Anda di halaman 1dari 23

KEARIFAN LOKAL: NAWUR PENEMPUH TRADISI DESA

PAKRAMAN SELAT PANDAN BANTEN SEBAGAI UPAYA

MENJAGA NILAI BUDAYA DARI GERUSAN ARUS

MODERNISASI SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN PKN

PADA KURIKULUM 2013

OLEH

I Nyoman Untung Eka Hariawan, S.I.Kom.


NIM. 2125111003

COVER
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU

PROGRAM PASCA SARJANA

SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI MPU KUTURAN SINGARAJA

2021

i
DAFTAR ISI

COVER ......................................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

A. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

B. KAJIAN TEORI .................................................................................................. 3

I. MEMAKNAI KEARIFAN LOKAL ................................................................. 3

II. PENTINGNYA KEARIFAN LOKAL .............................................................. 8

III. ETNOPEDAGOGI: PENDIDIKAN BERBABASIS BUDAYA LOKAL .. 10

IV. KEUNGGULAN KEARIFAN LOKAL UNTUK BAHAN

PEMBELAJARAN ................................................................................................. 13

V. KAJIAN NAWUR PENEMPUH TRADISI DESA PAKRAMAN SELAT

PANDAN BANTEN SEBAGAI UPAYA MENJAGA NILAI BUDAYA DARI

GERUSAN ARUS MODERNISASI SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN

PKN PADA KURIKULUM 2013 ........................................................................... 15

C. SIMPULAN ........................................................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 19

ii
A. PENDAHULUAN

Awal dari modernitas ditandai dengan temuan-temuan ilmiah hasil rekayasa

pemikiran para ahli, mulai dari Plato, Aristoteles, hingga Einstein, dan tokoh-tokoh

saintis lainnya adalah sesuatu yang membawa manusia pada system modernisme, yang

pada saat ini berada pada titik balik perubahan- peradaban yang penuh risiko. Suatu hal

yang amat disayangkan, tepat dipuncak modernisasi, justru

mengalami gejala kemerosotan diberbagai lini kehidupan, ini terjadi akibat patologi

modernitas yang ditandai dengan intelektual yang cenderung meniadakan jiwa

spiritual), kemajuan sains melahirkan berbagai bencana (baca: timbulnya konflik

peperangan) di mana-mana, melambungnya biaya kesehatan, tingginya angka

pengangguran, dan berbagai problema sosial lainnya di depan mata.

Seorang Ilmuwan Saintis kontemporer, Fritjof Capra dalam bukunya yang

legendaris The Tao of Physics berhasil mendudukkan masalah pada proporsi

sebenarnya. Menurutnya ada paralelisme antara fisika subatomik dengan kearifan

kuno. Ilmu yang selama ini dikaji dan dibanggakan sebagai hal yang ilmiah, tidak lebih

hanyalah reductive knowledge belaka, meski dalam hal tertentu telah banyak berjasa

pada kehidupan manusia, namun telah menimbulkan banyak sekali masalah baru dan

membuat kita meragukan apakah mampu membawa kita survive dalam menghadapi

kehidupan saat ini dan di masa mendatang (Sutanto, 2004: 4).

Ketika para ilmuwan mulai khawatir, kasak kusuk atau bertanya-tanya akan

perubahan iklim di muka bumi tempat tinggal umat manusia ini yang mulai berubah.

Banyak orang sependapat betapa suhu bumi semakin memanas. Para pakar lingkungan

1
berkumpul dan sepertinya semua sepakat bahwa ini semua diakibatkan dari ulah

“tangan” manusia itu sendiri. Kemajuan teknologi yang dibanggakan itu ternyata di

satu sisi memberikan dampak yang tidak hanya merusak alam, bahkan kerusakan alam

itu justru menimbulkan sebuah ketimpangan baru yang bisa membahayakan

kehidupan umat manusia (Amrih, 2008: 6).

Para pakar dari berbagai bidang mengakui bahwa perubahan kehidupan

manusia saat ini yang dilanda arus globalisasi telah mengubah bukan hanya tata cara

kehidupan dalam bidang ekonomi tetapi juga dalam bidang sosial, budaya, dan politik

(Tilaar, 2002: 56). Banyak hal yang kita anggap biasa, banyak paradigma yang kita

anggap suatu kebenaran tiba-tiba menghilang tanpa bekas. Hal itu semua adalah bagian

dari dampak globalisasi. Saat ini sangat dirasakan hilangnya nilai-nilai tradisi dan nilai-

nilai moral sebagai pengikat kehidupan bersama yang makin hari makin melonggar,

sehingga terjadi banyak penyimpangan sosial yang meronrong disiplin hidup

bermasyarakat (Tilaar, 2002: 66).

