Utara dan cerita Amat Rhang Mayang dari Aceh, suku Dayak Tomun menganggap
cerita Sampuraga sebagai cerita yang benar-benar terjadi di Kalimantan Tengah. Jika kita
lihat dari segi bentuk, struktur cerita, dan persepsi yang terkandung di dalamnya, kisah
Sampuraga dari Kalimantan Tengah lebih mirip dengan kisah Malin Kundang ketimbang
Sampuraga dari Sumatera Utara.
Malin Kundang dan Sampuraga versi Dayak Tomun sama-sama menyebutkan tentang kapal
dan tokoh utamanya yang dikutuk ibunya menjadi batu. Kapal Malin Kundang menjadi batu
di Pantai Air Manis, Teluk Bayur di Kota Padang. Demikian pula kapal Sampuraga yang
menjelma bukit berbentuk kapal 2 kilometer dari tepian sungai Belantikan di desa Karang
Besi, Kabupaten Lamandau. Lalu kenapa nama tokohnya sama dengan tokoh anak durhaka
dari Sumatera Utara? Suatu kebetulan atau telah terjadi salah persepsi saat ceritanya
diwariskan? Lalu siapa penutur aslinya? Bagaimana seharusnya folktale itu diceritakan?
(Karena cerita Sampuraga versi Dayak Tomun bercampur aduk dengan Malin Kundang,
saya jadi teringat dengan naskah Puti Bungsu (Wanita Terakhir) karya Wisran Hadi. Beliau
menggabungkan tiga mitos dalam narasi berbeda: Malin Kundang, Malin Deman dan
Sangkuriang dalam satu ruang teks cerita baru: Puti Bungsu. Jangan-jangan Wisran sendiri
yang meramu cerita Sampuraga tersebut? Hehehe...)
Cerita rakyat adalah salah satu bagian dari folklore. Pada umumnya, cerita rakyat hanya
berbentuk cerita lisan yang diceritakan secara turun temurun. Indonesia- yang terdiri dari
berbagai suku bangsa - sangat kaya dengan cerita rakyat, peribahasa, pantun, mitologi,
legenda, mau pun dongeng. Cerita-cerita tersebut hidup di tengah-tengah masyarakat
pendukungnya masing-masing. Dilihat dari beragam cerita rakyat yang tersebar di berbagai
daerah, tampak adanya kesamaan bentuk penceritaan antara cerita rakyat daerah yang
satu dengan daerah lain. Perbedaannya hanya terletak pada versi dan warna lokal daerah
masing-masing.
Saat menulis cerita Sampuraga di Wikipedia saya merasa sedang memainkan genealogi
dengan obyeknya tokoh utama dalam folktale tersebut. Sayang sekali saya hanya
mengandalkan sisa-sia ingatan seorang staf saya di Lamandau sebagai narasumbernya.
Kalau ada di antara pembaca yang lebih mengetahui cerita sebenarnya, dipersilahkan ikut
menyuntingnya. Wikipedia milik kita bersama kok.
Kisah Sampuraga
Konon, menurut cerita yang diwariskan turun temurun dalam keluarga suku Dayak Tomun,
seorang bangsawan dari sebuah kerajaan di Sumatera berlayar sampai ke kerajaan
Petarikan, di hulu sungai Belantikan, pedalaman Kalimantan. Namanya Patih Sebatang.
Tidak jelas apakah Patih Sebatang ini sama dengan Datuk Perpatih Nan Sebatang, tokoh
legendaris masyarakat Minangkabau.
Di kerajaan yang bersahaja ini, Patih Sebatang dikisahkan berjumpa dengan seorang putri
Kerajaan Petarikan yang cantik jelita. Namanya Dayang Ilung, yang digambarkan memiliki
keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok
berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alis matanyanya bagai semut
beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Singkat cerita Patih
Sebatang jatuh cinta dan akhirnya menikahi sang putri.
Tidak lama kemudian, Dayang Ilung melahirkan seorang putra, yang dinamai Cenaka Burai.
Entah bagaimana kisahnya Patih Sebatang akhirnya berpisah dengan isteri tercintanya.
Selain buah cintanya yaitu Cenaka Burai, satu-satunya kenang-kenangan yang
mempersatukan cinta mereka adalah cincin pernikahan yang selalu disimpan baik oleh Patih
Sebatang.
