Anda di halaman 1dari 30

Sampuraga, Malin Kundang, Patih Sebatang dan

Laksamana Cheng Ho
Penyalin : SAPRIYUN,S.ST.Pi

Suku Dayak Tomun menganggap cerita Sampuraga sebagai cerita yang benar-benar
terjadi di Kalimantan Tengah

Sampuraga dan Malin Kundang


Kalau disebutkan nama Sampuraga, apa yang pertama terlintas di pikiran kita? Anak
durhaka, bukan? Tapi Sampuraga dari Sumatera Utara bukanlah satu-satunya anak durhaka
dalam folklore kepunyaan Indonesia. Ada Malin Kundang dari Sumatera Barat yang jauh
lebih terkenal. Juga ada Amat Rhang Mayang dari Aceh yang belum dikenal publik. Last but
not least, masih ada juga Sampuraga dari Kalimantan Tengah. Loh kok Sampuraga lagi?
Sampuraga yang kita kenal adalah si anak miskin dari Padang Bolak yang merantau ke
negeri Mandailing dan akhirnya menjadi orang kaya, dan saat menyelenggarakan pesta
pernikahannya ia dikutuk sang ibu karena kedurhakaannya. Kolam Sampuraga, yang
menjadi obyek wisata Pemerintah Mandailing Natal dipercayai sebagai bukti kutukan itu.
Setidaknya itulah yang menjadi inti cerita tentang Sampuraga versi Mandailing yang dapat
kita baca dari situs berikut:
http://tabloidrakyatmadani.wordpress.com/asal-mula-kolam-sampuraga-di-mandailing-natal/
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sugiantoparuliansimanjuntak/sampuraga-malinkundang-patih-sebatang-dan-laksamana-cheng-ho_55009d96a333112370511733

Sampuraga versi lainnya dikisahkan sebagai folktale pada banyak keluarga suku Dayak
Tomun di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Seperti halnya kisah Sampuraga dari
Sumatera Utara dan cerita Amat Rhang Mayang dari Aceh, suku Dayak Tomun menganggap
cerita Sampuraga sebagai cerita yang benar-benar terjadi di Kalimantan Tengah. Jika kita
lihat dari segi bentuk, struktur cerita, dan persepsi yang terkandung di dalamnya, kisah
Sampuraga dari Kalimantan Tengah lebih mirip dengan kisah Malin Kundang ketimbang
Sampuraga dari Sumatera Utara.
Malin Kundang dan Sampuraga versi Dayak Tomun sama-sama menyebutkan tentang kapal
dan tokoh utamanya yang dikutuk ibunya menjadi batu. Kapal Malin Kundang menjadi batu
di Pantai Air Manis, Teluk Bayur di Kota Padang. Demikian pula kapal Sampuraga yang
menjelma bukit berbentuk kapal 2 kilometer dari tepian sungai Belantikan di desa Karang
Besi, Kabupaten Lamandau. Lalu kenapa nama tokohnya sama dengan tokoh anak durhaka
dari Sumatera Utara? Suatu kebetulan atau telah terjadi salah persepsi saat ceritanya
diwariskan? Lalu siapa penutur aslinya? Bagaimana seharusnya folktale itu diceritakan?
(Karena cerita Sampuraga versi Dayak Tomun bercampur aduk dengan Malin Kundang,
saya jadi teringat dengan naskah Puti Bungsu (Wanita Terakhir) karya Wisran Hadi. Beliau
menggabungkan tiga mitos dalam narasi berbeda: Malin Kundang, Malin Deman dan
Sangkuriang dalam satu ruang teks cerita baru: Puti Bungsu. Jangan-jangan Wisran sendiri
yang meramu cerita Sampuraga tersebut? Hehehe...)
Cerita rakyat adalah salah satu bagian dari folklore. Pada umumnya, cerita rakyat hanya
berbentuk cerita lisan yang diceritakan secara turun temurun. Indonesia- yang terdiri dari
berbagai suku bangsa - sangat kaya dengan cerita rakyat, peribahasa, pantun, mitologi,
legenda, mau pun dongeng. Cerita-cerita tersebut hidup di tengah-tengah masyarakat
pendukungnya masing-masing. Dilihat dari beragam cerita rakyat yang tersebar di berbagai
daerah, tampak adanya kesamaan bentuk penceritaan antara cerita rakyat daerah yang
satu dengan daerah lain. Perbedaannya hanya terletak pada versi dan warna lokal daerah
masing-masing.
Saat menulis cerita Sampuraga di Wikipedia saya merasa sedang memainkan genealogi
dengan obyeknya tokoh utama dalam folktale tersebut. Sayang sekali saya hanya
mengandalkan sisa-sia ingatan seorang staf saya di Lamandau sebagai narasumbernya.
Kalau ada di antara pembaca yang lebih mengetahui cerita sebenarnya, dipersilahkan ikut
menyuntingnya. Wikipedia milik kita bersama kok.
Kisah Sampuraga
Konon, menurut cerita yang diwariskan turun temurun dalam keluarga suku Dayak Tomun,
seorang bangsawan dari sebuah kerajaan di Sumatera berlayar sampai ke kerajaan
Petarikan, di hulu sungai Belantikan, pedalaman Kalimantan. Namanya Patih Sebatang.
Tidak jelas apakah Patih Sebatang ini sama dengan Datuk Perpatih Nan Sebatang, tokoh
legendaris masyarakat Minangkabau.

Di kerajaan yang bersahaja ini, Patih Sebatang dikisahkan berjumpa dengan seorang putri
Kerajaan Petarikan yang cantik jelita. Namanya Dayang Ilung, yang digambarkan memiliki
keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok
berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alis matanyanya bagai semut
beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Singkat cerita Patih
Sebatang jatuh cinta dan akhirnya menikahi sang putri.
Tidak lama kemudian, Dayang Ilung melahirkan seorang putra, yang dinamai Cenaka Burai.
Entah bagaimana kisahnya Patih Sebatang akhirnya berpisah dengan isteri tercintanya.
Selain buah cintanya yaitu Cenaka Burai, satu-satunya kenang-kenangan yang
mempersatukan cinta mereka adalah cincin pernikahan yang selalu disimpan baik oleh Patih
Sebatang.
Sampuraga dibesarkan ayahnya sebagai seorang pemuda yang berharkat dan bermartabat
tinggi. Dan entah bagaimana asal-usulnya, Cenaka Burai juga kelak dipanggil sebagai
Sampuraga. Kemudian ketika sudah dewasa Sampuraga diceritakan ayahnya bahwa ibunya
ada di sebuah kerajaan nun jauh di hulu sungai Belantikan. Sampuraga berkeras ingin
menjumpai ibu kandungnya tersebut, dan meminta apa ciri-ciri ibunya. Sang ayah pun
menceritakan kecantikan ibu kandung Sampuraga, dan menunjukkan sebuah cincin
pernikahan mereka.

Dibekali dengan cincin pernikahan ayahnya, Sampuraga pergi berlayar sampai ke kerajaan
Petarikan. Sesampainya disana, masyarakat membawanya menemui sang ibu yang sudah
tua. Dayang Ilung ternyata telah bertahun-tahun menantikan kembalinya anak kandungnya.
Bukan main senangnya Dayang Ilung mengetahui buah hatinya menjumpainya langsung.
Hampir saja ia memeluk Sampuraga, tapi Sampuraga menolak. Sampuraga tidak percaya
bahwa wanita asing di depannya tersebut adalah ibunya sendiri. Ayahnya telah
menceritakan kecantikan sang ibu. Bagaimana mungkin wanita yang tua renta tersebut
adalah puteri cantik yang diceritakan sang ayah?
Sampuraga masih ingin membuktikan lagi. Dikenakannya cincin pernikahan ayahnya
kepada wanita tua itu. Karena Dayang Ilung sudah dimakan usia, cincin tersebut menjadi
terlalu besar untuk melingkari jari-jarinya. Sampuraga semakin yakin bahwa wanita itu bukan
ibunya. Sampuraga memutuskan untuk pulang.
Dayang Ilung kecewa. Ia berkata kepada Sampuraga, "Nak, kamu sudah meminum susu
dari tubuhku. Kalau kamu tidak mau mengakuinya, kamu akan terkena malapetaka!"
Dengan amarah di dalam dada, Sampuraga berlayar pulang. Dia tidak habis pikir, kenapa
ada wanita tua yang bersikeras meyakinkan Sampuraga bahwa dia adalah ibunya, padahal
ayahnya sudah jelas memberitahu ciri-ciri sang ibu.

