BANYUMAS
“BABAD PASIR LUHUR”
Kisah ini menceritakan tentang perjuangan Raden Banyak Catra, putra Prabu
Siliwangi Raja Pajajaran. Dikisahkan saat itu Raden Banyak Catra dipersiapkan untuk
menggantikan kedudukan ayahnya menjadi raja. Namun syarat untuk menjadi raja,
Raden Banyak Catra harus memiliki istri terlebih dahulu. Akhirnya Raden Banyak catra
pergi mengembara untuk mencari pendamping hidup.
Raden Banyak Catra menyamar sebagai rakyat jelata dan berganti nama
menjadi Kamandaka. Kamandaka pergi ke Pasir Luhur, sebuah Kadipaten yang
dipimpin oleh Adipati Kandhadhaha. Kedatanannya ke Pasirluhur adalah untuk
menemui Dewi Ciptarasa, putri bungsu sang Adipati. Singkat cerita kemudian
Kamandaka di angkat sebagai anak oleh Reksanata, Patih Pasir Luhur.
Hasrat Raden Kamandaka untuk melihat wajah Putri Dewi Ciptarasa dapat
terkabul ketika Adipati Kandhadhaha mengadakan hiburan dengan mengadakan
penangkapan ikan di sungai secara beramai-ramai.
Pertemuan Raden Kamandaka dengan Dewi Ciptarasa berlanjut dengan jalinan
cinta. Suatui ketika Raden Kamandaka mengunjungi Dewi Ciptarasa di Kadipaten
Pasirluhur. Namun pertemuan itu dipergoki oleh kakak Ciptarasa. Bagi sang Adipati
Kandhadhaha, perbuatan Kamandaka telah mencoreng mukanya karena sebagai
seorang rakyat jelata bercengkrama dengan Putri Dewi Ciptarasa. Kemudian Patih
dipanggil oleh Adipati Kandhadhaha dan perintahkan untuk membunuh Kamandaka.
Sebagai seorang ayah, Patih Reksananta bingung untuk melaksanakan tugas ini.
Raden Kamandaka dikekar-kejar oleh Prajurit Kadipaten, kemudian Raden
Kamandaka terjun ke sungai dan bersembunyi dalam gua di sungai itu. Para Prajurit
Kadipaten melempari batu ke tempat Raden Kamandaka menceburkan diri. Setela
beberapa waktu tidak muncul, mereka mengira Raden Kamandaka telah tewas
tenggelam di sungai itu. Apalagi mereka melihat usus terapung di sungai, mereka
mengira usus ayam yang terapung itu adalah ususnya Raden Kamandaka.
Para prajurit kemudian pulang untuk melaporkan kejadian itu kepada Sang
Adipati. Sampai sekarang lubuk tempat Raden Kamandaka terjun dikenal dengan
anama “Kedhung Petaunan” di sungai logawa, 3 Km sebelah Batrat Kota Purwokerto.
1. Terhindar dari bahaya.
Raden Kamandaka bersembunyi di sebuah kedung terus menyusup ke gua dan
akhirnya sampai di tempuran sungai logawa. Tempat tersebut sampai sekarang
disebut “Surup lawang” yaitu pertemuan antara sungai Logawa dengan Sungai Serayu
di sebelah selatan Purwokerto.
Dengan menyusuri sungai Logawa, samapailah Raden Kamandaka ke kadipaten
Pasirluhur. Selanjutnya ia menumpang dirumas seorang janda yang tidak mempunyai
anak yaitu Nyi Kartisara, yang pekerjaannya menjual daun pisang.
Raden Kamandaka memakai nama samaran “si Sulap”. Kegemarannya
memelihara ayam jantan untuk di adu. Kemudian tempat tingal Si Sulap terkenal
dengan nama “Kurung Ayam”. Ayam jago Si Sulap yang terbaik dinamakan “Mercu”.
Sulap mendapatkan seorang kawan bernama Ki Reksajaya, berasal dari Losari, orang
yang cacad jasmaninya. Tempat yang terkenal untuk menyabung ayam pada waktu itu
adalah Pangebatan.
Semetara itu Prabu Siliwangi di Pajajaran merasa gerlisah demi menunggu
Raden Kamandaka tidak kunjung pulang. Kemudian beliau memerintahklan putranya
Raden Gagak Ngampar, adik Kamandaka, yang sedang bertapa untuk mecari kakaknya
Raden Kamandaka.
Akhirnya Raden Banyak Ngampar pergi meninggalkan Pajajaran dengan
memakai nama samaran Raden Silihwarni. Beliau sampai ke daerah Pasirluhur dan
langsung menuju Kadipaten Pasirluhur untuk mengabdikan diri. Permohonan itu
dikabulkan oleh Sang Adipati dan diangkat menjadi prajurit.
Selang beberapa waktu terdengar kabar bahwa Kamandaka masih hidup dan
berada di suatu desa sebagai penyabung ayam. Adipati Kandadaha menjadi murka,
akhirnya membuat sayembara untuk membunuh Kamandaka.
Raden Silihwarni menyatakan sanggup melaksanakan sayembara
tersebut. Raden Silihwarni sama sekali tidak tahu bahwa Kamandaka adalah Raden
Banyak Catra, kakak kandungnya sendiri.
