Anda di halaman 1dari 5

Prasasti Batu Pait

Batu prasasti ini merupakan peninggalan kerajaan Mulawarman pada zaman Hindu. Batu ini
terdapat di desa Pait, kecamatan Nanga Mahap. Pada permukaan batu terlihat relief tumbuhan
dan pedang yang melambangkan kesuburan, kerukunan dan perdamaian. Terdapat huruf-huruf
Palawa yang dipercaya telah ada sejak tahun 1856. Objek bersejarah ini ditemukan di desa Pait,
kecamatan Nanga Mahap, 80 kilometer dari kota Sanggau. Miniatur prasasti ini juga terdapat di
Museum Negeri Pontianak.

Duduk di anak tangga depan Galeri Keramik. Tampak replika Prasasti Batu Pahit abad
kesembilan di halaman belakang. Ditemukan di Desa Pahit, Kecamatan Nanga Mahap,
Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Isi prasasti berupa Catvari Aryasatyani (Empat
Kesunyataan Mulia) yaitu ajaran Buddha mengenai eksistensi penderitaan, sebab penderitaan,
akhir penderitaan, jalan menghentikan penderitaan melalui Delapan Jalan Utama. Tiga
diantaranya adalah ucapan benar, perbuatan benar, mata pencarian benar.

Beberapa fasilitas mencakup pagar, atap serta toilet merupakan bentuk perhatian pemerintah
kabupaten. Kekurangan senantiasa ada, terutama infrastruktur jalan. Karenanya sulit untuk
menjadi objek tujuan wisata dalam skala massal. Hanya sepeda motor yang menjadi alat
tranportasi andalan menuju lokasi Batu Bertulis di Dusun Pait, Dusun Sebabas, Kecamatan
Nanga Mahap yang berjarak sekitar 65 kilometer dari ibukota kabupaten. Pengunjung juga
kesulitan bersantai duduk seraya menikmati kesakralan batu bertulis.

Lokasi pulau Kalimantan yang dulunya berada di wilayah rute perdagangan Perairan Selat
Malaka dan Laut Cina Selatan telah memungkinkan mobilitas dalam bidang ekonomi, politik,
dan juga pertukaran budaya. Beberapa data arkeologi mengindikasikan bahwa daerah ini
mendapat pengaruh budaya India sejak abad 4 M, yaitu sejak kerajaan yang bercorak Hindu di
Kutai, Kalimantan Timur (Sumadio, 1993: 31). Data arkeologi lainnya yang menunjukkan proses
Kalimantan ke dalam wacana klasik contohnya kedatangan beberapa patung dewa Hindu di Gua
Gunung Kombeng-Kutai (Kusmartono, 2000: 22), Candi Agung dan Candi Laras di Kalimantan
Selatan (7 M) (Nastiti, 1998: 27-28). Khususnya di Kalimantan juga ditemukan beberapa
peninggalan arkeologi yang mempunyai corak Hindu-Budha, (7 M) dan Praasti Batu Sampai
(Sukarto, 1994: 1-2; Utomo, 2007: 39-42).
Penemuan lainnya yaitu patung nandi (Utomo, 2007: 46-49). Melihat persebaran data yang ada,
masih dimungkinkan banyaknya data yang belum digali sehubungan dengan kondisi alam di
Kalimantan.
Kalimantan dalam berita-berita China (Tai ping huan yu chi) disebut dengan istilah Chin li pi
shih. Lebih jelasnya lagi, Moens mengidentifikasi bahwa wilayah ini dianggap debagai bagian