Di tengah jalan, tiba-tiba badai menghadang. Kapalnya oleng diombang-ambingkan ombak


besar. Ketika kapalnya hampir karam, Sampuraga teringat kutukan wanita tua tersebut. Hati
kecilnya tiba-tiba disadarkan bahwa dia baru saja durhaka pada ibunya sendiri.
"Ibu, ibu, kamu memang ibuku!" demikian Sampuraga memohon ampun. Tiba-tiba terdengar
suara ibunya, "Nak, sudah jatuh telampai. Tidak mungkin keputusan ditarik kembali. Kutukan
sudah terjadi." Demikianlah Sampuraga membatu bersama kapalnnya
Dayak Tomun dan Patih Sebatang
Tidak adil rasanya membicarakan Sampuraga tanpa menyinggung suku yang
menuturkannya: Dayak Tomun. Dayak Tomun (Tomon, atau Tumon dalam beberapa tulisan)
bukanlah nama diri atau nama suatu suku. Dayak Tomun adalah penamaan untuk
sekelompok suku Dayak yang mendiami Daerah Aliran Sungai Lamandau di Kabupaten
Lamandau, Kalimantan Tengah. Kata "Tomun' bisa diartikan "berbicara, bermusyawarah,
bertemu, adanya perjumpaan untuk saling memahami, mengerti, dan mengetahui benar,
serta memaklumi". Tomun artinya kaum yang mudah berhubungan satu sama lain dalam
satu rumpun. Walaupun terdiri dari berbagai dialek yang berbeda, mereka masih bisa saling
berkomunikasi seakan-akan satu suku. Karena kadang-kadang beda dialek antara desadesa setetangga hanya pada huruf terakhir, kita tidak harus mempelajari semua dialek.
Kalau di desa Tapin Bini bertanya Honak Kamuna artinya Hendak kemana, maka kalimat itu
menjadi Honak Kamuno dalam dialek Delang. Begitulah pemahaman makna "Tomun".
Saya menghabiskan satu setengah tahun pengabdian saya di tengah-tengah masyarakat
Dayak Tomun. Fenomena yang paling menarik saya bukanlah kuyang, alias hantu terbang
yang pernah saya lihat dengan mata kepala sendiri. Tapi fakta bahwa salah satu desa di
Kabupaten Lamandau mempunyai benang merah dengan suku Minangkabau di Sumatera
Barat. Waktu pertama kali bertugas di Kalimantan, kami disambut dengan pesta adat di
desa Kudangan, desa terpencil di Kabupaten Lamandau.
Desa Kudangan yang dihuni oleh suku Dayak Delang yang merupakan rumpun Dayak
Tomun. Tapi bentuk rumah mereka mirip rumah gadang dengan atap melengkung sebagai
tanduk kerbau seperti di Sumatera Barat. Ada lagi kebiasaan kaum laki-laki di Kudangan
mengunyah daun sirih dan sebaliknya wanita mengisap rokok kelintingan buatan sendiri.
Bahasa sehari-hari yang dipergunakan adalah bahasa suku Dayak Delang, namun dialek
dan sebutan kata-katanya banyak kesamaan dengan bahasa daerah Minangkabau, yang
selalu berakhir dengan huruf o dan Ik. Seperti contohnya antara lain duo = dua, sanjo =
senja/sore, kepalo = Kepala, takajuik = terkejut dan lain sebagainya.
Penduduk Kudangan meyakini bahwa mereka berasal dari keturunan kerajaan Pagaruyung
di Sumatera Barat sejak abad ke 14. Menurut cerita seorang bangsawan dari Kerajaan
Pagaruyung yang bernama Malikur Besar Gelar Patih Sebatang Balai Seruang berlayar ke
Kalimantan. Memasuki suatu alur sungai, Datuk Malikur Besar itu tertarik dengan suatu
daerah dan mendirikan kerajaan kecil yang diberi nama "Kudangan". Rombongan Datuk
Malikur Besar ini berbaur dengan penduduk asli setempat.

Bukti kerajaan Kudangan keturunan Pagarruyung itu, yang sekarang menjadi kecamatan
Delang adalah adanya sejumlah peninggalan bersejarah antara lain suatu bendera
berukuran 3 kali 1,5 meter dan hingga kini disimpan dengan baik di rumah adat Kudangan.
Saya juga memperhatikan bahwa kebanyakan warga suku Dayak Tomun mengakui diri
mereka sebagai keturunan Patih Sebatang. Saya percaya bahwa Patih Sebatang yang
mereka sebut itu adalah Datuak Parpatiah Nan Sabatang, tokoh terkenal dari Minangkabau.
Datuak Parpatiah Nan Sabatang

Siapa tokoh ini? Datuak Parpatiah Nan Sabatang adalah misteri bagi saya. Apakah dia
pernah benar-benar ada dalam sejarah, atau sebagai legenda saja? Suku Minangkabau,
dari dahulu hingga sekarang, mempercayai dengan penuh keyakinan, bahwa dia seorang
tokoh adat terkenal yang berasal dari Limo Kaum dan dianggap pendiri Adat Koto Piliang
dan Adat Bodi Caniago yang sampai sekarang masih hidup subur di dalam masyarakat
Minangkabau, baik yang ada di Sumatera Barat sendiri maupun yang ada diperantauan.
Ada petunjuk bagi kita bahwa dia memang merupakan tokoh sejarah Minangkabau. Pitono
mengambil kesimpulan bahwa dari bait kedua prasasti pada bagian belakang arca
Amogapasa, antara tokoh adat Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan tokoh Dewa Tuhan
Perpatih yang tertulis pada arca itu adalah satu tokoh yang sama.

Dijelaskan selanjutnya bahwa pada prasasti itu tokoh Dewa Tuhan Perpatih sebagai salah
seorang terkemuka dari raja Adityawarman yaitu salah seorang menterinya. Jadi tokoh
Dewa Tuhan yang ada pada prasasti yang terdapat di Padang Candi itu adalah sama
dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Demikian kesimpulannya.
Dalam catatan sejarah, Datuak Parpatiah Nan Sabatang, hidup pada waktu pemerintahan
Adityawarman, pada awal abad ke-14 (1315 M). Dalam salah satu versi sejarah disebutkan
keberadaan Adityawarman menjadi raja di Kerajaan Pagaruyung, tercatat Datuk Parpatiah
Nan Sabatang selaku patih kerajaan. Sudah berapa lama riwayat etnis Minangkabau
terbentang, sekian banyak pula para ahli sejarah mencari tahu dimana makamnya, namun
sedikit ahli sejarah yang dapat mengemukakan kehidupan beliau.
Nah, sebagai tokoh panutan dalam masyarakat Minangkabau, Datuk Parpatiah Nan
Sabatang, mempunyai kesukaan mengembara, tidak saja di Minangkabau, tapi sampai ke
tanah Jawa. Dalam pengembaraannya, beliau selalu menimba berbagai ilmu dari negerinegeri yang dikunjunginya. Apakah dia sempat mengunjungi Kalimantan? Patih Sebatang
saya dapati menjadi tokoh lokal pada beberapa suku di Indonesia yang karakternya
disesuaikan dengan setting setempat. Herwiq dan Zahorka meyakini bahwa memang ada
benang merah antara suku Minangkabau di Sumatera Barat dan Dayak Tomun di
Kalimantan. Benang merahnya itu adalah Patih Sebatang.
http://www.thefreelibrary.com/A+Tumon+Dayak+burial+ritual+%28Ayah+Besar
%29%3a+description+and...-a093533241/
Laksamana Cheng Ho versus Sampuraga

Tokoh ini begitu terkenal. Saya tidak perlu mengomentarinya lagi. Tapi sebagaimana cerita
lain, tokoh legendaris ini muncul dalam beberapa tempat di Indonesia. Izinkan saya
menyampaikan satu fakta saja: Cheng Ho atau Zheng He disebut juga Dampu Awang atau
Dampo Awang. Artinya, Dang atau Sang Puhawang yang menurut Mira Sidharta adalah
Nakhoda kapal.