Raden Silihwarni datang ketempat sabung ayam dengan membawa ayam jago
yang dikakinya sudah dipasangi Patrem (Keris kecil) pada taji jagonya. Pada saat
berhadapan dengan Raden Kamandaka, Raden Silihwarni melemparkan jagonya ke
arah Raden Kamandaka. Lambung kiri Kamandaka luka tersabet keris patrem yang
berada di kaki jago. Raden Kamandaka marah sekali dan ayam jago yang melukai tadi
langsung ditangkap dan dibanting hinga mati.
Pertengkaran terjadi dan Raden Silihwarni terkena tusukan keris di kkan
lambung hingga pingsan. Pengikut Raden Silihwarni yang bernama Ki Nitipraga
tertusuk keris Raden Kamandaka sampai tewas. Kemudian Raden Kamandaka
meninggalakan tempat sabung ayam itu dengan diikluti Ki Reksajaya.
Setelah peristiwa sabung ayam itu Raden Kamandaka dikejar-kejar oleh
prajurit Pasirluhur dibawah pimpinan Raden Silihwarni. Raden Kamandaka dapat
terkejar oleh Raden Silihwarni dan terjadilah perkelahian sengit antara kedua
bersaudara yang masing-masing sudah tidak mengenal lagi. Tempat perkelahian
tersebut dinamakan “Pejogol”. Pengejaran terus dilakukan bahkan dibantu oleh
prajurit menantu Adipati Mersi. Raden Kamandaka lari ke arah timur
menuju kota Purwokerto. Samapai di suatu tempat, Raden Kamandaka jatuh dan
terluka. Tempat dimana dia jatuh akhirna dinamakan sungai “Bodas”.
Perjalanan terus dilakukan. Ketika samapai di sebuah sungai Raden
Kamandaka membasuh lukanya, darah keluar dengan derasnya sehingga tempai itu
dinamakan sungai “Bancaran” yang kemudian menjadi “Banjaran”. Untuk melihat
datangnya musuh, Raden Kamandaka naik ke lereng sungai Banajaran. Tempat ini
kemudian dinamakan “Sawangan” (Nyawang ; bahasa Jawa).
Raden Kamandaka melanjutkan perjalanan ke arah utara, kemudian be
istirahat di suatu tempat, yang kemudian dinamakan “Kober” (Semapat : bahasa
Jawa). Letak desa tersebut di dekat Stasiun Purwokerto. Kemudian melanjutkan
perjalanan menembus hutan belukar hingga sulit diikuti oleh prajurit Pasirluhur. Desa
tempat menerobos hutan belukar kemudian dinamakan “Bobosan”
(nerobos/menyusup). Dengan kekuatan batin Raden Kamandaka mengetahui bahwa
muhnya menggunakan anjing sebagai pelacak, sehingga dia juga melepas anjing untuk
menangkap anjing pelacak. Anjing musuh dapat ditangkap dan dikurung di suatu
daerah yang dinamakan “Kurung anjing”, kemudian menjadi Karanganjing. Letaknya
disebelah timur Bobosan, sekarang termasuk dalam Kelurahan Purwonerogo.
Para prajurit berjaga-jaga menantikan suara anjingnya menyalak, namun
sampai pagi hari tidak terdengar suara anjing menyalak. Kemudian mereka
mengetahui bahwa Raden Kamandaka telah menyeberangi sungi Banjaran menuju
barat. Mereka mengejar Raden Kamandaka sampai disuatu daerah , karena
kemarahannya seperi banteng ketaton, maka daerah itu dinamakan desa
“Kedungbanteng”.
Di desa Kedunbanteng terdapat batu sebesar rumah yang dikenal dengan
nama “Watu sinom”. Raden Kamandaka naik ke atas batu tersebut sambil menantang
Raden Silihwarni yang tidak lain adalah Raden Gagak Ngampar, adik kandung Raden
Kamandaka sendiri.
Raden Kamandaka terkejut begitu melihat Raden Silihwarni mengeluarkan
keris Kyai Mojang Pamungkas yang merupakan pusaka Kerajaan Pajajaran. Saat itu
terbongkar bahwa ternyata Raden Silihwarni adalah adik kandung Kamandaka.
Raden Silihwarni kemudian menceritakan maksud kedatangan ke Pasirluhur
adalah atas perintah Ayahanda untuk mencarikan kakaknya yang akan dinobatkan
menggantikan Ayahanda bertahta di Pajajaran.
Kemudian dibuat sekenario, Ki Reksajaya diperintahkan pergi ke Karanganjing
untuk membunuh seekor anjing yang dikurung disana guna diambil hati dan darahnya
untuk diserahkan ke Adipati Mersi sebagai bukti kematian Kamandaka. Kemudian
Raden Kamandaka dan adiknya pulang ke Pajajaran.
Berita tewasnya Raden Kamandaka telah tersiar ke seluruh Kadipaten
Pasirluhur. Adipati Pasirluhur merasa puas dan gembira setelah mendengar berita
kematian Kamandaka yang disampaikan oleh Adipati Mersi. Namun sebaliknya, Puri
Ciptarasa sangat bersedih skaligus ragu mendengar berita itu, karena sudah kedua
kalinya Kamandaka diberitakan meninggal dunia.
