Anda di halaman 1dari 16

PUISI-PUISI AJIP ROSIDI

HIDUP
INGAT AKU DALAM DOAMU
Jika hidup telah kautetapkan hingga
Ingat aku dalam do'amu: di depan yang kecil mecil
makam Ibrahim Untuk apa suara hati terombang-
akan dikabulkan Yang Maha Rahim ambing dalam sabil?
Hidupku di dunia ini, di alam akhir
nanti
lindungi dengan rahmat, limpahi
dengan kurnia Gusti TANDATANYA

Ingat aku dalam do'amu: di depan Dalam diammu


makam Ibrahim engkau sebuah tandatanya
di dalam solatmu, dalam sadarmu,
dalam mimpimu Dalam tandatanya
Setiap tarikan nafasku, pun waktu engkau adalah jawabnya
menghembuskannya
jadilah berkah, semata limpahan rido Dalam heningmu
Illahi Siapa masih bertanya?
Siapa masih menyeru?
Ya Robbi! Siapa masih ragu?
Biarkan kasih-Mu mengalir abadi
Ingat aku dalam do'a-Mu
Ingat aku dalam firman-Mu
NISAN
Ingat aku dalam diam-Mu
Ingat aku 1
Ingat Dengan patuh kautempuh jentera hari
dari masyrik sampai maghribi
Amin Tiba di jalan buntu : tak ayal lagi
Liang lahat dan nisanmu sendiri
SEMBAHYANG MALAM
Alam semesta 2
Telah kauukur hidup: cuma sampai
Hening menggenang
situ !
Air mata yang deras mengalir Di seberang sana bukan lagi daerahmu
bersumber pada kalbu-Mu

JARAK
Berapa jauh jarak terentang
antara engkau dengan aku

Berapa jauh jarak terentang


antara engkau dengan urat leherku?

Tak pun sepatah kata


memisahkan kita
PERTEMUAN DUA ORANG SUFI
Ketika keduanya berpapasan, tak
sepatah pun kata teguran
Hanya dua pasang mata yang tajam
bersitatapan

Suhrawardi atas kuda : "Betapa dalam


kulihat
Samudra segala hakikat!"

Dan Muhyiddin di atas keledai:


"Betapa fana dia
yang setia menjalani teladan
Rasulnya."

Ketika keduanya bertemu, tak pun


kata-kata salam
Tapi keduanya telah sefaham dalam
diam.

AKU
Tinju menghantam. Belati menikam.
Seluruh dunia bareng menyerang,
menerkam.
Aku bertahan. Karena diriku
Dalam badai, gunung membatu.

Lengang sebatang pinang


Di padang pusaran topan.

Segala arah menyerang. Dari luar,


dalam.
Tikaman tiada henti. Siang, malam.
Aku bertahan. Karena hidup
Muatan duka nestapa
Yang kuterima ganda ketawa

1963
PUISI-PUISI AJIP ROSIDI SUNGAI
Dari hulu hingga ke muara, berapa kali
ganti nama?
Air yang mengalir sama juga, hanya
MIMPI KITA SIANG HARI saja bertukar warna
I
Dalam terik sinar matahari KUCARI MUSIK
Kulihat kau melambai: Kucari musik
Bayang-bayangku ataukah aku sendiri Yang brisik
Yang kaupeluk dan kaubelai? Yang berontak
Memberangsang
II
Kebun belakang rumah, kolam ikan Kucari musik
Anak-anak bermain, kau menyulam Yang sejuk
Menjalin helai-helai peruntungan kita Yang mengalun
Dengan benang cinta. Tenteram

III Kucari musik. Setiap saat kucari musik.


Dalam cahaya rembulan
Kau perlahan bersenandung Musik yang menggairahkan
Meski terpisah gelombang lautan Mengendap dalam hati.
Kudengar sansai suaramu murung
Musik menyelinap dalam celah-celah
IV waktu
Jalan lengang panjang, Merasuk dalam jiwa
Wahai! Mengusap luka-luka hidup yang nyeri
Mengarah ke batik kelam, Dan menidurkan tangan-tangan
Aduhai! durhaka yang lelah
Dalam pangkuanMu.
1969
Maka kasihMu
mengalir abadi.

