Wong Banten kudu kesengsem ngagurat tapak leluhur Banten. Aje sampe udan guru
banjir ilmu tapi sing salah dadi kaprah sing bener ore lumrah. Wong Banten sing iget yen
bodo kudu weruh kapan pinter aje keblinger.
Tulisan diatas adalah himpunan dari tulisan babad Banten yang dihimpun dari ceita rakyat
yang berkembang secara turun temurun yang menunjukkan semangat untuk tetap melestarikan budaya
leluhur. Mendorong masyarakat Banten untuk mengejar ilmu setinggi-tingginya tapi tetap dengan
landasan keimanan dan hati nurani supaya ketika menjadi pintar tidak menindas yang lemah dan
menghalalkan segala cara dengan kepintarannya. Dengan semangat yang disarikan tulisan babad
diatas itu pula Perguruan Pencak Silat Bandrong mencanangkan “Deklarasi Perguruan Pencak Silat
Bandrong” di Pulokali Bojonegara, Serang Barat, tanah kelahiran dan tempat berkembang perguruan
silat tersebut sampai saat ini. Pencak Silat Bandrong adalah seni beladiri tertua asli Banten bersamaan
dengan Pencak Silat Terumbu yang diturunkan oleh Ki Beji yang berasal dari salah satu lereng
Gunung Santri, Bojonegara (Kabupaten Serang, Banten). Keberadaannya disinyalir sejak sebelum
berdirinya kerajaan Banten (1525 M).
Alkisah pada masa sebelum kesultanan Banten, di salah satu lereng Gunung Santri diujung Kali Capit
(sekarang kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang) telah menetap seorang sesepuh yang bernama
Ki Beji alias Syekh Abdul Khofi yang bernama asli Ki Agus Jo. Ki Beji mengajarkan agama islam
kepada santri dan murid-murid. Beliau juga mengajarkan jurus-jurus silat ditempat beliau bermukim
yaitu gunung bongkok, Sumurpitu. Diantara murid beliau dua orang murid utamanya adalah Ki Sarap
(Ki Asyraf) dan Ki Ragil yang berasal dari kampung Gudang Batu Waringin Kurung.
Pada suatu hari Ki Beji berjalan-jalan menyusuri pesisir sampai dengan Karanghantu untuk
mencari ikan. Di suatu tempat Ki Beji secara tidak sengaja melihat seorang puteri yang sedang mandi
diantara terumbu karang di Karanghantu, dan pakaian puteri tersebut tersampir dibebatuan karang.
Dalam kebimbangannya Ki Beji pun mengambil pakaian sang puteri tersebut. Dan ternyata wanita
tersebut adalah puteri dari negeri bangsa jin, yang tidak dapat kembali ke alamnya dikarenakan
pakaiannya telah diambil oleh Ki Beji. Ahirnya dalam kesepakatan mereka berdua, Ki Beji akan
mengembalikan pakaian apabila sang puteri bersedia menikah dengannya. Ahirnya Ki Beji menikah
dengan puteri jin yang diberi nama Siti Chodijah dan menetap di suatu kampung yang sekarang ini
dikenal sebagai Kampung Terumbu. Dari perkawinannya tersebut Ki Beji dikaruniai tiga orang anak,
dua laki-laki dan satu perempuan, yaitu Tanjung Anom (anak pertama), Tanjung Rasa (anak kedua),
dan anak ketiga Siti Badariyah atau Nyi Melati. Anak yang ketiga inilah yang dipersunting Sultan
Hasanudin menjadi istrinya dikemudian hari. Di kampung terumbu inilah ahirnya Ki Beji
menghabiskan hidupnya sambil mengajarkan ilmu silat Bandrong. Sebelum ajalnya beliau berpesan
agar tempat asal beliau yaitu di lereng Gunung Santri di ujung kali Capit untuk diberi nama Kampung
Beji. Jadi pencak silat yang dikembangkan di Terumbu dan Beji (daerah sekitar Bojonegara) berasal
dari satu guru yaitu Ki Beji.
Perkembangan silat Bandrong di daerah Bojonegara dilakukan oleh dua orang kakak
beradik yaitu Ki Sarap (Ki Asyraf) dan Ki Ragil. Dikisahkan pada saat kesultanan Banten sudah
berdiri dengan sultannya Maulana Hasanudin, terjadi perselisihan antara senopati kerajaan yang
bernama Ki Semar dengan Ki Sarap. Bentrokan fisik tidak dapat dihindari dari perselisihan ini. Di
satu tempat antara Balagendong dan Kampung Kemuning, keduanya mengadu ketangkasan dan
kesaktian ilmu silatnya. Dikarenakan mereka berdua sama – sama kuat, tangkas dan sakti kanuragan,
perkelahian itu berlangsung sejak sebelum dzuhur sampai sore menjelang magrib. Ki Sarap telah
mengeluarkan seluruh kemampuan silat Bandrong, semua jurus, kelit, seliwa kurung, lima pukul,
sepak kombinasi, sodok dan seribu satu langkah telah dikeluarkannya. Tapi Ki Semar juga sama
tangguhnya. Pada ahirnya pertarungan dapat disudahi oleh Ki Sarap dengan berhasil memenggal
kepala Ki Semar dengan menggunakan golok pemberian Ki Ragil kakanya.
