DAN
TARI NON DRAMATIK
Disus
un
Oleh
:
KELAS X-2
1.
TARI DRAMATIK
Tari dramatik adalah tari yang menceritakan suatu kisah, baik yang dilakukan
oleh seoarang penari ataupun oleh beberapa orang penari.
Berikut ini adalah contoh tari dramatik :
Wayang lain yang sifatnya monggawa yang biasa ditampilkan dalam tarian yang
utuh adalah Raja Danawa yang sedang gandrung. Di antaranya adalah Niwatakawaca,
Raja Negara Manimantaka, yang menggandrungi bidadari Supraba yang ada di
Swargaloka. Dalam tariannya ia digambarkan sedang berpakaian, membenahi diri, karena
membayangkan akan bertemu dengan Dewi Supraba. Lalu ia membayangkan melihatnya
dan memburunya untuk dipeluk olehnya, akan tetapi kenyataannya hanya dalam bayangan
saja.
Ada pula tokoh Ksatria yang ditampilkan dalam tarian yang utuh, yaitu Adipati
Karna yang dikenal sebagai ksatria yang gagah berani dalam membela negara Astina.
Nampak dalam tarian itu ia membenahi dirinya untuk bersiap siaga tidak ada yang
ditakutinya, tanpa latar belakang suatu kisah pribadinya tapi tariannya memberi kesan
ksatria yang Pinilih Tanding (tanpa tandingan).
Waditra untuk mengiringi pertunjukan wayang orang terdiri dari satu gamelan
lengkap yang dipimpin oleh seorang dalang yang juga menyanyikan Kakawen, Murwa
atau Suluk. Sedang wayangnya bicara sendiri yang disebut antawacana. Akan tetapi, lebih
lengkap lagi kalau ada pesinden yang menyertai, terutama untuk mendukung suasana
tertentu dengan nyanyiannya, umpamanya adegan sedih.
Sementara itu, para nayaga diharapkan dapat mendukung dengan tabuhannya
maupun senggaknya, sehingga hal itu dapat membuat suasana menjadi riuh pada adegan
pertarungan umpamanya, yang biasanya diisi dengan Tarian Tarung dalam bentuk yang
utuh. Di sini lagu yang dibawakan adalah lagu Sireum Beureum untuk adegan tarung para
ksatria, sedangkan untuk adegan pertarungan tokoh monggawa digunakan lagu Bendrong.
Walaupun pentas dan perlengkapannya meniru gaya teater modern Barat, tetapi
gaya mainnya adalah asli daerah, terlihat dalam hal permainan yang tidak dipimpin oleh
sutradara, meskipun ada pimpinan yang lebih umum sifat pimpinannya. Selain itu, dialog
yang digunakan tidak menurutkan naskah yang tertulis untuk dihapalkan, tetapi lebih
banyak dibawakan sendiri sesaat ketika berada di atas pentas atau improvisasi, walaupun
ada dialog tertentu yang sudah menjadi baku dan telah menjadi pakem. Dahulu dialogdialog itu diucapkan oleh dalang, sedangkan para pemain hanya menggerakkan tangannya
seolah-olah ia berbicara. Akan tetapi, kini dalam pentas wayang orang Sunda yang juga
biasa disebut sandiwara wayang, dialog diucapkannya sendiri.
Sekarang, gaya bicara yang seharusnya dilakukan dengan lagak lagu wayang,
ternyata bercampur dengan gaya sandiwara yang agak lain gayanya, malah seolah-olah
seperti gaya bicara biasa. Mungkin hanya tokoh Panakawan saja yang sebagai pelawak
dari dulu menggunakan gaya keseharian dalam bicara. Tokoh panakawan wayang orang
sama dengan pada wayang golek, yaitu Semar, Cepot, Gareng dan Dawala. walau gaya
bicaranya gaya bicara keseharian, namun masing-masing memiliki ciri bicara sendiri.