1. Tahta Kerajaan
Tidak lama kemudan Raden Kamandaka alias Banyak Catra dan Raden
Silihwarni alisa Gagak Lampar telah sampai di Istana Pajajaran, diikuti oleh Ki
Reksajaya. Menjelang peresmian pergantian tahta Kerajaan Pajajaran yang akan
diberikan kepada Banyak Blabur (anak istri ke dua), yang menuntut janji Prabu
Siliwangi kepada istri keduanya bahwa kelak putranya yang laki akan diberi kedudukan
sebagai Putra Makhota.
Karena harus memilih salah seorang antara Banyak Catra dengan Banyak
Blabur, maka Prabu Siliwangi membuat sayembara. Siapa yang dapat menemukan 40
orang putri kembar, maka dialah yang berhak naik tahta. Untuk mencari syarat
tersebut, Banyak Blabur pergi kea rah barat ke aerah Banten, sementara Banyak Catra
pergi ke arah timur yaitu ke Pasirluhur.
Banyak Catra diringi oleh 2 orang abdinya yaitu Ki Gede Kolot dan Ki Klantung.
Setelah sampai di kaki Gunung Slamet kemudian mendirikan sebuah padepokan yang
diberi nama Batur Agung.
Menurut wahyu yang diterima, Banyak Catra dianjurkan supaya bertapa di
sebelah timur Pasiruhur, yaitu di dekat tempuran sungai Logawa dan Sungai Mengaji.
Karena ketekunannya bertapa, Banyak cara memperoleh anugerah dari Dewa berua
baju ajaib. Jika baju Tersebut dipakai, maka ia akan berubah menjadi seekor Lutung
(kera).
Suatu ketika Raden Kamandaka menemui Dewi Ciptarasa dengan memakai
pakaian Lutung. Akhirnya Dewi Ciptarasa tahu bahwa lutung tersebut adalah si
Kamandaka. Lutung itu kemudian dipelihara oleh Dewi Ciptarasa sebagai hewan
kesayangan yang sewaktu-waktu bisa berubah wujud menjadi Raden Kamandaka.
Sementara itu Raden Pulebahas dari dari Nusakambangan berniat melamar
Dewi Ciptarasa. Dewi Ciptarasa bingung menerima lamaran itu. Kamandaka
menyarankan agar Dewi Ciptarasa menerima lamaran dari Prabu Pulebahas tersebut
dengan dua syarat. Syarat pertama, pada saat pernikahan, Prabu Pulebahas tidak
boleh membawa senjata maupun prajurit. Syarat kedua, lutung yang mengiringi Dewi
Ciptarasa tidak boleh diganggu.
Syaratnya diterima Prabu Pulebahas dan pernikahan pun dilaksanakan pada
waktu yang telah ditentukan. Saat kirab pengantin atau pertemuan pengantin, Lutung
mendampingi Dewi Ciptarasa.
Saat Prabu Pulebahas berbasa basi akan menggendong si Lutung, Lutung
tersebut menerkam prabu Pulebahas sehingga terjadi perkelahian yang sengit.
Akhirnya prabu Pulebahas tewas.
Adipati Kandhadhaha gusar karena Si Lutung sudah mengganggu perhelatan di
Kadipaten Pasirluhur. Namun pada saat itu sang Lutung berubah wujud menjadi
Pangeran Banyak Catra. Maka kagetlah sang adipati Kandhadhaha karena sang Lutung
ternyata putra dari Prabu Silihwangi.
Akhirnya hubungan Dewi Ciptarasa dengan pangeran Banyak Catra direstui
oleh Adipati Kandhadhaha hingga keduanya menikah dan hidup berbahagia.
Cerita lain dari cuplikan “Babad Banyumas” menyebutkan bawha salah satu
tiang utama (saka guru) pendapa Si Panji yan dikeramatkan, berasal dari hutan
belantara di hulu Sungai Serayu. Dari cerita yang berkembang, kayu yang telah
digunakan sebagai ting itu ingin kebalilagi ke hutan yang sangat angker itu. Sampai
saat ini saka guru yang masih kokoh itu katanya ada penunggunya berupa sosok ular
dan seorang kakek berjenggot panjang.
Setelah ada pengabunyan Kabupaten Banyumas dengan Kabupaten Purwokerto
tahun 1936 atau prakarsa Adipati Arya Sudjiman Gandasubrata (Bupai Banyumas XX),
pada Bulan Janauari 1937 pendpa Si Panji dipndahkan dari Banumas ke Purwokerto.
Berdasarkan uara gaib dan petunjuk dari para sesepuh Banyumas dan untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka pemindahan pendapa I Panji yang
keramat itu tidak melewati Sungai Serayu, tetapi melewati pantai utara Jawa
(Pantura), Semarang ke barat, Bumiayu, Ajibarang, kemudian sampai ke Purwokerto.
Ada beberapa argumentasi mengapa pendopo Si Panji dipindah ke
Purwokerto. Ada sasmita bahwa kelak kota Purwokerto akan maju pesat dan
menjadi kota perdagangan dan pusat pemerintahan. Pemindahan pendopo sbagai
symbol pengakuan betapa kota Banyumas sulit bekembang, karena dak ada jalur
kereta api, lahan kota sempit, dan akses ke lar tidak berkembang. Maka saat itu
pun kota Banumas sepi dan sulit berkembang.Hal ini membuktikan apa yang
diprograkan oleh Bupati Sdjiman Gandasubrata itu benar.