Cerita tentang Dampu Awang terdengar baik di Lampung maupun Palembang. Di Lampung
menyebut Dampu Awang sebagai Pangeran Sebatang. (Atau Patih Sebatang? Entahlah)
Raja Iskandar, sang ayah, membuang Pangeran Sebatang ke laut. Bayi mungil itu terapungapung, lalu diselamatkan burung garuda. Setelah besar, raja menyesal, lalu memberi
Pangeran Sebatang sebuah kapal, lengkap dengan kelasi dan peralatannya. Dengan kapal
itu, ia berlayar ke Majapahit dan diberi gelar Raden Puhawang atau Dang Puhawang atau
Dampu Awang.
Apa hubungannya Laksamana Cheng Ho dengan kisah Sampuraga ya? Dengar baik-baik:
Dalam cerita rakyat Palembang, Dampu Awang diceritakan sebagai anak durhaka. Dampu
Awang dikisahkan pergi merantau, dan setelah berhasil pulang ke Palembang dia tidak
mengakui ibunya. Ia dikutuk sehingga kapal besarnya berubah menjadi batu. Di muara
sungai, ada daerah bernama Batu Ampar. Daerah itulah yang oleh penduduk sekitar disebut
bekas kapal Dampu Awang. Betapa mirip dengan kisah Sampuraga, eh Malin Kundang,
bukan? Silahkan baca dalam :
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/08/29/SEL/mbm.20050829.SEL116437.id.ht
ml
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana tokoh sekelas Laksamana Cheng Ho membatu
seperti Sampuraga.

Sejarah Tarian Pagaruyung di Delang


Lamandau Kalimantan Tengah
Penulis: Turisno Kiki
Pada zaman dahulu di sumatra selatan ada sebuah kerajaan yang
bernama Kerajaan Pagaruyung. Di kerajaan tersebut ada seorang patih
yang bernama Patih Nan Sebatang.

Rumah adat yang mirip dengan Rumah Gadang Minangkabau di Desa


Kudangan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau (hasil
pemakeran dari Kabupaten Kotawaringin Barat), Provinsi Kalimantan
Tengah

Patih tersebut sangat menghormati rajanya. Suatu hari Patih Nan Sebatang
diperintahkan rajanya untuk memperluas kekuasaan ke luar daerah, dan
Patih Nan Sebatang pun menyanggupinya.
Keesokan harinya patih Nan Sebatang pun berlayar dengan para prajurinya.
Dalam perjalanannya, patih Nan Sebatang melewati banyak rintangan badai
dan ombak besar. Beberapa minggu kemudian Patih Nan Sebatang
menenukan sebuah pulau yang sangat besar yang bernama pulau
kalimantan.
Patih Nan Sebatang pun memasuki pulau tersebut mengikuti aliran
sungai. Setelah itu Patih Nan Sebatang menemukan sebuah desa yang
bernama Desa Sarangparuya(Batang kawa).
Di desa tersebut Patih Nan Sebatang bertemu dengan dara manis yang
bernama Dara Ilung. Patih Nan Sebatang sangat menyukai Dara Ilung.
Dara Ilung pun menyukai Patih Nan Sebatang. Kemudian mereka berdua
menikah.
Pada saat acara pernikahan Patih Nan Sebatang menampilkan tarian
khas dari Kerajaan Pagaruyung yang bernama Tarian Pagaruyung yang
ditarikan para prajurit dan para dayang.

Tahun demi tahun berlalu dan tidak terasa sudah sepuluh tahun lama
pernikahan Patih Nan Sebatang dan Dara Ilung mereka berdua dikaruniai
dua orang anak satu laki-laki dan satunya perempuan. Yang laki-laki
bernama Jenaka Burai dan yang perempuan bernama Indun. Jenaka Burai
adalah kaka dari Indun.
Suatu hari Patih Nan Sebatang mendapat perintah dari sang raja untuk
kembali ke Kerajaan Pagaruyung. Keesokan harinya Patih Nan Sebatang
pulang ke Kerajaan Pagaruyung bersama dengan Jenaka Burai,
sedangkan Indun tinggal bersama ibunya di Sarang Paruya.
Dalam perjalan Patih Nan Sebatang sangat sedih karena Dara Ilung dan
Indun tidak mau ikut. Tahun demi tahun pun berlalu. Indun pun tumbuh
dewasa dan menjadi gadis yang sangat cantik.
Indun kemudian bertemu dengan seorang laki-laki dari Desa Punjung
Pekopian (Kudangan). Kemudian mereka berdua saling menyukai dan
akhirnya menikah.
Pernikahan tersebut dilakukan di Punjung Pekopuan (Kudangan). Saat
acara pernikahan, keluarga Indun menampilkan Tarian Pagaruyung. Sejak
saat itulah Tariaan Pagaruyung menjadi tarian khas daerah Punjung
Pekopuan (Kudangan). ***

Suku Kudangan Lamandau Bertalian Sejarah


dengan Minangkabau

Cerita Cenaka Burai (Asal Mula Bukit Sampuraga) versi Warga Kecamatan
Lamandau dan Kecamatan Belantikan Raya
Penyalin : Zamrolly Purnama Kawung, S.Pd
Diceritakanlah ada seorang putri di negeri Sarang Paruya yang yang cantik
jelita namanya Dayakng Ilukng. Masyarakat Kabupaten Lamandau
meyakini Kerajaan Sarang Paruya tersebut sekarang berada di wilayah
Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah.

Rumah adat yang mirip dengan Rumah Gadang Minangkabau di Desa Kudangan,
Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau (hasil pemekaran dari Kabupaten
Kotawaringin Barat), Provinsi Kalimantan Tengah.
Dayakng Ilukng yang digambarkan memiliki keindahan tubuh yang
sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, rambutnya panjang ikal
bak mayang mengurai, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama,
pipinya bak pauh dilayang, bibirnya merah bagai buah delima, alis
matanyanya bagai semut beriring, kakinya indah bak padi bunting
sungguhlah sempurna sehingga banyak pemuda yang sangat
mengaguminya.
Adalah seorang bangsawan muda yang tampan, gagah berani dan sering
berlayar menaklukan samudera dari sebuah kerajaan di Pagaruyung,
Minangkabau namanya Patih Nan Sebatang (tidak jelas apakah Patih Nan
Sebatang ini sama dengan Datuk Perpatih Nan Sebatang, tokoh
legendaris masyarakat Minangkabau atau bukan).

Ia memiliki kesenangan berlayar sehingga pada suatu hari kapalnya


diterpa badai dan gelombang yang maha dahsyat. Ketika kapalnya luluh
lantak dihantam gelombang dan badai, dia terseret arus laut hingga
terdampar di pesisir negeri Sarang Paruya, dia ditemukan dan
diselamatkan oleh warga sehingga tidak menjadi korban dalam peristiwa
itu
Alkisah Patih Nan Sebatang tinggal di Negeri Sarang Paruya untuk
pengobatan karena tubuhnya terdapat banyak luka dan memar akibat
terkena puing-puing kapalnya dan hantaman batu-batu karang selama
terdampar di laut.
Setelah sekian lama Patih Nan Sebatang dirawat warga setempat,
akhirnya kondisi tubuhnya berangsur membaik dan sembuh. Saat itu dia
ingin pulang ke kampung halamannya di Pagaruyung, namun dia sudah
tidak punya kapal lagi, karena kapalnya sudah hancur berkeping saat
peristiwa naas menimpanya itu.
Dia akhirnya memutuskan tinggal di Negeri Sarang Paruya untuk
beberapa waktu bekerja dan membuat kapal lagi. Saat itulah dia
mendengar tentang kecantikan Dayakng Ilukng, hal ini membuat dia
penasaran dan sangat ingin bertemu dengan putri yang didengarnya
sangat cantik jelita itu. Atas bantuan para pemuda-pemudi sahabatnya
akhirnya dia dapat bertemu dengan sang puteri yang cantik jelita
tersebut.
Patih Nan Sebatang sangat terpesona kala melihat kecantikan Dayakng
Ilukng dan ia pun berniat mempersunting Dayakng Ilukng. Iapun
mempersiapkan segala perlengkapan melamar menurut adat setempat
anatara lain adat Pinang Sekayu yang sekarang masih di terapkan di
lingkungan masyarakat adat Kabupaten Lamandau dan perlengkapan
lainnya.
Ketika semuanya sudah siap Patih Nan Sebatang dengan meminta
bantuan tetua adat setempat datang meminang Dayakng Ilukng, sang
puteri pun tak kuasa menolak lamaran Patih Nan Sebatang karena diapun
sangat terpesona dan jatuh cinta pada ketampanan dan kesopanan
pemuda tersebut saat pandangan pertamanya. Patih Nan Sebatang pun
berlega hati setelah mendengar lamarannya diterima.