Kondisi jaman saat ini sangat mengejutkan karena orang-orang yang

seharusnya ahli dalam berbagai bidang, tidak lagi mampu menyelesaikan masalah-

masalah yang mendesak yang muncul di dalam bidang keahlian mereka. Para ahli

medis bingung dengan berbagai macam penyakit kanker, para ekonom tidak mampu

menyelesaikan dan mengambil solusi terhadap berbagai persoalan ekonomi (baca:

inflasi) yang menimpa bangsanya, aparat hukum tidak berdaya menghadapi

berbagai tindak kejahatan dan kasus kriminalitas yang semakin meningkat, dan

sebagainya.

2
Berbagai krisis multidimensional telah memasuki ranah dimensi-dimensi

intelektual, moral, dan spiritual yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah umat

manusia. Kini dimensi tersebut telah tampak di depan mata kita, yakni berbagai

fenomena sosial di mana masyarakat berada pada tingkat yang sangat memprihatinkan

seperti tindak kekerasan (baca: begal), kriminalitas, bunuh diri, alkoholisme,

penyalahgunaan narkoba, pornografi, kekerasan dan penyimpangan seksual, kasus-

kasus KDRT, korupsi merajalela, dan berbagai penyakit sosial lainnya. Kajian berikut

ini akan menyoroti pentingnya kembali ke local wisdom untuk ditanamkan dalam dunia

pendidikan guna mengantisipasi berbagai persoalan pada era modern ini dan masa yang

akan datang.

B. KAJIAN TEORI

I. Memaknai Kearifan Lokal

Pengkajian mengenai kearifan lokal baru menjadi wacana dalam masyarakat

pada tahun 1980- an, ketika nilai-nilai budaya lokal yang terdapat dalam masyarakat

Indonesia sebagai warisan nenek- moyang sudah hampir habis digerus oleh

modernisasi yang menjadi kebijakan dasar pembangunan yang dilaksanakan oleh Orde

Baru (Rosidi, 2011: 36). Menurut Sutanto (2004: xi):

“Kearifan masa lalu sudah lama disisihkan dalam kehidupan modern karena dianggap

tidak relevan untuk mengejar kenikmatan bersifat material yang menjadi

motivasi utama kehidupan modern karena diasosiasikan sebagai menghasilkan

manusia kumal, sederhana, meski batinnya tenang.”

3
Pernyataan di atas senada dengan yang dikemukakan Antropolog Universitas

Padjajaran Adimihardja (2008: 77), saat ini menurut pandangan para perencana dan

pengambil keputusan pembangunan bahwa perubahan seolah-olah harus mencabut

nilai-nilai tradisi yang kemudian diganti dengan nilai-nilai baru dari luar yang

sesungguhnya asing bagi masyarakat itu. Semua hal yang berbau tradisi dianggap

sebagai hal yang kuno, jumud, dan terbelakang.

Kearifan lokal atau kearifan tradisional adalah sesuatu yang berakar pada masa

lalu dalam kehidupan tradisional lokal yang dijadikan rujukan bagi tatanan

kehidupan dan kebudayaan lokal masing-masing (Lubis, 2002: 100). Menurut

Budayawan Universitas Hasanuddin Mattulada (2000: 1) kearifan tradisional adalah

wawasan atau cara pandang menyeluruh yang bersumber dari tradisi kehidupan.

Kearifan tradisional memiliki corak yang berbeda antara kelompok satu dengan

kelompok yang lain.

Sesungguhnya kearifan lokal adalah sesuatu yang dipandang sangat bernilai dan

mempunyai manfaat tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut

dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan

melangsungkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang

dihayati dalam masyarakat yang bersangkutan (Permana, 2010:3).

Dalam literatur yang membahas tentang kearifan lokal ditemukan beberapa

istilah. Istilah-istilah itu adalah antara lain, indigenous wisdom, tradisonal wisdom and

indigenous inventions, pengetahuan lokal (indigenous knowledge), local genius,

invented tradition (Maryani, 2011: 30). Adapun istilah pengetahuan tradisional

4
(traditional knowledge) sering disebut dengan pengetahuan masyarakat asli

(indigenous knowledge), pengetahuan lokal (local knowledge), pengetahuan

masyarakat kesukuan (tribal people knowledge), pengetahuan rakyat (folk knowledge)

(Daulay, 2011: 17).

Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan

setempat (local wisdom) atau kecerdasan setempat (local genius). Dalam Kamus

Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, “local” berarti setempat,

sedangkan “wisdom” (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka

local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan

setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam

dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Mengacu pada definisi kearifan yang bermakna kecerdasan, kearifan dalam

budaya juga merupakan bentuk kecerdasan yang dihasilkan menurut pemilik

kebudayaan bersangkutan. Dengan demikian sebuah kearifan lokal merupakan

kecerdasan yang dihasilkan berdasarkan pengalaman yang dialami sendiri sehingga

menjadi milik bersama (Rahyono, 2009: 8).