Untuk mengenang kebesaran pendapa Si Panji, Pemda Kabpaten Banyumas
telah membangun “dulpilkat” pendpa di bekas bersdirinya Pendapa Si Panji. Namun
tidak sesuai dengn aslinya bahkan terkesan lebih mewah dari pendapa Si Panji yang
ada di Purwokerto.
Dari rangkaian sejarah, ternyata sejak pebangunannya sudah ada aura mistis
dan pertentangan tokoh, pernah menjadi pengungsian puluhan penduduk yang naik ke
atas pendapa dan tidak ada kerusakan saat banjir banding. Perjalanan sejarah
selanjutnya pendapa yang keramat ini tidak mau melewati Sungai Serayu dan di arak
lewat Semarang (Pantura) smapai ke kota Purwokerto. Suatu hal aneh yang samapai
saat ini belum terkuak adalah alas an mengapa pemindahanyya tidak boleh melewati
Sungai Serayu, tetapi harus melewati ratusan kilometer memutar Jawa Tengah.
BANJIR BANDANG MELANDA KOTA BANYUMAS
Konon dahulu akala di lereng gunung Slamet yang indah terdapat sebuah
pousat pemearintahan setingkat Kawedanan. Rakyatnya ahidup aman dan tenteram,
disamping mempunyai jiwa gotong-royong yang tinggi sebagai ciri khas masyarakat
Banyumas. Sang penguasa pusat pemerintahan tersebut bernama Dipakesuma. Karena
kearifan dan kebijakan sang Wedana, dia disegani oleh para wedana tetangga dan
masyarakat di daerah Ajibarang.
Suatu hari sang Wedana memanggil Hulubalang dan orang-orang kepercayaan
nyanuntuk membicarakann keinginannya untuk menjadi Bupati Purbalingga atau
sekitarnya.
Setelah menyerahkan mandat penuh pemerintahan kepada wakilnya untauki
semeantara, pergilah sang Wedana untuk bertapa agarb maksudny terkabul.
Pada suatu hari sang Wedana ditremui oleh makhluk halus sebagai pertanda
dalam bertapa akan membuahkan hasil untuk mencapai cita-citanya. Banyak versi
yang mentnyebutkan bahwa makhluk halus itu berwujud peri menyerupai putri cantik
sebagai perlambang dipenuhinya keinginan sang Wedana.
Dari pertemuan tersebut ada beberapa kejadian aneh yang menyelimuti sang
Wedana, antara lain sering berbicara sendiri yang kemungkinan tengah terjadi
komunikasi antara dirinya dengan Sang Peri. Bahkan para pengikut sang Wedana
terheran-heran mengapa Sang Wedana kelihatan aneh.
Laku tapa sang wedana terus berlanjut . Setelah menempuh perjalanan ke
utara ke arah di lereng gunung Slamet, tibalah dia di daerah Pekowen dekat curug.
Sang Wedana bertapa di kawasan yang sepi dan penuh misteri itu. Karena kemantapan
dan ketekunannya dlam bertapa, dia amendapat petunjuk dari dewata agar pindah
lagi bertapa ke daerah Sudem.
Pada suatu hari Sang Wedana memangil Hulubalang dan orang-orang
kepercayaannya untuk menjadi penguasa yang lebih tinggi, sekaligus memohon doa
restu kepada yang di undang.
Suatu hari Sang Wedana mendapat wangsit, kalo cita-citanya ingin terkabul ia
harus menikahi Putri Peri cantik penguasa Cipendok. Tetapi antara Dipakesuma dan
Putri Peri ini tidak bisa terjadi perkawinan, karena alam kedua insan ini berbeda.
Maka satu-satunya jalan yang ditempuh, putri peri itu masuk/Mnjing ke raga Padange
(tukang masak nasi). Sang Wedana menikah dengan Padange yang sudah dimasuki
arweah Putri Peri dari Gunung Slamet.
Setelah menikah, Sang Wedana dapat menaiki tahta sebagai Bupati. Kisaqh
cinta sang Wedana dengan Putri Peri dari Cipendok ini memang menarik, tetapi
mungkin hanya dongeng yang berkembang layaknya kisah-kisah misteri lainnya yang
banyak terdapat di kawasan Gunung Slamet.
Legenda tersebut ternyata banyak versinya, tanpa menyinggung perasaan para
leluhur dan trah sang Wedana. Itulah kenyataan cerita yang berkembang bahwa Sang
Wedana menjalin asmara dengan Putri Peri yang rupawan. Apakah ini merupakan
“sanepo”, kita belum mengetahui scara pasti, karena legenda ini berkembang dari
mulut ke mulut dan turun temurun dari generasi ke generasi.
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa arti nama Cipendok, tetapi
yang jelas disekitar kawasan ini banyak nama yang didahului kata “Ci” seperti
Cilongok, Cihonje, Cidora, Cikaka, Cikembulan dan lain-lain. Kawasan Ciupendok kini
makin dikenal dan menjadi salah satu obyek wisata Kabupaten Banyumas.
1. Gunung Slamet
2. Kisah Baturraden
Ada beberapa versi asal mula Baturraden. Namun akan di ambil kisah yang
berkaitan dengan legenda Kadipaten Kutaliman, yang dulu terletak kurang lebih 5 Km
sebelah Barat Daya Baturraden.