Sampuraga dibesarkan ayahnya sebagai seorang pemuda yang berharkat dan bermartabat
tinggi. Dan entah bagaimana asal-usulnya, Cenaka Burai juga kelak dipanggil sebagai
Sampuraga. Kemudian ketika sudah dewasa Sampuraga diceritakan ayahnya bahwa ibunya
ada di sebuah kerajaan nun jauh di hulu sungai Belantikan. Sampuraga berkeras ingin
menjumpai ibu kandungnya tersebut, dan meminta apa ciri-ciri ibunya. Sang ayah pun
menceritakan kecantikan ibu kandung Sampuraga, dan menunjukkan sebuah cincin
pernikahan mereka.
Dibekali dengan cincin pernikahan ayahnya, Sampuraga pergi berlayar sampai ke kerajaan
Petarikan. Sesampainya disana, masyarakat membawanya menemui sang ibu yang sudah
tua. Dayang Ilung ternyata telah bertahun-tahun menantikan kembalinya anak kandungnya.
Bukan main senangnya Dayang Ilung mengetahui buah hatinya menjumpainya langsung.
Hampir saja ia memeluk Sampuraga, tapi Sampuraga menolak. Sampuraga tidak percaya
bahwa wanita asing di depannya tersebut adalah ibunya sendiri. Ayahnya telah
menceritakan kecantikan sang ibu. Bagaimana mungkin wanita yang tua renta tersebut
adalah puteri cantik yang diceritakan sang ayah?
Sampuraga masih ingin membuktikan lagi. Dikenakannya cincin pernikahan ayahnya
kepada wanita tua itu. Karena Dayang Ilung sudah dimakan usia, cincin tersebut menjadi
terlalu besar untuk melingkari jari-jarinya. Sampuraga semakin yakin bahwa wanita itu bukan
ibunya. Sampuraga memutuskan untuk pulang.
Dayang Ilung kecewa. Ia berkata kepada Sampuraga, "Nak, kamu sudah meminum susu
dari tubuhku. Kalau kamu tidak mau mengakuinya, kamu akan terkena malapetaka!"
Dengan amarah di dalam dada, Sampuraga berlayar pulang. Dia tidak habis pikir, kenapa
ada wanita tua yang bersikeras meyakinkan Sampuraga bahwa dia adalah ibunya, padahal
ayahnya sudah jelas memberitahu ciri-ciri sang ibu.
Bukti kerajaan Kudangan keturunan Pagarruyung itu, yang sekarang menjadi kecamatan
Delang adalah adanya sejumlah peninggalan bersejarah antara lain suatu bendera
berukuran 3 kali 1,5 meter dan hingga kini disimpan dengan baik di rumah adat Kudangan.
Saya juga memperhatikan bahwa kebanyakan warga suku Dayak Tomun mengakui diri
mereka sebagai keturunan Patih Sebatang. Saya percaya bahwa Patih Sebatang yang
mereka sebut itu adalah Datuak Parpatiah Nan Sabatang, tokoh terkenal dari Minangkabau.
Datuak Parpatiah Nan Sabatang
Siapa tokoh ini? Datuak Parpatiah Nan Sabatang adalah misteri bagi saya. Apakah dia
pernah benar-benar ada dalam sejarah, atau sebagai legenda saja? Suku Minangkabau,
dari dahulu hingga sekarang, mempercayai dengan penuh keyakinan, bahwa dia seorang
tokoh adat terkenal yang berasal dari Limo Kaum dan dianggap pendiri Adat Koto Piliang
dan Adat Bodi Caniago yang sampai sekarang masih hidup subur di dalam masyarakat
Minangkabau, baik yang ada di Sumatera Barat sendiri maupun yang ada diperantauan.
Ada petunjuk bagi kita bahwa dia memang merupakan tokoh sejarah Minangkabau. Pitono
mengambil kesimpulan bahwa dari bait kedua prasasti pada bagian belakang arca
Amogapasa, antara tokoh adat Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan tokoh Dewa Tuhan
Perpatih yang tertulis pada arca itu adalah satu tokoh yang sama.