KOLAM 1968

Ikan-ikan berenangan dalam kolam


yang bening-bening
Tak tepercik niat meloncat menerjang
langit luas terbentang

WAYANG
Bayang-bayang yang digerakkan sang
dalang
datang dan hilang, hanya jejaknya
tinggal terkenang
HANYA DALAM PUISI TRETES MALAMHARI
Dalam kereta api Di Tretes malamhari
Kubaca puisi: Willy dan Mayakowsky Semuanya jadi mati:
Namun kata-katamu kudengar Surabaya nun jauh di bawah
Mengatasi derak-derik deresi. Gunung Wilis terpacak sebelah kiri
Kulempar pandang ke luar:
Sawah-sawah dan gunung-gunung (Aku teringat akan leluri
Lalu sajak-sajak tumbuh Ten tang Buta Locaya dan Plecing
Dari setiap bulir peluh Kuning)
Para petani yang terbungkuk sejak
pagi Apakah Waktu di sini berhenti
Melalui hari-hari keras dan sunyi. Mengendap dalam cahaya lampu
pelabuhan
Kutahu kau pun tahu: di tepi kaki langit?
Hidup terumbang-ambing antara langit
dan bumi Angin naik dari lembah.
Adam terlempar dari surga Bayang-bayang daun bergoyang
Lalu kian kemari mencari Hawa. Rumput-rumput pun berdesir.
Ataukah
Tidakkah telah menjadi takdir penyair Hanya hatiku bergetar?
Mengetuk pintu demi pintu
Dan tak juga ditemuinya: Ragi hati Kucari kau .
Yang tak mau Kucari di remang hijau.
Menyerah pada situasi? Yang mengambang di muka kolam
Wajahmu ataukah bayangan bulan?
Dalam lembah menataplah wajahmu
yang sabar. Lalu kututupkan jendela.
Dari lembah mengulurlah tanganmu
yang gemetar. Malam lengang.
Malamku yang lengang.
Dalam kereta api
Kubaca puisi: turihan-turihan hati 1968
Yang dengan jari-jari besi sang Waktu
Menentukan langkah-langkah Takdir:
Menjulur
Ke ruang mimpi yang kuatur
sia-sia.

Aku tahu.
Kau pun tahu. Dalam puisi
Semuanya jelas dan pasti.

1968
PUISI-PUISI AJIP ROSIDI

DI DEPAN LUKISAN SADALI ANTARA KITA


Dalam keindahan kutemukan Pabila jiwa bertelanjang depan jiwa
keheningan Suatu pun tiada guna: basa-basi,
dan dalam keheningan kudapati upacara ....
kesalihan Jarak pun tiada lagi, sehingga
cukuplah
Sekulum senyum, sekerling mata.
Sudah!
MATAHARI
Kutembus mega yang putih, yang 1960
kelabu, yang hitam sekali
Di baliknya kucari yang terang : Sinar
si matahari!
CINTA DAN KEPERCAYAAN
BAYANGAN Dalam hidup 'kan kupertahankan
Nilai hubungan antar-manusia,
Bayanganmu terekam pada permukaan
didasarkan
piring, pada dinding
Atas cinta dan kepercayaan.
Pada langit, awan, ah, ke mana pun aku
'Kan kupertahankan kehangatan
berpaling:
Gamitan dua tangan, menyampaikan
Dan di atas atap rumah angin pun
Kehangatan rasa dua jiwa.
bangkit berdesir
Menyampaikan bisikmu dalam dunia
Cinta adalah bunga tumbuh
penuh bisik.
Atas kesuburan tanah kasih,
berakarkan
Masihkah dinihari Januari yang renyai
Hati mau mengerti, saling membagi.
Suatu tempat bagi tanganku membelai?
Dan kepercayaan, landasan
Telah habis segala kata namun tak
Kerelaan dan kemesraan.
terucapkan
Pertalian dua hati.
Rindu yang berupa suatu kebenaran.

