Anda di halaman 1dari 10

GAMELAN JEGOG

DALAM PERKEMBAGANGAN KESENIAN GAMELAN JEMBRANA


BALI

I Gede Yogi Sukawiadnyana


Seni Pertunjukan
Minat Penciptaan Musik Nusantara
Pasaca Sarjana Insttitut Seni Indonesia Yogyakarta

1. Pendahuluan

Bali terkenal akan seni dan budayanya. Berbagai macam kesenian yang khas muncul
diberbagai macam belahan bali dengan kondisi sosiologis serta demografi yang ragam.
Jembrana sebagai sebuah daerah perbatasan memiliki berbagai macam kesenian yang unik dan
lian dengan mayoritas kesenian di Bali. Seperti halnya gamelan Jegog.
Jegog merupakan ensambel gamelan bambu yang muncul dan berkembang di kabupaten
Jembrana-Bali. Gamelan jegog menggunakan bambu dari berbagai macam ukuran, dari yang
kecil (biasanya menggunakan jenis bambu tebal seperti gesing) hingga besar dengan panjang
bisa mencapai 2-3 meter dengan diameter 30cm ( jenis bambu petung). Jegog menggunakan
laras pelog 4 nada yakni ndong, ndeng, ndung, ndaing (pelafalan nada untuk orang bali) atau
2-3-5-7 (ro-lu-mo-pi) dalam notasi kepatihan Jawa. 1

1 Lihat I Nyoman Sukerna, Gamelan Jegog Bali, Denpasar: Intra Pustaka Utama, 2003, p. 5
Gamelan Jegog merupakan salah satu perangkat gamelan Bali yang bilah-bilahnya terbuat
dari bambu yang terdiri dari delapan bilah dengan memakai laras pelog empat nada yang
terdengar unik dan menarik (Rai, 2001 : 33). Jegog terdiri dari 14 instrumen yang keseluruhan
terbuat dari bambu. Ada jegog, undir, kuntung/celuluk, barangan, kancil, suwir.
Jegog merupakan instrumen terbesar dari ensambel gamelan jegog. terbuat dari bambu
besar dengan panjang mencapai 3 meter. Instrumen ini dimainkan oleh 2 orang pemain yang
jongkok diatas semacam tempat duduk pada badan gamelan. Inatrumen ini memainkan pola
melodi secara bergiliran antara pemain (1 dan 2) dengan intensitas pukulan yang jarang.
Gamelan ini dimainkan dengan panggul (pemukul) berbahan karet sehingga menghasilkan
timbre yang soft.
Undir memiliki ukuran lebih kecil daripada jegog. nada undir saru oktaf lebih tinggi dari
nada jegog. fungsinya sama sebagai pemangku melodi namun dengan intensitas permainan
yang lebih tinggi. Pada ensambel jegog, idealnya terdapat sepasang undir yang dimainkan oleh
masing-masing seorang pemain.
Kuntung/celuluk memiliki intensitas permainan serta oktaf yang lebih tinggi daripada
undir. Berbeda dengan jegog dan undir, instrumen ini menggunakan panggul berbahan kayu
yang menghasilkan timbre yang keras. Sama dengan undir, pada ensambel jegog biasanya
terdapat sepasang instrumen kuntung.
Barangan, kancil dan suwir merupakan instrumen yang berfungsi sebagai pemain kotekan
interloking dan ritme. Berbeda dengan jegog,undir dan kuntung instrumen ini memiliki 8 bilah
dengan 2 oktaf nada jegog. (instrumen melodi memiliki 8 bilah dengan pembagian oktaf
pasangan ngumbang dan ngisep). Pada barungan gamelan jegog terdapat 3 tungguh instrumen
barangan, kancil dan suwir.
Secara umum jegog dimainkan menggunakan sepasang panggul dengan bahan karet dan
kayu. Undir dan Jegog menggunakan sepasang panggul karet, suwir, kancil dan kuntung
menggunakan sepasang panggul kayu. Instrumen barangan di sisi lain menggunakan
kombinasi antara karet dan kayu. Pemilihan jenis bahan panggul ini ditentukan berdasarkan
jenis timbre yang diperlukan juga jenis bambu yang akan dipukul.
Jegog memiliki teknik permainannya sendiri dengan termin tradisi yang muncul dari
proses penyebutan yang praktikal dan “apa adanya”. Secara umum pada jegog terjadi sitem
paketan (otek-otekan) yakni sistem permainan interloking berdasarkan giying (melodi) tertentu
yang dibagi atas 2 pemain yang memainkan pola ngedenin (polos), dan nyenikin (nyangsih). 2
Dalam paketan jegog jembrana terdapat beberapa pola seperti , nelu, ngempat, nyelangkit,
negteg, ngemalunin, ngurinin dan beberapa motif seperti lebleban, dan jurung-jurung.
Nelu dan ngempat berasal dari kata telu (3) dan papat (4) sehingga dapat diartikan menjadi
paketan yang melibatkan tiga nada (nelu) dan paketan yang melibatkan 4 nada (ngepat).
Termin ini juga bisa diartikan sebagai ngempyung (sistem relasi antar nada pada gamelan bali)
pada gamelan jegog dengan jarak 3 (nelu) atau 4 (ngempat)
Nyelangkit merupakan paketan yang dilakukan hanya dengan seorang pemain. Negteg
(tetap), ngemalunin (mendahului) dan ngurinin (membelakangi) adalah istilah yang digunakan
pada motif oncang-oncang (permainan 2 pola yang bermain secara bergantian).
Motif lebleban merupakan oncang-oncangan yang dimainkan secara solo (tanpa giying)
biasanya dimainkan instrumen kancil dan suwir yang bertujuan untuk menunjukan virtuositas
penabuh gamelan jegog. pola-pola macam ini sangat terpengaruh oleh gong kebyar yang juga
menerapkan hal semacam itu terhadap kendang dan riong, meskipun mereka tidak
menyebutnya sebagai lebleban. Jurung-jurung merupakan motif yang dimainkan diantara
motif kebyar. Biasanya menjadi pemanis dinamika dan otentik untuk gamelan jegog.