Arif secara sederhana diartikan sebagai cerdas, pintar, cerdik, pandai, berilmu,

faham, mengerti, dan mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Di dalam kata

arti tersimpan makna bukan hanya pemanfaatan akal secara kognisi, tapi ada

pemahaman dan aplikasi secara benar dan tepat sehingga memberikan solusi terhadap

suatu permasalahan. Lokal mengandung kata ruang interaksi atau tempat atau

lingkungan dimana situasi/peristiwa itu terjadi (Maryani, 2011: 29).

5
Menurut Ahimsa-Putra Budayawan UGM, kearifan dapat didefinisikan sebagai

perangkat pengetahuan dan praktik-praktik yang dapat digunakan untuk menyelesaikan

persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi dengan cara yang baik dan benar (Ahimsa-

Putra, 2006: 11-12). Lanjut menurutnya:

Kearifan lokal juga dapat dimaknai sebagai perangkat pengetahuan dan praktik-

praktik baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalaman

berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya milik suatu komunitas di

suatu tempat, yang digunakan untuk menyelesaikan secara baik dan benar berbagai

persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi.

Kearifan lokal juga dapat dikatakan sebagai usaha manusia yang menggunakan

akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang

terjadi dalam ruang tertentu. Berbicara tentang kearifan lokal adalah juga

membicarakan warisan ajaran hidup yang disampaikan oleh para pendahulu suatu suku

atau bangsa bagi penerusnya. Warisan ajaran hidup itu melalui berbagai karya

(Koestoro, 2010: 122-123). Di antara karya tersebut berbentuk tertulis, karya seni

tulis, seni lantun, dan sebagainya.

Ulasan di atas, diperkuat oleh pendapat Hendrawan (2011: 230), menurutnya

dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal

sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem

kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang

dianut dalam jangka waktu yang lama dalam suatu masyarakat.

6
Hilangnya atau musnahnya kearifan lokal (local genius) berarti pula

memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedangkan kuatnya local genius untuk

bertahan dan berkembang menunjukkan pula kepribadian masyarakat itu. Oleh karena

itu penting sekali adanya usaha pemupukan serta pengembangan local genius tersebut

yang berfungsi dalam seluruh kehidupan masyarakat, baik dalam gaya hidup

masyarakat, dalam pola dan sikap hidup, persepsi, maupun dalam orientasi masyarakat

(Ayatrohaedi, 1986: 33).

Konsep sistem kearifan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal

atau tradisional. Kearifan lokal memiliki enam dimensi, yaitu :

Pertama, dimensi pengetahuan lokal. Setiap masyarakat di mana pun mereka berada

selalu memiliki pengetahuan lokal yang terkait dengan lingkungan hidupnya… Kedua,

dimensi nilai lokal. Untuk mengatur kehidupan bersama antara warga masyarakat,

maka setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan

disepakati bersama oleh seluruh anggotanya. Ketiga, dimensi keterampilan lokal.

Keterampilan lokal bagi setiap masyarakat dipergunakan sebagai kemampuan bertahan

hidup (survival. Keempat sumber daya lokal. Sumber daya lokal pada umumnya adalah

sumber daya alam yaitu sumber daya yang tak terbarui dan yang dapat terbarui.

Masyarakat akan menggunakan sumber daya lokal sesuai dengan kebutuhannya dan

tidak akan mengeksploitasi secara besar-besar atau dikomersialkan… Kelima, dimensi

mekanisme pengambilan keputusan lokal. Setiap masyarakat pada umumnya memiliki

pemerintah lokal sendiri atau disebut pemerintahan kesukuan. Suku merupakan

kesatuan hukum yang memerintah warganya untuk bertindak sebagai warga

7
masyarakat. Keenam, dimensi solidaritas kelompok lokal. Suatu masyarakat umumnya

dipersatukan oleh ikatan komunal untuk membentuk solidaritas lokal. Setiap

masyarakat mempunyai media-media untuk mengikat warganya dapat dilakukan

melalui ritual keagamaan atau upacara dan upacara adat lainnya.” (Permana, 2010: 4-

6). Secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan

manusia yang bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika, cara-cara, dan perilaku yang

melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan

benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama bahkan melembaga (Yayuk,

2011: 305).

II. PENTINGNYA KEARIFAN LOKAL

Kearifan lokal merupakan hasil kreativitas manusia yang turun temurun dari

generasi yang satu ke generasi berikutnya. Kearifan lokal itu pada dasarnya merupakan

bagian dari kebudayaan, maka setiap daerah atau etnis yang ada di Indonesia memiliki

kearifan lokal yang berbeda-beda. Sekalipun demikian tetap memiliki visi yang sama,

yakni untuk memecahkan berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari

(Budimansyah, 2012: 314). Indonesia sangat kaya dengan berbagai kearifan lokal yang

digunakan masyarakat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan mereka. Oleh

karena itu penting untuk terus digali, dijaga, dan diwariskan.

