Anda di halaman 1dari 4

Asal Usul Desa Paduraksa Kabupaten Pemalang

Pada zaman dahulu kala ada seorang putri kedaton  kerajaan Pemalang yang mempunyai  paras
yang cantik dengan rambut terurai panjang sampai ke pinggul. Putri itu bernama Raden Ayu
Sekar Arum. Dalam perjalanan usianya, Sekar Arum tumbuh sebagai gadis keraton yang cinta
pada rakyat. Apalagi sifat sosialnya tergolong tinggi. Rakyat jelata yang hidup kurang mampu
selalu menjadi perhatiannya, sehingga kegemaran wanita yang selalu cinta dengan warna hijau
itu tidak segan-segan turun ke karang pedesaan untuk mengetahui secara langsung, apakah para
abdi dalem terutama punggawa kerajaan bekerja dengan baik atau hanya sekedar sandiko dawuh.

Di saat itulah, Sekar Arum bisa membuktikan dengan kepalanya sendiri bahwa rakyat dibawah
kepemimpinan ayahnya masih perlu uluran tangan dari dirinya dan juga para penjabat yang
dianggap mampu untuk membagikan sedikit rejeki kepada mereka.

Patih Jongsari,  kepercayaan ayahnya itu ternyata menaruh hati kepada dirinya karena sebagai
putri tunggal yang cantik, dirinya juga membuat para lelaki kerjaan menjadi incaran dan bahan
pembicaraan.

Sebagai wanita yang tidak mau melukai hati lelaki lain,   maka Sekar Arum membuat sayembara
yang isinya “bila ada pemuda kerajaan yang sakti mandra guna dan bisa mengayomi rakyat maka
dirinya mau dipersunting untuk dijadikan istri.

Nampaknya sayembara yang diucapkan oleh putri kedaton itu terdengar oleh Raden Mangoneng
asal Madiun. Kebetulan Raden Mangoneng sengaja datang ke Pemalang untuk mencari ilmu dan
mencari kehidupan.

Ternyata dalam sayembara yang diadakan oleh Sekar Arum hanya 2 orang pemuda saja yang
berhasil mendaftar tak pelak kedua tokoh sakti tersebut memulai pertandingan di alun-alun
keraton. Perkelahian sengit dengan mengeluarkan beberapa tenaga dalam andalan telah makan
beberapa jam lamanya. Namun, belum juga ada yang kalah.

Perkelahian itu akhirnya bergeser sampai ke daerah hutan lebat yang dikenal wingit, 30 km ke
arah selatan. Daerah yang menjadi kekuasaan para dedemit itu, jalma mara jalma mati (siapa
yang datang, pasti mati) dikenal dengan nama “Randu Alas”. Perkelahian dua tokoh sakti itu
ternyata tidak selesai juga dalam satu hari, sehingga sekarang daerah tersebut dinamakan
“Randudongkal”.

Perkelahian pun digeser ke utara sedikit. Raden Mangoneng dan Patih Jongsari menyingkir
untuk mengatur tenaga dan nafas, maka setelah ramai menjadi desa, daerah tersebut dikenal
dengan nama “Desa Semingkir”.

Entahlah, tiba-tiba angin besar bertiup dengan kencangnya, 2 pemuda sakti itu terbang sekitar 15
km ke daerah utara. Di situ Raden Mangoneng melihat ada kubangan besar seperti gua ular
setelah kakinya menancap di lumpur tengah hutan. Dalam perkataannya, bila nanti daerah itu
ramai maka dia menamakan daerah itu menjadi desa Lenggerong diambil dari kata “Gerong”
(berlubang)

Dalam kurun waktu 3 hari, dua orang pemuda yang ingin merebut hati seoarng gadis cantik
kerajaan tersebut, tidak ada yang mau mengalah antara satu dengan lain. Mereka ingin
membuktikan bahwa siapa yang sakti, dialah yang pantas mendampingi Sekar Arum.

