Anda di halaman 1dari 3

Pengaruh Kebudayaan Hindu–Buddha di Indonesia

dalam Bidang Arsitektur


Masuknya pengaruh Hindu–Buddha turut mendorong masyarakat Indonesia mengembangkan
keterampilan dalam bidang arsitektur. Masyarakat Indonesia mengadopsi berbagai teknologi
bangunan dari India dan menerapkannya pada pembuatan candi, gapura, patung/arca, stupa, dan
keraton. Agar lebih jelas mengenai pengaruh kebudayaan Hindu–Buddha dalam seni arsitektur,
perhatikan pembahasan berikut.

1. Candi
Candi merupakan peningalan artefak
pada masa Hindu–Buddha yang masih
dapat disaksikan hingga saat ini. Candi
dibedakan menjadi dua, yaitu candi Hindu
dan candi Buddha.

Candi Hindu
• Konsep candi Hindu juga muncul dari
kata cinandi yang berarti makam. Dengan
demikian, candi Hindu merupakan tempat
pemakaman para raja atau tokoh terkenal.
• Contoh candi bercorak Hindu antara lain
candi Prambanan, Sukuh, dan Gedongsongo

Candi Gedongsongo
Fotografer: Ringo Rahata

Candi Buddha
• Candi dalam konsep Buddha
berarti tempat pemujaan terhadap
Sang Buddha.
• Contoh candi bercorak Buddha
antara lain candi Borobudur,
Mendur, Sewu, dan Plaosan.

Candi Plaosan
Fotografer: Ringo Rahata
2. Stupa
Stupa merupakan bangunan yang terdapat pada candi-candi bercorak Buddha. Stupa menjadi
ciri khas bangunan suci umat Buddha. Dalam kepercayaan agama Buddha, stupa melambangkan
nirwana. Stupa berasal dari bahasa Sanskerta yang secara harfiah berarti tumpukan atau
gundukan. Berdasarkan asal-usulnya, stupa merupakan bangunan yang digunakan sebagai
tempat abu jenazah. Para penganut agama Buddha tidak membuat patung bagi raja yang telah
wafat. Abu jenazah raja atau biksu disimpan dalam bangunan stupa.

3. Keraton
Istilah keraton memiliki kesamaan dengan kedatwan (sekarang disebut kedhaton). Istilah ini
dapat diartikan sebagai tempat kedudukan pemimpin desa yang berasal dari periode akhir
masa praaksara. Pada masa Hindu–Buddha istilah kedatwan mengalami penyesuaian dengan
konsep kerajaan sehingga menjadi keraton. Keraton berasal dari kata ”keratuan” yang artinya
tempat kediaman ratu atau raja. Dengan demikian, keraton (istana) merupakan tempat tinggal
raja dan keluarganya. Selain itu, keraton digunakan sebagai pusat pemerintahan dan budaya
sehingga dipandang sebagai lambang kekuasaan raja. Dalam perkembangannya, bangunan
keraton memiliki ciri-ciri khusus yang menjadi identitas kerajaan.
Keraton peninggalan masa Hindu–Buddha yang masih dapat ditemui pada masa kini adalah
keraton Ratu Boko. Keraton Ratu Boko terletak kira-kira 2 km sebelah selatan candi Prambanan.
Para ahli mengaitkan keberadaan keraton ini dengan raja-raja Mataram Kuno yang membangun
candi Prambanan. Bangunan ini tidak dapat disebut candi karena di sekitarnya terdapat bekas
benteng dan kanal atau selokan.

4. Gapura
Gapura merupakan bangunan berupa
pintu gerbang. Di Indonesia dikenal
dua bentuk gapura. Pertama kori agung
(gapura beratap) merupakan bangunan
seperti candi yang di tengahnya terdapat
pintu untuk keluar masuk. Contoh kori
agung adalah kompleks Ratu Boko,
candi Prambanan, dan gapura Bajang
Ratu. Kedua, candi bentar merupakan
gapura berbentuk seperti bangunan
candi yang terbelah dua. Contoh candi
bentar adalah gerbang Wringin Lawang
di Trowulan dan gerbang candi Cetho.

Gapura Wringin Lawang


Fotografer: Rudiyanto
5. Patung/ Arca
Arca adalah patung yang dibuat dari
batu dan dipahat menyerupai bentuk
manusia atau binatang. Fungsi arca antara
lain sebagai media atau perantara untuk
memuja para dewa, hiasan bangunan, dan
patung kuburan yang ditempatkan di bilik
candi.
Arca Hindu umumnya berbentuk dewa-dewi,
tokoh, dan makhluk mistik. Sebagai contoh,
patung Raja Airlangga berbentuk patung
Dewa Wisnu sedang menunggang garuda
dan patung Ken Dedes dalam wujud Dewi
Prajnaparamita.

Patung Airlangga
Sumber: Otto Sukatno/Nusamedia/2018

Bentuk arca Buddha mewujudkan Sang


Buddha Gautama.
Patung Buddha biasanya diwujudkan
dalam berbagai posisi, misalnya sikap
dhyana-mudra, yaitu sikap tangan sedang
bersemadi dan sikap waramudra, yaitu
sikap tangan sedang memberi anugerah.
Arca Buddha
Sumber: Bambang Budi Utomo/Yayasan Pustaka Obor Indonesia/2016

Anda mungkin juga menyukai