Umpamanya Semar sebagai ayah, biasanya ia menggunakan gaya berlagu tertentu, Cepot
gaya bicaranya khas Sunda pedesaan dan tentu saja agak jenaka karena suka membelok
kesana kemari, Dawala gaya bicaranya seperti orang yang gugup agak lamban dan cadel
sedang Gareng gaya bicaranya tegas tetapi agak kejawa-jawaan dan ceplas ceplos.
Dahulu rombongan wayang orang dimiliki oleh seorang dalang yang sekaligus
membiayai segalanya. Pemainnya tak hanya pemain profesional, tetapi juga ditambah
dengan yang masih amatir sebagai pemain sambilan. Selanjutnya, bantuan diberikan juga
oleh satu atau dua sponsor yang membantu pembiayaan, jadi tidak ada lembaga seperti
Keraton atau Kabupaten (kabupatian) yang mensponsorinya. Akan tetapi, pernah wayang
orang secara sporadis dibiayai oleh Kabupaten dalam menghadapi suatu pementasan
untuk meramaikan peristiwa tertentu, di antaranya semasa Bupati Panyelang Bandung,
R.A.A Martanagara, yang mementaskan wayang orang Ramayana. Kemudian Bupati
Bandung R.A.A.M. Muharam Wiranatakusumah yang mensponsori pementasan wayang
orang Laraskonda. Pada saat itu para tokoh tari Sunda dikumpulkan.
Pada tahun 60-an, Persatuan Padalangan Jawa Barat (PPJB) di Bandung pernah
mengadakan pementasan wayang orang yang sebagaian besar dimainkan oleh para
dalang. Pementasan tersebut sungguh sangat mengesankan, antawacananya dibawakan
dengan sangat mahir dan tariannya dibawakan oleh Mang Olas (Eon Muda) sebagai
pmeran tokoh Baladewa dengan sangat mempesona.
Disamping pementasan wayang orang di atas, ada pula pementasan wayang orang
yang dimainkan oleh anak-anak anggota perkumpulan Sekar Binangkit di bawah
pimpinan Abah Kayat, seorang seniman terkenal dari Babakan Tarogong. Ternyata mereka
dapat menyajikan pentas wayang orang yang menjanjikan, di antaranya dalam tata rias
muka mereka merujuk kepada wayang golek termasuk Panakawannya.
Pada tahun 1957, Daya Mahasiswa Sunda (Damas) melakukan pemugaran wayang
orang gaya Sunda yang mereka sebut sandiwara wayang yang dipimpin oleh R. Sambas
Wirakusumah pimpinan Perkumpulan Wirahma Sari dari Rancaekek sebagai tokoh
yang pernah menekuni wayang orang pada zaman sebelum kemerdekaan. Bahkan
beliaulah yang menjadi pemeran Laraskonda sewaktu pementasan wayang orang di
Pendopo Kabupaten Bandung pada zaman Bupati Wiranatakusumah. Pemugaran wayang
orang itu mengambil cerita Jabang Tutuka yaitu tentang lahir dan tumbuhnya pahlawan
Gatotkaca, ksatria Pringgandani. Para pemainnya selain para mahasiswa juga ada yang
dari Rancaekek yaitu dari Perkumpulan Wirahma Sari.
Rombongan sandiwara yang ada di Bandung juga pernah tersaksikan mementaskan
sandiwara wayang yang permainannya cukup lumayan serta mereka mampu bermain
secara beruntun walaupun pemainnya hanya sambilan orang. Perlu dicatat, para pemain
sandiwara di Jawa Baratmemang sebagian besar pemain sambilan. Di antara mereka ada
yang mempunyai pekerjaan tetap di samping sebagai pemain sandiwara yang cukup
meyakinkan. Disayangkan memang, rupanya orang Sunda tidak begitu menyenangi
pementasan sandiwara wayang dibandingkan dengan kegemaran mereka menonton
wayang golek. Tetapi, kalau sandiwara cerita lain, seperti cerita dari wawacan De Sheik
(cerita Seribu Satu Malam) dan lakon biasa keseharian yang disebut drama, maka akan
lebih banyak penontonnya.
Salah satu
tokoh pertunjukan
tari wayang
orang..