Tibalah dua pemuda itu di pinggiran hutan, mereka saling bertengkar mulut hingga burung
binatang di hutan “Siraung” (kini dusun Sirau). Semuanya kabur karena melengkingnya suara
sakti yang dipertengkarkan dalam adu mulut itu. Mengakhiri perkelahaian itu. Patih Jongsari
kemudian mengambilkan air kepada Mangoneng karena kehausan. Kebetulan di sekitar daerah
tersebut ada segenthong air. Mereka meminum air tersebut sampai hilang dahaga. Tempat
ditemukannya air stu guci itu dikenal dengan nama dusun “Sigenthong, Seawaka”.
Kemudian setelah rasa haus hilang dan menyadari betapa bodohnya meraka karena hanya
merebutkan seorang perempuan keajaaan dan nyawa seabagai taruhannya. Maka daerah tempat
berkumpul dan menjalin persahabatan akibat perang mulut itu yang pada muaranya dapat
merasakan kenikmatan berkawan, lalu mereka berdua menamakan desa “Paduraksa”, diambil
dari kata “Padu” (perang mulut) dan “raksa” (merasakan kenikmatan), hingga tokoh kerajaan
baik dari putra asli daerah yaitu Patih jongsari dan pendatang Raden Mangoneng dapat bersatu
membangun Pemalang. Diskriminasi tidak sejalan dengan ide dua tokoh itu. Untuk bersatu
membangun Pemalang tentunya ide dari luar bersifat membangun juga diperlukan.
Asal-Usul Pantai Widuri

Konon pada zaman dahulu kala, kawasan pantai utara di bagian barat Jawa Tengah ada sebuah
gubuk kecil yang dihuni sepasang suami istri yang bernama Kaki dan Nyai Pedaringan.

Jalinan kasih antara mereka berdua sangat kuat, sampai-sampai membuat warga sekitar merasa
ikut berbahagia. Mereka mempunyai perbedaan usia yang cukup jauh. Usia Nyai Pedaringan
masih sangat belia, sedangkan usia Ki Pedaringan sudah melebihi setengah abad. 

Namun karena kuatnya cinta mereka, berbeda usia tidak bisa menghalangi mereka untuk hidup
berbahagia. Ki Pedaringan dikenal sebagai sosok pekerja keras yang bekerja sebagai petani
palawija dan semangka. 

Pada suatu ketika, Nyi Pedaringan sedang menyiapkan sarapan untuk sang suami yang hendak
pergi ke ladang. Setelah keduanya selesai sarapan, Ki Pedaringan langsung bergegas menuju ke
ladang. Ia takut matahari semakin terik karena jarak ladang dengan gubuknya sangat jauh. 

Selang kepergian Ki Pedaringan, tak lama datang sosok pemuda dengan paras yang sangat
tampan. Tetapi keadaan lengannya tertancap keris pusaka. Nyi Pedaringan kaget melihat
seseorang yang berdiri di depan rumahnya dengan keadaan terluka. "Siapa lelaki itu?," tanyanya
dalam hati.

Si pemuda melihat raut muka Nyi Pedaringan kebingungan kemudian ia segera memperkenalkan
diri. "Perkenalkan saya Pangeran Purbaya, saya punggawa dari Kerajaan Mataram yang sedang
melaksanakan tugas memberantas pemberontakan yang dipimpin Salingsingan di Cirebon,”
ucapnya. 

Rupanya ada pasukan yang dipimpin oleh Salingsingan ingin menguasai Tanah Jawa dari
Mataram, maka dari itu utusan dari Kerajaan Mataram langsung turun tangan untuk
menggagalkan niat para pemberontak.

Sesuai dugaan, pasukan yang dipimpin Salingsingan berhasil dilumpuhkan Pangeran Purbaya.
Tetapi dengan meninggalkan luka pada lengannya. Dalam perjalanan kembali ke kerajaan,
Pangeran Purbaya melihat sebuah gubuk yang berpenghuni. 

Lalu ia berpikir untuk mengobati lukanya terlebih dahulu disana. "Apakah saya boleh mengobati
luka saya di sini?" tanya sang pangeran yang kemudian dipersilakan Nyai Pedaringan.

Kelanjutan cerita rakyat Jawa Tengah, asal usul Pantai Widuri, Nyai Pedaringan mengambil
obat-obatan yang dibutuhkan dan membantu mengobati Pangeran Purbaya. Setelah selesai,
Pangeran Purbaya mengucapkan terima kasih dan meninggalkan sebuah keris pusaka yang
bernama Simonglang agar dijaga dan dirawat Nyai Pedaringan. 

"Terima kasih atas bantuanmu, saya tinggalkan keris pusaka ini untuk dijaga dan dirawat. Saya
berharap keris pusaka ini bisa menjadi pusaka daerah ini dan hanya boleh dimiliki oleh
keturunan Pedaringan,” kata Pangeran Purbaya.

