Anda di halaman 1dari 9

“PEREMPUAN OBRAK-ABRIK”

Karya Rian Harahap

Penulis: Rian Harahap

Aktor : Dunia semakin membunuh kemaluanku. Kehidupan tidak lagi sama


seperti cerita kita

dahulu. Senyum-senyum menjadi kemarau yang berkepanjangan dalam simpul


yang miris. Aku sudah

muak dengan kemaluan ini dan dunia kembali menulikan sisi kepekaannya.

Aktor : Semua katamu sama dengan hatiku ketika kesimpulan menjadi samar-
samar

membusuk di kaki lembah. Aku selalu ditikam dengan perasaan sendiri yang
menyemut. Hehehe...,

Keparat kalian semua !

Aktor : Satu-satu dari kita harus mati. Menjemput secercah harapan pada
masanya. Mereka

tidak pantas untuk mengatur segala bentuk tindak tanduk kita. Aku tidak ingin
seperti pendahulu yang

terbunuh karena kebisuan yang melanda. Kita harus berbicara. Kita harus
bersuara, kita harus melintas.

Melintasi dunia yang terkapar karena kebobrokan .

Aktor : Sudahlah kemaluanku sudah binasa karenanya. Pokok tidak lagi


menjadi persoalan

omongan hanya bualan. Kita tetap harus seperti ini menjadi makhluk yang
membeku dalam kegelapan

malam. Merasa kuat namun tak terbuai suasana indah mereka.


Aktor : Pasungan ini adalah keterpaksaan dari krisis-krisis yang mereka
ciptakan dahulu. Mereka

membuat alunan dan buaian semu yang menyapa setiap kita. Mereka dengar
setiap apa yang kita ucap.

Mereka mencatat setiap apa yang kita rongrong. Mereka melihat setiap apa yang
kita buat. Lalu kita

dimasukkan ke dalam ruangan hampa tak berudara. menepis cerita dari luar
sana . Kita dibodohi oleh

mereka selama ini. Lalu semua ini akan berlangsung sama ketika semua
mencumbu sebuah kebisuan. Aku

sudah tidak tahan kita harus membinasakan mereka lalu kita membuang setiap
apa yang ada dari mereka

ke jurang neraka. Hahaha lalu mereka dimakan binatang dan menjadi bangkai
tak bersisa.

Aktor : Diam ! jangan terlalu ribut diluar sana . Omongan kalian hanya bualan
yang

merongrong ketidakpastian. Selalu sama. Selalu sama. Hari ini tidak ada
bedanya dengan kemauan kalian.

Membosankan dan kotor. Heh... Hei , ya kau yang disana. Sudah lama kau
bunting. Lalu mau apa kau

setelah bunting ? tak tahukah kau setelah kemauanmu kau harus membunuh
setiap hak mu. Tak tahukah

kau bahwa benih-benih itu kelak akan tertawa bahak dan melambai gembira
dari kejauhan.

Aktor : Ini semua berasal dari kemaluan. Kita punya kemaluan yang sama.
Kalau kau mau

buang saja kemaluanmu lalu mereka tidak akan menjadi momok bagi kita. Laki-
laki itu keparat mereka

hanya bisa membunuh setiap kemauan. Mau kau kemaluanmu mati karena
kemauanmu.
Aktor : Hahh. Kemana harus kujemput kematian kita yang perlahan ini. Sudah
mendidih

nadirku meminta secepatnya.

Aktor : Pinta, Pinta, Pinta lah pada seluruh semesta. Karena semua datang tanpa
memberi

kabar angin lalu pergi membawa sejemput asa. Perempuan bodoh hanya tau
berbuat tanpa tau mengapa ia

harus berbuat. Kalau sudah seperti ini mata kalian pun ingin saling membunuh.

Aktor : Sssssttt. Tidak usah terlalu berdebat kalian. Hidup selalu berjalan dan
akan

berjalan. Jangan terlalu dengan ini. Pelankan suara nanti jika mereka mendengar
jeritan-jeritan kita.

Mereka bisa lebih ganas.

Aktor : lalu kami harus bagaimana ?

Aktor : Apa kami harus terus seperti ini ?

(Masuk Perempuan yang diseret dengan ganas oleh lelaki yang tak berbudi)

Aktor : Tidak ... , aku tidak melakukannya. Ampun ..., ampun..., ampun jangan

menuduhkan yang tidak-tidak.