Tari Langendriyan
(Surakarta)
Langendriyan adalah salah satu genre seni tari yang dialog antarpemainnya
menggunakan tembang. Ceritanya pun khusus, yakni masa kerajaan Majapahit saat
diperintah oleh Ratu Ayu Kenconowungu.
Langendriyan adalah tradisi Jawa; sebuah seni drama tari. Dipentaskan dengan
menggabungkan bunyi, narasi, gerakdan mimik muka. Langendriyan ini sangat jarang
dipentaskan; salah satunya dikarenakan tuntutan peran peraga yang tidak hanya harus
luwes menari, namun juga harus bisa melagukan dialog (antawecana) secara spesifik
nembang Macapat Tengahan serta kuat dalam penghayatan tokoh. Sangat sulit.
Salah satu ciri dari Langendriyan ini adalah selama pementasannya tari tidak
dilakukan dengan berdiri utuh namun dengan berjongkok dan sesekali bertumpu pada
lutut. Bisa dibayangkan bagaimana menari ini membutuhkan stamina dan fisik yang luar
biasa.
Namun boleh jadi masih banyak yang belum tahu, kesenian tersebut berawal dari
kebiasaan perempuan buruh batik yang senang melantunkan lagu-lagu macapat.
Inilah di antaranya yang membedakan langendriyan gaya Solo dengan gaya Yogyakarta.
Terutama dengan sejarah dan pelaku penarinya.
Dalam buku Langendriyan Mangkunegaran: Pembentukan dan Perkembangan
Bentuk Penyajiannya, sejarah itu terungkap. Menurut Prof Dr RM Soedarsono,
langendriyan memang berawal dari rumah pembuatan batik. Tepatnya di rumah Tuan
Godlieb, pengusaha batik besar yang dulu begitu dikenal di Solo.
Para perempuan itu memang ditampung di rumah Tuan Godlieb yang cukup besar.
Di tempat itulah mereka biasa melantunkan tembang macapat, ujar Soedarsono, dalam
buku tersebut.
Mengundang Pakar Ketika itu, sekitar tahun 1870-an, Tuan Godlieb kemudian
mengundang pakar tari Mangkunegaran pada masa Mangkunagoro IV, Raden Mas Harya
Tandakusuma. Dia memohon agar kebiasaan para pembatik itu bisa dijadikan sebagai seni
pertunjukan. Kebetulan waktu itu di Yogyakarta sedang muncul genre baru tari opera
langendriya. Maka atas dasar itu, Tandakusuma kemudian menyanggupi permintaan
pengusaha batik tersebut, ujar Soedarsono pula.
Dia kemudian membuat naskah tembang macapat yang memuat cerita tentang
Damarwulan. Lalu naskah tembang macapat yang kemudian diberi nama Langen
Mandraswara itu dipentaskan oleh para pembatik. Pertunjukan inilah yang jadi cikal bakal
lahirnya langendriyan.
Namun dalam perkembanganya kemudian, untuk penguatan ekspresi pemainnya,
disusun pula gerakan-gerakan menari. Sekarang, karena banyaknya gaya tari yang ada di
Surakarta, kemudian muncul pula gaya langendriyan yang berbebeda pula. Di antaranya
gaya Mangkunegaran, gaya SMKI Surakarta, dan gaya ISI Surakarta.
Kepatihan Danurejan
Langen Mandra Wanara diciptakan dan dikembangkan oleh Patih (menteri pertama)
Danurejo VII dari Yogyakarta pada akhir abad ke-19. Ini menjadi tarian klasik yang
dikembangkan di luar dinding (Sultan Palace) kraton. Danurejo adalah nama resmi dari
Patih setiap, yang diberikan oleh Sultan Yogyakarta, setiap Sultan digunakan untuk
memiliki sebuah Patih. Posisi ini dihentikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Patih Danurejo Patih pertama saya diangkat oleh Sultan Hamengku Buwono I. Dia
adalah pendukung setia dan brilian Sultan Hamengku Buwono I, bahkan sebelum
pembentukan Kesultanan Yogyakarta pada 1749. Karena kesetiaan dan keberaniannya, dia
diberikan posisi sebagai patih. Ia diberi tempat tinggal yang bermartabat dan kantor
berlokasi di pusat kota (Malioboro ini jalan). Gedung ini dipanggil untuk hadir saat
Kepatihan Danurejan, berarti Patih Danurejo kantor. Sejak kemerdekaan negara itu adalah
kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Apresiasi Seni
Karena Patih posisi tinggi, Patih dalam banyak kesempatan memegang fungsi sendiri
sosial dengan restu dari Sultan tentu saja. Hal ini mudah dipahami bahwa seni juga
dikembangkan, jenis baru yang diciptakan antara lain Mandra Wanara Langen tersebut.