kerajaan Wijaya Pura (Wolters, 1974; 174-175). Bahkan dalam berita China tidak disebutkan
adanya utusan ke daerah Cina walaupun sangat memungkinkan karena pada abad 6 M telah
terjalin hubungan yang saling menguntungkan (Utomo, 2007: 5-6).
Gejala Pengaruh Sriwijaya di Kalimantan sebagai Dasar Data Arkeologi
Budhisme di Kalimantan mulai ada sejak pertengahan abad ke 7 M. Kondisi ini ditandai dengan
penemuan prasasti Batu Pait yang berhubungan dengan 7 unit dari relief stupa batu. Prasasti ini
memuat angka 578 Saka (656 M) dan terdiri dari ye-te yaitu sebuah mantra sakral Budhisme
(Atmodjo, 1994 : 1-2 ; Utomo, 2007 : 39-42). Beberapa tanda keberadaan Budhisme di
Kalimantan juga terlihat pada penemuan patung-patung Budha yang terbuat dari logam di
wilayah Kalimantan Barat, walaupun demikian, penemuan tersebut tidak memiliki konteks yang
jelas. Patung-patung tersebut sekarang disimpan di British Museum, London. Study dasar
ikonografi pada patung-patung Budha diyakini oleh para peneliti berasal dari abad ke 8-11 M
(Utomo, 2007: 10-35). Penemuan yang memiliki corak Budhisme juga ditemukan di Kalimantan
Selatan yang memiliki bentuk patung Budha Dipangkara dengan gaya Srilangka. Patung ini
dianggap sebagai sebuah komoditas yang dibawa oleh pedagangan sepanjang periode tersebut
(Nastiti, 1998).
Sehubungan dengan angka tahun pada prasasti Batu Pait dapat diketahui lebih dulu bahwa
Budhisme telah maju dalam perluasan di wilayah Kalimantan dari pada di Sriwijaya (Utomo,
2007: 56). Kerajaan Sriwijaya dengan sendirinya meluaskan kekuasaan setelah abad ke 7 M dan
mulai menancapkan tongkat kekuasaan sekitar abad ke 8 M (Soeroso, 1998). Pada abad ke 8 M,
Sriwijaya mulai menunjukkan aktifitas hegemoni politik di wilayah Selat Malaka dengan
membawa simbol-simbol Budhisme.
Relief yang menggambarkan seorang pemburu dengan sumpit di galeri
candi Borobudur di Jawa Tengah yang dibuat pada abad ke-9
menunjukkan hubungan antara orang Dayak dan orang Jawa
sudah terjalin dalam kurun waktu itu (MacKinnon, Kathy dkk,
2000: 59). Selama abad ke-14 dan abad ke-15 kerajaan Majapahit
di Jawa Timur telah menguasai daerah-daerah bagian selatan,
barat dan timur Borneo. Prasasti batu tulis di Dusun Pait, Desa
Sebabas, Kec. Nanga Mahap, Kab. Sekadau, Kalimantan Barat,
menurut para ahli sejarah merupakan prasasti Budha terbesar
(panjang 6,50 meter, tinggi 3,30 meter) beraksara Pallawa pada
abad 9 Masehi. (Konon nama Dusun Pait diambil dari nama
kerajaan Majapahit, yang oleh masyarakat setempat disingkat
dan diucapkan dengan Pait dalam dialek setempat).

Batu prasasti ini merupakan peninggalan kerajaan Mulawarman pada


zaman Hindu. Batu ini terdapat di desa Pait, kecamatan Nanga
Mahap. Pada permukaan batu terlihat relief tumbuhan dan
pedang ayng melambangkan kesuburan, kerukunan dan
perdamaian. Terdapat huruf-huruf Palawa yang dipercaya telah
ada sejak tahun 1856. Objek bersejarah ini ditemukan di desa

Pait, kecamatan Nanga Mahap, 80 kilometer dari kota Sanggau.


Miniatur prasasti ini juga terdapat di Museum Negeri Pontianak.

Batu Bertulis merupaan salah satu peninggalan kerajaan Hindu pada abad
ke 7 Masehi (650 Masehi) bertuliskan huruf Palawa berbahasa
Sansekerta yang berisi doa serta mantera untuk masyarakat dan
warga sekitar agar selamat dalam kehidupannya di dunia. Obyek
wisata budaya ini terletak di Dusun Pait Desa Sebabas,
Kecamatan Nanga Mahap, sekitar 75 km dari Sekadau. Tempat ini
dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda empat
kemudian dilanjutkan dengan kendaraan roda dua hingga ke
lokasi

Batu Bertulis di Hutan Lindung Pait


Komentar (1)
04 Maret 2012, 11:31:33 WIB oleh Hermanto
Print

Sekadau-KOTA, (kalimantan-news) - Batu Bertulis di Dusun Pait, Desa Sebabas, Kecamatan


Nanga Mahap merupakan benda cagar budaya yang telah mendapat pengakuan secara nasional
maupun internasional. Umur batu bertulis menurut juru pelihara F Apong, mencapai 700 tahun.
Bentuk batu bertulis bundar nyaris seperti telur raksasa. Tinggi batu sekitar 2 meter di kiri dan 4
meter di kanan dengan lebar mencapai 5 meter. Penyebutan batu bertulis karena berisikan aksara
palawa dengan bahasa sansekerta. Tulisan itu memiliki pesan layaknya ayat-ayat suci namun
belum
ada
kepastian
terjemahannya.
Berdasarkan kajian dari beberapa peneliti luar dan dalam negeri, batu bertulis merupakan
peninggalan kebudayaan kerajaan Hindu. Lebih tepatnya, batu bertulis hadir pada akhir kerajaan