Peristiwa terbunuhnya Ki Semar oleh Ki Sarap membuat marah Sultan Hasanudin. Ahirnya
Ki Sarap pun ditangkap pihak kerajaan dan dijatuhkan hukuman mati di tiang gantungan. Tapi ahirnya
atas usulan sang permaisuri dengan pertimbangan bahwa pertarungan itu adalah karena membela diri,
bukan semata-mata karena pembunuhan. Dan juga dengan pertimbangan kerajaan membutuhkan
orang-orang gagah berani, kuat dan berilmu silat tinggi, ahirnya Ki Sarap bebas dari semua hukuman
dengan lolos dari ujian yang diberikan oleh Sultan Hasanudin terlebih dahulu. Dengan kesaktian dan
ketinggian ilmunya tersebut Ki Sarap menggantikan posisi Ki Semar sebagai seorang senopati.
Kemudian Ki Sarap diberi gelar kehormatan yaitu ” SENOPATI NURBAYA ”.
Senopati Nurbaya yang kemudian dikenal Ki Urbaya menjalankan tugas utamanya untuk
mengamankan wilayah laut jawa terutama teluk banten dan pelabuhan Karanghantu. Beliau
bermarkas di ” BOJO – NAGARA ” untuk menghadapi para bajak laut yang mereka sebut BAJAG –
NAGARA, para bajak laut itu bermarkas di Tanjung. Karena tugasnya selalu menjaga laut, akhirnya
nama Ki Sarap lebih populer dengan gelarnya : ”KI JAGABAYA” atau ”KI JAGA LAUT”. Saat
usianya menjelang senja, Ki Patih Nurbaya menyadari tentang pentingnya kaderisasi atau generasi
penerus. Beliau berniat menurunkan ilmunya terutama ketangkasan khusus yaitu ilmu beladiri ”
Pencak Silat Banten” yang disebutnya ” Bandrong” , ilmu itu secara khusus diturunkan kepada putra
Sultan Maulana Hasanudin, selanjutnya para punggawa dan prajurit serta murid – muridnya yang
berada di Pulokali dan Gudang batu Waringin Kurung.
Selanjutnya pendidikan ketangkasan dan kedigjayaan itu dipusatkan di Pulokali dan dibina
langsung oleh kedua kakak beradik Ki Sarap dan Ki Ragil. Disanalah mereka berdua menghabiskan
masa tuanya, kemudian setelah dipangil menghadap Yang Maha Kuasa, mereka berdua dimakamkan
di pemakaman umum di daerah Kahal wilayah Kecamatan Bojonegara. Hingga sekarang tempat itu
dikenal dengan sebutan ” MAKAM KI KAHAL” dan alhamdulillah sampai sekarang banyak
masyarakat yang datang mengziarahinya terutama para pesilat Bandrong yang saat ini sudah
menyebar di lima propinsi di Indonesia.
Mengingat kesetiaan masyarakat di kawasan Gunung Santri, Gudang Batu, dan Pulokali terhadap
Kesultanan Banten, maka diresmikanlah Bojonegara artinya Bojone Negara ( istri negara ).
Sedangkan silat asli Banten diberi nama BANDRONG, diambil dari nama jenis ikan terbang yang
sangat gesit dan dapat melompat tinggi, jauh, atau dapat menyerang keras dengan moncongnya yang
sangat panjang dan bergerigi tajam sekali, sehingga ia merupakan ikan yang sangat berbahaya, sekali
serang dapat membinasakan musuhnya. Ki Patih Jaga Laut atau patih yang selalu melanglang buana
menjaga laut, sangat menyukai dan sering memperhatikan ikan tangkas gesit ini dan juga jangkauan
lompatan jarak jauhnya dan hal itu benar – benar mempesonanya. Sehingga akhirnya beliau
mengambil nama ikan itu untuk memberi nama ilmu ketangkasan beladiri yang dimilikinya dengan
nama ” PENCAK SILAT BANDRONG” karena tangkas dan gesit serta berbahaya seperti ikan
Bandrong.
Berdasar dari kegiatan ini Pencak Silat Bandrong ngagurat tapak
leluhur sekaligus mempersatukan diri dalam suatu wadah organisasi yang bersifat independen dan
merupakan organisasi kader. Setelah berabad-abad dilupakan orang yang bisa dibilang hidup enggan
mati tak mau, para tokoh mencanangkan unifikasi untuk bangkit, berdiri dan bergerak. Dengan
dikawal oleh tim sebelas yang terdiri dari sebelas orang tokoh-tokoh Bandrong yang tergabung dalam
tim formatur, ahirnya pada bulan Januari 2001 terbentuklah Dewan Pimpinan Pusat Perguruan Pencak
Silat Bandrong Periode Deklarasi dan Kebangkitan secara lengkap dengan susunan pengurusnya.
Bertempat di Pulokali Bojonegara menetapkan Drs KH Mansyur Muhyidin sebagai Ketua Umum dan
A Rafei Sanid sebagai Sekertaris Umum untuk periode 2001 – 2005.