Kantor Patih (Kepatihan) telah penari sendiri, pemain gamelan penyanyi, dll
Beberapa dari mereka memiliki nama besar dalam seni. Langen Mandra Wanara menjadi
tari opera terkenal, dihargai oleh masyarakat di luar tembok kraton, bahkan di luar
wilayah Yogyakarta. Beberapa organisasi juga dilakukan tarian jenis tarian baru opera.
Sendratari Ramayana
(Drama dalam
Sendratari Ramayana adalah seni pertunjukan yang cantik, mengagumkan dan sulit
tertandingi. Pertunjukan ini mampu menyatukan ragam kesenian Jawa berupa tari, drama
dan musik dalam satu panggung dan satu momentum untuk menyuguhkan kisah
Ramayana, epos legendaris karya Walmiki yang ditulis dalam bahasa Sanskerta.
Kisah Ramayana yang dibawakan pada pertunjukan ini serupa dengan yang terpahat
pada Candi Prambanan. Seperti yang banyak diceritakan, cerita Ramayana yang terpahat
di candi Hindu tercantik mirip dengan cerita dalam tradisi lisan di India. Jalan cerita yang
panjang dan menegangkan itu dirangkum dalam empat lakon atau babak, penculikan
Sinta, misi Anoman ke Alengka, kematian Kumbakarna atau Rahwana, dan pertemuan
kembali Rama-Sinta.
Seluruh cerita disuguhkan dalam rangkaian gerak tari yang dibawakan oleh para
penari yang rupawan dengan diiringi musik gamelan. Anda diajak untuk benar-benar larut
dalam cerita dan mencermati setiap gerakan para penari untuk mengetahui jalan cerita.
Tak ada dialog yang terucap dari para penari, satu-satunya penutur adalah sinden yang
menggambarkan jalan cerita lewat lagu-lagu dalam bahasa Jawa dengan suaranya yang
khas.
Cerita dimulai ketika Prabu Janaka mengadakan sayembara untuk menentukan
pendamping Dewi Shinta (puterinya) yang akhirnya dimenangkan Rama Wijaya.
Dilanjutkan dengan petualangan Rama, Shinta dan adik lelaki Rama yang bernama
Laksmana di Hutan Dandaka. Di hutan itulah mereka bertemu Rahwana yang ingin
memiliki Shinta karena dianggap sebagai jelmaan Dewi Widowati, seorang wanita yang
telah lama dicarinya.
Untuk menarik perhatian Shinta, Rahwana mengubah seorang pengikutnya yang
bernama Marica menjadi Kijang. Usaha itu berhasil karena Shinta terpikat dan meminta
Rama memburunya. Laksama mencari Rama setelah lama tak kunjung kembali sementara
Shinta ditinggalkan dan diberi perlindungan berupa lingkaran sakti agar Rahwana tak bisa
menculik. Perlindungan itu gagal karena Shinta berhasil diculik setelah Rahwana
mengubah diri menjadi sosok Durna.
Di akhir cerita, Shinta berhasil direbut kembali dari Rahwana oleh Hanoman, sosok
kera yang lincah dan perkasa. Namun ketika dibawa kembali, Rama justru tak
mempercayai Shinta lagi dan menganggapnya telah ternoda. Untuk membuktikan
kesucian diri, Shinta diminta membakar raganya. Kesucian Shinta terbukti karena raganya
sedikit pun tidak terbakar tetapi justru bertambah cantik. Rama pun akhirnya
menerimanya kembali sebagai istri.