Hindu dan awal kerajaan Budha. Meski demikian, penduduk setempat awalnya tidak mengetahui
kalau batu di kawasan hutan lindung itu berisikan aksara dengan makna mendalam.
Kakek Apong yang hidup sekitar 100 tahun lalu, untuk pertama kali sadar terhadap keberadaan
tulisan di batu berwarna gelap tersebut. Itupun dari aktivitas serdadu Belanda yang hadir di
lokasi
dan
memotret
batu
misteri
itu.
Generasi sebelum kakek saya menganggap batu itu hanya sebagai batu biasa, kata dia.
Rasa kagum serdadu Belanda itu dikonkritkan dengan mengabadikan melalui jepretan kamera.
Namun, keanehan muncul ketika tulisan batu bertulis luput dari jepretan kamera. Meski berkalikali hasilnya tetap sama, yakni tulisan seakan hilang dari batu. Setelah, batu diselimuti kain
putih,
jepretan
kamera
berhasil
menangkap
tulisan
di
batu.
Foto dokumentasi beserta data-data batu bertulis diboyong ke negeri Nederland. Beberapa waktu
kemudian, banyak peneliti yang tertarik mempelajari batu bertulis itu. Para arkeolog juga pernah
menggali tiga lubang di sekitar lokasi batu bertulis. Penggalian tanah hingga kedalaman tiga
meter itu terjadi pada tahun 1985. Meski melibatkan 10 pekerja namun penggalian tidak
menemukan petunjuk atau benda yang berhubungan dengan batu bertulis.
Sepertinya, batu bertulis bersifat tunggal, ucap Apong yang berusia 60 tahun ini.
Peneliti Indonesia beberapa kali datang untuk mempelajari batu bertulis. Sukarto bahkan harus
memperdalam ilmu selama dua tahun di negeri Belanda agar dapat mengungkap misteri batu
bertulis secara tuntas. Ia membenarkan di negeri Belanda banyak tulisan dan dokumentasi foto
tentang
batu
bertulis.
Masyarakat sendiri sampai sekarang masih memiliki banyak pertanyaan terhadap batu bertulis.
Beberapa warga luar datang untuk mendapatkan petunjuk tentang kehidupan maupun
kesembuhan dari sakit. Apong sendiri memiliki pengalaman berharga dari batu bertulis. Cedera
para pada kaki ketika mencari gaharu di hutan Ketapang namun dapat sembuh setelah orang
tuanya
menggelar
ritual
di
batu
bertulis.
Bahkan pernah terjadi peristiwa nahas ketika dua warga berbuat lancang dengan mengayunkan
serta menghantamkan parang beberapa kali ke batu bertulis. Berselang beberapa waktu
kemudian, anak dari dua warga tersebut secara bersamaan meninggal. Sejak saat itu, warga lebih
memperhatikan
batu
bertulis.
Di sekeliling kompleks batu bertulis banyak berdiri nisan. Bahkan jaraknya sangat berdekatan
dengan
batu
bertulis.
Sebenarnya, makam di sekitar batu bertulis terhitung baru atau sesudah warga memeluk
agama,
papar
Apong
yang
juga
sebagai
timanggong
Dayak
Mahap.
Sebagai juru pelihara batu bertulis, Apong mendapat honor sekitar Rp650 ribu per bulan dari
pemerintah Kalbar. Pembayaran honor itu empat bulan sekali. Pemerintah Kabupaten Sekadau
beberapa kali membangun fasilitas tambahan di sekitar batu bertulis. Mencakup pagar, atap, dan

toilet.
Batu bertulis masih menjadi lokasi utama untuk menggelar beberapa kegiatan. Bahkan salah satu
lembaga keuangan menggunakan nama batu bertulis sebagai bentuk apresiasi positif terhadap
situs sejarah itu. Jarak batu bertulis dari ibukota Kecamatan Nanga Mahap mencapai 20
kilometer dengan jalan sebagian besar rabat beton maupun pasir batu.
Sedangkan jarak Desa Nanga Mahap dari ibukota Kabupaten Sekadau mencapai 50 kilomenter.
Satu jembatan di Dusun Setugal untuk mencapai ke Dusun Pait putus. Sedangkan kondisi
jembatan alternative miring dan beresiko tinggi. Batu bertulis berada di sekitar Sungai Tekaret
yang
merupakan
anak
Sungai
Mahap.
Pusat perkampungan hanya sekitar 20 meter dari Batu Bertulis. Bahkan rumah adat Dusun Pait
dapat kelihatan dari Batu Bertulis. Permasalahan kini, rasa was-was warga terhadap status Dusun
Pait termasuk lokasi batu bertulis sebagai kawasan hutan lindung. Informasi itu diketahui
masyarakat Dusun Pait setelah pembangunan gedung SMP negeri dari dana block grant, gagal
karena
berada
di
hutan
lindung.
Sementara kami sudah enam generasi bermukim di Dusun Pait, sebut Apong.
Kepala Desa Sebabas Heronimus Suhendra mengakui permasalahan itu. Desa Sebabas memiliki
enam dusun dan satu kampong. Dusun Pait tempat keberadaan batu bertulis bersama dengan 87
kepala
keluarga
merupakan
salah
satunya.
Kiranya pemerintah pusat memperhatikan nasib warga dan situs budaya tersebut, ucap dia.
(phs)
Bagi anda yang tertarik untuk melakukan penelitian atau sekedar berkunjung, Prasasti
peninggalan Kerajaan Hindu di tanah air ini terletak di Kampung Pait,Kecamatan Nanga Mahap.
Dari kota Sekadau menempuh perjalan darat dengan kendaraan roda empat sejauh 60 km menuju
ibukota kecamatan Nanga Mahap,setelah itu perjalanan dilanjutkan sekitar 18 km menuju lokasi
menggunakan kendaraan roda dua melewati jalan sirtu dan rabat beton.
Prasasti Batu Sampai : di kota Sanggau (turun di pangkal jembatan Sungai Sekayam, berjalan
belok ke kiri menuju Kampung Sungai Sengkuang, terus masuk Kampung Setompak,
menyeberang sungai, tiba di lokasi).

Anda mungkin juga menyukai