Aktor : Tidak-tidak . tidak salah lagi kalau kau memang melakukannya kan ?.
hahaha ..., sudahlah

kau harus dihukum berat sesuai dengan maumu.

Aktor : Percayalah, Percayalah aku tidak seperti yang kaummu tuduhkan.


Mereka hanya berucap

tanpa ...

Aktor : Ahh..., kau perempuan pendusta. Sudah tidak ada lagi yang bisa
kupertahankan darimu.

Ucapmu tiada lagi bersisa manis semuanya sampah. Sekarang tibalah waktunya
kau harus menghadap kepadanya. Hahaha...
Aktor : Sekali lagi kupinta padamu percayalah padaku bukan aku yang
melakukannya. Aku

mohon ampuni aku. Aku mohon. Kau lah yang terbaik di zaman ini. Berilah aku
pengampunan.

Aktor : Percuma, aku telah menjatuhkan bahwa kau adalah perempuan nista.
Tiada yang bisa

kulakukan maumulah yang telah membuat semuanya. Cepat . Cepat. Cepat.


Ahh... Dasar perempuan

jalang.

Aktor : Tidak , Tidak ...

Aktor : Selalu membuat kesalahan, kesalahan dan kesalahan. Kalian kaum yang
lemah dan

terkucil.

Seluruh Aktor : (menggerutu)

Aktor : Lalu kita akan terbunuh perlahan dan menunggu waktu yang tepat.
Sudahilah

semua ceritaku ini. Biar ia terbang membumbung ke angkasa.

Aktor : Hei kau jangan terlalu lemah menjadi manusia. Kau lahir dari sebuah
janin juga

kenapa kau terlalu lemah. Aku tidak melihat sinar keberanian di matamu. Kita
harus bangkit dan

membunuh.

Aktor : Jangan itu sebuah kekonyolan. Kita hanya menambah derita kaum kita
saja. Lebih baik

kita diam dan mengikuti setiap apa perkataannya. Mencumbu kenangan-


kenangan indah yang tidak lain

sebuah memoar lalu.


Aktor : Bersiaplah menanti ajalmu. Tak memiliki sebuah pengharapan, kau
hanya membuat

kaum ini semakin bodoh dan terpinggirkan. Demikian juga mereka akan
mengikuti tangismu di sepanjang

malam. Langit akan tertawa melihat kelemahan ini. Hahaha ...

Aktor : Terus Mau kau apa ? aku semakin tak mengerti .

Aktor : Bersikaplah sewajarnya jangan mendendam. Ini sudah suratan hidup


kita. Terima

saja.

Aktor : Ya lebih baik aku mengikuti langkahmu. Langkah yang pasti dan
memiliki suratan

yang sama seperti terdahulu.

Aktor : Ribut. Bodoh. Persetan

Aktor : Mimpi-mimpimu sudah di depan mata maka berubahlah. Kelak kita


akan lebih

berharga dari mereka yang hanya bisa mengeluarkan setannya.

(lalu lewat rombongan pembunuh)

Aktor : gorong-gorong.gorong-gorong.gorong-gorong.

gorong-gorong.gorong-gorong.gorong-gorong.

gorong-gorong.gorong-gorong.gorong-gorong.

Kuperintahkan periksa seluruh gorong-gorong di seluruh alam.

Kuperintahkan robohkan pemberontakan kaum lemah.

Kemudian hancurkan mimpi-mimpi mereka.

Tanpa tersisa sedikitpun.

gorong-gorong.gorong-gorong.gorong-gorong.

(lalu kembali terjadi penyiksaan)


Aktor : Kalian hanya bisa menangis dan memberontak dalam kegelapan.

Makhluk-makhluk tidak berguna. Selalu terjebak dengan keadaan. Lisan


manismu

memberontak di dalam. Tiada yang lebih baik bagimu dari sebuah hukuman
setimpal.

Aktor : makhluk terkutuk. Sudah berapa kali kubilang jangan memberontak.


Hahaha.

Terlalu tolol kalian jika membantah perintah. Jadilah juru-juru dan hamba yang
taat pada

tuannya. Jangan membantah. Hahaha.

Aktor : Lalu kalian ingin menjadi apa lagi ? kemauan kalian sudah sirna.