Dikisahkan jaman dulu kala Adipati Kutaliman mempunyai empat orang putri.
Salah seorang putrinya ternyata jatuh cinta kepada seorang Gamel (pembantu) yang
bertugas mengurusi kudanya Sang Adipati. Mendengar berita cinta gelap yang tidak
setara tersebut, murkalah Sang Adipati sehingga keduanya diusir dari Kadipaten
tersebut. Mereka ahirnya mengembara.
Dalam pengmbaraan, Sang Putri melahirkan seorang bayi putra di tepi sebuah
sungai, yang dikemudian sungai tersebut dinamakan “Kaliputra”, terletak 3 Km
sebelah utara Desa Kutaliman. Dalam pengembnaraan selanjutnya mereka
menemukan suatu tempat yang indah mempesona dan udaranya sejuk di lereng
Gunung Slamet. Mereka menetap di kawasan tersebut dan mendiriklan sebuah
padepokan yang diberi nama Batur Raden, dari perpaduan antara Batur (abdi yaitu
Gamel) dan Raden (Sang Putri yang berdarah Bangsawan putrinya Adipati). Kemudian
banyak yang menyebut “Baturaden” ataupun “baturraden” dengan dua huruf “r”.
Ada versi lain yang menarik sekitar nama baturraden yaitu kisah perjalanan
Syeh Maulana Maghribi di kota Gresik (Jawa Timur). Pada suatu ketika Syeh maulana
Maghribi melihat cahaya terang disebelah barat. Kemudian beliau mengembara untuk
mencari cahaya yersebut sambil menyebar agama Islam, ditemani sahabat karibnya
yang bernama Haji Datuk. Dalam pengembaraannya, Syeh Maulana Maghribi berganti
nama menjadi Mbah Atas Angin.
Yang memancarkan cahaya tadi ternyata seorang pertapa yang kemudian
memeluk agama Islam dan menjadi pengikut Syeh Maulana Maghribi, dan diberi nama
Syeh Djambukarang. Nama tersebut di ambil karena dalam bertapa ia bersandaran
pohon jambu dan dikelilingi batu-batu karang. Dalam perjalanan waktu, Mbah Atas
Angin kemudian menjadi menantu Syeh Jambukarang.
Pada suatu waktu konon Syeh Maulana Maghribi menderita penyakit gatal-gatal
atau buduk yang tidak kunjung sembuh. Atas petunjuk wisik ia akan sembuh jika
berendam di air panas yang mengalir dari Pancuran Pitu di Gunung Gora. Belakangan
diketahui bahwa air panas tersebut bisa menyembuhkan karena mengandung
belerang, zat penyembuh penyakit gatal.
Karena merasa bersyukur sembuh dari penyekit gatal itulah maka Gunung Gora
alalu diganti nama menjadi Gunung Slamet. Samapaia sekarang pancuran pitu banyak
dikunjungi orang untuk kepentingan berobat dari penyakit gatal.
Selama Syeh Maulana Maghribi melaksanakan pengobatan di pancuran pitu,
Sahabat setianya, Haji Datuk dengan setia menunggu. Tempat itu lalu diberi nama
“Rusuludi” yang berarti batur yang Adi, kemudian banyak yang menyebut Baturaden.
Sampai sekarang tempat tersebut masih dikeramatkan dan banyak di zirahi orang
khususnya pada malan Selasa dan Jumat Kliwon. Yang lebih unik lagi, banyak
pasangan pengantin dari daerah utara (Bumiayu, Tegal dan sekitarnya), denganm
masih mengenakan busana pengantin lengkap mengadakan kirab pesiar ke Baturraden.
Nama Baturraden lebih mencuat pada tahunn 1990, karena dijadikan ajang
penyelenggaraan Pekan Pariwisata Jawa Tengah (PPJT) III/Tahun 1990. PPJT
merupakan ajang untuk mepromosikan kepsariwisataan daerah Jawa Tengah dalam
rangka menggali potensi emas merahguna mendukung pembangunan nasional
umumnya dan pembangunan daerah Jawa Tengah Khususnya.
Bagi Kabupaten Banyumas, PPJT merupakan momen yang sangat baik dalam
rangka memperkenalkan obyek wisata Banyumas, khususnya Baturraden agar lebih
dikenal lagi. PPJT juga dijadikan titik awal pembangunan kawasan Baturraden dalam
rangka menuju kawasan wisata yang menyenangkan dan berwawasan lingkungan
dengan tetap mempertahankan sebagai obyek wisata alam yang sangat menarik.
MASKOT BAWOR
CERMIN WATAK ORANG BANYUMAS
Daftar Pustaka
1. Peraturan Raerah Kabupaten Banyumas Nomor.2 Tahun 1990 Tentang Penetapan Hari
Jadi Kabupaten Banyumas.
4. Brosur dan cacatan promosi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyumas.
Motto SATRIA
Sosok bawor yang sering memakai asesoris kalung dileher yang bertuliskan
SATRIA, tidak ada hubungannya dengan filosofis Motto Sejahtera, Adil, Tertib, Rapi,
Indah dan Aman. Masyarakat memaklumi itu hanya asesoris “iseng” yang tidak
terkontrol pada saat gambar diluncurkan pertama kali. Karena sudah terlanjur
memasyarakat, maka kepada pihak yang berwenang atau Bagian Humas Kabuapaten
Banyumas untuk merefisi jika masih ada maskot bawor yang memakai kalung
bertuliskan SATRIA.