Sejak awal kemunculannya, jegog mempunyai sebuah format komposisi khas yang
bernama truntungan. Komposisi ini biasanya digunakan sebagai pangungkab sabda (lagu
pembuka) dalam pementasan kesenian jegog. Hal lain yang tak kalah menarik adalah tradisi
mebarung. Kompetisi antar sekha jegog satu dengan yang lainnya, berupa adu kekuatan dan
ketepatan memainkan ritme. Ini membuat jegog jarang dipentaskan secara tunggal.
Ini juga mencerminkan betama masyarakat jembrana memiliki jiwa kompetitif dengan bingkai
sportifitas yang tinggi dalam berkesenian. Ini juga akan sangat berkaitan dengan bagaimana
jegog tersebut lahir dan berkembang.

2Sangsih polos merupakan istilah untuk menyebutkan pembagian pola permainan dalam otek-otekan gamelan
bali. Polos untuk pukulan on beat dan sangsih untuk of beat.
2. Sejarah Jegog

Kemunculan jegog tidak akan pernah bisa dipisahkan dengan sosok Kiyang Geliduh,
orang yang diyakinin sebagagai pencipta gamelan jegog pada tahun 1912. Ada banyak versi
mengenai bagaimana instrumen jegog ini terbentuk. Salah satu yang populer adalah seperti
yang dipaparkan oleh I Gede Oka Artha Negara d alam desertasi Jegog Gamelan and Dance, “
Tradisi setempat menceritakan bahwa Kiyang Geliduh pergi ke hutan untuk mencari
kayu bakar. Setelah mengumpulkan kayu bakar, dia berbaring untuk beristirahat dan
tertidur. Dalam mimpi, dia mendengar suara batang bambu yang saling memukul ditiup
angin. Suara-suara alam inilah yang menginspirasinya untuk membuat gamelan jegog
yang bernada” (Oka, 2016:9)

I Wayan Gama Astawa seorang seniman asal Jembrana Bali (wawancara 6 November
2022) menjelaskan bahwa jegog bisa jadi merupakan perkembangan dari kesenian tingklik.
Senada dengan apa yang diucapkan Gama, I Wayan Dibia juga berpendapat dalam buku
Gamelan Bali di Atas Panggung Sejarah (hal 77) bahwa gamelan jegog barangkali adalah
kelanjutan dari gamelan Galunggang Petung dan Tingklik yang merupakan musik yang
berkembang pada era Bali Kuna.