Pentingnya kearifan masa lampau pada masa depan umat manusia telah

berulang kali dibahas dalam berbagai seminar dan program yang dilancarkan oleh

PBB, termasuk International Year of the World Indigenous People pada 1993 dan pada

Earth Summit di Rio de Janairo, Brazil pada 1992. Bahkan UNESCO dengan gigih

8
menyelamatkan dan memberikan perhatian warisan budaya lokal di seluruh penjuru

dunia melalui berbagai programnya, di antaranya World Heritage (Ming, 2009: 158).

Urgensi kearifan lokal dapat dilihat dari berbagai sisi. Secara filosofis, kearifan lokal

dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat lokal/pribumi (indigenous

knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis (Hendrawan, 2011: 230).

Bersifat empirik karena merupakan hasil olahan masyarakat secara lokal, berdasar dari

faka-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena

seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu

bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily problem solving).

Kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan dan pembentukan

jati diri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu

budaya bangsa memiliki akar (Yayuk, 2011: 305). Berbagai nilai yang hidup pada masa

kini pada hakikatnya merupakan bentuk kesinambungan dari nilai-nilai itu juga yang

telah menghantarkan lahirnya komunitas masyarakat sekarang ini (Roza, 2011: 276).

Kearifan lokal dibangun dari nilai-nilai sosial yang dijunjung dalam struktur sosial

masyarakat sendiri dan memiliki fungsi sebagai pedoman, pengontrol, dan rambu-

rambu untuk berperilaku dalam berbagai dimensi kehidupan, baik berhubungan dengan

sesama maupun dengan alam (Hendrawan,

2011: 230). Dengan demikian nilai-nilai kearifan lokal kiranya dapat dimanfaatkan

sebagai sumbang nilai terhadap kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang.

9
Ming (2009: 162-163) mengatakan bahwa mengabaikan kearifan lokal, apalagi

meninggalkannya akan membawa kerugian besar, karena akan kehilangan kearifan

pusaka yang dapat dijadikan sumber inovasi dan kreativitas baru, tidak selamanya

inovasi dari barat itu sesuai dengan yang dibutuhkan.

Menurut Hayati (2011: 221), pada dasarnya kearifan lokal milik komunitas. Dalam

implementasinya lebih banyak diterapkan oleh masyarakat lokal, tradisional atau asli.

Selanjutnya kearifan lokal memiliki berapa fungsi yakni: 1). Konservasi dan

pelestarian sumber daya alam; 2). Pengembangan sumber daya manusia; 3).

Pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan…; 4). Sebagai petuah, kepercayaan,

sastra, dan pantangan; 5). Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian, dan

6). Bermakna etika dan moral. Menurut Rahyono (2009: 9), pembelajaran dan

pembelajaran kearifan lokal juga memiliki posisi yang strategis, disebabkan oleh: a).

Kearifan lokal merupakan pembentukan identitas yang inheren sejak lahir; b). Kearifan

lokal bukan sebuah keasingan bagi pemiliknya; c). Keterlibatan emosional masyarakat

dalam penghayatan kearifan lokal kuat; d) Pembelajaran kearifan lokal tidak

memerlukan pemaksaan; e). Kearifan lokal mampu menumbuhkan harga diri dan

percaya diri; f). Kearifan lokal mampu meningkatakan martabat bangsa dan negara.

III. ETNOPEDAGOGI: PENDIDIKAN BERBABASIS BUDAYA LOKAL

Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan nilai-nilai dan

prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan

kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain

mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai

10
budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan

masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang

menjadi karakter baru bangsa (Kemendiknas, 2010: 6).

Hampir di setiap penjuru dunia, komunitas dan orang perorangan (individual)

mempunyai pengetahuan yang diturunkan dari generasi ke generasi, dikembangkan

dan dilestarikan dengan cara- cara tradisional. Pengetahuan tersebut sering merupakan

pengetahuan yang sangat dasar, berasal dari pengalaman kehidupan sehari-hari dan

umumnya ditandai dengan satu ciri yaitu “tradisional” (a traditional).

Bangsa Indonesia sejak zaman pra-Hindu sudah memiliki kepandaian dan kemampuan

tertentu (local genius) dan mampu pula mengembangkan pengaruh dari luar sesuai

dengan lingkungan setempat (local development). Hal tersebut terlihat dari berbagai

peninggalan budaya, baik berupa bangunan kuno seperti candi, arca, prasasti maupun

dalam bentuk karya sastra (Ayatrohaedi, 1986: 49).

Dampak modernisasi yang membukakan diri kepada globalisasi ditambah oleh

semangat nasionalisme yang hendak mengatur agar di seluruh Indonesia kehidupan

masyarakat seragam harus diwaspadai, karena dikhawatirkan kekayaan budaya lokal

banyak yang akan hanyut dan hilang, sehingga tidak dapat digunakan sebagai

pemerkaya budaya nasional yang hendak dibangun (Rosidi, 2011: 35-36).