Pernikahan pun dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam dengan


sangat meriah, resmilah sudah Patih Nan Sebatang dan Dayakng Ilukng
menjadi pasangan suami isteri yang serasi, Patih Nan Sebatang yang
sangat tampan dan berbudi bahasa yang sopan dan bijaksana
didampingi Dayakng Ilukng yang cantik jelita dan bersahaja.
Setelah mereka menikah Dayakng Ilukng melahirkan seorang putra buah
cintanya dengan Patih Nan Sebatang dan mereka memberinya nama
Cenaka Burai.
Cenaka Burai tumbuh besar layaknya anak seusianya, ketika usia Cenaka
Burai menginjak kurang dari 3 bulan Patih Nan Sebatang berencana
membawa Cenaka Burai pulang ke tanah kelahirannya di Pagaruyung,
Minangkabau; untuk menengok keluarganya disana dan
memperkenalkan putera keduanya tersebut.

Saat ia menyampaikan maksudnya kepada Dayakng Ilukng, Dayakng


Ilukng sangat bersedih namun ia pun akhirnya merestui kepergian suami
tercinta dan anak sematawayangnya Cenaka Burai yang sangat
dikasihinya itu karena ketika dahulu kala ada kepercayaan yang diyakini
oleh warga setempat kalau perempuan baru melahirkan tidak boleh
melangkah lautan, Dayakng Ilukng pun akhirnya tak turut serta dengan
mereka.
Sebelum mereka berangkat Dayakng Ilukng memeras air susunya
sebanyak 7 (tujuh) Roga Topaian (Guci tempat menyimpan
beras/membuat Tuak minuman keras dari Kab.Lamandau). Dayakng
Ilukng hanya bisa menangis ketika mereka hendak berangkat menaiki
kapal yang membawa Patih Nan Sebatang dan Cenaka Burai berlayar.
Dayakng Ilukng berpesan kepada Patih Nan Sebatang agar menjaga dan
selalu memberi susu yang dia bekalkan agar kesehatan anaknya selalu
dijaga, Cenaka Burai anak kita yang kuharapkan dapat menemui aku
apabila kita tak bisa berjumpa diwaktu nanti, jagalah dia dan besarkan
dia agar menjadi kuat sepertimu.
Kalau kau tidak membawanya pulang segera ajarilah dia berlayar agar
suatu saat nanti kita tidak dapat bertemu anak kita Cenaka Burai lah

yang datang kesini menemuiku untuk menebus kerinduanku padamu.


Bawalah cincin pernikahan ku ini agar nanti menjadi bukti dan
meyakinkan dia bahwa akulah ibunyahu..hu..hu. ucap Dayakng
Ilukng menangis menjadi-jadi sembari menyerahkan cincinnya kepada
suaminya Patih Nan Sebatang.
Patih Nan Sebatang berjanji akan memelihara Cenaka Burai seperti pesan
isterinya, ia pun meminta Dayakng Ilukng agar selalu sabar menunggu
kedatangan mereka kembali, Patih Nan Sebatang juga meninggalkan
bendera Tirai Serampun (Belum diketahui apakah bendera kapal atau
kerajaan) pada isterinya. Mereka pun berlayar dan setelah berapa
minggu berlayar sampailah mereka di kampung halamannya
Pagaruyung, Minangkabau.
Selain membawa buah cintanya yaitu Cenaka Burai, satu-satunya
kenang-kenangan yang mempersatukan cinta mereka adalah cincin
pernikahan yang selalu disimpan baik oleh Patih Nan Sebatang. Ketika
kerinduan dengan kampung halamannya sudah terobati Patih Nan
Sebatang hendak membawa Cenaka Burai kembali ke negeri Sarang
Paruya, dia membuat sebuah kapal yang besar yang indah dan megah
diberi nama Sampuraga.
Ketika mereka hendak berangkat cuaca lautan sangat buruk dan tidak
memungkinkan mereka berangkat, keadaan cuaca tersebut berlangsung
sangat lama bahkan bertahun-tahun sehingga tak terasa Cenaka Burai
semakin bertambah besar dan menjadi pemuda yang gagah perkasa.
Patih Nan Sebatang selama menunggu cuaca yang tidak menentu itu
mulai mengajari anaknya berlayar di lautan kecil di sekitar Pagaruyung,
memang Cenaka Burai adalah anak yang pemberani dan tangguh iapun
sangat cepat menguasai tekhnik berlayar.
Cenaka Burai yang merindukan dan sangat ingin berjumpa dengan sang
ibu akhirnya mengutarakan niatnya kepada ayahnya. Patih Nan Sebatang
yang telah bertambah tua sering sakit-sakitan namun karena
kerinduannya dengan isteri dan usia yang telah merenggut
keperkasaannya, iapun memanggil Cenaka Burai dan berkata Cenaka
Burai anakku, engkaulah satu-satunya yang menjadi kebanggaan ayah.
Sekarang engkau berangkatlah berlayar menemui ibumu ke negeri
Sarang Paruya katakanlah pada ibumu bahwa aku tidak bisa kesana

dengan keadaanku seperti ini. Sampaikanlah rindu dendamku kepada


ibumu, sampaikan permohonan maafku ucap Patih Nan Sebatang
dengan suara yang serak memendam rindu ingin bertemu dengan isteri
tercinta Dayakng Ilukng dan sejuta penyesalan karena usia dan penyakit
sehingga dia tak bisa ikut berlayar bersama anaknya.
Lalu Cenaka Burai menyiapkan perlengkapan berlayar karena diapun
sangat ingin bertemu ibunya yang selalu diceritakan ayahnya sangat
cantik dan rupawan.
Setelah persiapan selesai ia kembali menemui ayahnya dan bertanya
Ayah..!! aku siap berlayar! Tapi bagaiamana aku mengenali ibu,
sedangkan aku tidak pernah bertemu dengannya ucap Cenaka Burai
penuh semangat namun ragu apakah bisa mengenali ibunya.
Patih Nan Sebatang teringat pesan isterinya dan cincin pernikahan yang
diberikan isterinya ketika mereka hendak berpisah kala ia membawa
anaknya pulang, ia pun menyerahkan cincin tersebut kepada Cenaka
Burai sembari berkata Bawalah cincin ini anakku, pakaikanlah dijarinya
yang lentik itu. Rupa wajahnya seperti yang sering ayah ceritakan
kepadamu nak.
Maka berangkatlah Cenaka Burai dengan rindu dendam dirinya dan
ayahnya kepada ibunya yang telah lama berpisah. Dibekali dengan cincin
pernikahan yang diberikan ayahnya, Cenaka Burai pergi berlayar sampai
ke negeri Sarang Paruya.
Sesampainya disana dia pun bertanya kepada masyarakat disana
dimanakah rumah ibunya, masyarakat membawanya menemui sang ibu
yang sudah tua. Dayakng Ilukng yang juga sudah tua seperti suaminya
ketika mengetahui kedatangan buah hatinya yang telah bertahun-tahun
lamanya berpisah bukan main senangnya.
Ketika mereka berhadapan hampir saja ia memeluk Cenaka Burai, tapi
Cenaka Burai mendorong ibunya hingga terjerembab ke tanah.
Jangan menyentuhku, kau bukan ibuku..!!; Kata ayah ibuku sangat
cantik bukan seperti kamu jelek dan keriput nenek tua hardik Cenaka
Burai sambil bertolak pinggang.