Dijelaskan selanjutnya bahwa pada prasasti itu tokoh Dewa Tuhan Perpatih sebagai salah
seorang terkemuka dari raja Adityawarman yaitu salah seorang menterinya. Jadi tokoh
Dewa Tuhan yang ada pada prasasti yang terdapat di Padang Candi itu adalah sama
dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Demikian kesimpulannya.
Dalam catatan sejarah, Datuak Parpatiah Nan Sabatang, hidup pada waktu pemerintahan
Adityawarman, pada awal abad ke-14 (1315 M). Dalam salah satu versi sejarah disebutkan
keberadaan Adityawarman menjadi raja di Kerajaan Pagaruyung, tercatat Datuk Parpatiah
Nan Sabatang selaku patih kerajaan. Sudah berapa lama riwayat etnis Minangkabau
terbentang, sekian banyak pula para ahli sejarah mencari tahu dimana makamnya, namun
sedikit ahli sejarah yang dapat mengemukakan kehidupan beliau.
Nah, sebagai tokoh panutan dalam masyarakat Minangkabau, Datuk Parpatiah Nan
Sabatang, mempunyai kesukaan mengembara, tidak saja di Minangkabau, tapi sampai ke
tanah Jawa. Dalam pengembaraannya, beliau selalu menimba berbagai ilmu dari negerinegeri yang dikunjunginya. Apakah dia sempat mengunjungi Kalimantan? Patih Sebatang
saya dapati menjadi tokoh lokal pada beberapa suku di Indonesia yang karakternya
disesuaikan dengan setting setempat. Herwiq dan Zahorka meyakini bahwa memang ada
benang merah antara suku Minangkabau di Sumatera Barat dan Dayak Tomun di
Kalimantan. Benang merahnya itu adalah Patih Sebatang.
http://www.thefreelibrary.com/A+Tumon+Dayak+burial+ritual+%28Ayah+Besar
%29%3a+description+and...-a093533241/
Laksamana Cheng Ho versus Sampuraga
Tokoh ini begitu terkenal. Saya tidak perlu mengomentarinya lagi. Tapi sebagaimana cerita
lain, tokoh legendaris ini muncul dalam beberapa tempat di Indonesia. Izinkan saya
menyampaikan satu fakta saja: Cheng Ho atau Zheng He disebut juga Dampu Awang atau
Dampo Awang. Artinya, Dang atau Sang Puhawang yang menurut Mira Sidharta adalah
Nakhoda kapal.
Cerita tentang Dampu Awang terdengar baik di Lampung maupun Palembang. Di Lampung
menyebut Dampu Awang sebagai Pangeran Sebatang. (Atau Patih Sebatang? Entahlah)
Raja Iskandar, sang ayah, membuang Pangeran Sebatang ke laut. Bayi mungil itu terapungapung, lalu diselamatkan burung garuda. Setelah besar, raja menyesal, lalu memberi
Pangeran Sebatang sebuah kapal, lengkap dengan kelasi dan peralatannya. Dengan kapal
itu, ia berlayar ke Majapahit dan diberi gelar Raden Puhawang atau Dang Puhawang atau
Dampu Awang.
Apa hubungannya Laksamana Cheng Ho dengan kisah Sampuraga ya? Dengar baik-baik:
Dalam cerita rakyat Palembang, Dampu Awang diceritakan sebagai anak durhaka. Dampu
Awang dikisahkan pergi merantau, dan setelah berhasil pulang ke Palembang dia tidak
mengakui ibunya. Ia dikutuk sehingga kapal besarnya berubah menjadi batu. Di muara
sungai, ada daerah bernama Batu Ampar. Daerah itulah yang oleh penduduk sekitar disebut
bekas kapal Dampu Awang. Betapa mirip dengan kisah Sampuraga, eh Malin Kundang,
bukan? Silahkan baca dalam :
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/08/29/SEL/mbm.20050829.SEL116437.id.ht
ml
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana tokoh sekelas Laksamana Cheng Ho membatu
seperti Sampuraga.
Patih tersebut sangat menghormati rajanya. Suatu hari Patih Nan Sebatang
diperintahkan rajanya untuk memperluas kekuasaan ke luar daerah, dan
Patih Nan Sebatang pun menyanggupinya.
Keesokan harinya patih Nan Sebatang pun berlayar dengan para prajurinya.