Perhatian terhadap kekayaan budaya lokal lambat laut tergerus oleh kemajuan zaman

sehingga tidak mendapat porsi sebagaimana mestinya. Contoh dalam bidang

pendidikan Budayawan Sunda, Alwasilah (2012; 170) menyoroti bahwa dalam

11
kurikulum pendidikan dasar (SD) tercantum muatan lokal (local content) yang harus

diisi oleh penanaman kearifan lokal. Maka tidak sepantasnya sekolah menjadikan

bahasa asing (Inggris) sebagai muatan lokal. Kalau itu terjadi maka tepat sindiran

Alwasilah (2012), bahasa Inggris sudah menjadi muatan lokal (baca: kearifan lokal)

atau bangsa Indonesia tidak mampu mengenal kearifan lokalnya sendiri, hal yang

aneh?.

Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralisasi dengan

otonomi daerah, semula diharapkan dapat memberikan penguatan dan akses

masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, ternyata tidak memberikan berkah

dan pengaruh yang signifikan. Eksistensi sistem kearifan lokal dalam pengelolaan

sumberdaya alam saat ini memerlukan transformasi dan advokasi yang konsisten

dan serius agar mampu merubah kebijakan pemerintah untuk lebih progresif dan

akomodatif terhadap sistem kearifan lokal yang ada (Syafaat, dkk., 2008: vi).

Mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, maka seharusnya dengan berlakunya UU

No 22 Tahun 1999 (sekarang telah direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004) tentang

Pemerintahan daerah, pemerintah pusat telah memberikan kewenangan pada

pemerintah daerah untuk mengatur dirinya, kewenangan itu berimplikasi pada

pengelolaan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Pergeseran

kewenangan itu berdampak pada pengelolaan pendidikan yang kemudian

menyebabkan otonomi pada satuan pendidikan (sekolah). Pemberian otonomi pada

satuan pendidikan memberikan peluang pada sekolah untuk memikirkan sendiri

pengembangannya, termasuk pengembangan kurikulum muatan lokal (Badrun, 2009:

12
452). Saatnya kini untuk memaksimalkan muatan lokal berupa kearifan lokal dalam

ranah pembelajaran di bangku sekolah.

Dengan demikian, kearifan lokal layak menjadi basis pendidikan dan

pembudayaan. Praktik pendidikan yang menjadikan basis kearifan lokal dalam

berbagai ranah seperti pengobatan, seni bela diri, lingkungan hidup, pertanian,

ekonomi, pemerintahan, sistem penanggalan dan sebagainya dikenal dengan istilah

Etnopedagogi (Budimansyah, 2012: 321).

IV. KEUNGGULAN KEARIFAN LOKAL UNTUK BAHAN


PEMBELAJARAN

Berbagai kajian tentang kearifan lokal telah dilakukan oleh para ilmuwan. Dari

berbagai riset yang ada membuktikan bahwa kearifan lokal memiliki posisi yang

strategis dalam pembelajaran. Di antara kajian tersebut telah dipaparkan dalam

penelitian disertasi (Abbas, 2014), berikut di antara yang lainnya: Sukardi (2006)

menulis Perubahan Sosial di Banyumas (1830-1900): Aplikasi Pembelajaran Nilai-

Nilai Sejarah dalam Kerangka Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Menurutnya,

pewarisan nilai-nilai sosial budaya dari suatu generasi kepada generasi baru

terpusat pada perhatian, sesuai dengan pemikiran yang berlaku di antara generasi

muda untuk menghadapi perubahan sosial yang disebabkan oleh industrialisasi dan

globalisasi. Diperlukan model berdasarkan pengalaman masa lampau sebagai referensi

melalui studi sejarah sosial di tingkat lokal.

Hermawan (2008) mengkaji Kearifan Lokal Sunda dalam Pendidikan. Dalam

kajiannya menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal Sunda yang diwariskan

13
secara turun temurun dari para pendahulu kepada generasi berikutnya, pada dasarnya

nilai budaya tersebut tidak bertentangan dengan nilai budaya yang diusung masyarakat

modern, bahkan dapat menjadi pendorong orang Sunda untuk menjadi modern dengan

tidak perlu meninggalkan nilai budayanya. Kajian Duwiri tentang Makna Upacara Adat

Etnik Waropen. Duwiri (2009) menjelaskan bahwa upacara adat etnik Waropen pada

hakikatnya relevan dan dapat berkontribusi langsung pada pendidikan, baik sebagai

konten, pendekatan, maupun sekaligus sebagai tujuan, khususnya dalam pembelajaran

nilai-nilai luhur. Nilai-nilai tersebut merupakan pilar dalam pembentukan sikap

dan karakter anak bangsa yang bermoral. Studi Wali (2009) tentang Peranan Budaya

Siwalima sebagai Perekat Sosial Masyarakat Maluku di Kota Ambon. Wali

menyebutkan makna nilai budaya Siwalima merupakan tingkatan yang paling tinggi

dan paling abstrak dari adat-istiadat, sehingga mampu mempersatukan dan

mempererat hubungan kekeluargaan masyarakat di kota Ambon. Hal ini disebabkan

karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup

dalam alam pikiran warga masyarakat, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu

pedoman yang memberikan arahan dan orientasi kepada kehidupan warga masyarakat.