Dia tidak percaya bahwa wanita asing di depannya tersebut adalah


ibunya sendiri. Ayahnya telah menceritakan kecantikan sang ibu.
Bagaimana mungkin wanita yang tua renta tersebut adalah puteri cantik
yang diceritakan sang ayah?
Dayakng Ilukng meyakinkan Cenaka Burai bahwa dialah ibu kandung
yang telah melahirkannya. Dayakng Ilukng tidak puas diapun kembali
meyakinkan Cenaka Burai.
Aku inilah ibumu nak, karena usia dan kerinduanku padamu dan
ayahmulah yang membuat keadaanku seperti ini..huhuhu.. ucap
Dayakng Ilukng sambil menangis.
Walaupun begitu Cenaka Burai tidak bergeming dan dia teringat cincin
ibunya yang dititipkan ayahnya, iapun ingin membuktikan lagi apa benar
itu ibunya. Dikenakannya cincin pernikahan ayahnya kepada wanita tua
itu. Karena usia telah membuat tubuh Dayakng Ilukng lebih kurus, cincin
tersebut menjadi terlalu besar untuk melingkari jari-jarinya dan diapun
semakin yakin bahwa wanita itu bukan ibunya.
Cenaka Burai sangat marah dan kecewa karena tidak bisa bertemu
dengan ibunya yang cantik jelita seperti cerita ayahnya selama ini dan
memutuskan untuk pulang. Dayakng Ilukng kecewa lalu memeras air
susunya dan berkata kepada anaknya penuh tangis.
Nak, kamu sudah meminum air susu ini dari tubuhku. Kalau kamu tidak
mau mengakui aku ini adalah ibumu dan kalau kamu memang Cenaka
Burai anak yang telah lahir dari rahimku, aku bersumpah demi langit dan
demi bumi kamu akan terkena malapetaka yang maha dahsyat,
katanya.
Dengan amarah di dalam dada Cenaka Burai berlayar pulang dan tidak
memperdulikan apa yang dikatakan perempuan yang sebenarnya adalah
ibunya itu. Dia tidak habis pikir, kenapa ada wanita tua yang bersikeras
meyakinkan bahwa dia adalah ibunya, padahal ayahnya sudah jelas
memberitahu ciri-ciri sang ibu.
Belum jauh kapal bernama Sampuraga tersebut meninggalkan Sarang
Paruya, tiba-tiba langit mendung hanya sebesar Timpa (tempat
menjemur padi) lalu badai menghadang.

Kapalnya oleng diombang-ambingkan ombak besar. Ketika kapalnya


hampir karam, Cenaka Burai teringat kutukan wanita tua tersebut. Hati
kecilnya tiba-tiba disadarkan bahwa dia baru saja durhaka pada ibunya
sendiri.
Diapun berteriak kepada ibunya, Ibu, ibu, aku telah jahat kepadamu,
ternyata kau memang ibuku! ucapnya memohon ampun.
Tiba-tiba terdengar suara ibunya, Nak, sudah jatuh terlampau. Tidak
mungkin keputusan ditarik kembali. Kutukan sudah terjadi.
Lalu halilintar menggelegar dan menghantam Cenaka Burai dan Kapal
Sampuraga miliknya tersebut hingga hancur berkeping-keping. Cenaka
Burai berubah menjadi batu dan puing Kapal Sampuraga miliknya
berubah menjadi bukit batu pula yang sekarang dinamakan Bukit
Sampuraga, yang terletak di Desa Karang Besi, Kecamatan Belantikan
Raya, Kabupaten Lamandau.
Cenaka Burai adalah nama tokoh dalam cerita rakyat suku Dayak Tomun
ini yang berasal dari Kabupaten Lamandau, Propinsi Kalimantan Tengah,
Indonesia.
Legenda Bukit Sampuraga dapat dilihat buktinya yang menurut warga
Lamandau yaitu sebuah bukit yang mirip reruntuhan kapal yang telah
menjadi batu di desa Karang Besi, Kabupaten Lamandau, tepatnya 2
kilometer dari tepian sungai Belantikan, dinamai menurut legenda ini.
Bukit Sampuraga, demikian nama obyek wisata Pemerintah Kabupaten
Lamandau tersebut, diyakini memiliki bagian dek dan layar kapal
Sampuraga.
Di sungai di daerah tersebut pun ada batu yang mirip tali, karung beras
dan telur ayam. Di Sungai Lamandau di Kelurahan Tapin Bini tidak jauh
dari Desa Karang Besi terdapat Batu Bangkai mirip manusia sedang tidur
dengan panjang sekitar 10 m yang menurut orang tua dulu adalah
manusia yang menjadi batu kemungkinan awak Kapal Sampuraga milik
Cenaka Burai.
Cerita ini saya buat menurut versi masyarakat Lamandau di DAS
Belantikan, Kecamatan Belantikan Raya.

Karena penulis belum menggali sejarah versi dari desa


Kudangan/Kudangan Badak Balai Ruwai Topitn Tona Pongkalan Batu,
Kecamatan Delang yang masih menyimpan bukti sebuah bendera (TIRAI
SERAMPUN) yang dimiliki Patih Nan Sebatang. ***
http://zamrolly.blogspot.co.id/2012/05/cerita-dongeng-cenakaburai-asal-mula.html

Orang Dayak Tomun di Kudangan Mengaku


dari Minangkabau
Mengaku Keturunan Patih Sebatang, Gelar Tarian Pagaruyung di
Tiap Acara pernikahan
Ditulis oleh: Rhamad Nursani
PENDUDUK Kudangan di Desa Kudangan, Kecamatan
Delang, Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan
Tengah, meyakini bahwa mereka berasal dari keturunan kerajaan
Pagaruyung di Sumatera Barat (Sumbar) sejak abad ke 14.

Rumah adat yang mirip dengan Rumah Gadang Minangkabau di


Desa Kudangan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau (hasil
pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Barat), Provinsi
Kalimantan Tengah.
Menurut cerita seorang bangsawan dari Kerajaan Pagaruyung yang
bernama Malikur Besar Gelar Patih Sebatang Balai Seruang berlayar ke
Kalimantan. Memasuki suatu alur sungai, Datuk Malikur Besar itu tertarik
dengan suatu daerah dan mendirikan kerajaan kecil yang diberi nama
Kudangan. Rombongan Datuk Malikur Besar ini berbaur dengan
penduduk asli setempat.
Bukti kerajaan Kudangan keturunan Pagarruyung itu, yang sekarang
menjadi Kecamatan Delang adalah adanya sejumlah peninggalan
bersejarah antara lain suatu bendera berukuran 3 kali 1,5 meter dan
hingga kini disimpan dengan baik di rumah adat Kudangan.
Saya juga memperhatikan bahwa kebanyakan warga suku Dayak
Tomun mengakui diri mereka sebagai keturunan Patih Sebatang.
Saya percaya bahwa Patih Sebatang yang mereka sebut itu
adalah Datuak Parpatiah Nan Sabatang, tokoh terkenal dari
Minangkabau.
Selain itu pula Patih Nan sebatang mempersunting salah seorang
gadis Dayak Tomun. Sehingga salah satu bukti yang menunjukan
kebenaran bahwa Patih Nan Sabatang berkelana ke daerah ini
yaitu Tarian Pagaruyung yang selalu di lakukan pada setiap
acara adat pernikahan.
Sedikit Tentang Kudangan:
Desa kudangan adalah desa yang terletak di Kalimantan Tengah,
Kabupaten Lamandau dan merupakan ibu kota Kecamatan Delang.
Daerah yang masih hijau dengan hutan yang masih terjaga karena belum
terkontaminasi oleh perusahan-perusahaan dan tambang-tambang yang
sifatnya merusak lingkungan dan alam.
Masyarakat yang masih kental dengan adat istiadat menjadikan daya
tarik tersendiri bagi para wisatawan yang ingin berkunjung ke daerah ini