Sumber lain mengatakan bahwa awal kemunculan Jegog pertama kali adalah di Desa
Tegal Badeng. Dikarenakan informasi tersebut hanya beredar dari mulut ke mulut dan jarang
tercatat menimbulkan kesulitan dalam melacak kemunculan jegog. namun apa yang tertulis
sebagian besar mengatakan Kiyang Geliduh adalah penemu dari gamelan Jegog.

Sejarah jegog sendiri dibagi menjadi beberapa periodisasi. Dalam tesisnya, Oka membagi
periodisasi menjadi 3 bagian yakni era Genyor (1912-1945), Suprig (1945-1965) dan era Jayus
(1965-sekarang). Pada tulisan ini akan ditambahkan beberapa periodisasi baru berdasarkan
pengamatan terhadap perkembangan jegog, dan apa yang sedang terjadi.

- Genyor (1912-1945)

Seperti yang disampaikan di atas, jegog pertama kali muncul di sebual. Kyang
Geliduh sebagai penemu membentuk sekha jegog (kelompok pemain jegog). Genyor
adalah salah satu anggota kunci pada kelompok tersebut. Ia menciptakan beberapa
komposisi untuk jegog pada awal peridode tersebut. saat itu, kesenian jegog masih
berupa kesenian instrumentalia, belum bersentuhan dengan tari dan silat. Saat itu jegog
masih digunakan sebagai perayaan panen, hiburan dan juga beberapa acara keagamaan.
Repertoar pada jaman itu ialah tabuh teruntungan, Ndung Griya, Jaran Dauk, Curing
Bero.
Pada periode ini, ensambel gamelan jegog masih terdiri dari sebelas
instrumen yakni 3 tungguh barangan, 3 tungguh kancil, sepasang undir dan kuntung
serta satu tungguh jegog. Ukurannya pun masih relatif kecil, lebih kecil dari gamelan
jegog pada era sekarang. Penabuhnya pun memainkan gamelan dengan posisi duduk di
tanah tidak seperti sekarang dengan posisi berdiri. Pada masa itu gamelan jegog mulai
meluas ke daerah sangkaragung. Mereka sangat cepat dalam mengadaptasi inovasi
yang diberikan Genyor pada masa itu.

- Suprig (1945-1965)
Awal kemerdekaan juga menjadi awal yang baru untuk jegog berkembang
menjadi bentuk lainnya. Ialah Ni Suprig, seorang wanita yang menjadi tonggak awal
kombinasi antara pencak silat dan jegog. Ibu rumah tangga yang sekaligus penari halus
dan pesilat ini lahir di desa Dlod Berawah sekitar tahun 1930. Ia belajar silat kepada
gurunya I Made Jengkrak dari desa Mendoyo Dangin Tukad. Pencak silat Mendoyo
yang mulai di ajarkan dari tahun 1930 an tidak mendapatkan perhatian serta popularitas
yang baik sebelum Suprig kemudian menggabungkannya dengan kesenian jegog. 1945
bentuk kesenian tersebut menjadi sangat populer di kabupaten Jembrana.
Bukti nyata yang dapat dilihat adalah pada tulisan Dance and Drama un Bali
oleh Beryl de Zoete dan Walter Spies. Mereka mengatakan :