Matitaputty (2010) mengkaji Nilai-Nilai Kearifan Adat dan Tradisi Dibalik Ritual

Daur Hidup (Life Cycles) pada Masyarakat Suku Nualu di Pulau Seram. Kajian

Matitaputty menjelaskan bahwa upacara adat ritual daur hidup (life cycles) pada

hakikatnya sesuai dan dapat memberikan kontribusi langsung terhadap pembelajaran

di sekolah, baik itu secara konten, pendekatan, maupun sebagai tujuan khususnya

dalam pembelajaran. Nilai-nilai luhur yang ada dapat diaplikasikan langsung oleh

14
peserta didik dalam kehidupan mereka. Hal ini terlihat pada nilai-nilai budaya yang

terdapat dalam budaya lokal.

Effendi (2011) menulis Implementasi Kearifan Lingkungan dalam Budaya

Masyarakat Adat Kampung Kuta sebagai Sumber Pembelajaran. Menurut Effendi, nilai

budaya masyarakat Kuta ternyata sangat bermanfaat dalam menjadikan pembelajaran

IPS semakin bermakna bagi guru dan peserta didik.

Kajian Sadiki (2011) tentang NilaiBudaya SumangSebagai SumberNilai dalam

Pembelajaran IPS. Budaya Sumang merupakan suatu budaya yang memiliki sejumlah

nilai dan berpotensi serta berkontribusi sebagai sumber nilai moral. Budaya Sumang

mengandung beberapa nilai sosial dan nilai religius yang merupakan hasil perpaduan

budaya dan agama yang bertujuan untuk membentuk etika, moral, dan akhlakul

karimah.

Secara umum, studi atau kajian riset yang disebutkan di atas hanyalah sebagian

kecil dari berbagai studi yang penah dilakukan oleh para peneliti, namun hal tersebut

memperlihatkan bahwa berbagai kearifan lokal yang terdapat pada berbagai daerah

cocok dan dapat dijadikan sebagai bahan ajar (local content) dalam pendidikan di

sekolah.

V. KAJIAN NAWUR PENEMPUH TRADISI DESA PAKRAMAN SELAT


PANDAN BANTEN SEBAGAI UPAYA MENJAGA NILAI BUDAYA
DARI GERUSAN ARUS MODERNISASI SEBAGAI SUMBER
PEMBELAJARAN PKN PADA KURIKULUM 2013

Desa Selat, Kecamatan Sukasada menyimpan kearifan lokal yang sangat beragam.

Salah satu bentuk keragaman kebudayaan dan tradisi di kalangan masyarakat setempat

15
yakni upacara Nawur Penempuh yang digelar bertepatan saat Purnama sasih Kalima,

seperti yang dilakukan beberapa hari lalu, Rabu 24 Agustus 2018. Namur Penempuh

dilaksanakan pada tanggal 25-26 Oktober 2018, di Pura Desa Selat. Tradisi yang

diwarisi secara turun-temurun sangat dipercaya membawa kemakmuran serta

kesejahteraan khususnya bagi pria yang menikahi wanita asli Desa Selat. Rangkaian

upacaranya sendiri rutin digelar setiap 2 tahun dengan melibatkan puluhan pasangan

pengantin dan juga diikuti seluruh lapisan masyarakat desa adat Selat Panda Banten.

“Tradisi Nawur Penempuh sendiri tertulis dalam catatan awig-awig desa adat Selat,

namun lebih mengikat pada sebuah kewajiban, upacaranya dilakukan 2 tahun sekali”

Ucap Wayan Semadi selaku Perbekel Desa Selat.