untuk menyaksikan acara-acara seperti pernikahan adat, prosesi adat


kematian, penyambutan tamu agung dan lain-lain.
Desa Kudangan yang dihuni oleh suku Dayak Delang yang merupakan
rumpun Dayak Tomun. Tapi bentuk rumah mereka mirip rumah gadang
dengan atap melengkung sebagai tanduk kerbau seperti di Minangkabau,
Sumatera Barat (Sumbar). Ada lagi kebiasaan kaum laki-laki di Kudangan
mengunyah daun sirih dan sebaliknya wanita mengisap rokok kelintingan
buatan sendiri.
Bahasa sehari-hari yang dipergunakan adalah bahasa suku Dayak
Delang, namun dialek dan sebutan kata-katanya banyak kesamaan
dengan bahasa daerah Minangkabau, yang selalu berakhir dengan huruf
o dan Ik. Seperti contohnya antara lain duo = dua, , kepalo = Kepala dan
lain sebagainya.
Dayak Tomun bukanlah nama diri atau nama suatu suku. Dayak Tomun
adalah penamaan untuk sekelompok suku Dayak yang mendiami Daerah
Aliran Sungai Lamandau di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.
Kata Tomun bisa diartikan berbicara, bermusyawarah, bertemu,
adanya perjumpaan untuk saling memahami, mengerti, dan mengetahui
benar, serta memaklumi.
Tomun artinya kaum yang mudah berhubungan satu sama lain dalam
satu rumpun. Walaupun terdiri dari berbagai dialek yang berbeda,
mereka masih bisa saling berkomunikasi seakan-akan satu suku.
Sejarah Singkat Desa Kudangan:
(Bahasa Delang)
Ija jaman komai ado uyang bonamo Ninik Gonggam agan Ninik Sobal.
Siak botara Honda bulah laman lalu dipunjung pokopuan ado uyang , sia
nantai boinguan manu tiap babah hari manu nantai hala ninggur di
soborang topint bolainyo ninggur di dukuh sia .
Kato uyang puku laman natai kito gola pindah kosoborang topint obai
manu kito tai hala niggur disoborang topint tai. Kali sia bulah dukuh di
santai najak panggulan dukuh lalu disantai ado kudangan badak agant

balai ruai. Obai disantai ado louk nantai opasnyo siak tai bulah
panggulan laman obai potaraan ninik gonggam agant ninik sobal jadi
nantai lau sia bulah laman sia damoi laman kudangan manah-komanahan
laman kocit jadi bosar urang kurang jadi banyak lalu laman kudangan
banyak urangnyo. Laman ado mantirnyo dukuh ado tuhonyo doi jaman
komai laman kudangan di sapo laman potaraan ponakaran poncobian
koint.
Hilang mantir digonti mantir hilang tuho digonti tuho laman monjadi
bosar urang botambah banyak laman totap borosih tompu totap boi
diapm lomak duduk nyaman batang dilang kinyo tohu tokah kantung
gading cotohu buta urangnyo panjang nyao pohit darah manang boranak
lunggur bogonti tipis kinyo tohu tombus gonting kinyo tohu putus obai
batang dilang cotohu tokah kantung gading kinyo tohu buta idan nantai
laman kudangan badak agan balai ruai topint tona pongkalan batu laman
totap borosih urang botambah banyak sodangan uyang dating boharu
pan tomui urang dating bujang tampil bobini daro tampil bolaki asalnyo
ko kudangan bolainyo pulang obai kudangan laman potaraan .
Sampai sari niin laman mongkin bosar tompuk mongkin borosih urang
makin banyak. Pribahasonyo urang banyak manusio tobal di laman
tompu pasah bolai di kudangan badak balai ruai sampai ninam .
Mengenalkan kepada masyarakat Indonesia tempat wisata, adat istiadat
yang ada di Delang khususnya Desa Kudangan. Bukan hal yang tidak
mungkin Kudangan nantinya akan ramai pengunjung karena jalur lintas
Provinsi Kalimantan melewati desa ini juga.
Dari pandangan saya terhadap politik rencan pemindahan ibu kota
Negara ke Kalimantan Tengah akan benar-benar terjadi (pemikiran awam
saya) otomatis Kecamatan Delang kemungkinan besar akan ramai juga.
Nah, ini lah tujuan saya ingin mengenalkan potensi-potensi yang ada di
delang baik kebudayaan dan wisata-wisata alam yang patut
dipertimbangkan oleh traveler maupun pecinta alam. ***
kudangan.blogspot.co.id/2016/02/kudangan.html

Kerajaan Kudangan: Desa Minangkabau di


Pedalaman Kalimantan
Bahasa di Kudangan Mirip dengan Bahasa Minangkabau
October 15, 2009
SEPINTAS berada di Desa Kudangan Kecamatan Delang, Kabupaten
Kotawaringin Barat,Provinsi Kalimantan Tengah di tengah hutan
belantara yang persis berada sekitar perbatasan Kalbar-Kalteng tentunya
tidak akan merasakan berada di daerah yang asing.

Rumah adat yang mirip dengan Rumah Gadang Minangkabau di


Desa Kudangan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau (hasil
pemakeran dari Kabupaten Kotawaringin Barat), Provinsi
Kalimantan Tengah.
Tidak berbeda dengan desa-desa lainnya di Kalimantan, Desa Kudangan
juga terletak di tepi sungai Delang dengan rumah-rumah penduduk
berderet pada satu jalan desa.
Namun, kalau kita teliti dari adat istiadat, maupun bentuk rumah khas
yang terdapat di desa itu termasuk bahasa sehari-harinya dan
lingkungan alam di sekitarnya akan mengingatkan kita berada di suatu
daerah di Sumatera Barat.
Betapa tidak, desa Kudangan yang dihuni suku Dayak Delang punya
bentuk rumah mirip rumah gadang dengan atap melengkung sebagai

tanduk kerbau. Bahasa sehari-hari yang dipergunakan adalah bahasa


suku Dayak Delang, namun dialek dan sebutan kata-katanya banyak
kesamaan dengan bahasa daerah Minangkabau, yang selalu berakhir
dengan huruf O dan IK. Seperti contohnya antara lain duo = dua,
sanjo = senja/sore, kepalo = Kepala, takajuik = terkejut dan lain
sebagainya.
Ada lagi suatu kebisaan dari kaum laki-laki di Kudangan adalah makan
sirih yang menurut mereka, jika gigi menjadi hitam melambangkan
kejantanan seorang laki-laki. Sebaliknya wanita banyak yang mengisap
rokok kelintingan buatan sendiri.
Kepala Adat Samuel Sandang mengungkapkan kepada wartawan dari
Pontianak yang berkunjung ke desa itu menyertai peninjauan Gubernur
Kalimantan Barat Pardjoko S (Gubernur Kalbar ke-7, masa jabatan 19871993) baru-baru ini, penduduk Kudangan yang merupakan desa yang
terisolasi di daerah Kalimantan Tengah, berasal dari keturunan kerajaan
Pagarruyung di Sumatera Barat sejak abad ke 14.
Menurut cerita yang berhasil dihimpun wartawan Neraca pada waktu
itu seorang Datuk dari Pagarruyung bernama Malikur Besar Gelar
Patih Sebatang Balai Seruang berlayar ke Kalimantan.
Memasuki suatu alur sungai, Datuk Malikur Besar itu tertarik dengan
suatu daerah dan mendirikan kerajaan kecil yang diberi nama
Kudangan. Rombongan Datuk Malikur Besar ini berbaur dengan
penduduk asli setempat.
Bukti kerajaan Kudangan keturunan Pagarruyung itu, yang sekarang
menjadi kecamatan Delang adalah adanya sejumlah peninggalan
bersejarah antara lain suatu bendera berukuran 3 kali 1,5 meter dan
hingga kini disimpan dengan baik di rumah adat Kudangan.
Kepala Adat Samuel Sandang secara berhati-hati membuka lipatan
bendera, setelah dilakukan suatu upacara adat yang disaksikan Gubernur
Pardjoko S. dan rombongan.
Bendera yang nampaknya sudah sangat rapuh, warna dasarnya putih
yang kini sudah nampak buram. Pada bagian atas dan bawah terdatpat
garis memanjang dengan lebar 20 cm warna merah.