Nyai Pedaringan menerima keris pusaka itu dengan senang hati, ia berjanji akan menjaga dan
merawat keris Simonglang itu. "Tidak ada seorang pun yang berhak mengambil keris ini, kecuali
saya Pangeran Purbaya,” ucapnya sebelum melanjutkan perjalanannya ke selatan menuju
Kerajaan Mataram.

Saat berada di perjalanan, Pangeran Purbaya melewati sebuah sungai kecil yang melintang jika
dalam bahasa Jawa berarti malang. Ia melihat sungai itu dari arah timur ke barat lokasinya sangat
dekat dengan lautan. Kemudian ia memiliki ide untuk menamai daerah tersebut sebagai
Pemalang.

Sementara itu, langit menandakan akan gelap. Tak lama, Ki Pedaringan sampai di gubuknya. Ia
datang dengan perasaan kesal karena Nyai Pedaringan tidak membawakan bekal makan siang.
Ditambah Ki Pedaringan melihat sebuah keris pusaka di meja yang belum ia lihat sebelumnya. 

Ki Pedaringan mulai curiga dengan keris pusaka yang biasanya dimiliki oleh seorang lelaki. Ki
Pedaringan pun bertanya kepada Nyai Pedaringan "Keris apakah itu? Darimana kau
mendapatkannya?,” katanya. 

Nyai Pedaringan menjelaskan asal keris pusaka itu. "Tadi ada seorang pangeran dari Kerajaan
Mataram yang datang dengan luka di lengannya. Ia meminta obat untuk menyembuhkan
lukanya. Setelah selesai, aku diberi keris pusaka ini untuk dijaga dan dirawat sebagai tanda
terima kasih," kata Nyai Pedaringan yang sepertinya tidak dipercayai Ki Pedaringan. 

"Aku tidak percaya!,” kata Ki Pedaringan dengan amarah memuncak. Ia tidak percaya dengan
penjelasan istrinya. Lalu keduanya bertengkar hebat, sampai Nyi Pedaringan mengambil keris
pusaka itu dan memotong jari-jarinya yang lentik untuk membuktikan bahwa perkataan yang ia
jelaskan adalah benar. "Akan aku buktikan dengan ini. Jika darah yang keluar berwarna ungu
maka cintaku masih suci. Namun jika darah yang keluar adalah merah berarti aku berbohong,”
kata Nyi Pedaringan

Rupanya cinta Nyi Pedaringan masih suci, artinya ia tidak berselingkuh dengan lelaki lain dan
perkataan yang ia jelaskan adalah benar. Yang menjadi awal mula cerita rakyat, asal usul Pantai
Widuri, yakni darah segar keluar dari jari-jari lentik Nyi Pedaringan lalu menetes ke bunga yang
berada di dekat meja, bunga itu bernama Bunga Widuri. Bunga yang berwarna putih berubah
menjadi ungu karena darah Nyi Pedaringan.

Melihat kenyataan itu Ki Pedaringan menyesal tidak mempercayai perkataan istrinya yang
sangat ia cintai. "Aku meminta maaf karena sempat tak mempercayaimu" ucap Ki Pedaringan
meminta maaf kepada Nyi Pedaringan. Untuk menebus kesalahpahaman itu, Ki Pedaringan
langsung berlari keluar dari gubuk untuk menyusul Pangeran Purbaya.

Ironisnya setelah itu, Ki Pedaringan tak pernah kembali ke gubuknya. Nyai Pedaringan mendapat
julukan oleh warga sekitar Nyi Widuri yang hidup seorang diri di gubuk. Setiap hari Nyi Widuri
selalu menanti kepulangan sang suami  namun Ki Pedaringan tak pernah kembali lagi.

Diduga Ki Pedaringan diserang pasukan Salingsingan di tengah perjalanannya yang


menyebabkan ia tewas dan tak pernah kembali. Bahkan sampai akhir hayat Nyi Pedaringan
masih tetap hidup seorang diri. 

Dari peristiwa itu kini nama Widuri dijadikan sebagai nama desa yang ditinggali oleh Nyai
Pedaringan atau Nyai Widuri. Sama halnya dengan pantai yang tak jauh dari Desa Widuri yang
dinamakan Pantai Widuri. 

Begitulah asal usul Pantai Widuri ada. Dari cerita rakyat Jawa Tengah, asal usul Pantai Widuri
dapat ditarik sebuah pelajaran, yakni tetaplah berkata jujur apa adanya meski tak ada yang
percaya daripada berbohong dan menimbulkan dampak yang besar di kemudian hari. 

Anda mungkin juga menyukai