Dalam perjalanannya, patih Nan Sebatang melewati banyak rintangan badai
dan ombak besar. Beberapa minggu kemudian Patih Nan Sebatang
menenukan sebuah pulau yang sangat besar yang bernama pulau
kalimantan.
Patih Nan Sebatang pun memasuki pulau tersebut mengikuti aliran
sungai. Setelah itu Patih Nan Sebatang menemukan sebuah desa yang
bernama Desa Sarangparuya(Batang kawa).
Di desa tersebut Patih Nan Sebatang bertemu dengan dara manis yang
bernama Dara Ilung. Patih Nan Sebatang sangat menyukai Dara Ilung.
Dara Ilung pun menyukai Patih Nan Sebatang. Kemudian mereka berdua
menikah.
Pada saat acara pernikahan Patih Nan Sebatang menampilkan tarian
khas dari Kerajaan Pagaruyung yang bernama Tarian Pagaruyung yang
ditarikan para prajurit dan para dayang.
Tahun demi tahun berlalu dan tidak terasa sudah sepuluh tahun lama
pernikahan Patih Nan Sebatang dan Dara Ilung mereka berdua dikaruniai
dua orang anak satu laki-laki dan satunya perempuan. Yang laki-laki
bernama Jenaka Burai dan yang perempuan bernama Indun. Jenaka Burai
adalah kaka dari Indun.
Suatu hari Patih Nan Sebatang mendapat perintah dari sang raja untuk
kembali ke Kerajaan Pagaruyung. Keesokan harinya Patih Nan Sebatang
pulang ke Kerajaan Pagaruyung bersama dengan Jenaka Burai,
sedangkan Indun tinggal bersama ibunya di Sarang Paruya.
Dalam perjalan Patih Nan Sebatang sangat sedih karena Dara Ilung dan
Indun tidak mau ikut. Tahun demi tahun pun berlalu. Indun pun tumbuh
dewasa dan menjadi gadis yang sangat cantik.
Indun kemudian bertemu dengan seorang laki-laki dari Desa Punjung
Pekopian (Kudangan). Kemudian mereka berdua saling menyukai dan
akhirnya menikah.
Pernikahan tersebut dilakukan di Punjung Pekopuan (Kudangan). Saat
acara pernikahan, keluarga Indun menampilkan Tarian Pagaruyung. Sejak
saat itulah Tariaan Pagaruyung menjadi tarian khas daerah Punjung
Pekopuan (Kudangan). ***
Cerita Cenaka Burai (Asal Mula Bukit Sampuraga) versi Warga Kecamatan
Lamandau dan Kecamatan Belantikan Raya
Penyalin : Zamrolly Purnama Kawung, S.Pd
Diceritakanlah ada seorang putri di negeri Sarang Paruya yang yang cantik
jelita namanya Dayakng Ilukng. Masyarakat Kabupaten Lamandau
meyakini Kerajaan Sarang Paruya tersebut sekarang berada di wilayah
Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah.
Rumah adat yang mirip dengan Rumah Gadang Minangkabau di Desa Kudangan,
Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau (hasil pemekaran dari Kabupaten
Kotawaringin Barat), Provinsi Kalimantan Tengah.
Dayakng Ilukng yang digambarkan memiliki keindahan tubuh yang
sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, rambutnya panjang ikal
bak mayang mengurai, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama,
pipinya bak pauh dilayang, bibirnya merah bagai buah delima, alis
matanyanya bagai semut beriring, kakinya indah bak padi bunting
sungguhlah sempurna sehingga banyak pemuda yang sangat
mengaguminya.
Adalah seorang bangsawan muda yang tampan, gagah berani dan sering
berlayar menaklukan samudera dari sebuah kerajaan di Pagaruyung,
Minangkabau namanya Patih Nan Sebatang (tidak jelas apakah Patih Nan
Sebatang ini sama dengan Datuk Perpatih Nan Sebatang, tokoh
legendaris masyarakat Minangkabau atau bukan).
balai ruai. Obai disantai ado louk nantai opasnyo siak tai bulah
panggulan laman obai potaraan ninik gonggam agant ninik sobal jadi
nantai lau sia bulah laman sia damoi laman kudangan manah-komanahan
laman kocit jadi bosar urang kurang jadi banyak lalu laman kudangan
banyak urangnyo. Laman ado mantirnyo dukuh ado tuhonyo doi jaman
komai laman kudangan di sapo laman potaraan ponakaran poncobian
koint.