1960
Bayangan, ah, bayanganmu yang
menagih selalu
Tidakkah segalanya sudah
kusumpahkan demi Waktu?
Tahun-tahun pun akan sepi berlalu,
kutahu
Karena dunia resah 'kan diam membisu.

1967
TENTANG MAUT
I
DIRIKU
Kulihat manusia lahir, hidup, lalu mati
Diriku samudra Menerima atau menolak, tak peduli
Dilayari kapal, perahu, bajak Dengan tangan dingin namun pasti
Tiada jejak. Sang Maut datang dan tiap hidup ia
akhiri.
Yang sementara Kuperhatikan perempuan sedang
Berasal dari Tiada mengandung
'Kan lenyap dalam Wajahnya riang, mimpinya menimang si
Tada jabang
Namun kulihat Sang Maut aman
1961 berlindung
Dalam rahim sang ibu ia bersarang.

Kuperhatikan bayi lahir


Dan pertama kali udara dia hirup
Dalam tangisnya kudengar Sang Maut
menyindir:
"Jangan nangis, kelak pun hidupmu
kututup".
II
Yang kukandung sejak hidup kumulai
Takkan kutolak, meski ia kubenci
Tapi kalau hidupku nak dikunci
Datang Tuhan menawari:
"Sukakah kau hidup semenit lagi?"
Kujawab pasti: "Suka sekali!"

III
Seperti gelap bagi kanak-kanak,
pernah pada Maut aku ngeri
Karena tak berketentuan, bisa
nyergap sesuka hati
Membayangi langkah, mengintip
menanti saat
Dan bagi kesadaran jadi beban paling
berat.
Kupertentangkan ia dengan Hidup yang
seolah 'kan dia rebut
Kupilih pihak: Karena pada siksa
neraka aku takut;
Namun kini tiada lagi, karena selalu
kudapati
Napasnya menghembus dalam tiap
hidup yang fana ini.

1960
PUISI-PUISI AJIP ROSIDI

SAJAK BUAT TUHAN


I
TAMU Kalau aku bicara padaMu, Tuhan
Kau yang menjenguk ke dalam relung Bukan mau mengadukan dera dan
hatiku derita
Meninggalkan jejak menjadi saksi. Tak kuharap Kau berdiri di depan
Sejarah, pahatan batu . Ke dahiku mengeluskan tangan mesra
Dari dendam yang rindu. Tak nanti
Hidup hanya rangkaian mimpi-mimpi. Kalau kutulis sajak ini, Tuhan
Aku tahu! Bukan lantaran rindu-dendam atau
demam
1969 Tak kuharap Kau membacanya
Sambil duduk mengisap pipa kala senja
SAJAK BUAT TUHAN II
Karena Kau lebih tahu apa rasa hatiku
II
Dan mengerti bagaimana pikiranku
Makin terasa, betapa sendiri
Karena Kau paling Aku dari aku
Hidupku bermukim di bumi. Tiada
Yang terkadang kesamaran sama
kawan
bayangan.
yang mau mengulurkan tangan
dan sedia bersama menempuh jalan
8-1-1960
tatkalaa tiap langkah buntu.

Tak seorang pun, juga Kau


datang mendekat, menepuk-nepuk
KEBENARAN
bahu
menganjurkan tabah dan jangan ragu. buta oleh dusta yang membias-silau
Tiada. Hanya aku saja lagi nilai-nilai kebenaran pun
yang setia padaku. Hidup bersama disembunyikan:
dalam duka dan putusasa. namun di antara semak-rumputan hijau
ia tetap bersinar kemilau:
Hanya aku jua, yang tetap cinta Tak nanti terpadamkan!
kepada hidupku, tiada dua! Duh, tiada
lagi yang lain kujadikan gagang
tempat sirih pulang.

Rasa sendiri di dunia ramai,


mengeratkan
aku padaMu, sepi-mutlak!
Rasa lengang di tengah orang,
menyadarkan
antara Kau dan aku tiada jarak!

Saat seluruh bumi diam sunyi ....