Di tengahnya terdapat gambar Bintang delapan dalam suatu lingkaran


warna hijau. Di tengah bintang delapan yang menunjukkan Mata Angin
terdapat pula sekuntum bunga yang yang sedang mekar dengan delapan
kelopak bunga. Sejajar dengan lingkaran bintang delapan terdapat
gambar pedang bersilang yang ujungnya bengkok ke atas.
Sejauh itu belum diketahui secara jelas apakah lambang Kerajaan
Kudangan ada hubungannya dengan lambang kerajaan Pagarruyung di
Sumatera Barat.
Camat Delang Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalteng Drs. Ropak J.
Tanjung menjelaskan kepada NERACA hubungan antara Kudangan
dengan Kearajaan Pagarruyung di Sumatera Barat kini sedang diteliti dan
penghimpunan datanya.
Di desa itu terdapat pula salah satu rumah adat yang mereka sebutkan
rumah Gadang milik Mas Kaya Patinggi Agung Mangku Atu Duo yang
berumur sekitar 300 tahun.
Walau sudah dalam usia yang panjang, rumah adat yang berbentuk
rumah Gadang masih berdiri megah. Tiang-tiang penyanggah yang tinggi
dari kayu besi (kayu belian menurut istilah orang Kalimantan)
berdiameter sekitar 30 sampai 40 cm. Rumah adat yang punya konsruksi
atap melengkung tanduk kerbau itu, sudah dimodifikasi dengan seni
bangunan rumah panjang / rumah bentang suku Dayak Kalimantan.
Penduduknya sekitar 6201 jiwa itu terdi dari 95 % suku Dayak dan 5 %
penduduk suku pendatang. Agama yang dianut 65 % agama Kristen
Protestan, 30 % menganut kepercayaan yang disebutkan Kaharingan dan
5 % lainnya agama Islam.
Kegiatan perekonomian sehari-hari jelas terlihat lebih berorientasi ke
daerah Kalimantan Barat, yaitu ke Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang.
Hasil hutan yang banyak dijual dari daerah Judangan ini antara lain rotan,
damar, dan kayu gaharu, sedangkan bahan keperluan sehari-hari mereka
beli di Nanga Tayap yang jaraknya sekitar 80 km melalui jalan HPH yang
dibangun PT Alas Kesuma, dengan menumpang kendaraan / truk milik
perusahaan itu yang hilir mudik sehingga jarak antara kedua daerah itu
sudah semakin ramai.

Sedangkan untuk ke daerah lainnya di Kalimantan Tengah, misalnya


Pangkalan Bun tidak ada jalan darat. Terkecuali melalui sungai yang
dapat ditempuh sekitar tiga hari.
Berapa kalangan yang dihubungi NERACA, baik di Ketapang, maupun
Pontianak, mengatakan perlu dilakukan penyelidikan terhadap Kudangan
yang bagaikan mirip dengan desa maupun darah Minangkabau. Misalnya
diusahakan mendapatkan keterangan atas barang peninggalan sejarah,
baik dalam bentuk tertulis maupun yang dapat dilihat dari barang-barang
peninggalan lainnya.
Sementara itu, penduduk Kudangan meyakini bahwa mereka berasal dari
keturunan kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat sejak abad ke 14.
Menurut cerita seorang bangsawan dari Kerajaan Pagaruyung yang
bernama Malikur Besar Gelar Patih Sebatang Balai Seruang berlayar ke
Kalimantan. Memasuki suatu alur sungai, Datuk Malikur Besar itu tertarik
dengan suatu daerah dan mendirikan kerajaan kecil yang diberi nama
Kudangan. Rombongan Datuk Malikur Besar ini berbaur dengan
penduduk asli setempat.
Bukti kerajaan Kudangan keturunan Pagarruyung itu, yang sekarang
menjadi kecamatan Delang adalah adanya sejumlah peninggalan
bersejarah antara lain suatu bendera berukuran 3 kali 1,5 meter dan
hingga kini disimpan dengan baik di rumah adat Kudangan.
Saya juga memperhatikan bahwa kebanyakan warga suku Dayak Tomun
mengakui diri mereka sebagai keturunan Patih Sebatang. Saya percaya
bahwa Patih Sebatang yang mereka sebut itu adalah Datuak Parpatiah
Nan Sabatang, tokoh terkenal dari Minangkabau. Selain itu pula patih
Nan sebatang mempersunting salah seorang gadis dayak tomun
sehingga salah satu bukti yang menunjukan kebenaran bahwa patih Nan
Sabatang berkelana ke daerah ini yaitu tarian PagarRuyung yang selalu
di lakukan pada setiap acara adat pernikahan. ***
Sumber:
Harian Neraca (Pontianak) tanggal 13 Februari 1988

http://mobile.minangforum.com/showthread.php?
p=25470#post25470
http://mozaikminang.wordpress.com/2009/10/15/kerajaankudangan-desa-minangkabau-di-hutan-kalimantan/
kudangan.blogspot.co.id/2016/02/kudangan.html

Sampuraga

Bukit yang mirip reruntuhan sisa kapal yang diyakini sebagai sebagai kapal Sampuraga yang telah membatu.

Sampuraga adalah sebuah cerita rakyat dengan beberapa versi, versi


pertama berasal dari kisah nama tokoh cerita dari suku Dayak Tomun
yang berasal daerah Kabupaten Lamandau Provinsi Kalimantan
Tengah,Indonesia, di Lamandau Legenda Bukit Sampuraga bercerita
tentang seorang anak yang durhaka pada ibunya dan karena itu dikutuk
menjadi bukit batu. Sebuah bukit yang mirip reruntuhan kapal yang telah
membatu di desa Karang Besi, Kabupaten Lamandau, tepatnya 2
kilometer dari tepian sungai Belantikan, dinamai menurut legenda ini.
Bukit Sampuraga, demikian nama obyek wisata Pemerintah Kabupaten
Lamandau tersebut, diyakini memiliki bagian dek dan layar kapal
Sampuraga.
Cerita rakyat yang mirip dengan kisah Malin
Kundang dari Padangtersebut mempunyai versi kedua yang jauh lebih
terkenal di Indonesia, yaitu legenda Kolam Sampuraga dari
daerah Mandailing Natal, Sumatera Utara. Begitu juga
dengan Legenda Batu Bangkai dari Kalimantan

Legenda Kolam Sampuraga versi Mandailing Natal

Prasasti Kolam Air Panas Sampuraga, Desa Sirambas, Panyabungan, Mandailing Natal

Masa Kecil Sampuraga

Salah satu cerita yang diwariskan secara turun temurun


di Mandailing adalah cerita ataupun Legenda Sampuraga. Dahulu,
Sampuraga dan ibunya tinggal di tempat daerah Padang Bolak. Keadaan
sangat miskin di tempat ini, sehingga menyebabkan Sampuraga
berkeinginan untuk mengubah kehidupannya. Dia tidak ingin
pekerjaannya hanya mencari kayu bakar setiap harinya. Ia ingin menjadi
pemuda yang membayangkan masa depan yang cerah. Kemudian ia
berniat untuk merantau dan mohon izin pada ibunya yang sudah sangat
tua. Sampuraga meninggalkan orang tuanya dengan linangan air mata.
Dia berjanji akan membantu keadaan ibunya apabila telah berhasil kelak.
Ibunya kelihatan begitu sedih, karena Sampuraga adalah putra satusatunya yang dimilikinya. Ia melepas kepergian putranya dengan tetesan
air mata.
Sampuraga Pergi Merantau

Sampuraga terus melanjutkan petualangannya dengan kelelahan yang


terus menerus. Setelah beberapa lama sampailah ia ke Pidelhi (sekarang
pidoli), dan berdiam di sana untuk beberapa waktu. Kemudian
dilanjutkannya perjalanannya ke Desa Sirambas. Pada waktu itu, Sirambas
dipimpin oleh seorang raja yang bernama Silanjang (Kerajaan Silancang).
Di tempat ini, Sampuraga bekerja keras, yang merupakan kebiasaannya
sejak masa kanak-kanak. Raja pun tertarik, dan ingin menjodohkannya
pada putrinya. Tentu saja Sampuraga sangat senang setelah mengetahui
hal ini. Raja bermaksud membuat pesta besar, semua raja-raja di
sekitar Mandailing diundang. Sementara ibunya sangat rindu pada
putranya. Sampuraga telah tumbuh menjadi dewasa dengan begitu
banyak perubahan. Dia tidak lagi seorang yang miskin seperti dahulu. Dia
adalah lelaki yang kaya raya dan menjadi seorang raja.
Kedurhakaan Sampuraga