Tradisi upacara Nawur Penempuh ini dilakukan oleh pihak keluarga besar

pengantin pria dan juga diikuti keluarga dari wanita asal desa selat ketika mereka sudah

memiliki kehidupan yang mapan. Persembahan yang dihaturkan pun disesuaikan

dengan tingkat kemampuan ekonomi. Tujuan dari prosesi upacara itu sendiri adalah

sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada sang pencipta atas limpahan berkah dan

rezeki selama mengarungi bahtera rumah tangga. Biasanya pihak keluarga pengantin

pria memberikan berupa hewan babi guling jantan dan sarana dan prasarana banten

suci. Babi Guling yang dipersembahkan ke desa ialah bagian kepala dan paha bagian

kanan. Bagian lainnya dibawa kembali oleh pasangan keluarga pengantin. Warga

sangat menghormati dan menghaturkan puji syukur kepada leluhur atas keberhasilan

yang mereka capai selama hidupnya. Namun ada juga warga yang menghaturkan dan

mengikuti tradisi ini karena pemicu lain, seperti kehidupannya yang tidak tenteram

16
karena sakit hingga akhirnya meninggal.Kemudian dari keturunan mereka menanyakan

penyebabnya kepada orang pintar. Mereka mengetahui bahwa mereka lupa akan asal-

usul serta kewajibannya sebagai umat Hindu. Berkaitan dengan pembelajaran PKn

mengenai Hak dan Kewajiban sebagai warga negara, tradisi ini sangat mengedepankan

pentingnya menjalankan kewajiban kita sebagai warga negara dibawah kearifan

budaya local yang terjadi.

17
C. SIMPULAN

Dampak negatif globalisasi di era modern ini telah menyebabkan

tercerabutnya nilai-nilai sosial budaya di tengah masyarakat, muncul kecemasan

terhadap berbagai ancaman multidimensi seperti habisnya energi, tingginya inflasi,

banyaknya pengangguran, tingginya kriminalitas dan angka kejahatan, munculnya

berbagai penyakit sosial, meningkatnya pencemaran lingkungan, terjadinya

gangguan sanitasi, merosotnya kualitas pendidikan, dan lain sebagainya.

Modernitas yang pada mulanya menjadi alternatif bagi abad kegelapan masa lalu

rupanya telah melenceng jauh dari prinsip dasar kebudayaan, sungguh sangat ironis

dan miris melihatnya.

Bentuk antisipasi berbagai problema di atas, saatnya kembali ke local wisdom

yang telah terbukti sejak berabad-abad dan menjadi solusi terhadap berbagai

persoalan yang dihadapi oleh masyarakat masa lalu. Kearifan lokal memiliki daya

tangkal dan kemampuan adaptif terhadap serbuan westernisasi (baca: budaya

asing), dan sekaligus menjadi keunggulan dalam berkompetisi di dunia modern.

Kesadaran untuk mengangkat kembali kearifan lokal khususnya dalam

pembelajaran di persekolahan diharapkan dapat memberikan solusi terhadap

berbagai problem sosial budaya yang terus menggerogoti bangsa Indonesia, pada

masa kini dan yang akan datang.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, I. 2014. Etnopedagogik Etnik Bugis Makassar (Studi Penelusuran Nilai-


Nilai Pedagogik pada Naskah Lontaraq sebagai Pengembangan Bahan
Ajar Pendidikan IPS di Sekolah). Bandung: Disertasi SPs UPI - Tidak
Diterbitkan.
Adimihardja. K. 2008. Dinamika Budaya Lokal: Manusia-Tanah-Kearifan Lokal.
Bandung: Indra Prahasta– Pusat Kajian LBPB.
Ahimsa-Putra. H. 2006. Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Kearifan Lokal
Tantangan Teoritis dan Metodologis. Yogyakarta: Jurusan Antropologi
FIB UGM.
Akhmar, A.M. & Syarifuddin. 2007. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi
Selatan. Makassar: PPLH Regional Sulawesi, Maluku dan Papua KNLH
RI.
Alwasilah, A.C., dkk. 2009. Etnopedagogi Landasan Praktek Pendidikan dan
Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat dan UPI.
Alwasilah, A.C. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: Kiblat.
Amrih, P. 2008. Ajaran Adiluhung Leluhur Ilmu Kearifan Jawa. Yogyakarta:
Pinus.
Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka
Jaya.
Badrun, A. 2009. “Penelitian Naskah dan Pengajaran Muatan Lokal” dalam
Yusran dan Darmawan,
Naskah Buton dan Naskah Dunia. Bau Bau: Respect.
Budimansyah (ed.). 2012. Dimensi-Dimensi Praktik Pendidikan Karakter.
Bandung: Widya Aksara Press. Daulay, Z. 2011. Pengetahuan
Tradisional Konsep, dasar Hukum, dan Praktiknya. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Effendi S. A. 2011. Implementasi Kearifan Lingkungan dalam Budaya
Masyarakat Adat Kampung Kuta sebagai Sumber Pembelajaran IPS,
Tesis FPIPS SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Hayati, S. 2011. “Menggali Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Mempertahankan
Karakter Peduli Lingkungan pada Pembelajaran IPS”, dalam Suryadi, K.,
dan Maliha, E, (ed.) Prosiding Konvensi Nasional Pendidikan IPS ke-1.
Bandung: FPIPS UPI.
Hendrawan, J. H. 2011. “Transformasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam
Kepemimpinan Sunda”, dalam Suryadi, K., dan Maliha, E, (ed.)
Prosiding Konvensi Nasional Pendidikan IPS ke-1. Bandung: FPIPS UPI.