16-4-1960
IBUNDA Namun kala itu yang empunya nama
entah di mana
Ia terbujur
Apakah lagi menyulam, duduk bungkuk
Bumi subur
atas kursi rotan
Lembah-lembah dan gunung
Ataukah sedang menimang cucu,
Telentang tenang
mungkin pula telah lama
Tangannya mengusap sayang
Aman berbaring dalam tilam
Perut mengandung.
penghabisan.
Matanya nyalang
Langit-langit pun hilang
Dan pabila giliranku tiba, telentang
Karena langit penuh bintang
Dengan kedua belah tangan bersilang
Dan pahlawan menyandang pedang
Sebelum Sang Maut menjemput
Naik kuda hitam zanggi
Sekali lagi namamu 'kan kusebut, lalu
Adalah masadepan si-jabang
diam. Mati.
yang dalam rahim
menggeliat geli.
1963
la memejam
Menahan nyeri.
Lalu terbayang
Bundanya tersenyum di ambang
HARI LEBARAN
"Tidakkah dahulu
Kusakiti juga bundaku?" Hari ini hari hati percaya
Keringat bermanik bening Akan arti hidup dan mati, yang cuma
Atas jidat, kening. sempat
Ia mengerang Direnungkan setahun sekali. Sungguh
Dan malam yang lengang besar maknanya
Mendengar lantang Jalan panjang menuju liang-lahat.
Teriakan si-jabang.
Hari ini hari kesadaran akan tradisi
1961 Menyempatkan umat sejenak
bersama-sama
Menghirup udara lega dalam kepungan
derita
HARITUAKU Sehari-hari yang bikin orang jauh-
menjauhi.
Pabila harituaku tiba, kelak suatu
masa
Hari ini hariku pertama 'kan menjalani
Kacamata tebal atas hidung,
Hidup antara manusia, sedangkan
bersenandung
diriku sendiri
Menembangkan lelakon lama. La1u
Makin sepi terasing, lantaran mengerti
tersenyum
Kelengangan elang di langit tinggi.
Memandang bayangan atas kaca
jendela
Jatiwangi, H. 1381
Yang putih warnanya, sampai pun alis,
bulu mata ...

Maka namamu 'kan kusebut, dengan


bibir gemetar
Bagai ayat kitab suci, tak sembarang
boleh terdengar
PUISI-PUISI AJIP ROSIDI Air beterjunan dalam jeram
Kata-kata beterjunan dari mulutku
EPISODE Sungai pun tahu arti muara
Yang tak sia-sia menunggu.
Di luar alam gerimis
karena kau menangis
Burung gagak berteriak entah di mana
dan airmatamu
Dan ia bersenandung entah mengapa
membasahi dadaku.
Karena dalam kesesaatan tak terjawab
tanya lama
Padang ilalang bergelombang
dan angin semilir,
Yang sudah lama hanya tanya: Hingga
rumpun bambu berkesiur, burung
mana? Pabila?
terbang,
Mau apa... ?
gemuruh airterjun, menghilir
Adalah mimpi yang jauh
Dan dengan jari-jari gemetar
adalah harapan yang jauh
Kuyakinkan hatiku sendiri: Segalanya
dalam cinta yang rapuh.
Berlaku percuma serta sia-sia

Yang abadi
Dan perempuan ini 'kan mati dalam
di dunia sebelum mati
kepingin
hanya kenangan
Karena angin hanya angin
yang muncul sesekali

Karena jeram beterjunan dalam diriku


1963
Yang tak mengenal musim kemarau

JERAM
Air beterjunan dalam jeram
Air beterjunan dalam jeram Dan jeram beterjunan dalam darahku.
Buihnya memercik ke tebing tempat
kami berbaring 1962
Dan ia mengelaikan kepala
Dengan mata meram terpejam ANGIN BERKESIUR
Atas tanganku yang mencari-cari
angin berkesiur
Arah manakah burung gagak hinggap
daun pun gugur
yang suaranya nyaring
Memecah ketenangan hutan
angin berkelana
Sehabis hujan.
cintaku mengembara