Kalau noda-noda itu semakin lama terlihat maka semakin dekatlah kalian
dengan

kegelapan.

Aktor : Hancur sudah kemauan kalian. Hahaha

Aktor : Kotor, bau dan menjijikkan. Lalu hanya bisa menjadi manusia yang
memuakkan.

Aktor : (menangis)

Aktor : Kembali tangisan itu kudengar. Hitamlah semua jika memang hitam.
Putihlah

semua jika ingin putih. Tapi jangan kau hitam putihkan duniamu. Tidak ada
yang berhak mengatur hidup

kita. Jangan lagi kalian terbuai dengan sebuah rintihan tidak pasti.

Aktor : perempuan ?

Aktor : ya, perempuan.

Aktor : mati.mati.mati

Aktor : Jika mati kita harus mati.


Aktor : (kembali menangis)

Aktor : Sudahi tangisan tak berujung itu. Tangisan yang hanya memukul jiwa.
Lihatlah

mereka jiwanya tak lagi tersentuh kandil-kandil kebahagiaan. Aku bersumpah


untuk dan demi sebuah asa

perempuan yang tertindas. Aku akan membunuh setiap raksasa yang hadir dan
menginjak hak kita.

Aktor : Apa ? tidak . kau jangan sembarang mengucap. Jika mereka mendengar
matilah

kita.

Aktor : Dia benar, aku kau dan kau yang hanya bisa menangis. Dunia kita sudah
hadir di

depan sana. Tangisan biarlah menjadi hari yang lalu. Kini kita harus mendobrak
kebuntuan.

Aktor : jangan. Jangan. Lalu apa yang terjadi pada kami jika itu semua gagal
dan kita akan

menjadi kayu bakar di panggangan mereka.

Aktor : bersuaralah, sebab suara adalah mimpi yang tak pernah mati. Kematian
nyata ialah

ketika suara tak lagi terdengar.

Aktor : Bersuara, bersuara, bersuara, bersuara, bersuara, bersuara, bersuara,


bersuara

Bersuara, bersuara, bersuara,bersuara,bersuara, bersuara, bersuara, bersuara,


bersuara, bersuara.

(mengambil senjata tajam yang tersimpan dan membuka ikatan)

Aktor : Akhirnya kebahagiaan telah sampai pada kita.

Aktor : Raksasa-raksasa telah menjadi dinding dunia. Mereka telah tidur dalam
kekakuan yang abadi. Dosa-dosanya membumbung ke langit kegelapan dan
pencerahan sudah di tangan kita.
Aktor : Lihatlah. Ini merupakan sajian yang lezat bagi kita. Lihatlah terus ke
mereka.

Aktor : jangan kau meratapi yang telah kau lakukan. Ratapan itu sudah lama
kita tinggalkan

sekarang tinggallah tawa yang membahana. Hahaha ...

Aktor : Memang mereka adalah suami dari rahimmu. Mereka adalah anak laki-
laki yang kau

banggakan. Mereka adalah rahim yang kau kandung. Mereka adalah hidupmu
tapi mereka harus mati

dalam kehidupan ini.

Aktor : ya, ini semua demi kelangsungan kaum kita. Sudah lama aku
merindukan suasana ini.

Dimana tidak ada yang mampu mengatur setiap gerak langkahku. Aku bebas
dalam terang dan gelap.

Melanglang buana tanpa ada batasan.

Aktor : tapi kau membunuh mereka. Kau membunuh mereka? (menangis)

Aktor : mereka tidak terbunuh. Mereka hanya tidur dan terlelap setelah lama
melihat dunia.

Aktor : kalian tidak berhak berbuat seperti itu. Aku , (menangis) lalu apalagi
kalian juga harus

menguburku bersama mereka. Buat apa aku hidup dalam ketidaksempurnaan


ini.

Aktor : sadarlah, sadarlah. Ini permintaan semuanya dan kau juga.

Aktor : ini darah rahimku, ini darah laki-laki yang aku cintai. Kalian pembunuh.
Kalian

pembunuh. Kalian pembunuh (menangis) .

Aktor : Kau bukan lagi seperti itu, sudahlah. Jangan menangisi kebenaran.
(lalu perlahan zaman itu pun hancur setelah laki-laki tidak ada dan kehidupan
tidak mampu regenerasi) (terdengar sebuah tangisan bayi)

Anda mungkin juga menyukai