19
Hermawan, I. 2008. Kearifan Lokal Sunda dalam Pendidikan (Kajian
terhadap Aktualisasi Nilai-Nilai Tradisi Sunda dalam Pendidikan IPS di
Sekolah Pasundan dan Yayasan Atikan Sunda). Disertasi FPIPS SPs UPI
Bandung: tidak diterbitkan.
Kemendiknas. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran
Berdasarkan Nilai Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan
Karakter Bangsa. Jakarta: Kemendiknas Pusat Kurikulum.
Koestoro, dkk. 2010. “Kearifan Lokal” dalam Arkeologi Seri warisan Budaya
Sumatera Bagian Utara No. 0510. Medan: Balai Arkeologi.
Lubis, N. H. 2002. “Menggali Kembali Kearifan Tradisional untuk Mencegah
Disintegrasi Bangsa Indonesia”, dalam Sumijati, dkk (ed.). Integrasi,
Moral Bangsa dan Perubahan. Yogyakarta: Unit PPP FIB UGM dan
Sinergi.
Maryani, E. 2011. “Kearifan Lokal sebagai Sumber Pembelajaran IPS dan
Keunggulan Karakter Bangsa”, dalam Suryadi, K., dan Maliha, E,
(ed.) Prosiding Konvensi Nasional Pendidikan IPS ke-1. Bandung:
FPIPS UPI.
Matitaputty, J. K. 2010. Nilai-Nilai Karifan Adat dan Tradisi dibalik Ritual Daur
Hidup (Life Cycles) pada Masyarakat Suku Nualu di Pulau Seram
sebagai Sumber Pembelajaran IPS (Studi Etnografi: Di Desa Tamilou
Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah). Tesis FPIPS SPs UPI
Bandung: Tidak diterbitkan.
Mattulada , H. A. 2000. “Aktualisasi dan Revitalisasi Kearifan Tradisional
sebagai Upaya Pemeliharaan
Integrasi Nasional.” Makalah Silaturrahmi Nasional. 4-5 Agustus 2000. Bandung.
Ming, D. C., Et. All (peny). 2009. Kearifan Lokal yang Terkandung dalam
Manuskrip Lama Kertas Kerja Pilihan daripada Simposium Antarbangsa
Pernaskahan Nusantara di Bima tahun 2007. Bangi: ATMA UKM.
Permana, R.C.E. 2010. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Mitigasi
Bencana. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Pora, S. 2014. “Tinjauan Filosofis Kearifan Lokal Sastra Lisan Ternate” dalam
Jurnal Uniera Vol 3 No. 1. ISSN. 2086-0404. Tobelo: LPPM Universitas
Halmahera.
Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya
Sastra.
Roza, E. 2011. “Naskah sebagai Bukti Kearifan Lokal Suku Bangsa Serumpun
Indonesia-Melayu”, dalam Mappangara, S. (ed). Sejarah, Budaya, dan

20
Arkeologi Seminar Internasional Serumpun Melayu V 8-9 Juni.
Makassar: FIB dan UKM.
Safa, A. (ed.). 2011. Restorasi Pendidikan di Indonesia Menuju Masyarakat
Terdidik Berbasis Budaya. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Sibarani, R. 2012. Kearifan Lokal Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan.
Jakarta: ATL. Sukardi, T. 2006. Perubahan Sosial di Banyumas (1830-
1900): Aplikasi Pembelajaran Nilai-nilai Sejarah dalam Kerangka
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Disertasi FPIPS SPs UPI Bandung:
Tidak diterbitkan.
Sutanto, J. 2004. Kearifan Kuno di Zaman Modern Penyejuk Manusia
dalam Mencari Kebenaran. Bandung: Hikmah.
Syafaat, R., dkk. 2008, Negara, Masyarakat Adat, dan Kearifan Lokal. Malang:
In-Trans Publishing.
Tilaar, H.A.R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Wali, P. 2009. Peranan Budaya Siwalima sebagai Perekat Sosial Masyarakat
Maluku di Kota Ambon (Studi Deskriptif Analitik terhadap
Pengembangan Nilai Budaya Pendidikan IPS). Tesis FPIPS SPs UPI
Bandung: Tidak diterbitkan.
Yayuk, R. 2011. “Kearifan Lokal Melayu dalam Folklor Banjar”, dalam
Mappangara, S. (ed). Sejarah, Budaya, dan Arkeologi Seminar
Internasional Serumpun Melayu V 8-9 Juni. Makassar: FIB dan UKM.
SUMBER ONLINE
http://selat-buleleng.desa.id/index.php/first/artikel/163-Nawur-Penempuh-Tradisi-
Desa-Pakraman-Selat-Pandan-Banten.
https://disbud.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/70-apakah-makna-
sebenarnya-naur-sesangi

21

Anda mungkin juga menyukai