Air beterjunan dalam jeram


gadisku mawar
Jerom gemuruh dalam darahku
menanti tak sabar
Dan dalam mimpi keabadian yang
nyaman
gadis yang rindu
Kubisikkan kata-kata bagaikan desir
kudekap dalam pelukan bisu
angin
Mengeringkan keringat atas kening
1954
Sedang mataku memandang tak yakin
Air berbuih yang menghilir
Entah kapan 'kan tiba
Di muara
TIADA YANG LEBIH AMAN WARNA
Tiada yang lebih aman, pun tiada yang menyala warna membakar dada ~ Ajip
lebih nikmat Rosidi
Membayangkan masalampau yang hari-hari penuh bisa
dalam kenangan terpahat. waktu dihabisi mimpi-mimpi
Tiada yang lebih berat, pun tiada yang bocah meningkat dewasa
lebih berarti
Dan saat kini yang 'kan seg'ra lepas tiga jalan pertemuan
pula jadi mimpi. dalam mengerti
dalam diri
Tiada yang lebih gamang, pun tiada menyerah ke mata nyalang
yang lebih senang
Menghadapi masadatang, yang 'kan warna nyala dalam waktu dalam ruang
segera jadi sekarang. selama jarak masih ada
selama ia belum mengerti
Detik-detik berloncatan, tak satu pun
kembali terulang 1954
Karena antara tadi dan nanti, sekarang
menghalang. KEMATIAN
i
1962 lelaki bernyanyi sepenuh hati
didorongnya beton ke puncak tinggi
PENYAIR di hari sebelum lebaran
1 di rumah anak menunggu baju baru
adapun penyair lahir
membangkitkan kematian para tapi tali putus beton terguling
penyihir lelaki tak lagi bernyanyi
lalu dengan mantra kata-kata
menjelmakan kehidupan manusia ada isteri jadi janda
ada anak kehilangan bapak
menyanyikan kelahiran cinta di hari sebelum lebaran
atau menangisi kematian bunda
melagukan kesia-siaan rindu, kau pun pintu tak terbuka
tahu ayah tak kembali
segala yang beralamat duka sia-sia menanti
2 sepanjang hari
siapa menjelajahi pagi
mendapat pertama sinar mentari ii
muka yang sudah remuk
lagu kunyanyikan kini anaknya menjerit yatim
akan dimengerti nanti ayah bisakah mati

lagu kusajakkan kini muka yang tiada lagi bentuk


suara lubuk hati tepekur pengantar kubur
nyawa lepas tak tersangka
yang selalu sunyi
1954
1954
PUISI-PUISI AJIP ROSIDI

DUKAKU YANG RISAU LAGU KERINDUAN

berjalan, berjalan selagi di diri duka wajahmu antara batang kelapa langsing
bernapas lega menemu perempuan menebar senyum dan matamu
kami berpandangan: lantas tahu menjadikan daku burung piaraan
segalanya tinggal masa kenangan semua hanya bayangan kerinduan: kau
yang nun entah di mana
kami berjalan memutar danau mengikuti setiap langkahku, biarpun ke
namun kutahu: dukaku yang risau mana
takkan mendapatkan pelabuhan aman
kecuali dalam pelukan penghabisan kujalani kelengangan hari
sepanjang pagar bayangan: wajahmu
kupandang matanya: menanti
tak kukenal siapa pun juga langkah kuhentikan dan kulihat
hanya senyummu memenuhi jagat
semuanya nanar
didindingi kabut samar 1954

1954

BUNDA HAMLET

nyanyi menayang mimpi ke Yang was-was selalu, itulah aku


pangkuannya Yang gamang selalu, akulah itu
damai pun terlena dalam hati Ya Hamlet kusuka : Dialah gambaran
mewujudkan kasih dan cinta jiwaku
yang takkan terhalang meski oleh mati Yang selalu was-was dalam ragu.
Membiarkan kau
1954 Mengembara dalam mimpi yang risau
Kutemukan pada Oliver, kegamangan
falsafi
Dunia yang muram dan masa depan
MATA DERITA yang suram
Tapi kulihat kecerahan intelegensi
ada yang datang bermata derita
Seorang muda yang terlalu dekat
pagi berwarna olehnya
kepada alam
Hamlet. Hamletku, ia datang
ada perawan bermata derita
kepadamu
berselendang angin remaja
Menatap fana atas segala yang
kujamah: Tahu
ada yang memandang ke dalam hatiku
Bahwa hidup melangkah atas ketidak
bumi pun jadi biru
pastian
Yang terkadang menentukan Kepastian
ada yang memancar: kebeningan
Aku pasrah
hening
dan segalanya pun tak teraba lagi - -