Ketika upacara perkawinan tiba, ibunya datang ke pesta itu berharap


dapat berjumpa dengan putranya secepatnya. Tetapi yang terjadi
kemudiian adalah Sampuraga tidak mengakui kalau itu adalah ibunya. Dia
malu kepada istrinya karena ibunya kelihatan sangat tua renta dan
miskin. Dia menyuruh ibunya untuk pergi dari tempat itu. Sampuraga
berkata, Hei orang tua, kamu bukan ibu kandungku! Ibuku telah lama
meninggal dunia. Pergi!!! Sampuraga tidak peduli dengan kesedihan dan

penderitaan ibunya. Ibunya pun pergi sambil memohon dan berdoa


kepada Allah SWT. Sampuraga dikutuk oleh ibunya, dan kedurhakaannya
tidak lain adalah disebabkan oleh kekayaannya. Ibunya memeras air
susunya, Sampuraga lupa bahwa ia pernah disusui oleh ibunya. Atas
kehendak Allah SWT, datanglah badai secara tiba-tiba. Di sekitar tempat
istana, terjadi banjir, dan istana tersebut dihempas oleh air. Sampuraga
tenggelam, dan tempat itu menjadi Sumur Air Panas. Itulah yang dikenal
dengan Air Panas Sampuraga di Desa Sirambas.
Sumber :
www.madina.go.id
www.depdagri.go.id
[1]

[2]

Legenda Bukit Sampuraga versi Dayak Tomun


Patih Sebatang menikahi Mayang Ilung

Konon, menurut cerita yang diwariskan turun temurun dalam keluarga


suku Dayak Tomun, seorang bangsawan dari sebuah kerajaan di Sumatra
berlayar sampai ke kerajaan Petarikan, di hulu Sungai Belantikan,
pedalaman Kalimantan. Namanya Patih Sebatang. Tidak jelas, apakah
Patih Sebatang ini sama dengan Datuk Perpatih Nan Sebatang, tokoh
legendaris masyarakat Minangkabau.
Di kerajaan yang bersahaja ini, Patih Sebatang dikisahkan berjumpa
dengan seorang putri Kerajaan Petarikan yang cantik jelita. Namanya
Mayang Ilung, yang digambarkan memiliki keindahan tubuh yang sangat
mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan
bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alis matanyanya bagai
semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang.
Singkat cerita, Patih Sebatang jatuh cinta, dan akhirnya menikahi sang
putri.
Sampuraga mencari ibunya

Tidak lama kemudian, Mayang Ilung melahirkan seorang putra, yang


dinamai Cenaka Burai. Entah bagaimana kisahnya, Patih Sebatang
akhirnya berpisah dengan istri tercintanya. Selain buah cintanya yaitu
Cenaka Burai, satu-satunya kenang-kenangan yang mempersatukan cinta
mereka adalah cincin pernikahan yang selalu disimpan baik oleh Patih
Sebatang.
Cenaka Burai dibesarkan ayahnya sebagai seorang pemuda yang
berharkat dan bermartabat tinggi. Dan entah bagaimana asal-usulnya,
Cenaka Burai juga kelak dipanggil sebagai Sampuraga. Kemudian ketika
sudah dewasa, Sampuraga diceritakan ayahnya bahwa ibunya ada di
sebuah kerajaan nun jauh di hulu Sungai Belantikan. Sampuraga berkeras

ingin menjumpai ibu kandungnya tersebut, dan meminta apa ciri-ciri


ibunya. Sang ayah pun menceritakan kecantikan ibu kandung Sampuraga,
dan menunjukkan sebuah cincin pernikahan mereka.
Dibekali dengan cincin pernikahan ayahnya, Sampuraga pergi berlayar
sampai ke kerajaan Petarikan. Sesampainya di sana, masyarakat
membawanya menemui sang ibu yang sudah tua. Mayang Ilung ternyata
telah bertahun-tahun menantikan kembalinya anak kandungnya. Bukan
main senangnya Dayang Ilung mengetahui buah hatinya menjumpainya
langsung. Hampir saja ia memeluk Sampuraga, tapi Sampuraga menolak.
Sampuraga tidak percaya bahwa wanita asing di depannya tersebut
adalah ibunya sendiri. Ayahnya telah menceritakan kecantikan sang ibu.
Bagaimana mungkin wanita yang tua renta tersebut adalah putri cantik
yang diceritakan sang ayah?
Sampuraga masih ingin membuktikan lagi. Dikenakannya cincin
pernikahan ayahnya kepada wanita tua itu. Karena usia telah membuat
tubuh Mayang Ilung lebih kurus, cincin tersebut menjadi terlalu besar
untuk melingkari jari-jarinya. Sampuraga semakin yakin bahwa wanita itu
bukan ibunya. Sampuraga memutuskan untuk pulang.
Mayang Ilung kecewa. Ia berkata kepada Sampuraga, "Nak, kamu sudah
meminum susu dari tubuhku. Kalau kamu tidak mau mengakuinya, kamu
akan terkena malapetaka!"
Sampuraga dikutuk

Dengan amarah di dalam dada, Sampuraga berlayar pulang. Dia tidak


habis pikir, kenapa ada wanita tua yang bersikeras meyakinkan
Sampuraga bahwa dia adalah ibunya, padahal ayahnya sudah jelas
memberikan ciri-ciri sang ibu.
Di tengah jalan, tiba-tiba badai menghadang. Kapalnya oleng diombangambingkan ombak besar. Ketika kapalnya hampir karam, Sampuraga
teringat kutukan wanita tua tersebut. Hati kecilnya tiba-tiba disadarkan
bahwa dia baru saja durhaka pada ibunya sendiri.
"Ibu, ibu, kamu memang ibuku!" demikian Sampuraga memohon ampun.
Tiba-tiba terdengar suara ibunya, "Nak, sudah jatuh telampai. Tidak
mungkin keputusan ditarik kembali. Kutukan sudah terjadi." Demikianlah
Sampuraga membatu bersama kapalnya.
Dayak Tomun dan Pengaruh budaya Minangkabau

Dayak Tomun sebagai pewaris cerita Sampuraga merupakan nama suku


besar dayak yang bermukim di daerah aliran Sungai Lamandau, tepatnya
di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Istilah "Tomun dipakai
untuk menunjuk sekelompok suku Dayak yang saling mengerti dan

memahami dalam hal bahasa, walaupun terdiri dari berbagai macam subsuku yang ada di sana, baik dari segi dialek, daerah permukiman (dukuh
dan sungai), dan tradisi. Kata "Tomun memiliki makna yang dalam
bahasa Indonesia berarti berbicara, bermusyawarah, bertemu, atau
adanya perjumpaan untuk saling memahami. Bisa saling mengerti
dalam berbahasa, walau mereka berasal dari sub-suku, daerah, dan
bahasa yang berbeda satu sama lain, adalah ciri khas dan keunikan suku
Dayak Tomun.
Mengherankan bahwa asal usul Dayak Tomun berkaitan erat dengan
suku Minangkabau di Sumatra Barat. Dayak Tomun mengklaim bahwa
mereka adalah keturunan dari Datuk Perpatih Nan Sebatang dari
Pagaruyung, Sumatra Barat. Khususnya di Kudangan, desa di Kabupaten
Lamandau yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Barat, banyak
kosakata setempat mirip dengan kosakata dalam bahasa Minangkabau.
Juga terdapat rumah adat yang mirip dengan rumah adat suku
Minangkabau.
Lihat pula
Cenaka Burai
Malin Kundang
STUDI BANDINGAN LEGENDA ASAL MULA KOLAM SAMPURAGA DARI MANDAILING NATAL
SUMATERA UTARA DENGAN LEGENDA GUNUNG BATU BANGKAI DARI KALIMANTAN SELATAN

Catatan kaki
1.
2.

^ "Sampuraga".

www.madina.go.id. Diakses 2012-10-28.


www.depdagri.go.id. Diakses 2012-10-28.

^ "Kabupaten Mandailing Natal".

Pranala luar
(Inggris) A Tumon Dayak burial ritual (Ayah Besar): description and interpretation of its
masks, disguises, and ritual practices. (Research Notes).

(Inggris) The Origin Of Pond Sampuraga - ceritarakyatnusantara.com


(Indonesia) Legenda Gunung Batu Bangkai - ceritarakyatnusantara.com

Anda mungkin juga menyukai