“We must mention in connection with Pentjak a curious and beautiful dance till recently
performed at Djembrana, in West Bali, accompanied by an unique bamboo orchestra,
called Djegog, after the which the dance was named. The orchestra consisted twenty
bamboo instrument of different sizes, decorated with fantastic painted nagas” (de Zoete
dan Spies 1938 [1952]: 255)
Terlihat jelas bagaimana mereka menggambarkan indahnya tarian jegog dan
pencak yang dipopulerkan oleh Suprig ini. Tarian ini di era sekarang dikenal dengan
istilah tarian tempo dulu. Jika dianalisa kembali, tarian ini terlihat memiliki pengaruh
islami baik dalam kostum maupun gaya silatnya. Sebagai informasi, ketika masa
penjajahan Belanda, banyak imigran muslim dari sulawesi, Kalimantan, dan Malaysia
mengunsi ke Jembrana karena dianggap aman dari penindasan Belanda saat itu. Atas
seijin raja Jembrana I Gusti Ngurah Pancoran (tercatat memerintah sekitar abad ke-17)
para imigran diperkenankan tinggal di kawasan mangrove yang sekarang dikenal
dengan Loloan. Kelompok muslim di Loloan terkenal dengan pencak silatnya dan gaya
silat yang suprig terapkan pada jegog mengindikasikan pengaruh islami. Misalnya
seperti kostum penari yang menggunakan kopiah, leging hitam,dasi dan sepatu yang
tentunya bukan kebiasaan kostum adat bali terlebih pada ranah tari.
Selain itu, pengaruh islami dapat dilihat dari nama-nama tarianya seperti Tari Stambul,
Titian Kawat, dan Ci Uler.3
Format pertunjukan tari tempo dulu terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama
adalah bagian Dag (sebuah karakter sebagai representasi Ducthman (orang belanda))
memperkenalkan dirinya dan sekha jegog yang akan tampil. Dag biasanya
menggunakan pakaian ala tentara dengan membawa properti senjata. Bagian 2 para
penari laki (ticak) dan perempuan (ticak sangkur) keluar menunjukan skill mereka
tanpa senjata. Bagian 3 beberapa penari lainnya muncul dengan pertunjukan silat
dengan membawa senjata. Pertarungan ini dilakukan dalam konteks hiburan.
Perkembangan sekarang, tarian tempo dulu sering kali diasosiasikan dengan tari janger
walaupun secara format pementasan sangat berbeda.

- Jayus (1965 -1980)


Gaya jayus muncul dan berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru. I
Nyoman Jayus adalah seorang koreografer asal Sangkar Agung – Jembrana yang lahir
pada tahun 1940. Jayus merupakan dosen ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia)
Denpasar pada tahun 1960-1978. Sebagai seorang seniman, Jayus sering tampil ke
berbagai negara seperti Bangkok (1968), Singapura dan Australia (1970), Jerman Barat
(1971), India, Sri Lanka, Singapura, Jepang, Hongkong, dan Tahiti (1977).

3 Baca I Gede Oka Artha Negara, Jegog Gamelan and Dance, California: University of California, 2016 hal. 18
Gaya Jayus pada jegog mengadopsi tari-tari klasik gong kebyar. Jayus
kemudian menambahkan instrumen tambahan seperti kendang, tawa-tawa, kecek, dan
suling. Era ini juga menjadi kelahiran Tari Makepung oleh I Wayan Swentra yang
menjadi icon Jegog di Jembrana saat ini.

- Era 80-an
I Wayan Gama Astawa (wawancara 6 November 2022) mengatakan terjadi
perubahan besar pada instrumentasi jegog di era 80an. Pada era ini mulai ditambahkan
instrumen suwir. Tahun ini juga di produksi rekaman jegog di Banjar Moding desa
Candikusuma yang menjadi rekaman yang memoriabel bagi para pecinta Jegog di
jembrana.
Melihat ke belahan dunia lain, Jegog yang disebarkan oleh pak Wayan
Suwentra ke Jepang menumbuhkan ketertarikan seorang komposer Jepang Geinoh
Yamashirogumi untuk menggunakan Jegog dalam beberapa karyanya. Soundtrack pada
anime (animasi jepang) Akira (1980) dan salah satu track pada album Ecophony Rinne
1994. Ini menandakan bahwa kesenian jegog tidak hanya eksklusif berkembang di
jembrana namun sangat terbuka pada perkembangan dunia yang bebas.

- Kreasi
Era kreasi ini muncul ketika jegog mulai dipertunjukan pada ajang PKB
(Pesta Kesenian Bali) maupun misi kebudayaan ke negara lain. Suar Agung dan Jegog
Yudistira menjadi 2 kelompok yang progresif saat itu. Jegog Yudistira digawangi oleh
I Nyoman Sutama dengan menampilkan nuansa baru pada gamelan Jegog jembrana.
Beberapa album yudistira terbilang cukup sukses dengan karya-karya yang inovatif.