1954
LA PUN KINI SUNYI
ia pun kini sunyi
tahu dua macam bunga:
yang putih, sendiri, sepi
tak terjangkau dari tepi ini

ia pun bernyanyi
lagu sedih ditinggal kasih
tahu segala yang sia-sia
bernama duka

ia pun sunyi
ia pun sendiri

1954

RINDU BERGULING SENDIRI


rindu berguling sendiri
putus mengharap
dinding putih-putih
dan di baliknya: kesepian pengap

radio di sebelah batas


suaranya samar -
kudengar diriku menghela nafas
dengan hati yang cabar

1954
PUISI-PUISI AJIP ROSIDI DI ENGKELILI, SUATU PAGI
Empat lelaki menyusur pinggir kali
PEJALAN SEPI Nasibnya mengalir bersama air
ia tembus kesenyapan dinihari menghilir
sepatunya berat menunjam bumi Di mana mereka bertemu ?
menempuh kola yang lelap terlena Ke mana mereka kan pergi ?
dalam pelukan cahya purnama Dalam hati yang mengerti
Menuju ufuk kelabu
is tembus kedinginan pagi Di kuala terbuka
siulnya nyaring membelah sunyi Pabila mereka berangkat
membangunkan insan agar bangkit Dan kapan akan kembali?
dalam pertarungan hidup yang sengit Telah tetap setiap saat
Menempuh arus waktu
di sebuah jembatan ia berhenti Tidak terhingga
dihirupnya udara sejuk dalam sekali: Empat lelaki berdiri di pinggir kali
bulan yang mengambang atas air kali Nasib bagaikan air: Selalu luput dari
adalah gambaran hatinya sendiri! genggaman

1954 TERKENANG TOPENG CIREBON


Di atas gunung batu manusia
membangun tugu
Kota yang gelisah mencari, Seoul yang
SEBELUM PADI MENGUNING baru, perkasa
Sebelum padi menguning mana burung Dengan etalase kaca, lampu-lampu
datang mendekat berwarna, jiwanya ragu
atau cinta bisa melekat Tak acuh tahu, menggapai-gapai dalam
udara hampa
jika tiada banjir mendatang hama Kulihat bangsa yang terombang-
menyerang ambing antara dua dunia
harapan panen takkan sia-sia Bagaikan tercermin diriku sendiri di
sana!
lantas padi menguning cinta pun Mengejar-ngejar gairah bayangan hari
datang esok
tinggal aku yang selalu malang Memimpikan masa-silam yang terasa
kian lama kian elok!
1953 Waktu menonton tari topeng di Istana
Musim Panas
MALAM PUTIH Aku terkenang betapa indah topeng
Cirebon dari Kalianyar!
malam jatuh di senja putih Dan waktu kusimakkan musik Tang-ak,
berangkat ke pangkal pagi tubuhku tersandar lemas
dan keinginan berdekap penuh kasih Betapa indah gamelan Bali dan Degung
sia-sia sekali Sunda. Bagaikan terdengar!
Kian jauh aku pergi, kian banyak
1954 kulihat
Kian tinggi kuhargai milik sendiri yang
tersia-sia tak dirawat
HAMLET
Yang was-was selalu, itulah aku
Yang gamang selalu, akulah itu
Ya Hamlet kusuka : Dialah gambaran
jiwaku
Yang selalu was-was dalam ragu.
Membiarkan kau
Mengembara dalam mimpi yang risau
Kutemukan pada Oliver, kegamangan
falsafi
Dunia yang muram dan masa depan
yang suram
Tapi kulihat kecerahan intelegensi
Seorang muda yang terlalu dekat
kepada alam
Hamlet. Hamletku, ia datang
kepadamu
Menatap fana atas segala yang
kujamah: Tahu
Bahwa hidup melangkah atas ketidak
pastian
Yang terkadang menentukan Kepastian
Aku pasrah