Aspek filosofis SATRIA, merupakan perwujudan sikap mental seseorang yang
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut kamus umum Bahasa Indonesia (WJS.
Purwodarminto) terbitan Balai Pustaka 1961, disebutkan bahwa orang yang
mempunyai watak Satria adalah orang yang punya sikap mental baik, jujur dan gagah
berani. Sikap metal Satria dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Baik hati, merupakan perasaan yang paling dalam dari
seseorang yang digambarkan sering menyentuh sampai ke relung hati. Sifat baik hati
merupakan perwujudan dari ketaqwaan terhadap Tuhan YME. Ia akan selalu berbuat
baik walau tanpa ada orang lain mengetahuinya.
2. Jujur, setiap orang yang mempunyai budi pekerti luhur tentu
akan selalu berbuat jujur. Orang yang berbudi pekerti luhur,
disiplin dan bertanggung jawab akan selalu bertindak jujur
dengan segala tindakannya.
3. Gagah berani, hanya dimiliki oleh orang yang senantiasa
bekerja keras dan tangguh dalam segala kondisi dan situasi
apapun. Disamping itu juga memiliki jiwa kemandirian ,
cerdas dan trampil serta sehat jasmanim dan rohani.
Sifat masyarakat Banyumas yang berani mengemukakan segala sesuatu
sebagaiamana adanya, sering disebut sebagai CABLAKA yang artinya berani
mengemukakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, yang buruk itu buruk
dan yang baik itu baik. Dengan demikian peningkatan kulitas warga Banyumas yang
ingin dicapai adalah identik dengan sikap mental SATRIA. Manuisa yang berjiwa
SATRIA adalah manausia yang berkulitas dan yang mempunyai semangat SATRIA.
Akhirnya terserah kepada Wong Banyumas dan para pengambil keputusan
Pemda Banyumas, apakah sudah pas jika sosok Bawor mengenakan kalung berhuruf
SATRIA. Pro kontra maskot Bawor tidak perlu diperpanjang karena sudah jelas bahwa
maskot tersebut tidak ada dasar hukumnya.
Akan punahkah Bahasa Jawa dialek Banyumasan seperti bahasa dialek lain di
Indonesia yang sudah lebih dulu punah ?
Mudah-mudahan tidak, karena Wong Banyumas dan sekitarnya masih dalam
kesehariannya masih menggunakannya, walaupun kadang merasa malu jika berbicara
di muka umum apalagi didengar oleh orang dari liar Banyumas khususnya orang Jogya
– Solo yang notabene dialeknya lebih halus.
Banyak yang mengangap bahasa Banyumasan itu “ndesani”. Warga Banyumas
yang meliputi Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara sudah
dikenal si seluruh Indonesia sebagai dialek “ngapak ngapak” yang menjadi bahan
tertawaan. Hal ini bisa kita lihat di acara televisi khususnya acara humor, dimana
penonton televisi dibuat tertawa setiap muncul dialek Banyumasan. Salah contoh
adalah Artis Tukul Arwana yang selalu memunculkan gurauan dialek Banyumas “Balik
maning nang laptop, kaya kuwe…..”.
Hal demikian menjadikan saat ini warga Banyumas malu berbahasa dialek
Banyumasan, padahal mengandung unsur keunikan sebagai kebanggaan sehingga kita
tidak segan menggunakannya sebagai bahasa pengantar sehari-hari baik dalam
pertemuan formal maupun informal.
Upaya pelestarian bahasa Jawa dialek Banyumasan bukan hanya tanggung
jawab Dinas Pendidikan atau Dinas Kebudayaan dan Pariwisata saja, yang salah satu
tupoksinya adalah pelestartian budaya Banyumasan, tetapi merupakan tanggung
jawab semua orang Banyumas.
Untuk mecapai hasil yang optimal dalam melestarikannya, memerlukan
dukungan politis, bahkan mungkin lewat surat Edaran Bupati atau Surat Keputusan
Bupati Banyumas yang intinya upaya pelestarian penggunaan bahasa Jawa dialek
Banyumasan di semua tingkatan, mulai dari tingkat RT-RW, selapanan
Desa/Kelurahan, pertemuan tingkat Kecamatan dan tingkat Kabupaten untuk
dihimbau menggunakan bahasa Jawa dialek Banyumasan pada kesempatan
pertemuan, atau dianjurkan dalam sebulan ada pekan ngomong banyumasan bagi
Warga Banyumas.
Bagi warga Banyumas pendatang yang berdomisili di banyumas dan belum
fasih berbahasa dialek banyumasan, tidak ada sanksi jika belum dapat berdialek
banyumaan dengan baik dan benar. Kenyatannya di masyarakat sudah banyak para
pendatang yang mulai belajar dan menyesuaikan diri dengan menggunakan bahasa
banyumasan.
Sebetulnya dialek Banyumasan tidak jauh berbeda dengan bahasa tetanga
seperti Sunda, Jogyo, Solo, Jawa Timur dan Madura. Yang berbeda prinsipnya hanya
dialeknya saja, sehingga bahasa kita masih bisa dipahami oleh mereka. Jika ada
perbedaan arti, prosentasenya sangat kecil.