Hilang mantir digonti mantir hilang tuho digonti tuho laman monjadi
bosar urang botambah banyak laman totap borosih tompu totap boi
diapm lomak duduk nyaman batang dilang kinyo tohu tokah kantung
gading cotohu buta urangnyo panjang nyao pohit darah manang boranak
lunggur bogonti tipis kinyo tohu tombus gonting kinyo tohu putus obai
batang dilang cotohu tokah kantung gading kinyo tohu buta idan nantai
laman kudangan badak agan balai ruai topint tona pongkalan batu laman
totap borosih urang botambah banyak sodangan uyang dating boharu
pan tomui urang dating bujang tampil bobini daro tampil bolaki asalnyo
ko kudangan bolainyo pulang obai kudangan laman potaraan .
Sampai sari niin laman mongkin bosar tompuk mongkin borosih urang
makin banyak. Pribahasonyo urang banyak manusio tobal di laman
tompu pasah bolai di kudangan badak balai ruai sampai ninam .
Mengenalkan kepada masyarakat Indonesia tempat wisata, adat istiadat
yang ada di Delang khususnya Desa Kudangan. Bukan hal yang tidak
mungkin Kudangan nantinya akan ramai pengunjung karena jalur lintas
Provinsi Kalimantan melewati desa ini juga.
Dari pandangan saya terhadap politik rencan pemindahan ibu kota
Negara ke Kalimantan Tengah akan benar-benar terjadi (pemikiran awam
saya) otomatis Kecamatan Delang kemungkinan besar akan ramai juga.
Nah, ini lah tujuan saya ingin mengenalkan potensi-potensi yang ada di
delang baik kebudayaan dan wisata-wisata alam yang patut
dipertimbangkan oleh traveler maupun pecinta alam. ***
kudangan.blogspot.co.id/2016/02/kudangan.html
http://mobile.minangforum.com/showthread.php?
p=25470#post25470
http://mozaikminang.wordpress.com/2009/10/15/kerajaankudangan-desa-minangkabau-di-hutan-kalimantan/
kudangan.blogspot.co.id/2016/02/kudangan.html
Sampuraga
Bukit yang mirip reruntuhan sisa kapal yang diyakini sebagai sebagai kapal Sampuraga yang telah membatu.
Prasasti Kolam Air Panas Sampuraga, Desa Sirambas, Panyabungan, Mandailing Natal
[2]
memahami dalam hal bahasa, walaupun terdiri dari berbagai macam subsuku yang ada di sana, baik dari segi dialek, daerah permukiman (dukuh
dan sungai), dan tradisi. Kata "Tomun memiliki makna yang dalam
bahasa Indonesia berarti berbicara, bermusyawarah, bertemu, atau
adanya perjumpaan untuk saling memahami. Bisa saling mengerti
dalam berbahasa, walau mereka berasal dari sub-suku, daerah, dan
bahasa yang berbeda satu sama lain, adalah ciri khas dan keunikan suku
Dayak Tomun.
Mengherankan bahwa asal usul Dayak Tomun berkaitan erat dengan
suku Minangkabau di Sumatra Barat. Dayak Tomun mengklaim bahwa
mereka adalah keturunan dari Datuk Perpatih Nan Sebatang dari
Pagaruyung, Sumatra Barat. Khususnya di Kudangan, desa di Kabupaten
Lamandau yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Barat, banyak
kosakata setempat mirip dengan kosakata dalam bahasa Minangkabau.
Juga terdapat rumah adat yang mirip dengan rumah adat suku
Minangkabau.
Lihat pula
Cenaka Burai
Malin Kundang
STUDI BANDINGAN LEGENDA ASAL MULA KOLAM SAMPURAGA DARI MANDAILING NATAL
SUMATERA UTARA DENGAN LEGENDA GUNUNG BATU BANGKAI DARI KALIMANTAN SELATAN
Catatan kaki
1.
2.
^ "Sampuraga".
Pranala luar
(Inggris) A Tumon Dayak burial ritual (Ayah Besar): description and interpretation of its
masks, disguises, and ritual practices. (Research Notes).