PERUMPAMAAN
Di antara belalang
Kaulah burung brenjang
Yang mengisi tembolok
Tak kunjung kenyang
Di antara ayam
Kaulah musang kelaparan
Dengan rahang tajam
Menerkam dan menerkam
Kalau di sungai
Kaulah buaya
Tak pernah menolak bangkai
Kalau di darat
Kaulah srigala
Mengancam segala hayat
PUISI-PUISI AJIP ROSIDI

KEPADA KAWAN 12 PANORAMA TANAH AIR

Apa sih yang mau kau capai Di bawah langit yang sama
Maka kau terjang segala penghalang manusia macam dua : Yang diperah
Dan kau abaikan segala nilai dan setiap saat mesti rela
Asal kau sendiri menang? mengurbankan nyawa, bagai kerbau
Apa sih yang mau kau dapat yang kalau sudah tak bisa
Maka kau tinggalkan semua sahabat dipekerjakan, dihalau
Dan di sekelilingmu ke pembantaian, tak boleh kendati
Kau anyam rapat pagar curiga menguak
Kau kira di mana kau akan tiba atau cemeti'kan mendera;
Kalau hari sudah senja? dibedakan dari para dewa
Ternyata tidak ada tarian gemulai malaikat pencabut nyawa, yang
Atau suara gamelan mengalun permai bertuhan
Kemenangan-kemenanganmu selama ini pada kemewahan dan nafsu
Melontarkanmu ke langit hampa yang bagai lautan : Tak tentu dalam
dan luasnya
menderu dan bergelombang
sepanjang masa
SONETA DARI MANHATTAN Di atas bumi yang sama
Manusia macam dua : Yang
Di bawah bayang-bayang Manhattan
menyediakan tenaga
yang gelap
tak mengenal malam dan siang,
Kulihat kau menyelinap, mengendap-
mendaki gunung, menuruni jurang
ngendap
tak boleh mengenal sakit dan lelah
Mengais-ngais mencari dalam dirimu:
bagai rerongkong-rerongkong
Sesuatu telah terjadi dan itu engkau
bernyawa selalu digiring
tak tahu
kalau bukan di kubur tak
Begitu banyak peristiwa dan begitu
diperkenankan sejenak pun berbaring
banyak rahasia
dipisahkan dari manusia-manusia
Yang dalam hidupmu hanya nampak
pilihan
satu segi saja
yang mengangkat diri-sendiri dan
Tidaklah hidup ini bagimu akan tetap
menobatkan
gulita
ipar, mertua, saudara, menantu dan
Bagaikan teka-teki yang hilang soalnya
sahabat
Adakah dengan dinding-dinding kukuh
menjadi orang-orang terhormat dan
perkasa
keramat
Bersarang perasaan aman dalam
yang ludah serta keringatnya
sanubari manusia?
memberi berkat
Yang kutemui hanya kewas-wasan,
Di atas bumi yang kaya
sumber kegelisahan
manusia mendambakan hidup
Adakah dengan perkembangan
sejahtera
teknologi
Di atas bumi yang diberkahi Tuhan
Manusia telah menemukan dirinya
Manusia memimpikan keadilan
sendiri?
Kau hanya tahu: komputer ternyata
(1962)
menghasilkan banyak persoalan
LAGU TANAH AIR
1.
Adalah hijau pegunungan
Adalah biru lautan
Adalah hijau
Adalah biru
Langit dan hatiku
Adalah aku pucuk tatapan
Adalah pucuk
Adalah tatapan
Adalah pucuk senapan
Mengarah ke dadaku

2.
Hijau pegunungan biru lautan
Tiadalah harapan adalah ketakutan
Hijau pegunungan biru lautan
Tiadalah ketentraman adalah ancaman
Adalah karena cintaku
Adalah karena kucinta
Langit merah jalan berdebu
Rumah punah jalan terbuka

3.
Bunga tumbuh mawar biru
Kembang wera kembang jayanti
Tanah yang kujejak rindu
Kan kurangkum dalam hati

Anda mungkin juga menyukai