Anda tak akan kecewa bila menikmati pertunjukan sempurna ini sebab tak hanya
tarian dan musik saja yang dipersiapkan. Pencahayaan disiapkan sedemikian rupa
sehingga tak hanya menjadi sinar yang bisu, tetapi mampu menggambarkan kejadian
tertentu dalam cerita. Begitu pula riasan pada tiap penari, tak hanya mempercantik tetapi
juga mampu menggambarkan watak tokoh yang diperankan sehingga penonton dapat
dengan mudah mengenali meski tak ada dialog.
Anda juga tak hanya bisa menjumpai tarian saja, tetapi juga adegan menarik seperti
permainan bola api dan kelincahan penari berakrobat. Permainan bola api yang menawan
bisa dijumpai ketik Hanoman yang semula akan dibakar hidup-hidup justru berhasil
membakar kerajaan Alengkadiraja milik Rahwana. Sementara akrobat bisa dijumpai
ketika Hanoman berperang dengan para pengikut Rahwana. Permainan api ketika Shinta
hendak membakar diri juga menarik untuk disaksikan.
Di Yogyakarta, terdapat dua tempat untuk menyaksikan Sendratari Ramayana.
Pertama, di Purawisata Yogyakarta yang terletak di Jalan Brigjen Katamso, sebelah timur
Kraton Yogyakarta. Di tempat yang telah memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia
(MURI) pada tahun 2002 setelah mementaskan sendratari setiap hari tanpa pernah absen
selama 25 tahun tersebut, anda akan mendapatkan paket makan malam sekaligus melihat
sendratari. Tempat menonton lainnya adalah di Candi Prambanan, tempat cerita
Ramayana yang asli terpahat di relief candinya.
Langen Mondro Wanoro adalah suatu jenis kesenian tradisional yang menyerupai
wayang orang, akan tetapi berbeda dalam dialog dan tariannya. Ceritera yang dipentaskan
bersumber pada kitab Ramayana dan satu pertunjukan hanya mengambil bagian-bagian
tertentu saja dari kitab tersebut, misalnya Rahwono Gugur, Anggodo Duto dan
sebagainya.
Kesenian ini biasanya diadakan untuk keperluan upacara - upacara perkawinan,
memperingati hari besar, dan lain-lain, yang sekarang sedikit demi sedikit mengalami
perubahan dalam bentuk penyajiannya.
Untuk sebuah pementasan Langen Mondro Wanoro dibutuhkan pendukung sebanyak
45 orang yang terdiri dari pria dan wanita, yaitu 30 orang sebagai pemain, 13 orang
sebagai penabuh gamelan, satu orang sebagai waranggana dan satu orang sebagai dalang.
Fungsi dalang dalam pertunjukan ini sama dengan fungsi dalang dalam wayang orang,
yaitu sebagai pengatur laku dan membantu aktor dalam penyampaian ceritera dengan
melakukan monolog atau suluk.
Kostum dan make up yang dipakai juga mengikuti patron wayang kulit. Dalam
menyampaikan ceritera para pemain menggunakan dialog yang dilakukan dengan
nembang (menyanyi) sedangkan aktivitasnya di panggung diwujudkan melalui tarian
yang dilakukan dengan jengkeng (berdiri di atas lutut).
Pertunjukan Langen Mondro Wanoro ini menggunakan konsep pentas yang
berbentuk arena dan biasanya dilakukan di pendopo. Sebagai alat penerangan kini sudah
dipergunakan petromak.
Alat musik yang dipakai adalah gamelan Jawa lengkap yaitu pelog dan slendro, atau
slendro
saja.
Pertunjukan dilakukan pada waktu malam hari selama 7 jam sebelum permainan
dimulai biasanya didahului oleh pra-tontonan yang berupa tetabuhan atau tari-tarian.
Gambar diatas adalah tokoh Anjasamara dalam legenda Ande- Ande Lumut
Gambar