- Modern
Era sekarang, gamelan Jegog mulai diminati anak muda. Walaupun tidak
semasif era-era suprig, namun perkembangan jegog bisa dibilang sangat pesat.
Beberapa inovasi dalam gamelan jegog mulai bermunculan, jegog yang berkolaborasi
dengan gamelan gong kebyar salah satu yang terkenal adalah Sanggar Kumara Widya
Suara kemudian Jegog inovatif oleh beberapa seniman I Made Arsa Wijaya (Jembrana),
I Nyoman Windha dengan Jegog Jaz (walaupun masih menjadi perdebatan terkait itu
jegog atau bukan), Jelana Jegog Ensamble dengan instrumen Jegog panjangnya dan
sempat mementaskan karya di ajang Soundbridge Virtual Festival 2021, dan yang
terbaru Taksu Anggung yang mengeksplorasi jegog dengan instrumen drum, vocal dan
mandolin yang dipentaskan pada ajang limtara 2022. Duo ekperimentalis Kadapat juga
mengeksplor jegog keruang-ruang yang ragam dengan pilihan musik gamelan
elektronik. Era sekarang menjadi panggung besar untuk jegog lebih dieksplorasi
terlebih diarsipkan sebagai sebuah bentu pelestarian dan pengembangan.

3.Jegog dan Masyarakat


Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, gamelan Jegog biasanya ditampilkan
dengan format mebarung. Kompetisi terjadi antar sekha. Hal ini berpengaruh juga terhadap
bagaimana jegog itu berkembang. Pada era mebarung hingga kini, sekha jegog memiliki
kecenderungan untuk men tuning jegognya se rendah mungkin. Hal ini dilakukan agar bisa
mengungguli suara dari gamelan lawan atau dalam dialektika jembrana ngungkulin. Ini secara
langsung juga berdampak ke ukuran jegog yang menjadi semakin besar.
Jiwa kompetitif pada jegog tentunya merupakan cerminan mengenai bagaimana kompetitifnya
masyarakat jembrana. bisa dikatakan sebagai rakyat buangan yang dibuang ke hutan dan siapa
paling banyak merabat hutan dia yang akan berkuasa. Mengingat kesenian jembrana hadir dari
rakyat dan untuk rakyat menandakan bahwa kesenianya sangat berjarak dengan kerajaan.
Melihat kembali pada kesenian yang lahir di Jembrana, sebagian besar memang
mengandung elemen kompetisi. Kendang mebarung yakni kesenian kendang raksasa yang
dimainkan dengan tujuan kompetitif mengadu konsentrasi dan intuisi terhadap ritme.
Makepung sebagai sebuah kebudayaan juga sarat akan jiwa kompetitif. Jegog juga menjadi
salah satu kesenian yang menyimbulkan jiwa kompetisi masyarakat jembrana. Kesenian
merupakan cerminan dari jiwa seniman (pelaku seni). Namun yang menarik dari itu adalah
tetap adanya koridor-koridor jenius yang membatasi kompetisi dengan semangat sportifitas.
Jegog yang hadir dari rakyat memang benar-benar merepresentasikan bagaimana
kesederhanaan pola pikir masyarakat saat itu. Dapat dilihat dari penaman judul repertoar karya
jegog seperti goak ngolol, crukcuk nginyah, saung galing dll. Akhirnya jegog sebagai kesenian
yang lahir dari rakyat berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat, tumbuh bersama
dan saling melengkapi sebagai sebuah kebudayaan yang hadir mengisi keberagaman khasanah
kesenian nusantara.
DAFTAR PUSTAKA

Artha Negara, I Gede Oka. 2016. Jegog Gamelan and Dance. California : University of
California

Bandem, I Made. 1986. Prakempa (Sebuah Lontar Gamelan Bali). Denpasar: Akademi Seni
Tari Indonesia Denpasar.

de Zoete, Beryl dan Walter Spies. 1938 [1952]. Dance and Drama in Bali. London: Faber
and Faber limited,

Sugiarta, I Gede Arya. 2012. Kreatifitas Musik Bali Garapan Baru Perspektif Cultural Studies.
Denpasar: UPT. Penerbitan ISI Denpasar.

___________________. 2015. Lekesan Fenomena Seni Musik Bali. Denpasar. : UPT.


Penerbitan ISI Denpasar.

Sukerna, I Nyoman. 2003. Gamelan Jegog Bali, Denpasar: Intra Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai