HIDUP
INGAT AKU DALAM DOAMU
Jika hidup telah kautetapkan hingga
Ingat aku dalam do'amu: di depan yang kecil mecil
makam Ibrahim Untuk apa suara hati terombang-
akan dikabulkan Yang Maha Rahim ambing dalam sabil?
Hidupku di dunia ini, di alam akhir
nanti
lindungi dengan rahmat, limpahi
dengan kurnia Gusti TANDATANYA
JARAK
Berapa jauh jarak terentang
antara engkau dengan aku
AKU
Tinju menghantam. Belati menikam.
Seluruh dunia bareng menyerang,
menerkam.
Aku bertahan. Karena diriku
Dalam badai, gunung membatu.
1963
PUISI-PUISI AJIP ROSIDI SUNGAI
Dari hulu hingga ke muara, berapa kali
ganti nama?
Air yang mengalir sama juga, hanya
MIMPI KITA SIANG HARI saja bertukar warna
I
Dalam terik sinar matahari KUCARI MUSIK
Kulihat kau melambai: Kucari musik
Bayang-bayangku ataukah aku sendiri Yang brisik
Yang kaupeluk dan kaubelai? Yang berontak
Memberangsang
II
Kebun belakang rumah, kolam ikan Kucari musik
Anak-anak bermain, kau menyulam Yang sejuk
Menjalin helai-helai peruntungan kita Yang mengalun
Dengan benang cinta. Tenteram
KOLAM 1968
WAYANG
Bayang-bayang yang digerakkan sang
dalang
datang dan hilang, hanya jejaknya
tinggal terkenang
HANYA DALAM PUISI TRETES MALAMHARI
Dalam kereta api Di Tretes malamhari
Kubaca puisi: Willy dan Mayakowsky Semuanya jadi mati:
Namun kata-katamu kudengar Surabaya nun jauh di bawah
Mengatasi derak-derik deresi. Gunung Wilis terpacak sebelah kiri
Kulempar pandang ke luar:
Sawah-sawah dan gunung-gunung (Aku teringat akan leluri
Lalu sajak-sajak tumbuh Ten tang Buta Locaya dan Plecing
Dari setiap bulir peluh Kuning)
Para petani yang terbungkuk sejak
pagi Apakah Waktu di sini berhenti
Melalui hari-hari keras dan sunyi. Mengendap dalam cahaya lampu
pelabuhan
Kutahu kau pun tahu: di tepi kaki langit?
Hidup terumbang-ambing antara langit
dan bumi Angin naik dari lembah.
Adam terlempar dari surga Bayang-bayang daun bergoyang
Lalu kian kemari mencari Hawa. Rumput-rumput pun berdesir.
Ataukah
Tidakkah telah menjadi takdir penyair Hanya hatiku bergetar?
Mengetuk pintu demi pintu
Dan tak juga ditemuinya: Ragi hati Kucari kau .
Yang tak mau Kucari di remang hijau.
Menyerah pada situasi? Yang mengambang di muka kolam
Wajahmu ataukah bayangan bulan?
Dalam lembah menataplah wajahmu
yang sabar. Lalu kututupkan jendela.
Dari lembah mengulurlah tanganmu
yang gemetar. Malam lengang.
Malamku yang lengang.
Dalam kereta api
Kubaca puisi: turihan-turihan hati 1968
Yang dengan jari-jari besi sang Waktu
Menentukan langkah-langkah Takdir:
Menjulur
Ke ruang mimpi yang kuatur
sia-sia.
Aku tahu.
Kau pun tahu. Dalam puisi
Semuanya jelas dan pasti.
1968
PUISI-PUISI AJIP ROSIDI
1960
Bayangan, ah, bayanganmu yang
menagih selalu
Tidakkah segalanya sudah
kusumpahkan demi Waktu?
Tahun-tahun pun akan sepi berlalu,
kutahu
Karena dunia resah 'kan diam membisu.
1967
TENTANG MAUT
I
DIRIKU
Kulihat manusia lahir, hidup, lalu mati
Diriku samudra Menerima atau menolak, tak peduli
Dilayari kapal, perahu, bajak Dengan tangan dingin namun pasti
Tiada jejak. Sang Maut datang dan tiap hidup ia
akhiri.
Yang sementara Kuperhatikan perempuan sedang
Berasal dari Tiada mengandung
'Kan lenyap dalam Wajahnya riang, mimpinya menimang si
Tada jabang
Namun kulihat Sang Maut aman
1961 berlindung
Dalam rahim sang ibu ia bersarang.
III
Seperti gelap bagi kanak-kanak,
pernah pada Maut aku ngeri
Karena tak berketentuan, bisa
nyergap sesuka hati
Membayangi langkah, mengintip
menanti saat
Dan bagi kesadaran jadi beban paling
berat.
Kupertentangkan ia dengan Hidup yang
seolah 'kan dia rebut
Kupilih pihak: Karena pada siksa
neraka aku takut;
Namun kini tiada lagi, karena selalu
kudapati
Napasnya menghembus dalam tiap
hidup yang fana ini.
1960
PUISI-PUISI AJIP ROSIDI
16-4-1960
IBUNDA Namun kala itu yang empunya nama
entah di mana
Ia terbujur
Apakah lagi menyulam, duduk bungkuk
Bumi subur
atas kursi rotan
Lembah-lembah dan gunung
Ataukah sedang menimang cucu,
Telentang tenang
mungkin pula telah lama
Tangannya mengusap sayang
Aman berbaring dalam tilam
Perut mengandung.
penghabisan.
Matanya nyalang
Langit-langit pun hilang
Dan pabila giliranku tiba, telentang
Karena langit penuh bintang
Dengan kedua belah tangan bersilang
Dan pahlawan menyandang pedang
Sebelum Sang Maut menjemput
Naik kuda hitam zanggi
Sekali lagi namamu 'kan kusebut, lalu
Adalah masadepan si-jabang
diam. Mati.
yang dalam rahim
menggeliat geli.
1963
la memejam
Menahan nyeri.
Lalu terbayang
Bundanya tersenyum di ambang
HARI LEBARAN
"Tidakkah dahulu
Kusakiti juga bundaku?" Hari ini hari hati percaya
Keringat bermanik bening Akan arti hidup dan mati, yang cuma
Atas jidat, kening. sempat
Ia mengerang Direnungkan setahun sekali. Sungguh
Dan malam yang lengang besar maknanya
Mendengar lantang Jalan panjang menuju liang-lahat.
Teriakan si-jabang.
Hari ini hari kesadaran akan tradisi
1961 Menyempatkan umat sejenak
bersama-sama
Menghirup udara lega dalam kepungan
derita
HARITUAKU Sehari-hari yang bikin orang jauh-
menjauhi.
Pabila harituaku tiba, kelak suatu
masa
Hari ini hariku pertama 'kan menjalani
Kacamata tebal atas hidung,
Hidup antara manusia, sedangkan
bersenandung
diriku sendiri
Menembangkan lelakon lama. La1u
Makin sepi terasing, lantaran mengerti
tersenyum
Kelengangan elang di langit tinggi.
Memandang bayangan atas kaca
jendela
Jatiwangi, H. 1381
Yang putih warnanya, sampai pun alis,
bulu mata ...
Yang abadi
Dan perempuan ini 'kan mati dalam
di dunia sebelum mati
kepingin
hanya kenangan
Karena angin hanya angin
yang muncul sesekali
JERAM
Air beterjunan dalam jeram
Air beterjunan dalam jeram Dan jeram beterjunan dalam darahku.
Buihnya memercik ke tebing tempat
kami berbaring 1962
Dan ia mengelaikan kepala
Dengan mata meram terpejam ANGIN BERKESIUR
Atas tanganku yang mencari-cari
angin berkesiur
Arah manakah burung gagak hinggap
daun pun gugur
yang suaranya nyaring
Memecah ketenangan hutan
angin berkelana
Sehabis hujan.
cintaku mengembara
berjalan, berjalan selagi di diri duka wajahmu antara batang kelapa langsing
bernapas lega menemu perempuan menebar senyum dan matamu
kami berpandangan: lantas tahu menjadikan daku burung piaraan
segalanya tinggal masa kenangan semua hanya bayangan kerinduan: kau
yang nun entah di mana
kami berjalan memutar danau mengikuti setiap langkahku, biarpun ke
namun kutahu: dukaku yang risau mana
takkan mendapatkan pelabuhan aman
kecuali dalam pelukan penghabisan kujalani kelengangan hari
sepanjang pagar bayangan: wajahmu
kupandang matanya: menanti
tak kukenal siapa pun juga langkah kuhentikan dan kulihat
hanya senyummu memenuhi jagat
semuanya nanar
didindingi kabut samar 1954
1954
BUNDA HAMLET
1954
LA PUN KINI SUNYI
ia pun kini sunyi
tahu dua macam bunga:
yang putih, sendiri, sepi
tak terjangkau dari tepi ini
ia pun bernyanyi
lagu sedih ditinggal kasih
tahu segala yang sia-sia
bernama duka
ia pun sunyi
ia pun sendiri
1954
1954
PUISI-PUISI AJIP ROSIDI DI ENGKELILI, SUATU PAGI
Empat lelaki menyusur pinggir kali
PEJALAN SEPI Nasibnya mengalir bersama air
ia tembus kesenyapan dinihari menghilir
sepatunya berat menunjam bumi Di mana mereka bertemu ?