Kita kagum pada suku bangsda lain di Indonesia yang tetap konsisten dan tidak
malu-malu mengunakan bahasa ibu seperti orang Sunda, Batak, Madura, Bugis, Minang
dan sebagainya yang dengan bangganya menggunakan bahasanya sendiri.
Jika Pemerintah Kabupaten Banyumas mempunyai misi untuk melestarikan
budaya Banyumasan, tentunya termasuk dialek bahasa banyumasan. Para pendidik
juga harus belajar dan menggali lebih banyak lagi pengetahuan tentang Banyumas
baik budaya, sejarah, serta tradisi Wong Banyumas.
Dinas Kebudayan dan Pariwisata Kabupaten Banyumas pernah mengadakan
sarasehan untuk mengambil langkah-langkah pelestarian bahasa jawa dialek
banyumasan. Bahkan pernah mengusulkan agar di Kabupaten Banyumas segera
dibentuk Lembaga atau Badan Pelestari Bahasa Jawa dialek Banyumasan, tetapi
kendalanya adalah tidak adanya dukungan politi, morial dan material. Paing tidak
Dinbudpar dalam upayanya telah banyak melangkah, misinya mempelopori lomba
pidato bahawa jawa dialek banyumasan, memerbitkan brosur-brosur tentang sastra
banyumasan dan kegiatan lain yang menjurus pada pelestarian budaya banyumasan.
Kepada Wong Banyumas atau mereka yang selalu mengaku sebagai Wong
Banyumas agar tidak malu atau sungkan berbicara mengunakan dialek banyumasan,
terutama kepada para generasi muda yang takut dikatakan “ndesani dan katrok” jika
berdialek banyumasan.
Contoh kongkrit yang patut ditiru adalah Bapak Bupati Mardjoko, dalam setiap
Sambutan/arahannya pada acara rapat beliau lebih banyak mengunakan bahasa dialek
Banyumasan daripada harus menggunakan dialeh Bahasa Indonesia. Ini terdengan
lebih akrab dan lebih dekat dengan masyarakat/audiannya.
Lebih baik jika mulai sekarang dalam pembuatan spanduk, slogan serta ajakan
kepada masyarakat menggunakan bahasa dialek banyumasan. Nampaknya akan lebih
mengena dan menarik untuk dibaca daripada mengunakan bahasa Indonesia yang
saudah umum.
http://tamasekarelok.blogspot.com/2011/10/ceritera-rakyat-populer-di-kab-banyumas.html
Baturaden (cerita rakyat
jawa tengah)
http://apepsaprol.wordpress.com/2012/05/07/baturaden-cerita-rakyat-jawa-tengah/
Pada jaman dahulu, disebuah Kadipaten hiduplah seorang pembantu (batur) yang bernama
Suta. Pekerjaan atau tugas sehari-hari Suta ialah merawat kuda sang Adipati. Setelah selesai
mengerjakan tugasnya, biasanya Suta berjalan-jalan disekitar Kadipaten. Maksudnya, ia ingin
lebih mengenal tempatnya bekerja.
Suatu sore, seperti biasanya Suta sedang berjalan-jalan disekitar tempat pemandian atau biasa
disebut dengan taman sari. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh jeritan seorang wanita. Suta segera
mencari arah jeritan tadi.
Akhirnya ia tiba didekat sebuah pohon besar. Dilihatnya putri Adipati menjerit-jerit dibawah
pohon. Di dekatnya, seekor ular yang sangat besar menggelantung, mulutnya menganga siap
menelan putri yang tengah ketakutan itu. Suta sendiri sebenarnya sangat takut melihat ular itu.
Namun melihat keadaan putri Adipati yang pucat ketakutan itu, timbul keberaniannya untuk
membunuh ular tersebut. Diambilnya bambu yang cukup besar, dipukulnya kepala ular tersebut
berkali-kali. Ular itu menggeliat-geliat kesakitan. Dan tak lama kemudian ular itu diam tak
bergerak. Mati.
“terima kasih kang Suta. Kau telah menyelamatkan jiwaku,” kata putri Adipati yang kelihatan
masih gemetar.
“itu sudah menjadi tugas saya, Tuan putri. Hamba adalah abdi Kadipaten, yang selalu siap
mengorbankan nyawa demi keselamatan tuan putri,” sahut Suta.
Putri Adipati itu kemudian diantar oleh Suta menuju Kadipaten.
Sejak peristiwa itu. Putri Adipati itu semakin akrab dengan Suta. Bahkan keduanya kini telah
merasa saling jatuh hati. Dan mereka berencana meningkatkan hubungan ke tali pernikahan.
Hubungan kedua insan yang saling mencintai itu akhirnya diketahui oleh sang Adipati. Maka dia
menjadi murka.
“dia hanya seorang batur..! Sedangkan dirimu seorang raden, putri seorang Adipati. Kau tak
boleh menikah dengannya, anakku..!” kata sang Adipati
Mendengar kata-kata ayahnya sang putri sangat sedih hatinya. Apalagi ketika mendengar kabar
bahwa Suta dimasukan penjara bawah tanah oleh sang Adipati. Kesalahan Suta ialah karena dia
berani melamar putri seorang Adipati, yang berbeda derajat dan martabatnya diantara mereka.