menempuh kola yang lelap terlena Ke mana mereka kan pergi ?
dalam pelukan cahya purnama Dalam hati yang mengerti
Menuju ufuk kelabu
is tembus kedinginan pagi Di kuala terbuka
siulnya nyaring membelah sunyi Pabila mereka berangkat
membangunkan insan agar bangkit Dan kapan akan kembali?
dalam pertarungan hidup yang sengit Telah tetap setiap saat
Menempuh arus waktu
di sebuah jembatan ia berhenti Tidak terhingga
dihirupnya udara sejuk dalam sekali: Empat lelaki berdiri di pinggir kali
bulan yang mengambang atas air kali Nasib bagaikan air: Selalu luput dari
adalah gambaran hatinya sendiri! genggaman
PERUMPAMAAN
Di antara belalang
Kaulah burung brenjang
Yang mengisi tembolok
Tak kunjung kenyang
Di antara ayam
Kaulah musang kelaparan
Dengan rahang tajam
Menerkam dan menerkam
Kalau di sungai
Kaulah buaya
Tak pernah menolak bangkai
Kalau di darat
Kaulah srigala
Mengancam segala hayat
PUISI-PUISI AJIP ROSIDI
Apa sih yang mau kau capai Di bawah langit yang sama
Maka kau terjang segala penghalang manusia macam dua : Yang diperah
Dan kau abaikan segala nilai dan setiap saat mesti rela
Asal kau sendiri menang? mengurbankan nyawa, bagai kerbau
Apa sih yang mau kau dapat yang kalau sudah tak bisa
Maka kau tinggalkan semua sahabat dipekerjakan, dihalau
Dan di sekelilingmu ke pembantaian, tak boleh kendati
Kau anyam rapat pagar curiga menguak
Kau kira di mana kau akan tiba atau cemeti'kan mendera;
Kalau hari sudah senja? dibedakan dari para dewa
Ternyata tidak ada tarian gemulai malaikat pencabut nyawa, yang
Atau suara gamelan mengalun permai bertuhan
Kemenangan-kemenanganmu selama ini pada kemewahan dan nafsu
Melontarkanmu ke langit hampa yang bagai lautan : Tak tentu dalam
dan luasnya
menderu dan bergelombang
sepanjang masa
SONETA DARI MANHATTAN Di atas bumi yang sama
Manusia macam dua : Yang
Di bawah bayang-bayang Manhattan
menyediakan tenaga
yang gelap
tak mengenal malam dan siang,
Kulihat kau menyelinap, mengendap-
mendaki gunung, menuruni jurang
ngendap
tak boleh mengenal sakit dan lelah
Mengais-ngais mencari dalam dirimu:
bagai rerongkong-rerongkong
Sesuatu telah terjadi dan itu engkau
bernyawa selalu digiring
tak tahu
kalau bukan di kubur tak
Begitu banyak peristiwa dan begitu
diperkenankan sejenak pun berbaring
banyak rahasia
dipisahkan dari manusia-manusia
Yang dalam hidupmu hanya nampak
pilihan
satu segi saja
yang mengangkat diri-sendiri dan
Tidaklah hidup ini bagimu akan tetap
menobatkan
gulita
ipar, mertua, saudara, menantu dan
Bagaikan teka-teki yang hilang soalnya
sahabat
Adakah dengan dinding-dinding kukuh
menjadi orang-orang terhormat dan
perkasa
keramat
Bersarang perasaan aman dalam
yang ludah serta keringatnya
sanubari manusia?
memberi berkat
Yang kutemui hanya kewas-wasan,
Di atas bumi yang kaya
sumber kegelisahan
manusia mendambakan hidup
Adakah dengan perkembangan
sejahtera
teknologi
Di atas bumi yang diberkahi Tuhan
Manusia telah menemukan dirinya
Manusia memimpikan keadilan
sendiri?
Kau hanya tahu: komputer ternyata
(1962)
menghasilkan banyak persoalan
LAGU TANAH AIR
1.
Adalah hijau pegunungan
Adalah biru lautan
Adalah hijau
Adalah biru
Langit dan hatiku
Adalah aku pucuk tatapan
Adalah pucuk
Adalah tatapan
Adalah pucuk senapan
Mengarah ke dadaku
2.
Hijau pegunungan biru lautan
Tiadalah harapan adalah ketakutan
Hijau pegunungan biru lautan
Tiadalah ketentraman adalah ancaman
Adalah karena cintaku
Adalah karena kucinta
Langit merah jalan berdebu
Rumah punah jalan terbuka
3.
Bunga tumbuh mawar biru
Kembang wera kembang jayanti
Tanah yang kujejak rindu
Kan kurangkum dalam hati