Didalam penjara, Suta tidak diberi makan dan minum, bahkan ruang penjaranya digenangi air
setinggi pinggang. Akibatnya Suta terserang penyakit demam. Mendengar kabar keadaan Suta,
sang putri bertekad membebaskan kekasihnya itu.
“emban, aku harus bisa membebaskan kang Suta, kasihan dia. Dahulu dia telah menolong saya,
aku telah berhutang nyawa kepadanya. Bantulah aku emban,” kata sang putri kepada
pengasuhnya.
Pengasuh itu mengetahui perasaan putri ndaranya itu. Dia juga iba mendengar keadaan Suta
yang sakit dipenjara. Maka pengasuh perempuan itu diam-diam menyelinap di penjara bawah
tanah. Dan akhirnya ia berhasil membebaskan pemuda malang itu, dan dibawanya ke suatu
tempat. Disana sang putri telah menunggu dengan seekor kuda. Kemudian dengan
menunggang seekor kuda, mereka berboncengan pergi meninggalkan Kadipaten. Dalam
perjalanan, keduanya menyamar sebagai orang desa, sehingga tak dikenali orang.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh, sampailah keduanya di tepi sebuah sungai,
mereka beristirahat sejenak. Sang Putri merawat Suta yang masih sakit.
Berkat kesabaran dan ketelatenan sang putri merawat Suta dan beberapa hari kemudian
pemuda itu akhirnya sembuh seperti sediakala.
Karena tempat mereka berhenti itu dirasa cocok bagi mereka. Maka keduanya memutuskan
untuk menetap disana. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama BATURADEN (yang berarti
Batur dan Raden).
Baturaden sampai sekarang menjadi tempat wisata yang cukup menarik dan banyak dikunjungi
orang. Tempat itu terletak di kaki gunung slamet Purwokerto, Jawa Tengah.
Ing jaman mbiyen, nang salah siji Kadipaten urip rencang (batur) sing nduwe
jeneng Suta. Gaweane Suta saben dina yaiku ngopeni jaran sang Adipati. Sawise rampung
nyambut gawe, biyasane Suta mlaku-mlaku ing jejer Kadipaten.
Nalika sore, kaya biyasane Suta nembe mlaku-mlaku ing jejer nggon adhus sing jenenge
taman sari. Dumadakan Suta kaget dening ana jeritan wong wadon. Suta terus nggoleti saka
endi asale jeritan mau.
Akhire Suta teka ing jejer wit gedhe. Suta ndeleng putri Adipati njerit-jerit nang ngisor wit. Ing
jejere ana ula gedhe agi nggelantung, tutuke ula mau mangap arep mangan putri sing keweden
mau. Suta uga wedi ndeleng ula gedhe mau. Nanging amarga melas ndeleng putri Adipati
njerit-jerit nganti pucet, Suta banjur njimot pring gedhe lan ula mau digebuk maring Suta nganti
mati.
“Maturnuwun Suta kowe wis nulungi aku,” putri Adipati ngendika senajan gemeteran.
“Menika sampun dados jejibahan kawula, Tuan Putri. Hamba yaiku abdi Kadipaten, ingkang
salajeng jagi ngorbanaken jiwa kangge kasugengan tuan putri,” wangsulan Suta.
Putri Adipati banjur dituntun Suta maring Kadipaten.
Sawise kedadeyan mau. Putri Adipati dadi tambah akrab karo Suta. Loro-lorone malah uga dadi
seneng-senengan. Malah loro-lorone arep nerusake nganti raben.
Hubungane putri kaliyan Suta dirungokake dening sang Adipati. Adipati dados murka.
“Suta iku mung batur! Lha kowe kan raden, putrine Adipati. Kowe ora oleh mbojo karo batur,
putriku..” tembung Adipati
“emban, Kula musti bisa mbebasaken kang Suta. Rumiyin Suta sampun nulung kula, kula
sampun ngampil nyawa dhateng Suta. Tulung kula emban,” tembung Putri maring rencange.
Rencang iku ngerti rasane sang Putri. Rencang iku uga iba krungu Suta lara ing penjara.
Rencang mau banjur mendel-mendel mlebet menyang penjara. Lan akhire rencang mau
mbebasake Suta lan banjur digawa menyang nggon sing adhoh. Ing nggon iku wis ana Putri
sing ngenteni karo numpak jaran.
Banjur loro-lorone lunga numpak jaran mau. Ing dalan, Putri lan Suta nyamar dadi wong desa
mene masyarakat ora ngerti. Sawise lunga menyang nggon sing luwih adhoh, loro-lorone leren
ing jejer kali lan Putri nulungi Suta sing agi lara.
Amarga Putri sabar nalika ngopeni Suta sing lara, sesuke Suta banjur mari saka penyakite.
Lan amarga nggon iku sreg neng atine wong loro mau, dadi Putri lan Suta banjur nggawe omah
neng nggon iku. Nggon iku banjur diwenehi jeneng BATURADEN (sing artine Batur lan Raden).
Baturaden nganti saiki dadi nggon wisata sing apik lan akeh wong utawa wisatawan sing padha
teka menyang kono. Nggon iku ana neng Gunung Slamet Purwokerto, Jawa Tengah.